Judulnya boleh jadi mengesankan sebaliknya, tapi Raja Jin Penjaga Pintu Kereta bukanlah sebuah film horror kacangan. Ia bukan film horror bukan pula film kacangan. Film garapan Wahab Abdi ini adalah sebuah drama keluarga yang berpusat pada Gono, mantan pemain lenong yang dulunya selalu melakonkan karakter Raja Jin. Pernikahan dan tuntutan kehidupan berkeluarga membuat Gono banting setir jadi penjaga pintu kereta api. Diproduksi berdasarkan naskah Asrul Sani (yang nantinya menulis naskah Nagabonar), film tahun 1974 ini menghubungkan Gono ke orang-orang di sekitarnya, di mana semua hubungan tersebut terkait erat dengan kesenangan badaniah yang Gono dapatkan melalui bermain lenong. Melalui kesenangan badaniah tersebut, Raja Jin membuka sejumlah pertanyaan tentang kesenjangan sosial di sebuah masyarakat kapitalis.
Pertanyaan-pertanyaan yang dipantik oleh Raja Jin berpangkal pada karakter protagonis, Gono. Sebagai mantan pemain lenong, dia terbiasa menari-nari dan menggerakkan tubuhnya secara ekspresif di hadapan orang banyak. Bermain lenong bagi Gono adalah sebuah seni, yang salah dua ujungnya adalah ekspresi dan kesenangan pribadi. Gono bermain lenong untuk mengekspresikan diri dan menghibur khalayak ramai. Kegiatan tersebut yang membuatnya dirinya senang dan merasa hidup. Menari, menggerakkan tubuh dan menghibur orang banyak adalah tiga hal yang terpatri dalam setiap sel tubuh Gono yang bertanggungjawab atas kebahagiannya. Tidak heran ketika ganti setir jadi penjaga kereta api, Gono tetap menjalankan kebiasaan lamanya, murni untuk membahagiakan dirinya. Disaksikan oleh supir-supir dan penumpang kendaraan, ia menari-nari sambil menaikkan dan menurunkan portal kereta api. Sontak, namanya pun terkenal sebagai Raja Jin yang menjaga pintu kereta api.
Dalam tatanan cerita film, kebiasaan Gono menari adalah sebuah pernyataan, yakni tentang menjadi bahagia dalam setiap pekerjaan yang dilakoni. Hubungan Gono dengan orang-orang di sekitarnya yang menjadikannya pertanyaan. Pertanyaan pertama lahir dari hubungan Gono dengan bosnya, kepala stasiun. Baginya, kebiasaan Gono menari terkait erat dengan reputasinya sebagai pemegang otoritas. Apresiasi yang Gono dapat ujung-ujungnya akan berakhir di bosnya juga. Mempertimbangkan pandangan orang yang tertuju padanya, kepala stasiun sontak mengontrol setiap tindak-tanduk Gono di pintu kereta. Dia meminta Gono untuk terus menari, karena reputasi baik Gono akan menjadi prestasi sendiri di catatan kerja kepala stasiun. Dari hubungan tersebut, kebiasaan Gono menari didefinisikan ulang dari suatu kebahagiaan personal menjadi sebuah kewajiban profesional. Eksistensi Gono pun dipertanyakan: apakah kini pekerjaannya tidak lagi dinilai dari ketepatannya membuka-tutup portal rel, tapi dari kesediannya untuk terus-menerus menari?
Pertanyaan serupa, walau dalam konteks yang berbeda, muncul dari hubungan Gono dengan seorang bapak pemilik warung. Ada seorang bapak yang membuka warung dekat tempat kerja Gono, dengan harapan dapat menjual makanan pada supir dan penumpang kendaraan yang menyaksikan Gono menari. Dapat ditebak kalau kemudian bapak pemilik warung juga meminta Gono untuk terus-menerus menari. Parahnya lagi, dengan mengklaim dirinya sebagai saudara dari kepala stasiun, ia meminta Gono untuk sengaja menutup portal walau tak ada kereta yang lewat. Tujuan bapak pemilik warung jelas: ia ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan mengeluarkan biaya sesedikit mungkin.
Pertanyaan yang berbeda muncul dari hubungan Gono dengan anak-anaknya sendiri. Awalnya anak-anaknya Gono bangga melihat bapaknya diapresiasi positif oleh orang-orang di sekitarnya. Masalahnya, mereka dicemooh oleh anak kepala stasiun, dan dikatai anak badut karena kebiasaan bapak mereka menari. Tersinggung, anak-anak Gono sontak bereaksi dan terlibat perkelahian. Perkelahian tersebut tentunya membuat Gono bimbang. Eksistensinya pun kian dipertanyakan: apakah ia bisa sebahagia dulu, mengingat menari sekarang tidak lagi terkait dengan dirinya sendiri, tapi juga dengan kehidupan sosial anak-anaknya dan hajat hidup keluarganya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas yang menjadi tumpuan Raja Jin. Di level yang mikro, pertanyaan-pertanyaan tersebut merepresentasikan jarak antara kebahagiaan Gono dengan nilai tubuhnya di hadapan orang lain. Sepanjang film, hubungan Gono dengan orang di sekitarnya selalu dilandaskan pada nilai-nilai sosio-ekonomi, yang sejatinya tidak ada hubungannya dengan esensi dari kebiasaan Gono menari. Ia menari sukarela dan supaya merasa bahagia, bukan karena tergiur keuntungan semata. Ketika kebiasaannya menari didefinisikan ulang untuk kepentingan orang-orang di sekitarnya, muncul kebimbangan dalam diri Gono, yang dalam naratif film menjadi pertanyaan-pertanyaan perihal kebiasaan menari Gono dan eksistensi dirinya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang kemudian coba dijawab dalam naratif film, melalui perkembangan plot di setengah terakhir Raja Jin.
Pada level yang makro, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Raja Jin membentuk rangkaian tersendiri. Dengan mendefinisikan ulang kebiasaan Gono menari dalam kerangka sosio-ekonomis, naratif film memproyeksikan sebuah satir tentang masyarakat kapitalis, di mana yang menulis aturan adalah mereka yang punya modal. Mereka yang tidak punya modal terserap dalam siklus jam kerja, yang memisahkan individu dari tubuhnya sendiri. Individu boleh punya alasan eksistensinya sendiri, namun tubuhnya hanya dianggap bermakna apabila ia dapat menghasilkan sesuatu bagi pemilik modal. Hal tersebut terjadi dalam setiap interaksi karakter-karakter yang terdapat dalam Raja Jin. Gono tidak bisa menolak perintah kepala stasiun, karena hidupnya dan keluarganya tergantung padanya, yang notabene adalah pemilik modal. Gono tidak bisa menolak permintaan bapak pemilik warung, karena dia membawa nama kepala stasiun. Gono bimbang saat melihat anaknya berkelahi, karena dia tidak bisa berhenti menari begitu saja. Menari adalah satu-satunya faktor yang membuat Gono berharga di mata kepala stasiun.
Raja Jin pada akhirnya membiarkan pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan tergantung di tengah jalan. Memasuki sepertiga akhir film, Raja Jin pindah fokus ke anak perempuan Gono, yang patah kakinya setelah jatuh dari pohon. Film pun ganti konsep dari satir tentang kapitalisme jadi melodrama air mata, yang selesai dengan bantuan tangan Tuhan. Tepat setelah Gono bertobat atas segala kekhilafannya, mendadak ada satu kejadian yang tidak saja menyelesaikan semua masalah protagonis, tapi juga membawa pengakuan bagi dirinya dan anaknya.
Ada dua kemungkinan. Pertama: Wahab Abdi dan Asrul Sani mungkin terjebak dalam kebiasaan sinema Indonesia, yang seringkali tak mengindahkan akal sehat dan mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan masalah. Atau, kedua: mereka mungkin mempertimbangkan bahwa kemenangan bagi Gono, atau apapun yang mendekati itu, tidak mungkin terjadi dengan usaha protagonis sendiri. Kalau dipikir-pikir, tidak ada manusia yang bisa lepas dari jeratan kapitalisme, termasuk pemilik modal yang menulis aturan main. Bisa jadi solusi cerita yang deus ex machina aslinya merupakan bagian dari satir. Toh, siapa lagi yang bisa melampaui kapitalisme, selain Sang Pencipta sendiri.
Raja Jin Penjaga Pintu Kereta | 1974 | Durasi: 98 menit | Sutradara: Wahab Abdi | Produksi: PT Cahaya Sembilan Corp | Negara: Indonesia | Pemain: Sukarno M. Noor, Rina Hassim, Mansjur Sjah, Tan Tjeng Bok, Ratmi B29
Tulisan ini merupakan retrospektif dari salah satu film yang diputar selama Bulan Film Nasional 2011 di Kineforum.