3 Nafas Likas: Perempuan di Balik Bayang-bayang

3-nafas-likas-film_hlgh

Memperjelas arti kata ‘pahlawan’ adalah prasyarat penting dalam menonton 3 Nafas Likas, film tentang Likas Tarigan yang sekarang sedang main di bioskop. Ada dua macam pahlawan dalam film ini. Pertama, pahlawan dalam konteks penceritaan; pahlawan menemukan konteksnya pada penokohan karakter utama, sebagaimana Likas Tarigan ditasbihkan sebagai figur sentral dalam film biopik yang diangkat dari sebuah buku tentangnya yang berjudul Perempuan Tegar dari Sibolangit. Kedua, pahlawan dalam konteks kenegaraan, di mana tentu saja Likas tak ada sangkut paut dengannya sebab yang didapuk sebagai pahlawan adalah suaminya, Djamin Ginting.

Dalam 3 Nafas Likas, Likas cocok disebut ‘pahlawan’ karena potret Likas Tarigan yang senantiasa dipenuhi aura heroisme, mulai dari kepiawaian bermain gundu sampai keberanian menyetop pesawat demi titip surat. Menjadi menarik memahami karakter Likas Tarigan (diperankan bergantian oleh Tissa Biani Azzahra, Atiqah Hasiholan, dan Tutie Kirana). Ia tak punya prestasi kenegaraan sebagaimana mendiang suaminya, tak pula namanya ditasbihkan sebagai nama jalan raya seperti Djamin yang diperingati lewat jalan protokol di kota Medan. Namun, kenapa film ini menempatkannya sebagai tokoh utama dan bukan Djamin Ginting?

Gelitikan yang muncul ada dua. Satu: 3 Nafas Likas adalah film tentang sosok pahlawan perempuan, atau kalau terlalu membebani, sebutlah sosok perempuan inspiratif. Dua: 3 Nafas Likas adalah film tentang sejarah kecil (petit histoire) di mana perjuangan-perjuangan Djamin Ginting dilihat dari sudut pandang istrinya, diamati dari tanah nun di Karo, diteropong dari sudut yang berjarak dari pusaran perjuangan kemerdekaan. Tapi tidak semudah itu. Film 3 Nafas Likas bersikeras berpusar di sekitar Likas dan bukan Djamin. Ada apa?

Oke. Mari kita kesampingkan kecurigaan bahwa film ini adalah proyek pesanan keluarga Djamin Ginting (kurang argumentatif, soalnya). Mari lihat filmnya saja.

Alkisah, Likas Tarigan adalah anak perempuan yang pandai bukan main. Ia juara terus di sekolah, lihai pula bermain kelereng. Sejak kecil kita diperlihatkan pada wataknya yang berkemauan keras. Didukung oleh sang ayah (Arsewendi Nasution), Likas berangkat ke Padang Panjang untuk bersekolah guru meskipun Ibunya (Jajang C Noer) menentang. Di fragmen selanjutnya, kita saksikan betapa Likas berapi-api berpidato tentang kesetaraan gender di depan majelis pemuda terdidik dari Tanah Karo. Pidato Likas yang terlalu “liberal” dicerca oleh para pemuda, mereka menuding Likas telah melecehkan adat.

Dua fragmen ini sebenarnya bukanlah semangat baru. Kita telah akrab dengan fragmen-fragmen serupa dari karya sastra babon era dahulu, sebutlah misal tokoh Tuti dalam Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937) dengan semangat modernisnya yang berapi-api. Alisjahbana dengan elok melukiskan pemikiran Tuti dalam novelnya, “Bahwa ibu yang sekarang tidak bedanya dengan mesin pengeram, tiada mungkin dapat menyerahkan keturunan yang berharga kepada dunia. Bahwa segala usaha untuk memperbaiki keadaan bangsa yang tiada melingkungi perbaikan keadaan perempuan tiada akan berhasil, selaku hanya menyirami daun dan dahan tanam-tanaman, sedangkan uratnya dibiarkan kekurangan air.” Alangkah modernis dan liberalnya paragraf ini.

Selain Tuti, tentu akrab kita dengan tragedi menyerahnya Siti Nurbaya pada kehendak keluarganya yang tak merestui cintanya pada Samsul Bahri. Siti Nurbaya dikalahkan oleh sebab rasa cintanya yang lebih besar pada keluarganya. Akhirnya, ia menerima pinangan Si Tua Bangka Datuk Meringgih. Tragedi Siti Nurbaya masih menyayat hingga kini karena jangkauan resonansinya yang luas. Ia menjangkau lanskap pertentangan antara pendahuluan kehendak pribadi yang merupakan pengejawantahan individualisme khas modernisme dan hajat kolektif yang merupakan ciri khas masyarakat adat.

Pada contoh lain, sepertinya generasi sekarang akan lebih akrab dengan kisah Zainab dan Hamid dalam novel Buya Hamka yang telah diadaptasi secara menggiriskan oleh Hanny Saputra (Di Bawah Lindungan Ka’bah, 2011). Apa yang terjadi antara Zainab dan Hamid adalah sebuah tragedi; Hamid harus tahu diri untuk tidak mendahulukan kecintaan pribadinya pada Zainab oleh sebab mereka berbeda kasta secara tradisi. Manusia kembali dikalahkan adat. Contoh lain adalah Hayati dan Zainuddin dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (juga telah difilmkan pada 2013); perbedaan suku menjadi penghalang antara kisah cinta mereka berdua. Adat kembali menang. Jangan pula lupakan tokoh Corrie du Bussée dalam karya jenius Salah Asuhan(Abdul Muis, 1928) sebagai sosok hantu yang senantiasa menggoda hasrat tokoh utama Hanafi untuk murtad dari adatnya menuju haribaan modernisme yang mabuk kebebasan itu.

Dari contoh-contoh novel angkatan terdahulu ini, dapat kita temukan semangat yang sama: semangat untuk mempertentangkan yang kolot (tradisi) dengan yang baru (modern) lewat sosok yang didominasi perempuan. Bedanya, Tuti adalah tokoh yang berjuang keras melawan adat, sementara Hayati, Zainab dan Siti Nurbaya adalah sebaliknya. Tokoh Likas di paruh pertama 3 Nafas Likas menyuarakan pengakraban dengan modernisme, sesuatu yang sangat khas Sumatera di paruh pertama abad ke-20: pendidikan bagi perempuan, perkumpulan diskusi, semangat nasionalisme, kesetaraan gender dan sebagainya. Semangat yang tidak lagi baru ini, entah mengapa, masih terasa menyegarkan ketika satu-satunya jalur akses ke semangat pemikiran Sumatera pra-kemerdekaan adalah lewat tokoh rekaan dalam film-film adaptasi. Oh, ternyata, perempuan berpemikiran macam ini memang ada di dunia nyata.

Namun, semangat modernisme pra-kemerdekaan yang turut digaungkan oleh tokoh Likas lindap memasuki paruh kedua film.

Likas dan Dharma Wanita

Memasuki era pasca-kemerdekaan, 3 Nafas Likas semakin akrab dengan sosok Djamin Ginting, suami Likas. Berlatar era agresi militer Belanda di Medan, Djamin Ginting semakin teguh menapaki karirnya sebagai prajurit. Pengakuan dan pangkat pun perlahan didapatnya. Di sinilah mula-mula, posisi Likas yang tadinya pahlawan bergeser menjadi figuran. Pahlawannya sekarang adalah Djamin Ginting. Pidato berapi-api Likas bertahun sebelumnya di hadapan majelis pemuda Karo sirna. Likas tersedot masuk ke dalam bayang-bayang suaminya.

Dengan cepat dapat dimafhumi, bahwa tiga nafas yang menjadi tulang punggung perjalanan Likas adalah ibunya, kakaknya Njoreh dan suaminya Djamin. Namun ini jualah medan pergeserannya. Seiring karir Djamin sebagai prajurit menanjak usai Agresi Belanda disusul pindahnya mereka ke Jakarta, Likas masuk jauh semakin dalam ke urusan-urusan domestik. Posisi sosial Likas tidak lagi independen sebagai perempuan per se, melainkan sebagai perempuan yang diukur dari pencapaian suaminya. Ada satu istilah Orde Baru yang efektif menggambarkan konsep ini: Dharma Wanita.

Dalam 3 Nafas Likas, sosok Djamin Ginting dipotret sebagai abdi negara (lebih pantaskah kalau kita sebut abdi rezim?). Pekerjaannya sebagai prajurit mewajibkannya patuh pada negara, siapapun pemimpinnya, apapun ideologinya. Di bawah Soekarno yang Nasakom, Djamin patuh. Di bawah Soeharto yang anti-komunis, ia pun patuh (selain karena ia diuntungkan Orde Baru yang sangat memuliakan militer. Lagipula, Djamin adalah salah satu penggerak GAKARI, aktivisme yang kelak berevolusi menjadi Partai Golkar, partai penguasa Orde Baru). Kalau Djamin saja patuh, apalagi Likas yang posisinya sangat bergantung pada Djamin.

Di balik bayang-bayang masa mudanya yang bersemangat pembaharuan, Likas kini berubah menjadi Nyonya Djamin, seorang perempuan bersemangat Dharma Wanita. Di atas kertas, Dharma Wanita adalah organisasi istri-istri abdi negara yang bertujuan untuk melaksanakan tugas yang terangkum dalam Panca Dharma Wanita. Lima tugas yang harus dilakukan oleh seorang istri yang sempurna antara lain mendampingi suami, melahirkan dan merawat anak, mengatur keuangan rumah tangga, boleh bekerja asalkan hanya mencari nafkah tambahan dan boleh berorganisasi selama organisasinya bersifat sosial (mirip Fujinkai di era penjajahan Jepang minus fungsi Jugun Ianfu-nya). Lima tugas yang mendomestifikasi perempuan ini dipengaruhi oleh disahkannya UU Perkawinan tahun 1974, di mana laki-laki dan perempuan telah dibagi peran seksualnya oleh negara. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga, perempuan sebagai ibu rumah tangga. Dengan kata lain, negara menginvasi tata keluarga warganya.

Bersuamikan seorang abdi negara, tokoh Likas kemudian terseret masuk ke dalam kondisi ini. Likas yang dulunya pernah bepergian seorang diri ke Medan untuk menyelamatkan suaminya dari tawanan Belanda kini memiliki tugas baru, berdiam diri di rumah merawat anak sembari menyiapkan senyum untuk disunggingkan ketika sang suami pulang. Adegan menggiriskan mengiringi pergeseran peran Likas ini. Di sebuah adegan, Likas dengan lantang meminta panser untuk mencari suaminya. Pada adegan lain, Likas menghentikan pesawat dengan heroik (hanya) untuk menitipkan surat pada suaminya. Likas dimungkinkan untuk meminta panser dan menghentikan pesawat oleh sebab kekuasaan. Akan tetapi, kekuasaan siapa? Ternyata, kekuasaan yang digunakannya bukanlah miliknya melainkan milik suaminya. Independensi perempuan ala Likas Muda sirna sudah. Hal ini tak kunjung membaik seiring di akhir film, Likas dipanggil “Bu Dubes” semasa jabatan suaminya sebagai duta besar Indonesia di Kanada (1973). Posisi Likas masih tetap dibayangi oleh posisi Djamin sampai Djamin meninggal.

Menilik kecenderungan dalam dua fase kehidupan tokoh Likas, tak bisalah kita menyebut 3 Nafas Likassebagai sebuah sejarah kecil sebagaimana yang diisyaratkan oleh pengambilan angle dalam penceritaannya dan pula pada pemilihan judulnya. Film ini adalah perwakilan narasi-narasi besar di eranya masing-masing, semangat pembaharuan di era pra-kemerdekaan yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh kebijakan Politik Etis pemerintah Hindia Belanda (edukasi, irigasi, migrasi), serta semangat tata aparatur negara ala Dharma Wanita di era Orde Baru. Dua semangat ini pada hakekatnya bertentangan satu sama lain, namun anehnya film 3 Nafas Likas seolah memilih tak acuh terhadap pertentangan itu.

Ketidak-acuhan inilah yang membuat 3 Nafas Likas terasa hampa sebagai sebuah penuturan ulang sejarah. Kejadian-kejadian spesifik yang menandai pembabakan sejarah Sumatera tampak seperti pemicu melodrama belaka. Kehadiran momen historis dalam film sangat dipaksakan untuk hadir hanya sebagai sekedar bentuk formal. Peperangan hanya hadir lewat ledakan dan lumpur, histeria kemenangan hanya hadir lewat pesta dan dansa, rasa haru hanya hadir lewat musik mendayu, ketegangan hanya hadir lewat goyahnya kamera. Semangat kesejarahan (apalagi politik, Soekarno dihadirkan hanya sebagai peneriak slogan, Soeharto hanya hadir di televisi) justru, entah disengaja atau tidak, menguap entah ke mana.

Sejarah sebagai melodrama

Setelah kejadian (event) berubah menjadi sejarah (history), yang bisa diakses hanya ingatan dan rasanya. Ingatan dan rasa adalah medium yang memungkinkan sejarah diakses. Celakanya, ingatan dan rasa tidak pernah menjadi bagian dari masa lalu. Ia selalu menjadi bagian dari masa kini. Dengan kata lain, ingatan dan rasa yang menghubungkan manusia dengan sejarah sangatlah terkait dengan konteks dan tempat mengingat dan merasakannya.

Ada dua poin penting di sini. Pertama-tama, mari berangkat dari tekstur penceritaan 3 Nafas Likas. Film ini dipenuhi musik. Pembuat film tampak tak cukup percaya diri dengan kekuatan visual yang dibangunnya sehingga musik dirasa perlu untuk meningkatkan kepekaan penonton terhadap maksud skena per skena. Bahkan, sebelum punchline adegan tiba, musiknya sudah terlebih dahulu menggiring kita kepada emosi yang ingin dibangun oleh adegan yang bersangkutan. Efeknya tentu terprediksi: penonton merasa didikte oleh musik dan bukan oleh keseluruhan bangunan audiovisual. Mari kesampingkan itu dulu. Pertanyaan yang lebih mengganggu adalah: apa sebenarnya fenomena film-film yang dipenuhi musik ini? Bagaimana kita, sebagai penonton yang baik, bereaksi terhadapnya? Kalau toh kita merasa didikte, apakah kita rela?

Ada satu kecenderungan yang muncul dalam 3 Nafas Likas yang sudah berlanjut dari sesama period filmsebelumnya, yakni musik yang ubiquitous, banjir kemana-mana. Sebelumnya, dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013), kita disuguhi kecenderungan serupa. Belum sempat kita meresapi satu adegan, grup musik Nidji sudah meraung-raung minta kita merasakan emosi adegan selanjutnya yang bahkan belum kelihatan wujud gambarnya. Musik kemudian memposisikan diri sebagai sesuatu yang lebih superior daripada filmnya sendiri. Ada energi yang tumpah-tumpah lewat musik yang sebenarnya belum tentu sama dengan energi yang dibangun oleh wujud visual. Energi yang tumpah-tumpah dan berlebihan ini disebut ekses (excess, kelebihan, surplus, tumpahan).

Ekses, dalam kajian film, adalah salah satu kandungan yang tak terpisahkan dalam kategori film melodrama. Kritikus Ben Singer menulis kajian yang menarik dalam bukunya Melodrama and Modernity (2001), bahwa salah satu hal yang membuat melodrama begitu populer adalah eksesnya. Ekses inilah yang bisa membuat penonton melodrama menangis atau minimal trenyuh (istilah tearjerker kemudian diciptakan dari konsep ini) dan juga bisa merasakan rangsang emosional yang kuat. Tanpa ekses, penonton akan terhalang dari hubungan emosional dengan sebuah film. Lebih dari itu, seniman handal seperti Peter Brooks dan Geoffrey Nowell-Smith bahkan sempat mendapat temuan bahwa dalam melodrama, emosi dari karakter yang tertekan dan penuh pergulatan batin tak bisa dirangkum dan diekspresikan oleh plot film yang cenderung merepresi oversentimentalitas. Oversentimentalitas itulah yang kemudian keluar lewat ekses-ekses pinggiran: musik, gestur, histeria, kolaps dan sebagainya.

Dalam 3 Nafas Likas, moda ekspresi melodrama kemudian secara kreatif dipakai untuk menceritakan sejarah. Momen-momen spesifik dalam sejarah kemudian direduksi dari konteksnya, direpresi lewat plot lalu kemudian dikaburkan dengan menggunakan melodrama sebagai kabut yang menutupi signifikansi momen sejarah tersebut. 3 Nafas Likas tidak mau repot-repot menjelaskan konteks apa yang membuat Likas begitu berapi-api hendak menempuh pendidikan, apalagi menjelaskan tren pemikiran nasionalis dan modern di awal abad ke-20 di Sumatera. Segalanya dikaburkan dan disulap. Seolah-olah, keinginan Likas untuk menempuh pendidikan dan pemikirannya yang modern di masa mudanya adalah steril dari pengaruh sosial di sekitarnya. Yang diperlihatkan pada penonton adalah Likas yang mendapatkan semua karakter itu seperti wahyu. Sang guru yang menjadi tonggak perjalanan Likas pun turut disterilkan dari segala pengaruh itu. Setelah mensterilkan, 3 Nafas Likas kemudian total menjadi melodrama. Sejarah disulap menjadi orkestrasi naratif yang mendayu-dayu.

Pertanyaan berikutnya: kenapa mesti mendayu-dayu?

Melodrama secara khusus dan film secara umum adalah sebuah fenomena yang muncul bahu-membahu dengan modernisme. Sesuatu yang ditandai dengan menguatnya individualisme dan urbanisasi, tumbuh dewasanya kapitalisme dan meningkatnya tempo kehidupan yang menyebabkan saraf-saraf manusia semakin intens. Manusia yang terkonsentrasi di kota adalah manusia yang dituntut untuk hidup secara mekanis: pulang pergi jam segitu-segitu saja, kerja menjual tenaga, sibuk tanpa jeda, menjual jiwa pada kapitalisme sehingga badan menjadi serasa mesin. Di tengah musibah ini, sinema sebagai hiburan dituntut untuk jadi juru selamat. Ia harus bisa memberi ilusi penyelamatan pada manusia modern. Sinema harus bisa mengaktivasi saraf-saraf jiwa manusia yang mati karena kesibukan yang begitu mekanistis. Di sinilah ekses melodrama berkontribusi.

Ekses yang dimiliki melodrama memungkinkan manusia mekanistis, penghuni kota yang sibuk itu, untuk mengaktifkan syaraf-syaraf mereka yang mati akibat kerja. Nantinya, ekses yang tadinya hanya menjadi pemanis sinema perlahan-lahan menjadi pusat dari sinema itu sendiri. Esensi sinema sebagai medium penceritaan kemudian bergeser menjadi medium aktivasi saraf yang mati akibat kapitalisme, semacam panti pijat bagi jiwa yang penat sebelum akhirnya kembali dipenatkan lagi. Ekses ini, dalam sinema Indonesia, telah diekspresikan lewat berbagai variasi dan tidak hanya terbatas pada 3 Nafas Likas saja. Efek kaget yang menjadi ekses film horor (terakhir kali dengan ekstrem diperagakan oleh film Oo Nina Bobo–juga merupakan kasus menarik mengingat film Oo Nina Bobo berpremis horor psikologis, bukan horor kaget-kagetan), ekses bak-buk-bak-buk dalam Berandal (2014), dan juga ekses lewat musik seperti pada Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013) dan 3 Nafas Likas ini.

Tentu saja bila ditarik ke belakang, ekses lewat film bukanlah kasus yang terjadi hanya di Indonesia. Sejak era sinema awal, pola race-to-the-rescue DW Griffith atau pola cliffhanging ala Alfred Hitchcock telah dikenal sebagai ekses dalam konteks genrenya masing-masing. Namun, dalam kasus Indonesia, ekses yang muncul lewat film-film melodrama telah sangat berkaitan dengan outlet eksibisi film di skala nasional: bioskop. Bioskop adalah ruang yang menghubungkan sinema dan kehidupan modern di Indonesia. Hal ini terlihat dari pola persebaran bioskop yang hanya berkonsentrasi di kota-kota besar, pusat modernisme, dengan prakiraan bahwa penontonnya adalah manusia-manusia kota yang haus akan aktivasi syaraf. Film macam 3 Nafas Likas tentu saja adalah film yang ditujukan untuk diputar di bioskop urban, bukan layar tancep atau bioskop misbar. Demikian juga dengan contoh-contoh film eksesif yang disebutkan tadi. Film-film yang ditujukan untuk bioskop kota (multipleks) sebagian besar adalah film-film yang menempatkan ekses di pusat perhatiannya.

Beberapa waktu lalu, saya sempat curhat pada seorang kawan mengenai lagu-lagu pop mutakhir yang tak lagi mementingkan interlude. Setelah bridge, lagu akan pindah ke reff atau ke bagian bridge yang lain. Asumsi keblinger saya, manusia-manusia modern tak lagi punya waktu untuk mendengarkan interlude. Mereka terlalu sibuk untuk itu. Yang mereka nantikan hanyalah ekses-ekses yang bisa merenggangkan syaraf mereka untuk beristirahat sejenak dari penat kehidupan mekanis. Penyanyi yang laku bukanlah lagi penyanyi yang baik, melainkan penyanyi yang punya banyak ekses meskipun pada hakekatnya tak pandai menyanyi. Sebutlah Syahrini dan segala ekses selebritas yang tak ada hubungannya dengan musik, atau duo Keong Racun yang bahkan tak bisa menyanyi sama sekali.

Menariknya, kami menemukan kecenderungan yang sama untuk film bioskop termutakhir. Mayoritas penonton bioskop terlalu sibuk untuk menunggui momen-momen idle sinema yang biasanya lebih jujur dan lebih reflektif dalam hubungannya dengan realitas. Penonton sekarang lebih mementingkan ekses. Film-film yang kini laku adalah film dengan ekses yang banyak, bukan film dengan penuturan yang baik. Itulah sebabnya penonton sekarang (bahkan yang terdidik, kadang-kadang) masih tergila-gila dengan quote, momen-momen emosional, atau pesan moral ketimbang kegiatan menonton sebagai sebuah refleksi tentang kenyataan, apalagi sejarah.

Film-film Indonesia tentang sejarah, atau yang berlatarkan sejarah tertentu, tidak pernah bersih dari ekses.  Sejak film-film sejarah bertemakan nasionalisme yang ramai di tahun 1970-1980an sampai film-film sejarah bermotif melodrama sekarang ini, ekses selalu hadir. Hanya saja, modusnya berubah. Dahulu, film-film sejarah bertemakan nasionalisme selalu hadir lewat ekses bermotifkan film aksi. Perjuangan fisik: mati di medan perang, persaudaraan khas prajurit, kesetiaan khas militer, dsb (bisa jadi sangat dipengaruhi oleh mekanisme kontrol ideologi yang ketat ala Orde Baru). Kontrol atas ekses yang bisa diakses penonton atas film-film macam ini tak bisa dilepaskan dari kehadiran negara (dan musuh-musuhnya) dalam narasi film: tentara, intel, agen ganda, provokator, komunis, pengkhianat, penjajah dsb. Penonton ditempatkan sebagai subjek Orde Baru yang tidak bisa keluar dari kerangka ideologisnya. Sekarang, ekses dalam film-film yang membicarakan sejarah bergeser kepada kontur melodrama. Ekses yang dipakai tidak lagi diekspresikan lewat kehadiran agen negara secara langsung dalam narasi film, melainkan dengan mengkonstruksi imaji bahwa ekses tersebut muncul secara alami tanpa provokasi negara. Negara sebagai subjek penceritaan tentu tak bisa lagi memproduksi ekses ini sebab Orde Baru sudah runtuh.

Film-film bertema sejarah kemudian menempuh jalan lain. Lewat individualisme khas modernisme yang merupakan ciri inti melodrama, ekses diekspresikan lewat modus-modus karakter sebagai pribadi yang bisa terpisah dari konteks kesejarahannya. Individu-individu yang diwakili oleh tokoh utama (seringkali oleh figurlandmark dalam sejarah, meskipun tak begitu vulgar dalam 3 Nafas Likas) mengenali dirinya sendiri dengan melepaskan diri dari konteks yang membentuknya. Misalnya, 3 Nafas Likas melewatkan saja proses transisi dari Soekarno ke Soeharto dan G30SPKI seolah itu sesuatu yang terpisah dengan konstruksi dirinya sebagai subjek naratif. Padahal, menilik dari pergeseran moda menjadi (mode of being) tokoh Likas, pergeseran kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru bisa jadi adalah salah satu poin krusial yang bisa menjelaskan posisi penting dirinya, setidaknya bagi sejarah hidupnya sendiri. Alih-alih demikian, sang film justru beringsut menjauhi kelindan dengan sejarah yang ia singgung-singgung lalu masuk jauh ke dalam individualisme. Salah satu monumen individualisme dalam film ini adalah interaksi antara Likas gaek (Tutie Kirana) dan biografernya yang bernama Hilda (Marissa Anita). Penempatan fragmen ingatan Likas tentang sejarah secara gamblang disampaikan sebagai sebuah ingatan yang melodramatis. Setelah semua dituturkan, pertanyaan pamungkas Hilda meluncur: menurut Bu Likas, apa arti bahagia?

Bukannya apa-apa, tapi cara mengingat seperti inilah yang justru menjadi bumerang bagi identitas Likas. Likas hanya bisa diidentifikasi setelah kita mengidentifikasi ibunya, kakaknya dan suaminya. Tanpa ketiganya, Likas tak punya signifikansi apa-apa.

3 Nafas Likas | 2014 | Durasi: 105 menit | Sutradara: Rako Prijanto | Produksi: Oreima Films | Negara: Indonesia | Pemain: Atiqah Hasiholan, Tissa Biani Azzahra, Tutie Kirana, Vino G Bastian, Arswendi Nasution, Jajang C Noer