Ini tipikal film pendek Jason Iskandar: cerita keseharian sebagai komentar atas fenomena sosial. Disclaimer: “keseharian” di sini tak mesti diletakkan dalam oposisi sinis “yang sehari-hari” dan “yang besar-besar” seperti sejarah dan politik–yang biasanya dihindari dengan pembenaran “mengejar kesederhanaan tema”.
Kali ini Jason lebih matang. Dia orang selalu mengambil sudut pandang yang personal untuk membicarakan yang sosial, tanpa harus terjebak pada jargon dan simbolisasi yang politically correct. Ketika sebagian pembuat film di Indonesia tak habis-habisnya mengeksploitasi tema nasionalisme ala “NKRI harga mati”, lewat sosok anak-anak/remaja generik yang keranjingan mengerek bendera tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, tokoh seumuran yang sama ia gunakan untuk membicarakan perkara agama dan kekerasan atau tentang persoalan gender –lewat siswa Muslim di sekolah Katolik (dalam Indonesia Bukan Negara Islam), atau remaja hipster dalam perjalanan jauh antar-kota (Territorial Pissings). Tak perlu ada idealisasi penderitaan kaum kere yang disertai konklusi heroik.
1,5 TB dibuka dengan adegan seorang perempuan, Alice, yang hendak meminjam harddisk eksternal teman sekantornya untuk mengkopi film-film di dalamnya. Si laki-laki, Ben, mengatakan hardisknya masih ada di tangan pacarnya. Di bagian berikutnya kita tahu bahwa si laki-laki dan si perempuan peminjam hardisk putus hubungan. Celakanya, film-film di hardisknya yang sudah dikumpulkan selama lima tahun terhapus sia-sia–tak sebanding dengan hubungan mereka yang berusia dua tahun, pikir si Ben. Sampai di sana cerita gampang ditebak. Mulai keesokan harinya, si teman sekantor mengisi hari-hari Ben: memberinya film-film yang hilang, saling bertukar isi hardisk, termasuk koleksi video porno Jepang. Di akhir cerita, Ben mengajak Alice menonton film masa kecil mereka, bukan di bioskop tentunya.
Dialog-dialog dalam cerita 1,5 TB bisa dibaca sekilas sebagai, anggaplah, sexual innuendo; tentang perempuan yang mendekati laki-laki dan disambut pula oleh si laki-laki, serta dalam prinsip “makin diulur makin sip.” Obrolan-obrolan Alice dan Ben terdengar banal dan steril dari dunia di luar mereka. Pada saat bersamaan, justru narasi tak lagi jadi satu menu utama di sini. Ketika narasi dalam 1,5 TB sudah sangat generik dan klise, keberhasilan Jason justru terletak pada penghadiran konteks sosial di mana cerita si laki-laki dan perempuan bergulir, yakni perubahan ruang-ruang menonton film. Kini, film tersebar dari hardisk ke hardisk, dari flashdisk ke flashdisk, dan nasibnya kurang lebih seperti mp3 di tahun 2000an: gampang dikopi dan dihapus. Artinya, distribusi film di luar bioskop dan rental video dimungkinkan, dan semua orang bisa membuat bioskopnya sendiri di rumah. Perhatikan dialog tentang 101 Dalmatians yang mereka tonton masa kecil di bioskop. Ulangi: di bioskop. Pengalaman sinematik yang didapat di layar perak hanyalah menjadi pilihan sekunder setelah DVD, atau dalam 1,5 TB, setelah film-film unduhan.
Ketika mengamati sebuah film, adakalanya orang menemukan bahwa cerita A, B, dan C tidak unik karena bisa dipindah ke dalam waktu yang tempat yang lain. Cerita harus ditempatkan dalam latar belakang yang dianggap pas–dan tak jarang “pas” dipahami sebagai “mengikuti konsensus umum.” Sementara itu, 1,5 TB mengangkat satu konteks baru di mana cerita hubungan romantis antara si karakter laki-laki dan perempuan bertindak sebagai komentar atas kondisi-kondisi sosial yang berubah di sekitar mereka. Jika segala rupa harddisk dan film-film kopian dihilangkan, cerita Alice dan Ben pun tidak akan ada. Dari sana pula kelihatan perubahan teknologi berimplikasi terhadap pola hubungan antara Alice dan Ben, dengan khalayak penonton bioskop yang dibayangkan. Sama halnya dengan aktivitas bercinta, menonton kini adalah peristiwa yang sangat privat dan bisa diselenggarakan di mana pun situasi memungkinkan.
Saya membayangkan bagaimana kondisi serupa ditanggapi oleh para pembuat film di Indonesia. Bajak-membajak sudah menjadi semacam “hak prerogatif” Dunia Ketiga–terlebih lagi ketika bioskop-bioskop kecil gulung tikar/diakuisisi, dan tingkah-polah pemilik bioskop besar semakin memperlihatkan mentalitet borjuis kelontong: hanya mempertimbangkan untung-rugi. Di luar itu, derap teknologi dan persebarannya kian tak terbendung, kecuali lewat regulasi. Tapi bagaimana dengan film pendek yang tak jarang tidak diproduksi untuk tujuan-tujuan komersil? Atau lebih luasnya, film Indonesia sendiri? Pertanyaan inilah yang diam-diam diajukan sutradara 1,5 TB.
1,5 TB | 2013 | Sutradara: Jason Iskandar | Negara: Indonesia