Seusai Menonton Pendekar Tongkat Emas

seusai-menonton-pendekar-tongkat-emas_hlgh

Tertebar-tebar kekecawaan di media sosial dan internet, tak terkecuali di laman web Cinema Poetica, tentang Pendekar Tongkat Emas (2014), persembahan teranyar Ifa Isfansyah dan Miles Films. Ada yang kecewa karena merasa gagal bernostalgia, bentuk film bela diri yang mereka ingat di kepala ternyata beda dengan yang dibawakan oleh Pendekar Tongkat Emas. Ada pula yang kecewa karena gagal mendapat kharisma laga khas Barry Prima dan Advent Bangun setelah lelah menggali-gali di wajah Reza Rahadian dan Eva Celia. Di lain soal, beberapa kecewa karena “Ini kan (harusnya) film laga. Kok malah berasyik-masyuk? Kok ayunan tongkatnya malah klemer-klemer?”

Pertanyaannya: Pendekar Tongkat Emas yang gagal memenuhi ekspektasi kita? Kita yang gagal memperbaharui ekspektasi kita terhadap film laga seiring waktu berjalan? Atau jangan-jangan kita semua mengingat film silat di zaman dahulu sekedar pada tataran bentuknya saja, sehingga yang kita tunggu adalah “bak-buk-bak-buk”-nya? Keluwesannya? Heroismenya? Teknik kameranya?

Pendekar Tongkat Emas lebih dekat dipindai sebagai film kung-fu ketimbang sebagai film silat. Gampang saja, morfologi dunia, kostum dan koreografi bela diri yang digunakan sungguhlah berbeda. Memang suka ada pertanyaan keblinger di poin ini, macam “Kok kung-fu? Tidak nasionalis!” Tapi sudahlah, mari karungkan saja pertanyaan-pertanyaan macam itu, lalu kita kirim ke Planet Miller biar tak balik lagi.

gambar_setelah-pendekar-tongkat-emas_01

Mengenal Jianghu

Nah, bicara tentang film kung-fu, tentu tak sah bila kita meninggalkan konteks geopolitiknya yang berpusat di Hong Kong. Film kung-fu telah berhasil menjadi imajinasi identitas yang bertahan lama bagi orang Hong Kong akibat tenarnya serial Huang Fei-hong yang episodenya hampir mencapai sembilan puluh itu. Namun, apakah serial Huang Fei-hong dikenal dan dikenang hanya karena kencang jotosannya saja? Tentu tidak, tradisi Huang Fei-Hong yang nantinya berlanjut ke tangan sutradara legendaris macam King Hu dan Tsui Hark tidaklah dikenang oleh penonton film Hong Kong sebagai semata-mata kejelian teknis, melainkan sebagai sebuah peristiwa gagasan yang sangat dekat dengan mereka.

Satu perbedaan mendasar antara film bela diri biasa dan film kung-fu: film bela diri, umumnya menggunakan senjata, adalah jenis film yang diakronis. Mereka memiliki penanda waktu yang jelas. Senjata-senjata yang digunakan adalah bahasa sinematik yang menandai latar waktu film tersebut. Film kung-fu, di lain sisi, adalah film yang anakronis. Ia terjadi di sebuah dunia antah berantah. Dewan hukum yang semestinya berfungsi ternyata tak bekerja dengan baik, sehingga patokan moral yang merupakan dasar hukum menjadi abu-abu. Subjektifitas menjadi dasar moral dan di konstelasi semacam inilah para pendekar berinteraksi, berkelompok maupun bertarung. Dunia anakronis ini disebut Jianghu.

Di dalam Jianghu, impotensi hukum kemudian disiasati dengan dibentuknya mastermaster yang kemudian menjadi penentu baik dan buruk. Master-master ini berjarak dengan dunia namun harus sudah punya reputasi yang mumpuni. Mereka adalah semacam akademisi dan bukan praktisi. Praktisinya adalah para pendekar yang berkelana di dunia persilatan.

Dalam dunia liminal semacam ini, dunia kung-fu kemudian tidak lagi menjadi realitas mekanis yang diproyeksikan sebagaimana dalam film-film realis (meminjam bahasa Francois Truffaut, “penerjemahan realitas menjadi realitas”), melainkan menjadi sesuatu yang lebih primitif. Semesta disulap menjadi bahasa yang luar biasa simbolis.

Simbol tentu saja butuh dibaca, dan pembacaan yang menarik adalah pembacaan yang tidak melepaskan diri konteks geopolitik sebuah karya. Dalam tulisannya yang sangat menarik, kritikus film Hong Kong Li Siu Leung mencacah paparan yang menarik. Ia membaca bahwa dunia Jianghu dalam film-film kung-fu (dan film wu xia pada umumnya) di Hong Kong adalah semacam tensi yang tak pernah habis antara Hong Kong dan modernitasnya (terima kasih, Penjajah Inggris!) serta imajinasi mereka terhadap identitas asali yang selalu kembali kepada Tiongkok di era primitif. Meskipun luar biasa modern, Hong Kong adalah senantiasa Tiongkok yang berasal dari Tiongkok primitif yang “itu” dan segala keagungan historisnya. Jianghu dalam film Kung-fu menyimbolkan tensi antara modernitas dan tradisionalitas yang memerangkap Hong Kong menjadi sebuah area yang senantiasa transisional. Itulah mengapa, menurut Li, film kung-fu selalu bermain di antara fantasi dan realitas; petunjuk waktu lewat senjata di film bela diri kebanyakan dikacaukan. Masa lalu dalam film semacam ini seringkali berupa mitos (mythic past); mereka hanya merupakan refleksi yang bersumber dari imajinasi masa kini.

Tak hanya kung-fu, saya rasa, setiap film yang berhasil menjadi identitas bersama selalu bisa dekat dengan konteksnya dalam level gagasan, dan bukan dalam level bentuk. Itulah mengapa, meskipun Tsui Hark mengobrak-abrik struktur genre film bela diri dalam The Butterfly Murders (1979) atau Wong Kar Wai yang memutilasi logika cerita film sejenis dalam Ashes of Time (1993) dan The Grandmaster (2013), penonton tetap bisa merasakan kedekatan dengan film tersebut karena mereka memaknainya sebagai peristiwa pemikiran, bukan peristiwa formal apalah lagi sebuah spektakel.

gambar_setelah-pendekar-tongkat-emas_02

Film Laga sebagai Peristiwa Gagasan

Berangkat dari pembacaan macam ini, terdapat sebuah kebutuhan untuk membaca Pendekar Tongkat Emas dari sudut pandang yang lain. Kita sudahi sajalah obrolan mengenai keterbatasan teknis itu. Apa gunanya? Memangnya apa untungnya kalau kita bisa menyamai craftsmanship orang-orang Hong Kong atau Hollywood?

Pendekar Tongkat Emas seharusnya bisa diapresiasi sebagai sebuah peristiwa gagasan. Film ini, sebagaimana juga film wu xia, mengacaukan realitas dan fantasi dengan mengundang logika filmnya masuk ke sebuah dunia yang sangat kompleks. Kostum Tiongkok dan bahasa Indonesia dicampur. Latar Pulau Sumba senantiasa dikacaukan lewat Sumba sebagai lanskap (establishing shot yang indah-indah) dan Sumba sebagai entitas budaya (dialek lokal para figuran yang kental) yang saling berbaur.

Berangkat dari ruang semacam itu, Pendekar Tongkat Emas menjadikan kuasa sebagai mata transaksi. Sebelum film dimulai, sudah terasa hierarki itu. Pendekar Cempaka adalah sosok yang dihormati, ia mengalah dengan terhormat dari gelanggang tarung dan memilih minggir menjadi begawan. Ia sakti nan berjiwa besar, anak-anak musuhnya yang tewas dipelihara dan dididiknya menjadi pendekar. Yang paling terasa adalah hirarki kuasa di antara keempat muridnya itu: Dara, Biru, Angin dan Gerhana.

Ketika Cempaka menjatuhkan pilihan untuk mewariskan Tongkat Emas pada Dara, Biru yang jauh lebih senior dan sakti naik pitam. Biru dan Gerhana menyabotase pergerakan Dara dan Angin, bahkan berhasil membunuh Cempaka yang sudah melemah. Dari situ, Biru dan Gerhana mengaduk-aduk kesejukan dunia persilatan dengan mengadu domba dan menghasut untuk kemudian menjatuhkan dan terus menjatuhkan.

Lantas, bagaimana kita bisa membaca Pendekar Tongkat Emas di level simbolis sebagaimana film kung-fu di daerah muasalnya? Nah, mari kita bicara di tataran ini. Tanggung jawab penonton seharusnya berada pada level mereka bisa membuka penafsiran dari struktur-struktur penceritaan yang tampaknya tertutup, khususnya dalam film-film genre macam Pendekar Tongkat Emas.

gambar_setelah-pendekar-tongkat-emas_03

Dunia dalam Sinema, Sinema dalam Dunia

Sebagai sebuah produk komersial lengkap dengan segala bumbunya (pelakon papan atas yang mewakili berbagai generasi, ciuman, romansa, adegan fisik, dsb), Pendekar Tongkat Emas adalah sebuah produk yang anakronis, sama anakronisnya dengan dunia cerita yang ia bangun. Betapa tidak, ia muncul seperti kaktus, sendirian di tengah-tengah tren yang sedang bergerak ke arah lain. Memang ada film laga macam Merantau, The Raid dan Berandal, namun Pendekar Tongkat Emas bukanlah film kelahi serupa. Film ini adalah drama yang berlangsung di sebuah dunia berlogika kung-fu dan bukanlah film kung-fu yang murni. Penekanan Pendekar Tongkat Emas ada pada bagaimana seseorang bisa hidup di dunia Jianghu; hukum tak bekerja, namun ada kode-kode moral lain yang lebih tua yang sedang bekerja.

Ada dua lapisan yang saling menegang dalam film ini. Pertama, kompas logika cerita yang digunakan oleh dunia kung-fu dalam Pendekar Tongkat Emas tidak pernah bisa radikal. Ia mesti setia di dalam konvensi logika Jianghu, sehingga interpretasi seorang pembuat film hanya bisa dibuat ekstrem (misalnya dengan meningkatkan intensitas kekerasan, atau menguranginya) tanpa bisa membuatnya menjadi radikal (dekonstruksi, rekonstruksi, dan lain sebagainya yang berlangsung di tataran logika dalam). Itulah kenapa dunia kung-fu selalu berisi jagoan dan penjahat, meskipun tak selalu bisa dihitamputihkan bahwa yang jagoan adalah yang bermoral baik dan penjahat adalah yang bermoral jahat. Ini cuma masalah perspektif dan motivasi karakter.

Dalam Pendekar Tongkat Emas, hubungan ini dikacaukan dengan menggunakan motivasi karakter. Dara dan Angin adalah representasi tokoh yang konservatif yang hendak mempertahankan amanat gurunya atas dasar loyalitas (zhong adalah satu nilai dasar ajaran Konghucu yang menjadi basis kuat logika Jianghu). Sementara itu, di sisi lain, Biru dan Gerhana juga memiliki motivasi untuk memberontak pada Cempaka sebagai perwujudan loyalitas mereka pada orang tua mereka yang telah terbunuh. Nilai yang dianut oleh Biru dan Gerhana ini disebut xiao, yang kurang lebih bermakna sikap hormat dan sayang pada orang tua (filial piety), sebuah nilai yang juga sama kuatnya dalam mendasari logika Jianghu.

Bingkai logika semacam itu yang menjadikan struktur film kung-fu macam Pendekar Tongkat Emas tidak pernah bisa jauh-jauh dari interpretasi moralis. Pekerjaan rumahnya terletak pada kejelian pembuat film: mampukah mereka membungkus elemen moral ini dalam bahasa sinema yang nyaman? Bagi saya, dengan memanfaatkan motivasi karakter, Pendekar Tongkat Emas telah sukses menunaikan tugas itu.

Lapisan kedua adalah lapisan latar. Imajinasi kita tentang Sumba-sebagai-wilayah-Indonesia dikacaukan dengan memasukkan elemen Kung-fu sebagai medium perkenalan kita dengan Sumba. Hal ini sudah sering berlangsung dalam film genre dengan latar dunia liminal.

Film-film koboi yang paling sering. Ambil contoh film koboi Mancuria seperti The Good, The Bad and The Weird (2008) yang menyulap dataran Mancuria menjadi sesuatu yang realistis sekaligus juga fantastis. Contoh lain adalah arahan sutradara Wisit Sasanatieng dari Thailand, yang menyuntikkan cerita koboi ke dunia penuh bunga dan warna dalam film Tears of the Black Tiger (2000). Dalam film Kung-fu, kita tentu sudah terbiasa dengan dunia antah berantah yang memang sudah menjadi norma film ini. Dunia antah berantah, khususnya dalam kasus Hong Kong tampak dibuat untuk menunjukkan asal-muasal kebudayaan mereka tapi enggan untuk terang-terangan mengakuinya.

Artinya, dunia liminal dalam film-film genre adalah sebuah dunia yang selalu serta-merta berubah menjadi dunia transnasional. Moda kerja nasionalisme menjadi buntu ketika berhadapan dengan latar geografis yang dibungkus dalam cerita-cerita koboi dan kung-fu karena mereka tiba-tiba menjadi saling-silang dengan rasa-rasa yang berasal dari area geografis lain. Kedaulatan diganggu. Dalam Pendekar Tongkat Emas, Sumba yang kita kenal tiba-tiba raib dan berubah menjadi Sumba bercampur Hong Kong. Letak geografis yang secara tegas tertera dalam peta tiba-tiba menjadi goyah hanya karena gangguan sebuah genre.

Di sinilah kekuatan film-film genre dalam mengkritisi cara kerja nasionalisme. Alih-alih mempromosikan Sumba sebagai tempat wisata, saya lebih tertarik melihat fakta bahwa Pendekar Tongkat Emas sebenarnya sedang memperlihatkan sebuah kemungkinan fantastis Sumba menjadi sebuah lokasi yang tidak steril, dan tidak murni milik Indonesia saja. “Sumba sebagai bagian dari negara Indonesia” ternyata bukanlah satu-satunya kemungkinan pembacaan atas eksistensi Sumba, melainkan hanya satu di antara banyak cara. “Sumba sebagai Indonesia” adalah sebuah pembacaan politis, “Sumba sebagai Sumba” adalah sebuah keniscayaan kultural, sementara “Sumba sebagai Hong Kong” dalam Pendekar Tongkat Emas adalah semacam gelitikan artistik, sebuah kemungkinan pembacaan baru. Sebuah latar selalu bisa dimasuki lewat pintu yang berbeda dan selalu bisa ditinggalkan lewat pintu yang berbeda pula.

Akan sangat menyenangkan apabila kita bisa menggunakan Pendekar Tongkat Emas sebuah medium kritis terhadap kesakralan nasionalisme yang semakin menjadi-jadi ini. Lihatlah misal, Tari Tor-Tor yang sejatinya adalah karya kebudayaan tiba-tiba diklaim menjadi sebuah karya politik. Orang-orang Indonesia marah ketika orang Malaysia memainkannya padahal secara kebudayaan, Sumatera dan Malaysia bisa jadi mirip-mirip belaka. Padahal, sebuah wilayah tak pernah bisa lari dari kenyataan bahwa mereka adalah dunia transnasional—segala perabot adalah medium teleportasi menuju wilayah lain.

Penulis Filipina Jose Rizal menyebutnya sebagai el demonio de las comparaciones, hantu perbandingan, the spectre of comparison. Lihatlah bagaimana Macau bisa mengingatkan kita pada Portugis, bagaimana Benteng Marlborough di Bengkulu bisa mengingatkan kita pada Inggris, Mie Kuah di pinggiran kota Berlin bisa mengingatkan kita pada Vietnam, kue nastar saat lebaran bisa mengingatkan kita pada hari Natal, Sumba bisa mengingatkan kita pada Hong Kong!

Kekuatan latar dalam film-film genre macam Pendekar Tongkat Emas terletak dalam hal-hal semacam ini. Dengan memboyong segala sesuatu ke level simbolik, hal-hal yang direpresi oleh kenyataan dengan gamblang diperlihatkan. Lewat bungkusan struktur yang tampak sangat tertutup, film-film genre sebenarnya bisa digunakan untuk menelanjangi.