Megaria alias Metropole: Sejarah Sebuah Bioskop

Bioskop Metropole—yang kini bernama Metropole XXI—adalah bioskop tertua di Jakarta. Berusia lebih dari lima puluh tahun, peninggalan arsitektur ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya Kelas A berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta no. 475 Tahun 1993. Lokasinya strategis, tepat di sudut Jalan Pegangsaan dan Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, pertemuan dari arah Bundaran Hotel Indonesia, Cikini, Matraman, dan Manggarai.

Bioskop Metropole dibangun pada 11 Agustus 1949 dan selesai pada 1951.[i] Peresmian bioskop ditandai dengan pemutaran film Annie Get Your Gun (1950) karya George Sidney.[ii] Sejumlah tamu ternama yang hadir antara lain Rahmi Rachim, istri Wakil Presiden Mohammad Hatta; Sultan Hamengkubuwono IX; dan Haji Agus Salim.[iii]

Banyak orang mengira gedung Bioskop Metropole dirancang oleh Johannes Martinus (Han) Groenewegen, seorang arsitek Belanda. Nyatanya, menurut sejumlah catatan sejarah, perancang gedung Metropole adalah Liauw Goan Seng[iv] yang meninggalkan Indonesia pada 1958 untuk pindah ke Belanda ketika terjadi naturalisasi.[v] Beliau mendesain Metropole dengan gaya arsitektur Art Deco, yang berasal dari kata Art Decorative, sebagai bagian perkembangan arsitektur Art Nouveau. Tidak seperti Art Nouveau yang ditandai dengan banyaknya ornamen dekoratif seperti kaca mozaik, gambar, serta ukiran, unsur kerumitan pada Art Deco jauh berkurang dan menjadi lebih sederhana.[vi] Sampai saat ini Metropole merupakan satu-satunya bangunan besar bergaya arsitektur Art Deco yang masih bertahan di ibukota.[vii]

Dengan menggunakan blower dan exhaust, bioskop berkapasitas 1.446 penonton ini cukup nyaman pada masanya.[viii] Ia pun tak sendirian di atas lahan seluas 11.623m² itu.[ix] Seperti bioskop Capitol dan Menteng, area Metropole dikelilingi oleh toko-toko dan tempat hiburan.[x] Di lantai atas bioskop terdapat ruang dansa. Di samping kanan bioskop ada toko-toko tekstil.[xi]

Melengkapi kemegahan arsitektur, kesejukan ruangan, dan fasilitas lain dalam kompleks Bioskop Metropole adalah sajian filmnya. Bioskop tersebut identik dengan film-film populer Amerika, yang menaikkan gengsi Metropole sebagai bioskop kelas satu. Dari War and Peace (King Vidor, 1956) sampai Gone with The Wind (Victor Fleming, 1939), dari aksi Marilyn Monroe sampai Robert Mitchum, pernah singgah di layar perak bioskop ini.[xii]

Pada awal 1950-an, sebagai salah satu bioskop kelas satu, Bioskop Metropole juga tergabung dalam organisasi antarbioskop kelas satu. Salah satu yang paling terkenal adalah United Cinemas Combination, yang terdiri dari Bioskop Menteng, Astoria, Capitol, Cinema Grand, Happy, Sin Thu, dan Globe. Metropole sendiri bersama Bioskop Cathay, Garden Hall, Mayestic, Orion, Roxy, dan Podium tergabung dalam Independent Cinemas.[xiii] Bioskop-bioskop kelas satu itu memutar film-film produksi Paramount, United Artists, J Arthur Rank, maupun Metro Goldwyn Mayer (MGM).[xiv] Bioskop Metropole sendiri banyak memutar film-film produksi MGM.

Dominasi film Amerika tak menutup keterlibatan Bioskop Metropole dalam perkembangan film Indonesia. Pada 1955, film Krisis tayang di Metropole—sebuah terobosan dalam sejarah film Indonesia. Awalnya, film karya Usmar Ismail itu hendak diputar di Capitol Theater.[xv] Pada masa-masa itu, setidaknya dari 1950-an sampai 1970-an, memutar film Indonesia di bioskop kelas satu sangatlah sulit karena film Indonesia hanya diputar di bioskop-bioskop kelas C.[xvi] Keyakinan Usmar Ismail atas Krisis sayangnya ditampik dengan hinaan oleh Weskin, manajer Capitol Theater, hingga kabarnya Usmar Ismail tak bisa menahan diri lalu memukulnya.[xvii]

Untungnya ada Lie Khik Hwie, manajer utama Bioskop Metropole, yang menyambut baik film Krisis. Sekalipun perwakilan MGM di Indonesia keberatan, Lie Khik Hwie tak gentar. Ia mengatakan bahwa MGM yang tak memiliki saham sesenpun tak berhak mengaturnya. Ia bahkan mengancam akan merobek kontrak dengan MGM.[xviii] Pihak MGM lalu membiarkan film Krisis menggeser jadwal film-film distribusinya, dan ternyata film itu sukses besar. Memecahkan rekor penonton film Terang Boelan (1937) karya Albert Balink,[xix] Krisis menjadi film Indonesia pertama yang bisa sukses di bioskop kelas satu. Krisis tayang di Metropole selama lima minggu, melebihi periode edar film-film Barat saat itu.[xx]

Terbukanya kesempatan bagi film Indonesia bisa diputar di Bioskop Metropole pada akhirnya memang tak berimbas ke semua film Indonesia. Manajemen bioskop tetap memperhitungkan larisnya penjualan tiket dalam menentukan film-film yang ditayangkan. Meski begitu, pada 1955, Metropole bersama sejumlah bioskop lain turut menayangkan film-film peserta Festival Film Indonesia I yang berlangsung pada 30 Maret hingga 5 April, beberapa bulan sebelum Pemilu pertama di Indonesia.[xxi] Sementara pada 1970, Metropole, yang kala itu sudah berganti nama menjadi Megaria, juga menjadi salah satu bioskop penunjang pelaksanaan Festival Film Asia ke-16 pada April sampai Mei 1970. Selain Metropole, bioskop lain yang ikut serta adalah Apollo, Star, City, Gelora, Menteng, Royal, Krekot, Satria, dan Orient.[xxii]

Pasang Surut

Sepanjang sejarahnya, Bioskop Metropole hadir dengan sejumlah nama. Pada 1960, mengikuti perintah Presiden Sukarno, Metropole mengganti namanya yang berbau asing menjadi Megaria. Kemudian sepanjang Orde Baru sempat berganti nama menjadi Megaria Theatre. Pada 1989, ketika gedung bioskop ini disewakan pada jaringan 21 Cineplex, namanya berubah menjadi Metropole 21, dan sempat berganti kembali menjadi Megaria 21,[xxiii] sebelum kemudian pada 2008—usai berita penjualan bioskop yang menggemparkan—kembali dipugar oleh 21 Cineplex dan berganti nama menjadi Metropole XXI hingga kini. Namun, sampai sekarang, orang-orang tetap akrab memanggilnya sebagai Bioskop Megaria.

Pada awal masa kejayaannya, Bioskop Megaria menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Jakarta. Warga ibukota dapat menonton film-film Amerika terbaru di sana. Dari artis seperti Citra Dewi dan Rima Melati, para menteri, politisi, mahasiswa, pekerja kantoran, semua pernah menonton di Metropole. “Dan yang paling membanggakan adalah membawa pasangan nonton film di kelas loge,” kata Suditomo, mantan pegawai Sekretariat Negara yang pada pertengahan 1950-an masih berstatus mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Loge adalah kelas satu, dengan harga karcis saat matinee show—pertunjukan murah Sabtu siang—Rp 4 per orang atau setara dengan Rp 26 ribuan pada 2018.[xxiv] Masa kejayaan ini terus berlanjut sampai 1970-an.

Pada awal 1980-an, suasana perbioskopan berubah. Tibalah masa bagi bioskop-bioskop yang dulunya kelas satu itu untuk menggulung layar. Berbagai hal dituding sebagai penyebab, dari maraknya acara televisi, penyewaan video—baik asli maupun bajakan—semakin macetnya jalanan, jumlah bioskop yang mencapai 162 dan sudah dianggap berlebihan, hingga terlalu banyaknya pembagian kelas dan terlalu lebarnya selisih harga tiket. Film-film yang beredar pada masa itu, khususnya film nasional yang hanya berkisar pada “paha” dan “parang”, kurang menerbitkan selera, sementara film-film impor semakin terbatas. Pada 1984 cuma ada 180 judul film impor, dibandingkan 600 judul film setahun pada dekade sebelumnya. Sebagian film itu pun bisa dinikmati melalui kaset video bajakan.

Saat itu, Megaria termasuk bioskop yang masih bisa menahan penggulungan layar. Nasibnya masih lebih baik daripada bioskop-bioskop lain, walau jumlah penonton masih 30 persen dari kapasitas kursi. Sekalipun kabarnya, lokasi strategis dan lahannya yang luas sudah diincar banyak pengusaha untuk pertokoan dan perkantoran.[xxv]

Masa menurunnya penonton dan ambruknya bisnis bioskop di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, bertepatan dengan ditemukannya konsep sinepleks yang berasal dari Amerika. Bioskop yang semula berkapasitas besar, seperti gedung teater dengan ribuan kursi, dipecah-pecah menjadi beberapa ruang, sehingga bisa menayangkan lebih banyak film. Bioskop tak lagi memerlukan penonton melimpah-ruah pada setiap pemutaran untuk bisa meraup untung.

Bioskop pertama yang menerapkan konsep sinepleks, yang diistilahkan saat itu sebagai “bioskop kembar-dempet”,[xxvi] adalah bioskop Kartika Chandra di Jakarta Pusat. Pada 1984, bioskop itu membelah dirinya menjadi tiga layar dalam tiga ruangan.[xxvii] Bioskop Megaria mengikuti jejaknya pada akhir 1986. Tetapi hanya dalam memperbanyak layar, tidak memenggal ruangan, karena yang digunakan adalah gedung lain yang ada di belakang bioskop, sehingga bioskop Megaria memiliki dua studio: Megaria I dan II.

Nasib Bioskop Megaria sayangnya tak sebaik Kartika Chandra. Kapasitas Megaria I tetap saja terhitung besar, sehingga menuntut jumlah minimum penonton yang besar pula. Hanya 300–400 penonton yang berkunjung dari 1000-an lebih kursi yang tersedia. Penonton di Megaria II pun tak melebihi 150 orang untuk empat kali pertunjukan. Supaya balik modal, Megaria I harus bisa mendatangkan 500 penonton, sementara Megaria II memerlukan 200 penonton.[xxviii]

Ramainya bioskop bangkrut tak lantas membuat pebisnis bioskop ciut. Apalagi bagi perusahaan yang bermodal besar dan memiliki akses birokrasi ampuh. Pada 1987, Subentra, sebagai perusahaan patungan Sudwikatmono dan Benny Suherman, membuka bioskop baru bernama Studio 21 di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Sejak dibukanya Studio 21 yang turut menerapkan konsep sinepleks itu, Subentra dengan jaringan 21 Sinepleksnya, makin gesit menggaet bioskop-bioskop “usang” ke dalam grupnya. Dalam waktu singkat, sejumlah bioskop berubah paras dan sapaan, terutama angka di belakangnya. Tamara Theatre menjadi Amigo 21. Rawamangun Theatre jadi Astor 21. Tak terkecuali, Megaria Theatre berubah menjadi Metropole 21.

Gaya rangkulan 21 Sinepleks adalah dengan menyewa bioskop sehingga pemilik lama tak punya hak mengelola lagi. Sejak April 1989, pemilik Metropole 21 tinggal menikmati uang sewa Rp 7,5 juta per bulan selama lima tahun (uang sewa itu naik 5% setiap tahun).[xxix] Oleh 21 Sinepleks, Bioskop Metropole 21 dipecah menjadi enam studio. Empat studio menempati gedung depan dan dua studio di gedung belakang yang masih satu gedung dengan Hero Supermarket saat itu. Bioskop Metropole 21 kemudian sempat berubah nama menjadi Megaria 21.

Ganti Wajah

Perubahan pada tampak depan Bioskop Megaria 21, setidaknya pada 2000-an, hanya pada keberadaan enam papan reklame film. Selain itu, tak ada perubahan berarti selain beralihnya fungsi ruang kecil di depan pintu utama: yang semula loket tiket menjadi tempat pijat refleksi karena penjualan tiket kemudian dilakukan di dalam gedung. Ruang dansa di lantai atas gedung menjadi tempat bola sodok alias biliar. Selain itu, tempat toko-toko tekstil menjadi Barber Shop Megaria, Pempek Megaria, wartel, serta rumah makan Sop Buntut dan Ayam Kambalijo. Di gedung belakang adalah Studio 5 dan 6—gedung ini semula adalah perumahan militer. Bagian sampingnya, yang menghadap Jalan Diponegoro, sebelum disewa Giant Supermarket sempat disewa oleh Hero Supermarket. Sementara itu, restoran ayam bakar yang ada di belakang gedung utama kabarnya sudah beroperasi sejak 1970-an.

Segala fasilitas di dalam kompleks itu semakin menghidupkan aktivitas menonton film di Bioskop Megaria. Lokasinya yang strategis, membuatnya tak hanya dikenang oleh orang banyak dengan segala nostalgianya, tapi juga menjadikan bioskop ini saksi bisu atas banyak kejadian bersejarah. Dekat dengan kantor PDI, PPP, Golkar, dan berada di pusat kota, halaman Megaria sempat menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa dalam gerakan reformasi menumbangkan Orde Baru. Sebelumnya, selain menjadi tempat berkumpul, halaman bioskop itu juga menjadi tempat berlindung masyarakat sewaktu terjadi penyerbuan kantor PDI pada peristiwa 27 Juli 1996.

Sejumlah kenangan itulah yang kemudian merebak kembali di banyak forum internet dan media massa ketika tersiar kabar Bioskop Megaria akan dijual pemiliknya.[xxx] Pada 8 Maret 2007, pemilik Megaria menawarkan lahan dan bangunan bioskop dengan harga jual Rp 15 juta per m2 atau total sekitar Rp 151 miliar pada situs indorealestates.com.[xxxi]

Iklan itu membuat banyak kalangan khawatir. Pasalnya, Megaria adalah satu-satunya bioskop tua bersejarah yang tersisa di Jakarta. Statusnya sebagai Cagar Budaya Kelas A memang melindunginya dari pembongkaran bangunan, tapi tak mencegah perubahan fungsi bangunan dan tak pula melarang pemilik gedung menjual bangunan dan lahan tersebut.

Berbagai penawaran, kabarnya, sempat berdatangan. Ada yang ingin membangun jalan, ada yang ingin membuat mal sambil mengaku sudah mengantongi izin dari Pemprov.[xxxii] Namun, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta menegaskan kalau mereka tidak akan membiarkan pembongkaran gedung terjadi. Kalaupun pemilik baru akan mengubah penggunaan bangunan itu atau membangun kawasan sekitarnya, ia harus mendapat izin dari Tim Sidang Pemugaran Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI. Perubahan fungsi bisa terjadi, tapi tetap disesuaikan dengan kebutuhan sepanjang tidak mengganggu struktur dan arsitektur bangunan. Bagian lain dari gedung Bioskop Megaria seperti pusat belanja dan restoran boleh saja dihancurkan, karena tidak termasuk cagar budaya. Namun, jika calon pemilik baru nanti akan membongkar gedung bioskop tersebut, Pemda DKI akan melawan dan mengenakan sanksi.

Pada 2008, semua kecemasan itu sirna. Bioskop Megaria batal dijual pemiliknya, lalu 21 Cineplex memperpanjang sewanya, gedung direstorasi, dan interiornya diubah sekelas Cinema XXI—kategori bioskop kelas atas dari jaringan 21 Cineplex. Sampai dengan 2013, terjadi sejumlah renovasi di kompleks Metropole untuk menyesuaikan peruntukan bioskop tersebut sebagai bioskop kelas atas. Di lantai dasar, dekat pintu masuk gedung, sempat ada XXI Garden Cafe, kedai milik 21 Cineplex, yang kemudian digantikan Starbucks pada 2014. Sekarang, kedai pempek dan sejumlah restoran lainnya disatukan dalam sebuah food court di samping gedung utama bioskop. Tempat biliar di lantai dua berganti menjadi Roemah Kuliner, restoran elit yang menyajikan masakan nusantara. Gedung kedua di sebelah timur bekas pasar swalayan kini menjadi ruang etalase Grohe, produk sanitasi mewah asal Jerman.

Meski sudah mengalami sejumlah perubahan, Bioskop Megaria tetap memberi ruang bagi kebiasaan dari publik yang mengakrabinya. Sampai sekarang, penonton di bioskop ini masih suka menunggu pintu studio dibuka dengan duduk lesehan di lantai berkarpet. Setidaknya kebiasaan itu masih dilakukan di koridor Studio 5 dan 6, yang terdapat di sisi selatan gedung utama, dan terkadang di tangga pintu masuk gedung. Penyebabnya, sepertinya karena jumlah bangku yang disediakan tak sebanding dengan jumlah penonton yang menunggu, dan karpetnya terbilang tebal, terlebih sekarang, sehingga nyaman untuk diduduki. Kebiasaan duduk-duduk di lantai memang jamak dilakukan kebanyakan orang Indonesia di tempat-tempat umum seperti rumah sakit, stasiun, maupun terminal bus. Namun, menariknya, kebiasaan ini nyaris tak mungkin dilakukan di mal atau gedung perkantoran, apalagi yang terbilang mewah. Selain karena mengganggu sirkulasi lalu lalang orang, perilaku ini juga dianggap “kampungan”. Siapapun yang melakukannya akan ditegur pihak keamanan, kecuali di Bioskop Megaria. Barangkali, kebiasaan yang sudah dilakukan penonton selama sekian generasi itu sudah dianggap sebagai bagian dari sejarah panjang gedung ini.

Bioskop Megaria sendiri kembali ke nama asalnya, dengan tambahan angka 21 romawi, menjadi Metropole XXI. Perubahan pun dilakukan pada tampak luarnya. Papan reklame yang semula menutup sebagian sisi muka gedung, kini dicopot. Sementara tulisan Metropole dengan huruf berjajar ke bawah yang dulu ditanggalkan, kini digunakan kembali. Metropole kini tampil segar dengan wajah lama, setia menemani warga ibukota menjalani sejarahnya.

Naskah asli artikel ini terbit di jurnal Karbon pada 9 Februari 2010 dengan judul “Bioskop Megaria di Jakarta”. Diterbitkan ulang di Cinema Poetica dengan sejumlah penyuntingan dan pengembangan.

REFERENSI

[i] Haris Jauhari (ed), Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992).

[ii] Koreksi judul film berasal dari berbagai sumber. Dalam Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, judul film tersebut disebut sebagai Amme Get Your Gun.

[iii] Haris Jauhari, op.cit.

[iv] Sebelum dikoreksi Ifke M Laquais (cucu) dalam Surat Pembaca Tempo pada 22 April 2007, Liauw Goan Seng disebut Lauw Goan Sing.

[v] Dwi Wiyana, “Megaria, Bukan Sekadar Kenangan”, Tempo, 8 April 2007.

[vi] Ibid.

[vii] Ibid.

[viii] Haris Jauhari, op.cit.

[ix] Dari iklan penjualan bioskop Megaria pada 2007 di indonesiarealestates.com

[x] Haris Jauhari, op.cit.

[xi] Alwi Shahab, “Melestarikan Megaria”, 27 Maret 2007, dalam Djakarta Tempo Doeloe (diakses 27 Januari 2010)

[xii] Dwi Wiyana, op.cit.

[xiii] Haris Jauhari, op.cit.

[xiv] Ibid.

[xv] H.M. Johan Tjasmadi, 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000) (Jakarta: Megindo Tunggal Sejahtera, 2008).

[xvi] Istilah Kelas C digunakan oleh HM Johan Tjasmadi, tokoh perbioskopan Indonesia, dalam bukunya 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000). Dalam sumber lain, film Indonesia dikatakan hanya bisa diputar di bioskop-bioskop kelas dua maupun tiga.

[xvii] HM Johan Tjasmadi, op.cit.

[xviii] Ibid.

[xix] Ibid.

[xx] H Misbach Yusa Biran, Kenang-kenangan Orang Bandel (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008).

[xxi] HM Johan Tjasmadi, op.cit.

[xxii] Ibid.

[xxiii] Sri Pudyastuti R., Moebanoe Moera, Dwi S. Irawanto, dan Sarluhut Napitupulu (Medan), “Zaman Keemasan Kelompok 21”, Tempo, 29 Juni 1991.

[xxiv] Dwi Wiyana, op.cit. Tiket Rp 4 pada 1950-an dalam artikel ini disebut setara dengan Rp 15 ribu pada 2007. Penyetaraan menjadi Rp 26 ribuan pada 2018 merupakan tambahan penulis berdasarkan nilai Rp 15 ribu pada 2007 tersebut.

[xxv] “Gulung Layar”, Tempo, 11 Agustus 1984.

[xxvi] Istilah dalam tulisan Sri Pudyastuti R., Moebanoe Moera, Dwi S. Irawanto, dan Sarluhut Napitupulu, op.cit.

[xxvii] Budi Kusumah, “Dan Bioskop pun Mengecil,” Tempo, 3 Januari 1987.

[xxviii] Ibid.

[xxix] Sri Pudyastuti R., Moebanoe Moera, Dwi S. Irawanto, dan Sarluhut Napitupulu, op.cit.

[xxx] Alwi Shahab, op.cit.

[xxxi] Dwi Wiyana, op.cit.

[xxxii] “Bioskop Megaria Dilego: Cagar Budaya Terancam”, Kompas.co.id, Selasa, 13 Maret 2007, 08:56 WIB.