Tjokroaminoto: Ketika Guru Bangsa Menggurui Penonton

tjokro-guru-bangsa-2015_hlgh

Guru Bangsa Tjokroaminoto karya Garin Nugroho baru saja beredar di bioskop. Sosok sang ‘Raja Jawa tanpa Mahkota’, demikian julukan Tjokroaminoto pada zamannya, dikisahkan berbicara tentang pentingnya mengorganisir kaum bumiputera dalam koperasi-koperasi dan serikat-serikat buruh, tentang Islam yang militan namun anti-kekerasan, tentang imajinasi awal keindonesiaan yang merdeka dari penjajah.

Situasi politik global yang memanas menjelang dan selama Perang Dunia I turut memberikan konteks pembicaraan-pembicaraan tersebut. Ada banyak peristiwa monumental yang saat itu. Revolusi demokratik sukses meruntuhkan kekaisaran Tiongkok yang telah berdiri berabad-abad. Di dunia Muslim, Kemal Pasha secara radikal mengubah Turki Ottoman ke Turki dan sekuler dan modern. Di Rusia, setelah menyingkirkan Tsar kaum Bolshevik mendirikan pemerintahan sosialis pertama. Adapun di Hindia-Belanda, kampung halaman Tjokro, kebijakan Politik Etis mulai melahirkan ‘anak-anak haram’ kelas priyayi bumiputera yang menghendaki berakhirnya pemerintahan kolonial di Hindia-Belanda.

Pada 2012, Garin menggunakan narasi kehidupan Uskup Soegijapranata, paderi Katolik pribumi pertama, untuk mengomentari masalah-masalah sosial kekinian, mulai dari rasisme, korupsi, hingga kekerasan politik. Dengan cara yang sama, Guru Bangsa Tjokroaminoto (selanjutnya disingkat GBT), hendak merespon isu-isu hangat yang menemukan presedennya seratus tahun silam: imperium dunia sedang goyah, sosialisme bangkit di Amerika Latin, Uni Eropa di ambang krisis, menguatnya Rusia dan Tiongkok dalam kancah politik global, Arab Spring menemui jalan buntu dan berujung pada restorasi kediktatoran dan perubahan geopolitik di Timur Tengah, serta derasnya ketimpangan sosial di negeri sendiri yang segera disambut oleh maraknya aktivitas-aktivitas pengorganisiran akar rumput.

Kisah Tjokroaminoto sendiri sudah bisa ditebak semudah kita memahami subjeknya sebagai salah seorang perintis kemerdekaan. Tjokro seorang ‘Bapak Bangsa’ yang rumahnya menampung aktivis-intelektual seperti Semaoen, Musso, Soekarno, dan Kartosoewirjo (tidak ditampilkan dalam film ini). Dia menulis risalah berjudul Islam dan Sosialisme, yang menyatakan bahwa keduanya kompatibel. Dia menghendaki sebuah pemerintahan mandiri yang dijalankan bumiputera, betapapun abstraknya tuntutan tersebut pada waktu itu. Dia menyebarkan gagasan-gagasannya mengenai Sarekat Islam melalui Oetoesan Hindia yang dirintisnya bersama beberapa rekan. Dia juga menduduki kursi terhormat di DPR jajahan (Volksraad), suatu langkah yang diprotes sebagai kompromis dan lembek oleh beberapa muridnya yang kemudian mendirikan Partai Komunis Indonesia.

Tapi dari Tjokroaminoto pula anak-anak kos ini terekspos oleh gagasan-gagasan besar yang kurang familiar di kalangan bumiputera. Dalam bimbingan sang induk semang, mereka bersalin diri dari pelajar biasa ke manusia politik, dari yang awalnya memandang diri sendiri sebagai warga jajahan kelas dua menjadi pribadi-pribadi yang merasa berhak berdiri sejajar dengan semua bangsa di dunia. Sisanya adalah sejarah aktivisme yang panjang, yang diwarnai eksperimen-eksperimen pengorganisiran massa, perseteruan dan perpecahan kelompok, pemenjaraan. Semua proses perubahan kesadaran yang terus-menerus itu kerap diungkit Tjokro dalam pembicaraannya tentang ‘hijrah’, yang dalam tradisi Islam populer melalui kisah pindahnya Muhammad dari Mekkah ke Madinah demi membentuk masyarakat yang lebih baik.

gambar_tjokroaminoto_01

Para Priyayi

Agaknya ada satu moda dalam film biografis Indonesia untuk menggambarkan kesadaran nasional sebagai sesuatu yang lahir dari pengalaman pribadi ‘anak haram’ suatu kelas yang ambigu, yaitu kelas priyayi terdidik-terpandang yang diuntungkan oleh administrasi kolonial. Ketika kelas ini ditolak berpartisipasi lebih luas dalam sistem yang ada, bibit-bibit emansipasi pun mulai tumbuh melalui benturan-benturan personal dalam lingkungan terdekat, yang kemudian menggiring si priyayi kepada suatu kesadaran politik akan keberadaan struktur sosial yang menindas. Dalam film-film biografi kontemporer Indonesia, ilustrasi ini terlihat dalam adegan-adegan percintaan Soekarno muda dalam Soekarno-nya Hanung, juga dalam Sang Pencerah atau Sang Kiai—yang sayangnya kurang dijabarkan Garin secara terang dalam Soegija. Dalam GBT, Tjokro diperlihatkan bersentuhan dengan aneka ragam penindasan terhadap kaum bumiputera, dari perkebunan hingga sekolah. Namun, momentum yang mengubah hidupnya secara dramatis baru terlihat saat Tjokro muda harus memilih, antara terus bekerja dalam perusahaan Belanda yang gemar menyiksa buruh pribumi, atau menjadi seorang wirausahawan sendiri yang memungkinkan dirinya relatif independen dari intervensi-intervensi ekonomi-politik Belanda, sembari membangun kemandirian politik bumiputera.

Menariknya, persinggungan dengan relasi-relasi kekuasaan itu tidak membuat pengalaman kolonial masyarakat Hindia-Belanda dalam GBT hitam putih. Akibat-akibat dari situasi keterjajahan itu, sebagaimana dilukiskan dalam GBT, jauh lebih kompleks. Kekuasaan Belanda di Indonesia menciptakan suatu sistem kewargaan berbasis ras yang bertalian erat kepentingan-kepentingan politik kelas-kelas penguasa dalam struktur ekonomi-politik kolonial. Eropa dan warga kulit putih di lapis pertama, Arab dan Tionghoa di lapis kedua, sementara Bumiputera berada di lapis terbawah. Di sisi lain, pada bagian awal GBT, kita disuguhkan pemandangan bahwa kolonialisme sama artinya dengan pembuangan orang-orang kulit putih yang dianggap sampah masyarakat di Eropa sana. Kita juga diperlihatkan konflik berdarah antara warga Tionghoa dan bumiputera, yang diselesaikan oleh Tjokro dan seorang Kapitan Tionghoa dengan ajakan untuk sama-sama mengorganisir diri. “Pemerintah Hindia Belanda tidak ingin kalian bersatu, karena jika Tionghoa dan pribumi bersatu, tanah ini akan subur, ” ujar Tjokro.

GBT pun mengangkat kegelisahan masyarakat Indo, kaum peranakan yang lahir dari laki-laki kulit putih dan perempuan setempat (lazim disebut ‘nyai’). Stella, seorang perempuan Indo penjaja suratkabar, dikisahkan antusias menyambut pergerakan nasional, namun sekaligus resah dengan statusnya yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Berkali-kali ia mengungkapkan kekhawatirannya pada Tjokro: “Bapak katanya ingin membuat pemerintahan sendiri? Tapi seperti apa nasib kami dalam pemerintahan itu?” Ketakutan-ketakutan khas rasial ini sebetulnya juga sempat diungkapkan oleh karakter-karakter Tionghoa dalam Soegija. Hanya saja, dalam Soegija, kita mendapati ketakutan tersebut hadir sebagai ekses-ekses Revolusi Fisik, alih-alih dihasilkan oleh struktur masyarakat kolonial yang jauh dari adil.

Buat saya pribadi GBT menandakan sebuah kemajuan. Garin beralih dari topik-topik seputar toleransi dan kehidupan bersama—yang disentimentalisir dalam Soegija dan sejumlah filmnya yang lain—ke ihwal ketimpangan struktural yang menjadi akar dari fundamentalisme agama, kekerasan rasial, dan masalah-masalah kehidupan bersama lainnya. Awalnya saya menduga hal ini disebabkan sosok Tjokroaminoto sendiri yang secara otomatis mampu mengarahkan sutradanya ke isu-isu sosio-ekonomi. Ternyata tidak.

Saya kira besar peluang jika Garin ingin men-Soegija-kan Tjokroaminoto sehingga GBT hanya akan membahas hal-hal semacam ‘Islam ramah vs Islam marah’, prasangka-prasangka ras, dan berakhir dengan pesan moral tentang perlunya menjaga persatuan nasional. Tentu kegelisahan saya bermula dari Soegija. Kita ingat bagaimana kisah hidup Soegijapranata direduksi ke dalam Revolusi Fisik yang lebih seksi dan ‘bisa diterima semua golongan’ seraya mengorbankan kehidupan sang Uskup pada dekade 1950an. Pada tahun-tahun itu, ketika Indonesia mulai membangun di tengah arus Perang Dingin, Uskup Soegijapranata membentuk serikat-serikat buruh dan tani untuk menandingi pengorganisiran yang dilakukan PKI. Terlepas dari kubu mana yang paling responsif terhadap kepentingan-kepentingan kelas-kelas melarat, jelas bahwa redistribusi kesejahteraan menjadi isu dominan dan arena yang dipertarungkan berbagai kelompok politik ketika Soegijapranata masih hidup. Isu ini pula yang salah satunya membuat ketegangan rasial tidak mereda bahkan setelah Revolusi Fisik usai. Hubungan-hubungan sosial selama dasawarsa 1950an inilah bagi saya lebih dekat dengan situasi hari ini yang ingin dikomentari Garin via Soegija, bukan Revolusi Fisik.

Demikian, tiga tahun setelah Soegija, Garin membuat kemajuan yang berarti. Dan untuk itu saya ucapkan selamat.

Setelah pujian-pujian ini, ada beberapa catatan yang perlu ditambahkan, khususnya menyangkut cara bertutur Garin. Isi GBT boleh saja menunjukkan perbedaan, namun corak artikulasinya tetap sama. Seperti yang telah saya sebut di atas, GBT tetaplah sebuah film yang menggunakan masa lalu sebagai sarana untuk secara vulgar mengomentari problem-problem sosial di masa kini, betapapun pesannya boleh jadi tepat waktu.

gambar_tjokroaminoto_02

Style over Substance

GBT dibuka dengan adegan interogasi di penjara Kalisosok, yang pada detik-detik terakhirnya menunjukkan bagaimana film ini akan bergulir. Saat itu Tjokro dituduh menyebarkan kebencian terhadap pemerintah kolonial. Dua polisi berusaha mengintimidasinya. Menghadap kamera seraya mengatakan “Saya Tjokroaminoto, seorang jawa dan pendiri Sarekat Islam yang beranggotakan ribuan orang…”, Tjokro, yang dimainkan Reza Rahadian, seakan berbicara langsung kepada penonton. Teknik ini dikenal sebagai “breaking the fourth wall”, suatu cara membongkar semesta fiksi di mana penonton dibuat sadar bahwa apa yang tengah disaksikannya adalah konstruksi sinematik semata, alih-alih tiruan sempurna dari kenyataan. Namun pada GBT, penggunaan teknik ini bisa bermakna lain: Garin sedang memberi isyarat bahwa GBT tersusun layaknya drama panggung populer yang memungkinkan aktor-aktornya berkomunikasi secara langsung dan lugas di hadapan hadirin—dengan nada otoritatif.

Nalar pertunjukkan panggung ini pula yang memungkinkan Garin menginterupsi Tjokroaminoto dengan koor, tarian, serta segmen-segmen kecil yang tidak berkaitan langsung dengan sumbu cerita, persis seperti yang bisa kita temukan dalam Soegija, meski kali ini kelihatan lebih waras dan rapi. Seperti dalam Soegija pula, sebagian besar dialog dialog Tjokroaminoto adalah tuturan-tuturan dramatis dan heroik yang tidak selalu terjadi dalam hubungan sehari-hari. Gaya bicara seperti ini jamak ditemukan dalam situasi-situasi drama panggung yang sejak awal melibatkan relasi antara penampil (performer) dan penonton, di mana tokoh utama diposisikan sebagai penubuhan nilai-nilai moral tertentu—jika bukan panutan—yang dipercaya masyarakat/penonton.

Jika dibaca dari adegan awal ketika Tjokro berbicara kepada penonton, demikianlah cara Garin memposisikan Tjokro; sebutan ‘Guru Bangsa’ tidak hanya terekspresi dalam konten filmnya, tapi juga dalam penyampaiannya: ia menempatkan Tjokro sebagai sosok yang terang-terangan menceramahi penontonnya, dengan berbagai wejangan moral. Dengan kata lain, didaktisisme; menggurui.

Tentu tidak semua film biografis yang mengadaptasi gaya lakon panggung mengandung didaktisisme yang sama. Setidaknya itu tidak terjadi pada, misalnya, Mishima: Life in Four Chapters (Paul Schrader, 1985) atau Wittgenstein (Derek Jarman, 1993). Sebaliknya, didaktisisme pun tidak harus terekspresikan via pengadaptasian gaya panggung. Ada kalanya cara semacam itu sengaja dilakukan agar penonton berjarak dari cerita yang ingin disuguhkan si pembuat film.

Dalam kasus GBT, gaya panggung yang Garin terapkan terombang-ambing bersama anasir lain yang menghendaki penggambaran yang lebih realis. Akibatnya, interpretasi atas kehidupan subjek biografis Garin pun kedodoran. Karakter-karakter di luar Tjokro lebih menyerupai stereotip kasar yang mewakili gagasan atau perilaku sosial tertentu. Sebagian dari karakter ini bebas keluar-masuk cerita dan mengganggu jalannya cerita, bahkan kemudian mempersulit kita menangkap potret yang utuh dari Tjokro sendiri. Tidak sedikit rangkaian fragmen yang meninggalkan pertanyaanmisalnya, semisal apa yang terjadi dengan mertua Tjokro, seorang bupati Ponorogo, setelah murka di hadapan Tjokro yang baru saja dipecat dari posisinya sebagai juru ketik di perusahaan Belanda—mengapa tiba-tiba ia menghilang dan merelakan anaknya kembali ke Tjokro? Perubahan apa yang terjadi pada Soeharsikin, istri Tjokro, seorang gadis Jawa kalem yang awalnya digambarkan tak mau repot dengan urusan politik suaminya namun tiba-tiba mengecam Semaoen sebagai pendukung aksi-aksi kekerasan?

Barangkali kekaburan-kekaburan ini akan berkurang seandainya Tjokro berdurasi enam jam, bukan 160 menit, durasi yang rasanya lebih tepat untuk memotret satu periode dalam hidup Tjokro.

Inilah salah satu sebab yang membuat GBT serba rancu. Mau disebut drama realis jelas mustahil, mau disebut drama panggung pun tidak konsisten. Mengajari penonton nilai-nilai yang dianggap baik lewat satu tokoh sebetulnya bukan suatu masalah. Namun, ambisi Garin menuturkan banyak hal lewat gaya tutur yang serba terombang-ambing itu membuat kita semakin sulit mengenal HOS Tjokroaminoto, kecuali sebagai seorang penutur kata-kata heroik dan produsen jargon-jargon politik. Tak heran, kesan menggurui terasa lebih dominan ketimbang esensi pesan yang ingin dijabarkan melalui potret kehidupan Tjokro.

Yang menjadi pertanyaan buat saya kemudian adalah, dengan cara menceramahi seperti ini, bagaimana selama ini Garin membayangkan penonton film-filmnya?

gambar_tjokroaminoto_03

Anti-kekerasan?

Terlepas dari gaya bercerita Garin, yang sedikit menggembirakan bagi saya adalah potret gerakan kiri di awal abad 20 dalam GBT.

Untuk pertama kalinya lagu Internasionale berlirik Indonesia diperdengarkan kembali secara terbuka—artinya, lolos sensor—melalui paduan suara yang terdiri dari beberapa perempuan muda nan ceria, seolah mengikis stigma perempuan-perempuan Gerwani yang sepanjang Orde Baru digambarkan menyiksa tujuh perwira Angkatan Darat sembari menari telanjang diiringi lagu Genjer-Genjer.

Namun di luar gestur simbolik tersebut, satu kontribusi Garin dalam GBT adalah pengisahannya tentang kemunculan organik pergerakan komunis di Indonesia. Dalam penulisan sejarah versi pemerintah, selama ini komunisme senantiasa dicitrakan sebagai paham asing. Diimpor oleh seorang komunis Belanda bernama Henk Sneevliet, menurut versi pemerintah, komunisme awal menggerogoti tubuh Sarekat Islam (SI) lantas memecahnya ke dalam kubu SI Merah dan SI Putih. Sebaliknya dalam GBT, perpecahan tersebut justru digambarkan bersumber dari dinamika antar anggota SI sendiri, khususnya terkait ketidaksukaan golongan muda yang radikal terhadap taktik parlementer Tjokro yang dinilai terlalu kooperatif. Adapun puncaknya terlihat dalam perdebatan seputar program-program SI mana yang patut diprioritaskan; faksi Tjokro menyodorkan pendidikan universal, sementara faksi Semaoen mengajukan distribusi tanah untuk petani penggarap). Bahkan Sneevliet sendiri, yang telah menjadi guru kedua bagi golongan muda ini, justru diperlihatkan terlalu bersimpati kepada pendekatan-pendekatan populis Tjokro, yang memanfaatkan kharisma publiknya sebagai “Satrio Piningit” dan “Raja Jawa tanpa Mahkota” demi menghimpun khalayak bumiputera seluas-luasnya—satu cara yang dikecam feodal oleh Semaoen dan kawan-kawan.

Tepat pada titik ini Garin hendak mengatakan bahwa gerakan komunis di Indonesia lahir dan tumbuh secara organik. Nyaris sebuah karya local genius, dalam GBT komunisme cenderung digambarkan sebagai sebuah pilihan metode dari aktivitas-aktivitas pengorganisiran masyarakat kelas bawah yang telah berlangsung sebelum kedatangan Sneevliet dan baru menemukan kiblat politiknya yang mandiri semenjak ketidakpuasan dalam Sarekat Islam memuncak. Singkat cerita, dalam konteks Indonesia, gagasan ini merupakan salah satu manifestasi dari pembaharuan Islam di ranah dan jalur yang sekuler.

Namun perlu dicatat, bukan berarti representasi Garin atas komunisme dengan sendirinya bebas dari masalah.

Beberapa tahun silam Eric Sasono menulis makalah berjudul Muslim Sosial” dan Pembaharuan Islam dalam Beberapa Film Indonesia. Di situ Eric bercerita tentang posisi unik Para Perintis Kemerdekaan dalam kaitannya dengan komunisme, yang pada waktu film ini dibuat (1977) sudah dinyatakan sebagai ideologi terlarang. Satu bagian yang menonjol dalam Para Perintis Kemerdekaan adalah perpecahan di antara santri-santri Haji Jalaluddin, seorang ulama berpengaruh di Sumatra Barat di tahun 1920an. Seorang murid bernama Zainuddin dikisahkan terinspirasi oleh Tan Malaka yang baru pulang dari Moskow, lantas mengobarkan pemberontakan bersenjata melawan Belanda yang berakhir tragis. Sementara itu, dua rekan Zainuddin, Hamid dan Fakhruddin, memilih tetap setia di jalur Islam-santri—suatu sikap yang konsisten dengan pandangan sutradaranya sendiri, Asrul Sani.

Memang ada garis politik yang tegas ditarik oleh Para Perintis Kemerdekaan. Tapi yang menarik, keberatan Hamid dan Fakhruddin atas cara-cara yang ditempuh Zainuddin tidak dilatarbelakangi oleh prasangka-prasangka antikomunis yang dipopulerkan Orde Baru (semisal, komunisme adalah ateisme). Lebih lanjut Asrul Sani, sebagaimana ditulis Eric, “selain menegaskan sikap tak terlalu bermusuhan terhadap komunisme ala Trotsky Tan Malaka, juga memperlihatkan bahwa Islam lebih punya masa depan dalam memperjuangkan emansipasi dan kemandirian masyarakat, tanpa harus bicara mengenai proyek negara bangsa.”

Bagi saya, adalah sesuatu yang tidak lazim ketika Asrul Sani, seorang sutradara yang di tahun 1960an dikenal antikomunis, membuat film tentang persinggungan Islam dan Komunisme tanpa memperlihatkan permusuhan terhadap Komunisme. Selain itu perlu ditambahkan pula, keberatan faksi santri dalam film yang dijabarkan Eric, bersumber dari pandangan jika aksi bersenjata Zainuddin merupakan tindakan yang tergesa-gesa—suatu kritik yang juga pernah dilontarkan oleh Tan Malaka sendiri, yang menyebut pemberontakan 1926 tersebut sebagai aksi “avonturir” dan prematur.

Dari pembahasan ini, ada kemiripan antara GBT dan Para Perintis Kemerdekaan: ada jarak yang terbentang antara kedua film yang diputar di bioskop itu dengan posisi negara dalam melihat komunisme. Tapi benarkah demikian?

Ketika membicarakan Islam dan Komunisme, GBT memang tak bermasalah. Masalah baru muncul menjelang film berakhir, ketika Tjokro diperlihatkan berpidato di mimbar, menyatakan bahwa paham apapun, termasuk Komunisme, boleh hidup di Hindia-Belanda asalkan tidak mendorong orang untuk melakukan kekerasan. Tjokro juga berulangkali digambarkan gerah dengan agitasi-agitasi faksi kiri dalam SI, lantas menuduh mereka memelihara potensi kekerasan.

Persis di sinilah Garin tergesa-gesa menyuguhkan kesimpulan bahwa mengorganisir lapisan masyarakat terbawah demi upah yang adil dan redistribusi tanah niscaya akan berakhir dengan kekerasan fisik yang mematikan, di saat pemberontakan PKI 1926 belum terjadi ketika Tjokro berceramah tentang anti-kekerasan—bahkan PKI sendiri belum lahir. Kesimpulan sembrono ini nampaknya dilandasi pengetahuan post-factum, yang mengacu pada narasi sejarah dominan yang hingga saat ini terus dipelihara—tidak hanya seputar pemberontakan PKI pada 1926, tetapi juga Peristiwa Madiun (1948) dan G30S (1965)—yang kira-kira mau mengatakan bahwa komunisme dan kekerasan adalah kembar siam.

Pesan anti-kekerasan yang cenderung abstrak ini sebenarnya sudah muncul jauh-jauh hari dalam Soegija, juga dalam film Garin lainnya seperti Mata Tertutup (2012). Mudah untuk menemukan bahwa pesan-pesan anti-kekerasan sentral dalam film-film Garin belakangan ini, yang terutama disampaikan untuk merespon maraknya kekerasan sektarian berbau agama di zaman kita. Namun akan bermasalah ketika pesan-pesan ini diproyeksikan mentah-mentah ke masa lampau, seperti yang terekspresikan secara vulgar dalam Soegija di mana—dalam latar agresi militer Belanda—antagonisme yang pokok bukan lagi antara ‘mempertahankan Republik’ dan ‘restorasi kekuasaan Belanda,’ tetapi antara siapa yang gandrung akan kekerasan dan yang tidak; antara siapa yang ‘melupakan hakikat kemanusiaan’ dan siapa yang ‘menjunjung tinggi kemanusiaan’.

Apakah Tjokro bersikap ‘anti-kekerasan’ mengingat posisinya sebagai anggota Volksraad ? Apakah Tjokro menolak kekerasan karena baginya lebih penting memperluas akses pendidikan ketimbang reforma agraria yang beresiko meledakkan aksi-aksi kekerasan? Apakah yang dimaksud Garin sebagai anti-kekerasan merujuk pada ancaman represi dari Belanda ketika gerakan massa di bawah memakai pendekatan yang frontal? Seperti apa sebetulnya kekerasan dan anti-kekerasan dipahami dalam konteks perdebatan-perdebatan SI Merah dan SI putih? Atau, apakah dengan pesan anti-kekerasan ini Garin lagi-lagi sekadar ingin mengomentari meluasnya kekerasan sektarian di Indonesia, tanpa mempedulikan historisitas subjeknya?

Saya ragu pertanyaan-pertanyaan di atas bisa terjawab selama Garin masih memperlakukan sejarah dengan cara yang sama.

Guru Bangsa Tjokroaminoto | 2015 | Durasi: 161 menit | Sutradara: Garin Nugroho | Produksi: Pic[k]lock Yayasan Keluarga Besar HOS Tjokroaminoto. MSH Films | Negara: Indonesia | Pemeran: Reza Rahadian, Putri Ayudya, Maia Estianty, Christine Hakim, Ibnu Jamil, Alex Komang, Tanta Ginting, Chelsea Islan, Sudjiwo Tedjo, Gunawan Maryanto