Ketika bicara tentang pendekatan sutradara, kita sering mendapati istilah film personal. Apa sebenarnya film personal itu? Bagaimana mungkin sebuah film bisa personal sementara begitu banyak orang yang bertungkus-lumus mewujudkannya? Siapa person yang dimaksud dalam personal itu? Seberapa besar visi personalnya memiliki “kans” untuk mewujud dalam film yang ia buat?
Memang belum banyak yang mengkaji hal-ihwal film personal. Konsep yang paling mendekati “film personal”, salah satu yang paling dikenal, adalah konsep “kepengarangan” (auteur), yang dikembangkan oleh pegiat media di Cahiers du Cinema tahun 1950-an yang lalu menyebar lewat tangan kritikus film Andrew Sarris. Bagi Sarris, ekspansi teknik sineas macam Murnau dan Griffith tak bisa lepas dari visi personal mereka mengenai dunia masing-masing.[1]
Saya pribadi lebih sepakat bahwa “film personal” tidaklah jauh berbeda dengan “film auteuristik”. Perbedaannya terletak pada siapa audiens yang hendak disasar oleh karya yang bersangkutan. Film personal cenderung ingin bercerita, bertanya, atau mengail affirmasi pada diri si pembuat sendiri, sementara “film auteuristik” sebisa mungkin dihadapkan pada audiens yang luas; ia berisi pandangan pribadi sang pengarang yang dikondisikan sebagai corong untuk semua orang. Dalam kasus Indonesia, kita boleh melihat karya-karya Nia Dinata sebagai bentuk kepengarangan yang auteuristik. Dinata selalu mengangkat isu keperempuanan yang ia pandang krusial bagi masyarakat tempat penonton filmnya berasal. Film-film Nia Dinata adalah gagasan personal yang hendak dipertunjukkan bagi kalangan luas.
Sementara itu, “film personal”, dalam kasus Indonesia, bisa kita indera pada karya-karya Paul Agusta. Dalam At the Very Bottom of Everything, Paul seperti sedang semalam suntuk berdebat dengan dirinya sendiri. Lewat film itu, kita bisa merasakan Paul menangis darah dan belum menemukan jalan untuk beranjak, kecuali semangat kecil yang sesekali meletup, “Aku harus mulai memanjat naik”. At The Very Bottom of Everything, bila kita cocokkan dengan konsepsi Sarris, adalah penerapan teknik yang tak bisa dipisahkan dari pandangan Paul tentang dunianya. Bahwa Paul menderita sakit seperti yang ia kisahkan dalam film itu, dan ia tak menemukan jalan lain selain menjadi orang sakit yang bersemangat. Lewat At The Very Bottom of Everything, orang pertama yang ingin diajak Paul untuk berunding adalah dirinya sendiri.
Lalu seberapa luas konsep kedirian sang pembuat film untuk disepuhi oleh konsep “film personal”? Pada At the Very Bottom of Everything, Paul mendefinisikan kedirian (personalitas) sebagai sesuatu yang mutlak berpusat pada dirinya. Fakta anyar menyeruak ketika film pendek Paul The Songstress and the Seagull dirilis. Film ini bersifat personal dalam arti yang janggal, bahwa ia bukanlah sebentuk affirmasi yang dihadapkan pada diri Paul seorang, tapi juga pada sekelompok orang-orang nyaman yang berada di sekitarnya. Film itu merekam hari-hari biduan Kartika Jahja –sahabat Paul- menjelang konsernya bersama Vina Panduwinata. The Songstress and The Seagull memecah “diri” menjadi dua, bahwa selain untuk bercengkerama dengan pembuatnya sendiri, film itu juga bermaksud untuk menegosiasikan kembali keberadaan Kartika Jahja. Isu yang diusung oleh The Songstress and The Seagull adalah isu yang asing bagi kebanyakan orang Selain Paul dan Kartika Jahja, bahwa ada impian masa kecil yang renik, yang juga terwujud dengan cara yang sederhana. Nyaris tak ada yang dramatis, tapi ia tetap saja penting bagi para pembuatnya.
Kasus lain dapat kita runut pada dua karya Sutradara Malaysia Tan Chui Mui, A Tree in Tanjung Malim (2004) dan Love Conquers All (2006). Dalam A Tree in Tanjung Malim, Tan Chui Mui mengusung kenaifan perempuan yang ia sampirkan pada protagonis yang juga dinamainya Tan Chui Mui. Kesamaan nama ini tentu saja menegaskan bahwa film pendek ini adalah film curhat; si sutradara sedang menertawai diri yang dianggapnya naïf.
Love Conquers All adalah film yang terlalu kejam untuk disebut sebagai film feminis, sebab meskipun bicara tentang perempuan, visi feminis yang digunakan Chui Mui bukanlah feminisme yang hendak membela “kaum perempuan” secara keseluruhan, melainkan untuk membela si karakter utama tak bernama yang diperankan oleh Coral Ong. Ada konsep keperempuanan yang dipersempit sehingga hanya berlaku pada si gadis seorang. Pada pertengahan film, pacar gadis itu –yang juga tak bernama- mengatakan: “Perempuan sangatlah bodoh, mereka gampang sekali diselingkuhi. Semakin cantik ia, semakin mudah diselingkuhi”. Ucapan tersebut bertaut dengan ucapan lain si lelaki, “Kau lebih cantik dibanding perempuan itu [seorang perempuan yang mereka lihat di warung makan]”. Dialog tersebut berlanjut pada gumaman si lelaki “Sepupuku itu, ia selalu menyelingkuhi pacarnya dengan modus yang sama, pura-pura ditangkap polisi, butuh uang untuk dibebaskan, bila pacarnya tak punya uang lebih, disuruhlah pacarnya menjual diri pada orang lain untuk menebus dirinya. Perempuan memang bodoh”.
Sintingnya, plot film berjalan persis dengan perkataan si lelaki, di sini Coral Ong menempati posisi sebagai gadis molek yang gampang diselingkuhi dan si lelaki berganti menjadi sepupunya sendiri. Benang merah Love Conquers All adalah kenaifan perempuan yang terjadi berulang. Menjadi jelas, bahwa “kenaifan personal” bukanlah bagian dari agenda feminisme manapun. Ia hanya mewujud dalam diri si gadis seorang. Topik kenaifan yang sama dalam kedua film tergurat dengan tegas, sehingga meskipun tanpa nama, kita tetap bisa mengidentifikasi bahwa sang protaganis adalah medium penyampiran pandangan personal sang sutradara terhadap dirinya sendiri. Bahwa si perempuan tanpa nama sejatinya hanya perwujudan lain dari Tan Chui Mui dalam A Tree in Tanjung Malim. Lewat kedua film tersebut, Tan Chui Mui sedang hendak berinteraksi sendirian; dalam Love Conquers All dengan cara meratapi, lalu dalam A Tree in Tanjung Malim dengan cara menyenyumi.
Coretan singkat ini tentu tidak sedang dalam rangka mendefinisikan, akan tetapi bertujuan untuk menghimpun sekumpulan bukti kecil dari lapangan, bahwa semakin banyak saja sutradara yang mendaku karyanya sebagai karya personal. Pada kenyataannya, banyak penonton yang menyerah ketika sutradara sudah menyatakan bahwa karya yang baru saja ia pertontonkan adalah karya personal. Pernyataan semacam itu seakan tak membukakan pintu pada penonton untuk masuk, menikmati, kalau bisa mengidentifikasi diri. Parahnya lagi, istilah “film personal” seringkali digunakan para sutradara sebagai penanda independensi; bahwa ia berbeda, bahwa ia indie!
Tantangan terbesarnya terletak pada bagaimana cara menyadarkan penonton bahwa sebuah karya adalah personal meskipun sang sutradara tak hadir dan menjelaskan bahwa “karya barusan adalah karya personal”. Masihkah sebuah karya bisa dikenali sebagai film personal ketika sutradaranya tak datang ke pemutaran? Lalu kenapa kita bisa mencerap kesan personal yang kuat, misalnya dalam karya-karya Jonas Mekas[2], padahal Mekas tak hadir di forum bersama kita? Tentu saja jawabannya bukan “Mekas kan sudah legendaris, saya kan masih belajar”.
[1] Lihat Andrew Sarris, The American Cinema: directors and directions, 1929 – 1968, De Capo Press, New York, 1996.
[2] Jonas Mekas adalah pembuat film Amerika Serikat keturunan Lithuania. Karya-karyanya yang representatif misalnya adalah Reminiscences of a Journey to Lithuania (1972) dan As I was Moving Ahead Occasionally I Saw Brief Glimpses of Beauty (2000).