Garuda Power: Film Laga Indonesia Tidak Cuma The Raid

garuda-power-2014_hlgh

Setiap upaya pemaknaan sejarah pada dasarnya selalu diawali oleh sebuah tujuan. Misal pasangan kita mulai menyebutkan fakta-fakta masa lalu; bila tidak menutupnya dengan tawa manis beserta kalimat “dulu begitu indah”, mungkin ia akan menutupnya dengan tatapan getir sambil berkata “sekarang kamu berubah”. Pada dasarnya kedua penuturan tersebut sama-sama berbicara tentang keadaan sekarang yang tak seindah dulu. Namun, argumen dan tujuan dari penuturan keduanya jelas berbeda. Yang satu berakhir tenang, satunya lagi gamang.

Obrolan tentang masa lalu suatu pasangan seringkali dipicu oleh hal-hal yang spesifik macam tempat kencan, kenangan, atau mantan. Pemicu Garuda Power: The Spirit Within (2014) adalah The Raid besutan Gareth Evans. Konon, karena kesuksesan The Raid (2011) di kancah internasional, Indonesia diduga sebagai kekuatan baru film laga. Demi memastikan sahihnya pernyataan itu, Bastian Meiresonne yang telah lama mengamati belantara sinema Asia pun menunaikan misinya: napak tilas film laga Indonesia.

Garuda Power: The Spirit Within dimainkan oleh dua Jaka Sembung, Jaka Sembung tua (Rudolf Puspa) dan Jaka Sembung muda (Budi Nugroho). Mereka bertemu lewat perantara sebuah layar. Jaka Sembung tua menceritakan perjalanan film laga, sementara Jaka Sembung muda diam dan terpenjara di dalam layar, seperti halnya film-film tua di ruang penyimpanan Sinematek. Jaka Sembung tua lalu mengambil alih film dan mulai mengarahkan data-data. Titik mulanya adalah film pertama di zaman Hindia-Belanda, yaitu Loetoeng Kasaroeng (1926) karya G Kruger dan L Heuveldorp. Lalu berlanjut ke film buatan pengusaha tionghoa, seperti film buatan Teng Chun, Tie Pat Kai Kawin (1935), dan Tan Tjoei Hock, Tengkorak Hidoep (1941); hingga kemudian beranjak ke film pertama Indonesia, yaitu karya Usmar Ismail, Darah dan Doa (1950). Setiap pergeseran dilandasi oleh testimoni para narasumber, yang mencakup kelompok intelektual macam JB Kristanto, Ronny Agustinus, Hikmat Darmawan, Marselli Sumarno, dan Seno Gumira Ajidarma hingga pekerja film macam Imam Tantowi, Ario Sagantoro, Gope Samtani, George Rudy, dan Maya Barrack-Evans. Tentunya sejarah tidak terbentuk karena sebab-sebab tunggal. Penjelasan para narasumber lebih difungsikan sebagai pemberi konteks, spekulasi terdidik akan pergerakan sejarah film Indonesia. Misalnya, penejelasan seperti film perang kurang dinikmati khalayak karena mengangkat kenangan pahit; atau bagaimana respon khalayak yang kurang gemar aksi-aksi laga yang nampak ‘bohongan’.

Narasi kemudian beranjak ke tahun 1970an, era ketika produksi film nasional sedang gencar-gencarnya; salah satu sebabnya adalah karena adanya kebijakan wajib produksi bagi importir. Di bagian ini, konsekuensi dari tingginya produksi film diarahkan menuju bahasan mengenai jati-diri film laga Indonesia. Mulai ada koreksi terhadap peniruan cerita film-film barat dan tionghoa, serta gaya perkelahian yang masih belum khas Indonesia.

Dibahas pula fenomena pengadaptasian komik laga yang menjadi jalan pintas dalam mengejar setoran produksi film. Perlakuan para pembuat film dalam mengadaptasi komik yang tak lepas dari tuntutan pasar ternyata bukan lah sebuah catatan baik untuk sang pembuat komik. Djair Warni menerangkan bahwa banyak konten komik yang diotak-atik. Mulai dari rupa protagonisnya hingga bahkan jalan ceritanya.

Menjelang akhir, usai membahas sejenak masa kegelapan film Indonesia dan minimnya film laga di tahun 1990an, masuklah tanda tanya besar di awal, yaitu film laga ciptaan Merantau Films. Lewat penuturan Maya Barack-Evans dan Ario Sagantoro, didapati penjelasan mengenai film Merantau (2009) dan The Raid (2011). Ditampilkan beberapa cuplikan proses shooting dan hasil akhir dari kedua film tersebut. Disampaikan pula keberadaan jaminan keselamatan kru dan upaya menampilkan adegan gelut yang realistis. Namun, seakan enggan mengakhiri filmnya dengan glorifikasi film The Raid, Garuda Power justru melabuhkan akhir perjalanannya di komentar Adrian Jonathan dan Seno Gumira Ajidarma. Adrian Jonathan menidak kebangkitan film laga, sedangkan Seno Gumira bahkan memakzulkan kebutuhan “film laga” itu sendiri.

Esensi film dokumenter sejarah adalah mengangkat dan mengarahkan masa lalu untuk kepentingan masa sekarang. Bagi Garuda Power kepentingan masa sekarang adalah mengkonfirmasi anggapan kekuatan baru film dunia pada Indonesia. Kepentingan itu tampak saat Adrian Jonathan mementahkan klaim “kebangkitan film laga Indonesia”. Adrian menuturkan bahwa film laga Indonesia setelah reformasi sampai dengan Garuda Power dibuat hanya ada 19 biji; yang mana dari 19 biji itu tak ada yang memiliki kesuksesan distribusi nasional dan internasional macam The Raid. Dengan demikian, The Raid hanyalah anomali. Signifikan namun tidak representatif. Tidak representatifnya The Raid kemudian menimbulkan pertanyaan: lantas film laga di Indonesia seperti apa?

Garuda Power pun menengok jauh ke tahun 1926. Pilihan tersebut terbentur oleh berbagai hal, dua di antaranya adalah ketersediaan narasumber dan footage film lama. Hal ini tambah dipersulit lagi dengan sejarah dan kondisi perfilman Indonesia yang kompleks. Ada masalah kebijakan negara, pengadaptasian komik, teknis dan koreografi, kematian bioskop-bioskop, selera masyarakat, layar tancap, dan sebagainya. Beberapa hal tentu tak dijabarkan dengan sama utuhnya. Sebabnya, bisa karena ketersediaan data ataupun karena piilihan sang sutradara. Misalnya ketika membahas hilangnya sekitar 3000 layar bioskop Indonesia, Garuda Power tidak sampai mencecar hegemoni Grup 21 dan konsekuensinya terhadap kegiatan menonton di Indonesia. Sedangkan ketika membahas film laga hasil adaptasi komik, Garuda Power cenderung bolak-balik narasumber dalam mengangkat fakta.

Meski demikian, di bagian awal dan tengah film masih relatif nyaman disaksikan. Justru ketika mencapai bagian belakang, Garuda Power mulai membingungkan. Alasan kebingungan ini saya anggap bukan disebabkan oleh ketersediaan data–mengingat bagian belakang harusnya tidak butuh arsip jadul dan narasumber gaek, melainkan oleh sikap film. Menjelang akhir, ketika telah sampai pada era film Merantau dan The Raid, Garuda Power tiba-tiba menunjukkan sikap yang justru menimbulkan lebih banyak tanda tanya. Adalah pernyataan Seno Gumira Ajidarma yang jadi alasannya. Sedikit menjawab mengapa film laga sekarang tak sebanyak dulu, beliau berkata bahwa perlawanan di zaman sekarang memang tidak harus menggunakan kekerasan fisik, melainkan dengan pena, laptop, gagasan, dan cara-cara lain. Kekerasan, seindah apapun itu, tetaplah kekerasan.

Dibarengi dengan cuplikan Joe Taslim menembak berkali-kali kepala lawannya dari jarak dekat, keberadaan klaim tersebut menimbulkan kesan bahwa Garuda Power tidak mengamini perayaan kekerasan dalam film laga. Di satu sisi sebenarnya wacana ini menarik sekali. Namun, melihat tutur film dari awal, wacana ini justru terasa janggal. Pasalnya, dengan meletakkan pernyataan itu di bagian akhir film, rasanya film menjadi tidak adil dengan masa sekarang. Seolah momentum untuk berasyik-masyuk dengan adegan kekerasan hanya milik masa lalu, bukan milik generasi sekarang. Garuda Power pun berhenti pada romantisasi masa lalu, sembari menafikkan kebutuhan akan (tontonan) kekerasan di masa sekarang.

Ketimbang memberikan jawaban, Garuda Power pada akhirnya justru lebih banyak membuahkan pertanyaan. Bila memang The Raid adalah sebuah anomali dalam keadaan umum film laga Indonesia yang tidak bangkit, dan kondisi ketika kekerasan tak perlu lagi dirayakan, maka sebenarnya ada dua pertanyaan terkandung di sana: Bagaimana The Raid menjadi signifikan, dan apa yang sedang terjadi dengan film laga Indonesia secara keseluruhan? Atau dengan kata lain: mempertanyakan alasan adanya anomalitas itu. Inilah yang tidak digarap oleh Garuda Power. Pembuat film berlama-lama membahas pertemuan film laga lawas dengan khalayaknya, yang mana bahasan merembet hingga ke keberadaan layar tancap, namun tidak membahas pertemuan film laga zaman sekarang dengan penontonnya di bioskop. Tidak ada pertanyaan tentang film-laga-sekarang di mata masyarakat. Apakah masyarakat masih perlu film laga? Mengapa perlu? Mengapa tidak? Apakah mereka menyukainya? Bila tidak, kenapa? Bila ya, kenapa? Bagaimana juga mereka bisa menontonnya? Apakah masyarakat sudah bisa menerima kenyataan, sehingga tak lagi perlu film laga? Bisakah Barry Prima tergantikan oleh Iko Uwais?

Sebagai sebuah dokumen audiovisual, Garuda Power sarat dengan data dan fakta, dengan cuplikan film laga Indonesia klasik dan kontemporer. Siapapun yang ingin berkenalan dengan film laga Indonesia, pastinya akan pulang dengan pemahaman bahwa film laga Indonesia tidak sesederhana The Raid semata. Namun, sebagai sebuah upaya pemaknaan sejarah, Garuda Power terasa seperti pasangan yang fasih mengungkit-ungkit masa lalu tapi luput untuk melihat ke depan. Masa lalu boleh jadi indah, tapi kebahagiaan masa sekarang hanyalah anomali.

Garuda Power: The Spirit Within | 2014 | Durasi: 77 menit | Sutradara: Bastian Meiresonne | Produksi: Shadya Production | Negara: Prancis, Indonesia