Ali & Ratu Ratu Queens: Mengangsur Mimpi Amerika dengan Bunga Logika Cerita

New York adalah sumber kebahagiaan. Setidaknya itulah yang Ali (Iqbaal Ramadhan) percayai. Mulanya kebahagiaan itu ia taruh pada sosok Mia (Marissa Anita), mamanya. Kemudian New York, rumah barunya—sebuah kota yang, meminjam kalimat Ali, “Mama cintai lebih dari Ali” demi mimpi Mia jadi seorang penyanyi.

Keluarga adalah elemen paling menonjol dalam lintasan kisah Ali & Ratu Ratu Queens. Mereka diletakkan dari Jakarta ke New York—dari sekerabat muslim taat yang sulit menerima perbedaan pendapat, ke sebuah keluarga non-kerabat yang mengedepankan kebebasan bertindak serta berpendapat. Ali, sebagai penghubung keduanya, memisahkan mereka lewat coretan gambar pesawat dan tiket sekali jalan, yang kemudian ia buat makin berjarak lewat analoginya soal plang jalan satu arah di akhir cerita.

Demi menjemput kebahagiaan, film menguji Ali dan Mia sebagai penerabas batas-batas konsep keluarga selaku unit sosial yang dianggap secara inheren fungsional. Upaya ini terbilang segar mengingat ‘keluarga’ dalam kerangka penceritaan sinema kita masih sulit keluar dari mitos kepatuhan serta ketundukan perempuan. Sedangkan, demi menjemput premis cerita, film membenturkan Jakarta dan New York sebagai ruang di mana imajinasi sosial tersebut mampu ditawarkan. Meski pada akhirnya, cara yang ditempuh pembuat film harus mempertaruhkan sekian logika yang gagal dipertanggungjawabkan.

Perempuan dan Keluarga Melampaui Definisi Usang

Sedari awal, Ali & Ratu Ratu Queens mengarahkan kita pada gugatan terhadap arketipe peranan perempuan ala Panca Dharma Wanita. Meski tidak dikatakan secara eksplisit, Mia sulit menerima bahwa ia telah, seperti kata suaminya, “menjadi segalanya di sini (Jakarta)” sebagai ibu dan istri. Kedua peran itu Mia gadaikan di New York, kota yang kemudian masuk dalam daftar ziarah Ali selepas ia menjadi yatim.

Niat Ali pergi ke New York demi menemui mamanya sempat terhalang keluarga besar dari pihak ayahnya—sebuah keluarga yang tunai dalam pengertian klasik, dan dipersonifikasi lebih lanjut melalui sosok bude Ali (Cut Mini).

Keluarga ayah Ali memandang moral agama sebagai pedoman atas segala hal. Mana yang baik dan mana yang buruk diputuskan demi (dan menurut) ‘kebaikan’ keluarga. Hal ini ditegaskan sejak awal film di sebuah acara silaturahmi, yang mungkin lebih layak disebut sebagai ajang pamer capaian anggota keluarga. Keinginan Ali menjadi kabar buruk yang disambut dengan “astaghfirullahaladzim”, yang kemudian didikte atas nama masa depan (“sekarang saatnya [kamu] kuliah”) dan juga ibadah (“gimana kamu ngejaga sholat kamu?”).

Pada scene yang sama, kita juga diberitahu bagaimana keluarga ayah Ali meletakkan pola kepantasan bagi seorang perempuan. Fungsi mereka dalam prokreasi (lamaran, hamil) dirayakan dengan “alhamdulillah”, sementara pada saat yang sama, upaya seorang perempuan mengejar mimpinya disejajarkan dengan kata “cuma”.

Entah karena baik hati atau malas berhadapan dengan bocah keras kepala, bude Ali lalu mengizinkan Ali pergi ke New York. Bermodal uang sewa rumah Rp28 juta, obat peninggi badan, cemilan yang tidak seberapa, dan nasihat “jangan makan babi”, Ali mantap berangkat. Ia meninggalkan Jakarta, keluarganya, dan juga sekian misteri bagi penonton soal pengajuan visa dan tetek bengek lain seperti birokrasi imigrasi.

Ali & Ratu Ratu Queens mendadak lompat ke kemegahan dan keriuhan New York yang memperkenalkan kita pada ‘keluarga baru’ Ali. Mereka adalah ratu-ratu Queens: empat sekawan Party (Nirina Zubir), Chinta (Happy Salma), Ance (Tika Panggabean), dan Biyah (Asri Welas). Sekumpulan perempuan yang ditampilkan tangguh, mandiri, serta asertif—sekumpulan sifat yang pernah dicela anggota keluarga dari pihak ayah Ali.

Sekali waktu Ali mempertemukan membenturkan kedua ‘keluarga’ lewat video call. Dari layar di Jakarta, pertemuan itu disambut dengan senyum getir, tekukan dahi, dan lagi-lagi: “astaghfirullahaladzim” (apakah karena Chinta tidak berhijab? Wallahualam). Sementara, dari layar di New York, pertemuan itu disambut dengan mitos ke-Indonesia-an yang kita kenal secara baik selama ini: keramahtamahan. Meski tak ada lagi hal yang sengaja ditabrakkan, seperti pekik Biyah soal kalah judi yang bisa jadi alasan paling masuk akal mengapa bude Ali menekuk dahi, norma-norma dalam dua keluarga ini silih berganti dimunculkan sebagai friksi.

Kadang kala penonton disuguhi dengan nilai-nilai yang mungkin sulit diterima bagi ‘keluarga lama’ Ali, namun dianggap sebagai kewajaran dalam ‘keluarga baru’ Ali. Hal paling krusial yang melandasi konflik cerita adalah sosok perempuan yang mengejar mimpi. Selebihnya, ia dimunculkan dalam simbol-simbol yang relatif kecil, seperti judi, tato (Ance), alkohol, seks pranikah (dari dialog Chinta), atau brownies ganja.

Ada kalanya penonton disuguhi nilai-nilai ‘keluarga lama’ Ali—dan mungkin juga sebagian besar keluarga kelas menengah muslim Indonesia—namun tak berlaku dalam kamus ‘keluarga baru’ Ali. Simbol itu selalu mengelabui dirinya lewat istilah ‘nama baik’ atau ‘kebaikan bersama’. Hal yang secara konsisten dimunculkan adalah ketentuan bahwa perempuan baik adalah seorang istri yang menjadi pendamping suami sekaligus pembimbing anak. Di sini, norma itu diterapkan ‘keluarga lama’ Ali sebagai tolok ukur atas Mia dan New York—dua hal yang dianggap mampu membatasi gerak Ali sebagai anggota keluarga yang fungsional. Ia bisa berupa tabiat passiveaggresive (“ya udah kamu gak usah pulang”), fear mongering (“New York itu kota yang sangat berbahaya”), atau gaslighting (“kita seperti ini demi kebahagiaan kamu”).

Ali, yang belum mentas sebagai remaja, tidak pernah mempemasalahkan simbol-simbol pertama. Ia, selayaknya sekian remaja seusianya (dan juga sekian premis film coming of age lain), hanya butuh ruang untuk merasa dipahami dan didengarkan. Dua hal yang kemudian ia dapatkan dari sosok ratu-ratu Queens.

Melalui keputusan Ali untuk ‘berpindah’ keluarga, penonton dititipi sebuah pertanyaan penting, yaitu: mengapa keluarga yang fungsional harus berada di New York? seperti apa keluarga yang fungsional?

Miniatur Indonesia dan Imaji Amerika

Ali & Ratu Ratu Queens membenturkan Jakarta dan New York—dengan segala imajinasi sosialnya—demi memberi jalan bagi Ali untuk mencari sebuah jawaban. Di Amerika Serikat, Ali justru menemukan konsep-konsep yang kita kenal secara baik lewat pelajaran semasa sekolah, seperti gotong royong atau tenggang rasa, yang ironisnya justru tidak hadir di negara di mana padanan itu dicetuskan. Oleh para pembuat film, replika atas mitos-mitos ke-Indonesia-an secara berulang dirumuskan di atas sebuah kota yang terkenal dengan keberagamannya; di New York; di Queens; di sekumpulan penghuni apartemen yang mengartikan bahwa hidup layak dijalani ketika ia memberi kebebasan untuk memilih cara jadi diri sendiri.

Di awal, New York dihadirkan secara megah dari ketinggian yang berangsur merendah. Dari atas, ikon kebebasan menyalak jelas lewat Patung Liberty. Sementara dari bawah, kamera secara selektif menangkap diorama ke-Indonesia-an yang dijanjikan kurikulum kewarganegaraan pada para siswanya. Mulai dari ratu-ratu Queens yang melafalkan secara baik semboyan bhinneka tunggal ika, perempuan kulit hitam yang ramah, hingga pedagang kaki lima yang memberi makanan (serta dakwah) gratisan. Tiga dari sekian hal yang semakin membuat Ali percaya bahwa ia akan menemukan kedirian sejati di sini.

Premis seorang remaja yang mencari cara untuk menemukan kediriannya lengkap dengan anotasi simbol-simbol ke-Amerika-an bukanlah hal baru di sinema kita. Kuldesak (1998), film yang menandai generasi baru sineas Indonesia, juga pernah bercerita hal serupa. Kesamaan kedua film ini terpampang jelas lewat lakon para protagonisnya. Mereka saling menaruh hati pada profesi sebagai artis (penyanyi, ilustrator, pembuat film, musisi). Mereka juga sama-sama sepakat untuk mendobrak norma yang berlaku demi mencapai ambisi. Dan, terakhir sekaligus yang terpenting, mereka melekatkan Amerika melalui simbol-simbolnya (New York, Quentin Tarantino, Kurt Cobain) sebagai gaya hidup yang perlu ditunaikan demi mencapai aspirasi.

Ali & Ratu Ratu Queens seolah mengajak kita untuk mundur ke pola pikir puluhan tahun yang lalu bahwa Amerika memiliki arti yang sama dengan kebebasan. Konsep yang kemudian dihadirkan setengah matang tanpa berupaya lebih jauh untuk menjamah sekian peluang atau konsekuensi yang lumrah terjadi secara riil.

Selalu ada tanda tanya besar atas setiap kemujuran Ali dari awal sampai akhir. Apakah pernyataan “pergi menemui mama” yang tak jelas juntrungannya itu mampu meluluhkan hati petugas imigrasi? Cukupkah uang sewa rumah yang tak seberapa tadi jadi penjamin isi tabungan pemberkasan visa Ali? Apakah Ali sebenarnya kenal ‘orang dalam’ sehingga mudah saja baginya untuk mengganti visa B-2 (turis) ke F-1 (pelajar) tanpa harus keluar Amerika Serikat dulu? Jika jawaban dari pertanyaan terakhir adalah iya, maka lupakanlah pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Namun, jika jawabannya adalah tidak, logika yang sama memang tak lebih dari pelecehan terhadap nalar penerjemahan sinematik yang malas.

Kecurigaan yang sama bahkan juga bisa kita terapkan pada ketokohan Mia, Party, Chinta, Ance, atau Biyah. Namun kita tahu bahwa sedari awal film tak berniat untuk memperlihatkan Amerika yang pilu bagi orang-orang itu. Atas nama kebebasan dan juga premis cerita, Ali & Ratu Ratu Queens meminggirkan sekian kemungkinan dari Amerika yang sulit mengeluarkan izin visa, Amerika yang tidak menjanjikan apa-apa, Amerika yang minim jaminan sosial, dan/atau Amerika yang diskriminatif terhadap warga di luar bangsanya.

Hal-Hal yang Belum Selesai

Satu-satunya hal yang tunai dari awal sampai akhir narasi Ali & Ratu Ratu Queens justru muncul sebagai ironi. Melalui sosok Mia, keasertifan perempuan yang ditampilkan sebagai landasan konflik cerita di awal justru patah ketika ia memilih menyerahkan nasibnya pada penghidupan laki-laki. Ketokohan Mia semakin mengawetkan konsep citra perempuan yang diliputi keraguan tentang perannya sendiri. Di mana peranan dalam keluarga dan masyarakat harus dipadukan sebagai kompromis, tanpa mengabaikan fungsinya sebagai istri dan juga ibu rumah tangga.

Selebihnya, Ali & Ratu Ratu Queens hanya meninggalkan misteri dalam lubang-lubang di sepanjang alurnya tanpa pernah ada upaya untuk menutupnya. Penonton tak diberi jawaban tentang, misalnya, apakah ratu-ratu Queens kelak sukses (secara ekonomi) demi membuktikan bahwa gagasan American dream yang ditawarkan sedari awal bukan cuma isapan jempol belaka. Atau, yang paling absurd, teka-teki kemujuran Ali selama ini.

Satu waktu, ujung dari mic boom melongok ke layar persis ketika Ali mengajukan beasiswa jalur ‘orang dalam’. Sulit memutuskan apakah ini murni kecerobohan teknis atau justru pernyaatan sinematik mengingat begitu mustahilnya situasi yang sedang dipaparkan. Tawaran logikanya: seorang pemuda yang entah dari mana asalnya bisa begitu saja mendapat beasiswa berbekal portofolio karya yang, meminjam kalimatnya, “not really trying to say anything, it just makes me happy”. Dari layar yang ‘bocor’ tadi, penonton seolah diberi aba-aba bahwa batas antara fiksi dan kenyataan sedang dirobohkan, sehingga kita memang tak perlu ambil pusing soal silogisme macam apa yang sedang film terapkan.

Tak seperti protagonisnya yang ditampilkan bertanggung jawab atas dirinya sendiri, Ali & Ratu Ratu Queens justru melengos dari logikanya sendiri. Sepanjang film, niat-niat baik untuk menggagas konsep keluarga dan keperempuanan seolah hadir demi mengamini sepotong kalimat Ali pada akhir cerita bahwa ini merupakan “banyak jalan [bagi] kita untuk dikecewakan”.

Ali & Ratu Ratu Queens | 2021 | Sutradara: Lucky Kuswandi | Penulis: Gina S Noer | Produksi: Palari Films | Negara: Indonesia | Pemeran: Iqbaal Ramadhan, Nirina Zubir, Asri Welas, Happy Salma, Tika Panggabean, Marissa Anita, Aurora Ribero, Bayu Skak, Cut Mini, Ibnu Jamil