
Ketika dulu pertama kali mendengar istilah festival film, yang terlintas dalam pikiran saya adalah ajang awarding atau pemberian penghargaan terhadap sebuah film, juga kumpulan film-film “berat”. Istilah “berat” saya pakai, mungkin karena saya tumbuh dengan tontonan film-film blockbuster Hollywood—saya jadinya kurang akrab dengan gaya penceritaan film-film luar Hollywood. Festival seperti menjadi ruang eksklusif memutar film-film yang tidak diputar di bioskop-bioskop komersil, yang menjamur di berbagai kota di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, saya menyadari festival film merupakan bagian penting dalam semesta perfilman. Festival film sebagai ruang pertemuan film dengan film lain, penggiat film dengan penggiat film lain, dan yang paling utama adalah pertemuan film dengan penontonnya. Saya melihat sebuah festival film memberikan kita kesempatan untuk bisa mengakses, mengapresiasi, maupun merasakan sensasi dari jenis-jenis film yang ternyata sangat banyak. Festival memberi kita pengetahuan bahwa film tidak hanya produk Hollywood, tapi banyak juga film-film dari belahan dunia lain yang memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri.
Sebagai orang yang terlibat dalam sebuah produksi film pendek, saya semakin menyadari kebutuhan adanya sebuah festival film pendek. Pertama adalah kebutuhan ekshibisi atau distribusi film pendek yang saya produksi bersama rekan-rekan. Kedua, adanya kebutuhan memperkaya referensi akan tontonan yang disajikan dalam film-film pendek. Tak bisa dipungkiri, ketika saya menonton film-film pendek karya rekan-rekan pembuat film pendek dari berbagai daerah, ada rasa kagum, terkejut, sebal, maupun gemas yang saya rasakan. Kagum terhadap karya yang benar-benar menonjol, seperti ketika saya menonton film Bermula Dari A karya BW Purbanegara dan ketika menyaksikan Halaman Belakang karya Yusuf Radjamuda untuk pertama kalinya di Festival Film Solo 2013. Saya terpukau oleh rekan-rekan pelajar di SMP Satu Atap Karangmoncol, karena mereka bisa menuturkan keadaan sekitar mereka dengan jujur melalui film-filmnya. Film pendek lainnya, seperti Wan An karya Yandy Laurens juga Liburan Keluarga karya Tunggul Banjaransari, berhasil memunculkan rangsangan pada diri saya untuk berkarya lebih lagi. Sebal dan gemas karena kenapa saya belum bisa berpikir sejauh itu, kenapa saya tidak kepikiran seperti itu dan kenapa-kenapa yang lainnya. Energi-energi tersebut merupakan oleh-oleh bagi saya setelah mengunjungi sebuah festival film pendek. Hal itu mendorong saya untuk terus bereksplorasi dan lebih tanggap akan apa yang terjadi di kanan-kiri saya. Dari situ saya menyadari adanya simbiosis mutualisme antara produksi film dan festival. Mereka saling menumbuhkan satu sama lain.

Festival dan Pembuat Film
Pertemuan pertama saya dengan festival film dimulai ketika saya menghadiri Malang Film Festival (MAFI Fest), yang secara rutin digelar oleh KINEKlub Universitas Muhammadiyah Malang, di tahun 2010. Ketika itu karya saya masih absen dari ramah-tamahnya sebuah festival film pendek. Banyak sekali hal yang saya temukan di MAFI Fest.
Selain film bertemu penontonnya, film juga bisa memunculkan wacana yang asyik untuk dijadikan bahan diskusi. Tukar informasi antara para pembuat film maupun penggiat film di luar bidang produksi menjadikan suasana festival benar-benar terasa ramai dan hangat. Hal yang cukup penting adalah bagaimana sebuah film bisa berperan lebih dari sekadar media cerita. Muncul sensasi yang berbeda ketika menonton film-film yang diputar di festival dengan menonton film di bioskop. Sebagai seorang pembuat film yang baru melek, saya melihat suasana tersebut sebagai motivasi tersendiri untuk diri saya dan karya saya nantinya. “Saya mau penonton seperti itu untuk film saya!”
Sebelumnya, film saya hanya jadi jago kandang di pemutaran rutin komunitas kampus saya, dan bisa dibilang saya sudah puas atas capaian tersebut. Pada dasarnya, penonton di pemutaran rutin tersebut didominasi oleh teman-teman sendiri, yang melulu memberikan pujian yang kurang obyektif, karena faktor kedekatan. Setelah menghadiri festival tersebut, muncul kegelisahan bahwa saya perlu tahu di mana sekarang level film saya ketika bertemu dengan film-film lain. Saya pikir bila saya ingin maju saya harus berani ditemukan dengan penonton yang lebih luas lagi. Festival film pendek bisa jadi media yang efektif. Semenjak itu paling tidak saya lebih mulai melek terhadap festival-festival film pendek di Indonesia, walaupun saya masih merasa canggung untuk menghadirinya.
Kembali lagi ke MAFI Fest, yang diselenggarakan di kota saya, yang secara sengaja maupun tidak membuat saya selalu memperhatikan perkembangannya. MAFI Fest menjadi festival yang penting di Malang karena merupakan stabil diselenggarakan setiap tahunnya. Festival ini memberi ruang bagi film pendek untuk berkompetisi dan film-film panjang yang jarang bisa kita saksikan di bioskop untuk diputar. Ada pula diskusi dengan para pembuat film yang berprestasi. Sebuah format yang sudah sangat menarik, dan yang terpenting, diperlukan untuk memberikan media bagi pembuat film mengantarkan filmnya bertemu dengan penonton, dan memberi kesempatan bagi penonton untuk menyaksikan film-film yang sering diapresiasi di luar negeri namun jarang diputar di bioskop.
Kemampuan festival ini untuk selalu hadir setiap tahunnya harus diapresiasi mengingat pernah muncul ajang festival lain serupa MAFI Fest, seperti Festival Film Batu oleh Pemerintah Daerah Kota Batu tapi hanya “kagetan” satu kali. Sempat ada pula festival film yang diselenggarakan oleh rekan-rekan mahasiswa dari Universitas Ma Chung Malang. Ajang ini sempat digadang-gadang menjadi sebuah festival jagoan, selain MAFI Fest, karena memiliki ruang pemutaran yang ideal. Namun sayang, hanya dua kali saja ajang ini diselenggarakan. Padahal, apabila ajang-ajang tersebut konsisten diselenggarakan, maka akan membuka banyak ruang bagi karya-karya untuk diapresiasi penonton yang lebih luas. Saya meyakini atmosfer perfilman di kota Malang akan menjadi dinamis. Setelah cukup lama MAFI Fest berjuang sendiri di Malang, kini muncul sebuah ajang pemutaran film pendek yang bertajuk Brawijaya Movie Exhibition (BME), yang digagas oleh kawan-kawan Societo Sineklub Universitas Brawijaya.
Mungkin saya perlu sedikit memberikan penjelasan singkat tentang Societo Sineklub, karena melalui Societo Sineklub ini saya pertama kali membuat film pendek, saya rasa tanpa Societo Sineklub saya mungkin menjadi seseorang yang gemar menonton film-film Hollywood saja. Societo Sineklub merupakan sebuah Lembaga Semi Otonom (LSO) di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Brawijaya (FISIP-UB). Berdiri pada 2006, Societo Sineklub bertujuan menjadi wadah untuk menyalurkan minat-bakat mahasiswa FISIP UB di bidang perfilman. Dari 2006 sampai 2011, Societo Sineklub sibuk dengan program-program produksi film pendek dan beberapa pemutaran untuk meluncurkan film-film produksi tersebut.
Pada 2012, rekan-rekan Societo mulai menyadari perlunya pengetahuan mengenai eksibisi film. Kehadiran delegasi klub ini di Festival Film Solo 2012 (FFS) dan Pesta Film Solo, sepertinya menjadi pemicu bagi mereka untuk ikut serta menggalakan ruang pemutaran di kota Malang. Societo memulainya dengan pemutaran kolaborasi dengan rekan-rekan KINE Klub UMM, yang bertajuk Sinema Paradiso (Pemutaran Reguler Film Indie KINE Klub-Societo). Beberapa rekan-rekan Societo yang mengikuti Kelas Pemutaran dan mendapatkan workshop mengenai teori dan teknis pemutaran film yang ideal di FFS membuat ajang ekshibisi film-film yang awalnya ditujukan untuk lingkup kampus Brawijaya. Pada tahun 2012 lahirlah Brawijaya Movie Exhibition (BME).
BME merupakan ajang eksibisi film-film pendek dari berbagai komunitas di Indonesia. Dalam ajang ini, komunitas-komunitas film tersebut dapat menjalin silaturahmi melalui karya-karya mereka, serta membuka peluang terbentuknya jaringan baru. BME baru dua kali diselenggarakan, pada 2012 dan 2013. Dalam dua kali penyelenggaraan tersebut, BME sudah mengalami perkembangan yang signifikan. Cakupan BME awalnya hanya untuk film-film komunitas di Brawijaya, namun di penyelenggaraan yang kedua, ruang lingkup cakupan BME meluas sampai nasional. BME 2013 yang lalu memutar film dari komunitas-komunitas yang ada di Indonesia, yang tentu melalui sebuah proses kurasi yang lebih kompleks.
Rutinnya penyelenggaraan MAFI Fest setiap tahunnya, serta munculnya semangat baru dengan kehadiran BME ini tentu menumbuhkan harapan terciptanya atmosfer kegiatan ekshibisi film yang aktif di Malang. Diharapkan para pembuat film semakin bergairah untuk membuat karya-karya yang terus berkembang dan festival-festival film yang muncul membuka komunikasi, jaringan, dan referensi untuk para penggiat perfilman di Malang khususnya dan Indonesia pada umumnya. Sekali lagi, kita harus memberikan apresiasi kepada rekan-rekan pengelola MAFI Fest dan BME karena tidak banyak komunitas atau penggiat film yang memilih bergerak di bidang pemutaran di kota ini. Dari sekian banyak komunitas, hampir semua memilih bergerak di bidang produksi film. Pertanyaannya: tanpa adanya ruang ekshibisi, mau dibawa ke mana jumlah film sebanyak itu?
Saya teringat sebuah obrolan dengan Arif Achmad Yani, seorang penggiat pemutaran film di Malang. Beliau sering sekali mendapat pertanyaan, kenapa dari sekian banyaknya pemutaran film yang telah diselenggarakan, jarang sekali film produksi Malang yang diputar? Beliau dengan lugas menjawab, “Apa yang mau diputar, kalau secara kualitas film di Malang begitu-begitu saja?” Obrolan ini memang menjadi sebuah kritik bagi para penggiat produksi film di Malang untuk mengembangkan kualitasnya. Namun, lagi lagi saya juga berpikir kalau banyak dari rekan-rekan yang berproduksi film ini kekurangan referensi film dan pembanding. Sehingga karyanya mungkin berkutat di wilayah-wilayah itu-itu saja. Ini kembali menjadi peluang bagi sebuah festival untuk memberikan ruang referensi, karena saya sangat yakin bahwa festival merupakan salah satu sumber energi para pembuat film untuk kembali berkarya.

Festival dan Penonton
Akan tetapi, masih cukup banyak pekerjaan rumah bagi pengelola festival film di Malang. Banyak problematika yang masih menjadi kegelisahan yang belum terpecahkan. Contohnya, saya merasa selama ini festival film di Malang masih berjarak dengan masyarakat. Hanya para penggiat atau orang-orang yang berkecimpung di dunia film yang meramaikan festival-festival film di Malang. Padahal interaksi antara penonton yang memang datang sebagai penonton dengan film kita yang menjadikan festival lebih semarak. Pengalaman tersebut baru saya dapat ketika mendatangi Festival Film Solo 2013 yang lalu. Saya terkejut senang ketika ada seorang bapak-bapak yang menonton film-film yang diputar dan terlibat aktif dalam sebuah diskusi. Atau seperti ketika menghadiri Europe on Screen dan Festival Sinema Prancis, yang ruang pemutarannya dipenuhi para ekspatriat yang rindu tanah kelahirannya. Walau salah satu tujuan festival tersebut adalah menyediakan ruang silaturahmi para ekspatriat yang ada di Indonesia, namun di situlah serunya: film menjadi ajang interaksi masyarakat, tidak melulu para penggiat film. Saya rasa festival juga perlu menjadi media untuk membuka kesempatan bagi film pendek, atau film-film yang bukan arus utama untuk dikenal masyarakat. Saya merasa ketika saya menghadiri festival film di Malang, festival tersebut hanya menjadi milik para penggiat film atau komunitas film saja, belum ada peran serta masyarakat di sana. Film pendek, misalnya, masih tetap menjadi barang asing bagi masyarakat Malang.
Padahal apabila kita lihat, masyarakat sekarang pasti sudah jengah dengan tontonan yang ada. Sudah menjadi kebutuhan akan adanya tontonan alternatif untuk mereka sebenarnya. Namun, mau tidak mau tetap saja mereka masih menonton tontonan tersebut, karena tidak ada alternatif lainnya. Peluang itulah sebenarnya yang bisa dimanfaatkan oleh para pengelola festival. Tidak perlu muluk-muluk memang, tidak perlu semua masyarakat berbondong-bondong menonton, namun paling tidak ada kelompok masyarakat yang mengakses festival tersebut. Ketika masyarakat bertanya kapan lagi diselenggarakan sebuah festival, maka festival tersebut sudah dinantikan oleh masyarakat, karena sudah terjalin kebutuhan antara kedua pihak. Festival perlu penonton, masyarakat perlu tontonan, dan para pembuat film akan tersenyum semakin lebar ketika filmnya ditonton penonton luas.

Festival dan Kelanggengannya
Di Malang, para pengelola kegiatan film, termasuk festival, berasal dari komunitas berbasis kampus. Sebenarnya, hal tersebut bisa menjadi kekuatan namun disaat bersamaan bisa menjadi kelemahan. Menjadi kekuatan adalah ketika semangat dari kawula muda ini digunakan untuk membangun festival tersebut untuk terus berkembang. Namun, komunitas yang berbasis kampus bermasalah dalam hal regenerasi. Periode baru sama artinya dengan anggota baru, sehingga tujuan komunitas boleh jadi berganti pula—dan akhirnya berimbas pada tujuan atau visi sebuah festival. Padahal festival yang baik tentu memiliki visi jangka panjang. Dalam setiap film, ada director’s statement. Saya kira festival juga perlu mengusung sebuah pernyataan dalam penyelenggaraannya, hal yang tentu menjadi sulit ketika setiap tahun berganti kepengurusan, sehingga tidak tercipta kontinuitas. Ini menyebabkan wajah festival yang khas tidak tampak. Celakanya, hal tersebut membuat sebuah festival film hanya berakhir sebagai ritual program kerja tahunan saja, di mana hanya terjadi pengulangan-pengulangan dari tahun ke tahun. Bila hal itu sudah terjadi maka sebuah festival akan menjadi lesu.
Indikasi ini sedikit banyak mulai terasa ketika saya menghadiri MAFI Fest 2013 lalu. Saya kurang merasakan gereget dalam berjalannya festival, jauh berbeda dari gairah yang saya rasakan sewaktu 2011. Hal ini tentu harus segera diperhatikan oleh para pengelola MAFI Fest agar kembali menemukan gereget dalam penyelenggaraan festival, agar festival itu tidak terkesan menjadi pengulangan-pengulangan dari penyelenggaraan tahun-tahun sebelumnya. Pertanyaan yang sama juga membayangi BME untuk ke depannya. Apakah BME bisa mempertahankan eksistensinya dengan terus mengembangkan kualitas penyelenggaraan festival? Dengan usia yang masih muda, pengelola BME perlu menentukan visi ke depan. Bila tidak, BME hanya akan berakhir sebagai ritual semata.
Apabila festival film di Malang sekadar menjadi ritual, jangankan untuk menjadi media tontonan alternatif bagi masyarakat, untuk bertahan ada saja sudah sulit. Jika penyelenggaraan festival tersebut sudah menjadi masalah dan pada akhirnya mati, maka perlahan akan semakin lesu pula atmosfer kegiatan film di kota ini. Sebuah kemungkinan yang tentu kita semua tidak inginkan. Akan ironis kalau hal ini terjadi, mengingat Malang yang diklaim—atau mengklaim—sebagai kota pendidikan dengan belasan perguruan tinggi dan puluhan sekolah menengah, menjadi kota yang mandul dalam berkarya. Bukankah semua pergerakan yang terjadi di negeri ini, termasuk kebangkitan film Indonesia, selalu dipelopori oleh anak-anak muda? Malang, dengan segala potensinya, perlu menyadari hal ini.
Saya tentu berharap rekan-rekan pengelola MAFI Fest dan BME agar jangan sampai terjebak dan larut dalam ancaman ritual tersebut. Karena bagaimanapun saya dan mungkin rekan-rekan pembuat film di Malang dan dari kota-kota lain tentu memerlukan wadah pemutaran di kota Malang, yang setidaknya menyediakan stimulus untuk berkarya. Tentu hal ini juga bukan menjadi sebuah beban yang harus ditimpakan seluruhnya ke rekan-rekan penyelenggara MAFI Fest dan BME, tapi kepada seluruh penggiat film di Malang khususnya, untuk terus belajar dan saling mengoreksi. Paling tidak agar MAFI Fest dan BME terus hadir, syukur-syukur memberi rangsangan bagi yang lain untuk meramaikan festival film di Malang.