Film horor, menurut Katinka van Heeren dalam Contemporary Indonesian Film: Spirit of Reform and Ghost from the Past, merupakan ruang pertunjukan untuk menampilkan tabu-tabu sosial. Atau, dalam banyak kesempatan, mempertanyakannya. Nyatanya hampir semua sosok hantu, setan, demit, atau antagonis dalam film horor bisa dikaitkan dengan ketakutan terpendam masyarakatnya. Oleh karena itu tak jarang film horor menjadi indeks kulturil yang ampuh dalam memaparkan kondisi moral suatu masyarakat pada suatu zaman. Pengabdi Setan, baik versi lama maupun baru, menjadi buktinya.
Tentunya ada nuansa yang perlu dipertimbangkan. Pengabdi Setan edisi perdana, yang disutradarai Sisworo Gautama Putra, beredar pada 1980. Pada masa itu, negara menjadi pemain aktif dalam merumuskan dan menegaskan mitos-mitos di tengah masyarakat, mulai dari demonisasi komunis hingga pemajangan mayat preman di jalan-jalan. Ketakutan diproduksi secara vertikal.
Selang 37 tahun, Joko Anwar berhadapan dengan kondisi zaman yang berbeda. Negara masih berperan aktif dalam memproduksi mitos, tapi ia hanyalah satu di antara jutaan pemain lainnya: rakyat. Demokrasi tidak saja mengembalikan hak beropini kepada warga, tapi juga memungkinkan warga untuk memproduksi mitosnya. Ketakutan diproduksi secara horisontal.Moral Baik-Buruk
Pengabdi Setan edisi 1980 menghadirkan tabu sosial melalui tokoh-tokohnya. Munarto merupakan sosok kepala keluarga yang mengabaikan kewajibannya untuk beribadah, terlalu mengutamakan pekerjaan di kantor, dan akhirnya alpa sebagai orangtua tunggal. Tak hanya Munarto, anggota keluarganya pun turut dalam tabu sosial. Rita, anak pertamanya, larut dalam pesta-pesta larut malam bersama kawannya, Herman. Tomi, si bungsu, mempelajari ilmu hitam alih-alih mendekatkan diri pada agama setelah beberapa kali merasa didatangi arwah ibunya. Lengkap sudah tabu di dunia dan akhirat dilakoni.
Munarto merasa masalah keluarganya berakar pada absennya sosok ibu. Hadirlah Darminah, seorang pengurus rumah tangga yang Munarto sewa, yang bukannya menyelesaikan masalah justru menjadi musabab dari segala masalah.
Pilihan Munarto dan keluarganya untuk tidak mendalami agama sejatinya tak perlu jadi soal bagi orang lain. Masalah seperti itu adalah urusan pribadi dengan Tuhan, bukan dengan sesama manusia seperti Darminah. Seandainya motif-motif yang lebih logis dihadirkannya seperti motif balas dendam atau motif ekonomi, karena keluarga Munarto merupakan keluarga yang kaya raya, misalnya, mungkin bisa dipahami. Tapi nalar film berkata lain, yang tak lain tak bukan adalah konsekuensi penyeragaman film oleh negara.
Pada awal 1980an, Badan Film Nasional merumuskan Kode Etik Produksi Film Indonesia dan membentuk beberapa komisi untuk menunaikannya. Salah satunya adalah komisi film dalam hubungannya dengan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dampaknya: penyederhanaan logika. Mula-mula terjadi polarisasi baik dan buruk melalui pemunculan tabu-tabu sosial dalam masyarakat. Ketika keduanya berkonflik, si baik pasti harus menang melawan si jahat melalui mekanisme kemunculan penyelamat yang datang tiba-tiba, alias deus ex machina, berupa pemuka agama yang lazimnya berwujud kyai.
Akibat penyeragaman tersebut, Pengabdi Setan edisi 1980 sekadar menjadi pertunjukan tabu sosial dalam logika yang penuh lubang di sana-sini. Konflik sepelik apapun yang dibawa oleh Darminah, mulai dari kematian ganjil di sekitar keluarga Munarto hingga serbuan mayat hidup, dengan mudahnya teratasi melalui logika yang diwajibkan negara: kehadiran kyai.Logika Baru
Perubahan paling kentara yang Joko Anwar lakukan dalam Pengabdi Setan versinya adalah logika-logika baru untuk menambal lubang-lubang film pendahulunya. Logika baru untuk konflik baru pula. Dasarnya masih bersandar pada tabu sosial, dengan kontekstualisasi ulang untuk penonton zaman sekarang.
Tabu sosial dalam Pengabdi Setan versi Joko Anwar ditampilkan secara gradual dan akhirnya dipaksa saling berkait. Tabu pertama tampak dari pernyataan tegas Bapak kepada ustadz selepas pemakaman ibu bahwa keluarganya tidak solat.
Ketika arwah Ibu mulai meneror tiga anaknya—Rini, Toni, dan Bondi—hadir dua tabu lainnya: pernikahan si Ibu yang tidak direstui Nenek dan ritus misterius yang Ibu lakoni untuk memperoleh anak. Menurut Budiman, teman baik Nenek, Ibu mengikuti sebuah kelompok pemuja dewa kesuburan untuk mendapatkan anak-anaknya.
Ketiga tabu sosial yang dihadirkan membuat Pengabdi Setan versi Joko Anwar jauh lebih membumi dari pendahulunya. Penonton tidak lagi hanya disuguhi kolase adegan menakutkan sepanjang film tanpa tahu alasan mengapa hantu ibu terus mendatangi keluarganya. Agama tetap hadir melalui sosok ustadz, tapi ia tak lagi jadi kompas moral bagi tingkah laku keluarga protagonisnya. Ia hanyalah satu dari sekian banyak manusia di sekitar keluarga Bapak, Rini, Toni, dan Bondi.
Buktinya, dalam Pengabdi Setan teranyar, ustadz tak lagi berperan sebagai penyelamat. Ia justru hadir sebagai jalan masuk cerita untuk memperkenalkan Rini dengan Hendra, anak ustadz, yang dengan tegas menyatakan bahwa ia “terbuka dengan berbagai teori baru”. Setiap upaya yang Hendra lakoni bersama Rini, mulai dari investigasi kuburan hingga bertemu Budiman, selalu menghadirkan momentum bagi cerita film. Ritual doa dan saran ustadz untuk lebih mendekat pada agama tak membawa penyelesaian apapun.
Penggambaran ustadz sebagai manusia berlanjut ketika Hendra meninggal. Ia berubah menjadi sosok yang tidak peduli dan merasa berhak melakukannya karena menganggap penyebab kematian anaknya adalah Rini. Puncaknya adalah ketika si ustadz akhirnya terbunuh di tangan tokoh cerita lainnya. Ia tak bisa menyelamatkan orang lain karena menyelamatkan diri pun tak mampu.
Pengabdi Setan versi baru bukannya tanpa celah. Joko Anwar nampak seperti tidak bisa berhenti mengelaborasi tabu-tabu sosial yang ia sajikan dalam cerita, sampai harus dipaksakan berkait dengan informasi-informasi yang tak utuh dalam cerita. Bahkan sampai melanggar logika yang sudah dibangunnya sejak awal.
Mari kita cermati kembali okultisme dalam konflik cerita. Ketika Bapak berbicara pada Ibu pada awal film mengenai permintaannya untuk mengasihani anak-anaknya, kita tidak tahu apa yang sebenarnya tengah dibicarakan secara utuh. Tapi, melalui ungkapan-ungkapan baru yang dipicu perkembangan cerita, kita tahu bahwa Bapak dan Ibu sama-sama mengetahui syarat-syarat tragis yang digariskan kelompok pemuja dewa kesuburan. Apabila adegan tersebut dikaitkan dengan usaha Rini yang akhirnya menemui Budiman, kita tetap tidak bisa melacak apakah keputusan ibu melakoni ritual merupakan konsensus pasangan atau keputusan sepihak.
Lihat juga momen ketika Rini dan Toni menerima tulisan revisi dari Budiman. Toni hendak menunjukan bahwa kerap menemukan orang-orang aneh yang datang ketika Ibu menyanyi dahulu. Setelah mengetahui masalah kelompok pemuja dewa kesuburan tersebut, ia hendak meyakinkan Rini orang-orang tersebut memang ada. Ajaibnya usaha tersebut dilakukannya tanpa setitik pun keraguan. Foto-foto orang tersebut sudah ada di jarak beberapa langkah darinya dalam satu album foto yang tertata rapi.
Pengabdi Setan sendiri juga tidak konsisten dengan logika internalnya. Demit yang sepanjang film dihadirkan sebagai makhluk halus, tetiba berganti wujud menjadi makhluk keras—yang berbadan serupa manusia dan bisa dihalangi melalui batasan fisik macam pintu.
Pengabdi Setan karya Joko Anwar harus diakui merupakan ikhtiar terbaik untuk mengangkat harkat film horor Indonesia. Apabila rumor bahwa Joko Anwar akan membuat sekuel film terbukti benar adanya, mungkin segala cacat logika dalam Pengabdi Setan garapannya akan menemukan jawabannya. Namun, saat ini sebagai film yang berdiri sendiri, Pengabdi Setan versi anyar justru tersungkur bukan oleh campur tangan negara, tapi oleh si empunya karya.