Pada hari-hari biasa, Bucheon adalah kota yang nyaris tak terdengar gaungnya. Pertama mungkin karena Bucheon nyaris dibekap oleh ketiak dua metropolitan penting: Incheon (kota pelabuhan) dan Seoul (ibukota negara). Kedua mungkin karena memang tak banyak yang bisa ditemui di kota ini. Sama seperti kota lain di Korea Selatan, hawa sibuk menguar dari setiap langkah pejalan kaki yang terbirit-birit. Setiap kali ada yang bertanya dimanakah sebenarnya Bucheon, maka orang akan mulai menebak-nebak, mencoba mengingat peta buta dalam kepala masing-masing.
Lain halnya ketika bulan Juli tiba, Bucheon mendadak berwarna, jalur sepeda tiba-tiba ramai, orang-orang dari luar kota berdatangan ke sana, berbagai turis dan pegiat seni datang dari berbagai negara. Festival Film Fantastik Internasional Puchon (PIFAN) alasannya. Plang festival tiba-tiba bertengger di gerbang stasiun metro, anak-anak sekolah berlarian dengan kaos merah mereka yang bertuliskan PIFANIAN. Mereka anak-anak muda setempat yang bertugas mengawal jalannya acara, sebagai relawan, entah benar-benar rela atau sekedar menunggu makan siang gratisan.
Catatan saya tiga hari pertama di PIFAN mengukuhkan kesan bahwa festival film di Korea Selatan umumnya bukan hanya sekedar unjuk gigi aktivis dan pegiat industri film. Festival film adalah geliat seluruh penduduk kota. Ajang ini benar-benar dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membangun citra dan cap (brand) kota mereka di ranah antarbangsa. Pada beberapa plang tercantum tegas, bahwa Bucheon adalah kota dimana segala jenis seni fantastis bertemu: animasi, film berbasis genre, seni komputer, dan lain sebagainya. Lewat mana lagi cap tersebut bisa dipancarkan oleh kalau bukan lewat festival macam PIFAN. Maka selama ia berlangsung, alun-alun kota Bucheon direlakan sepenuhnya untuk kepentingan festival. Jalan-jalan kecil tiba-tiba berubah nama menjadi PIFAN Street. Gedung-gedung milik pemerintah tiba-tiba disatroni anak-anak muda relawan. Hotel setempat tiba-tiba penuh bestelan. Warung-warung tiba-tiba banjir pesanan.
Saya harus mencatat sebab ini adalah pelajaran berharga, bahwa festival film bukanlah saja milik mereka yang berkecimpung di dunia film, tapi milik penduduk dan pemerintah kota. Karena festival film, turis berdatangan. Karena turis berdatangan, pemasukan daerah bertambah. Saya sempat bercakap-cakap dengan penonton yang datang dari Asia Selatan, seusai festival, mereka tidak akan langsung meninggalkan Korea. Mereka akan berkeliling ke beberapa tempat wisata tenar di berbagai kota. Potensi pariwisata dan pembentukan citra benar-benar dimanfaatkan oleh Bucheon lewat ajang se-spesifik PIFAN. Kota kecil lain seperti Jeonju pun membangun citra antarbangsa lewat festival film. Tanpa festival film, penduduk non-Korea tak akan banyak yang tahu tentang kota kecil yang memang tidak terkenal itu. Sekarang, ketika orang bicara tentang kota mungil Jeonju, orang akan serta-merta bicara tentang festival film digital mereka yang sekarang menjadi pos ronda film digital Asia. Di Jeonju, saya juga mencatat bahwa kota yang nyaris tak memiliki atraksi apapun ternyata bisa mendapat pemasukan daerah yang sangat gigantis hanya lewat festival film berdurasi kurang dari dua minggu.
PIFAN 2012 dan Indonesia
PIFAN tahun ini patut dicatat karena mereka secara khusus mengundang lima karya-dalam-proses dari Indonesia untuk digodok selama festival tahun ini. Setelah program fokus atas karya-dalam-proses dari Jepang tahun lalu, tahun ini PIFAN menyorotkan lampu programnya pada Indonesia. Beberapa pembuat film lokal seperti Lucky Kuswandi, Kyo Hayanto, Sammaria Simanjuntak, Sidi Saleh, Nitta Nazyra C. Noer, Paul Agusta, dan Billy Christian akan terlibat dalam penggodokan tersebut. Dalam katalog resminya, disebutkan bahwa program fokus ini adalah interaksi sarat energi yang bertujuan untuk menyentuh perkembangan mutakhir film-film berbasis genre di Indonesia.
Di luar itu, tercatat ada empat film Indonesia yang akan pasang layar di PIFAN tahun ini. Yang pertama adalah film Parts of the Heart karya Paul Agusta yang ditayangperdanakan di Festival Film Antarbangsa Rotterdam awal tahun ini. Lalu kemudian Hi5teria, film borongan yang disutradarai oleh lima sutradara muda Indonesia. Akan tayang juga film pendek Taksi, tentang seorang perempuan yang mengalami kejanggalan dalam taksi yang ditumpanginya suatu malam. Yang paling besar gaungnya adalah Belenggu, film terbaru Upi Avianto. Dalam catatan juru program festival, film ini disebut sebagai film yang cerdas, dan digadang-gadang menjadi pengokoh gelar bahwa Asia Tenggara memang adalah gudangnya film-film genre berkualitas tinggi. Penonton lokal belum lupa betapa ganasnya The Raid menyatroni bioskop-bioskop Korea Selatan beberapa bulan lalu.
Hi5teria
Film Indonesia yang mendapat giliran putar pertama adalah Hi5teria. Film panjang yang disulam oleh 5 cerita pendek oleh lima sutradara. Bioskop nyaris penuh, saya yang datang terlembat harus rela duduk di deretan paling depan, mendongak tinggi ke layar, mengorbankan tengkuk. Cerita pertama berjudul Pasar Setan, yang berkisar di antara tiga tokoh di sebuah jalur pendakian di Gunung Lawu. Pasar Setan dimulai dengan seorang lelaki dari kota yang hendak mendaki. Ketika mendaki, ia menemui seorang perempuan yang tampak sedari lama sekali sudah ada di hutan itu. Sang perempuan sedang mencari seseorang dan tak sudi turun gunung sebelum ia menemukan seseorang yang ia cari, seseorang yang nampaknya sangat berarti. Dalam saat tertentu, hutan sekitar tiba-tiba berubah menjadi pasar malam kuno penuh obor, gambar buram bersanding riuh rendah di kejauhan. Rasa penasaran saya terhadap Pasar Setan justru tersangkut di judulnya. Apa gunanya pasar setan dalam cerita film itu? Pasar setan penuh obor terkesan hanya tempelan dan tidak berpengaruh sama sekali baik terhadap Gunung Lawu sebagai latar, maupun terhadap ketiga karakter yang mengemudikan cerita. Tanpa adegan pasar setan pun, cerita akan tetap bisa berjalan. Pasar Setan kemudian terkesan sebagai judul yang bercerai paksa dengan isi ceritanya. Meski demikian, ada semacam legenda yang ditangkap secara cantik oleh pembuat film. Bahwa di alam gaib (versi Indonesia), waktu seringkali berjalan tak paralel dengan waktu di dunia manusia. Persinggungan waktu antara hutan dan pos jaga, antara dunia setan dan dunia manusia, adalah bagian yang paling sedap dalam Pasar Setan.
Cerita kedua bertajuk Wayang Koelit, tentang seorang jurnalis Amerika yang menemukan tusuk konde seusai pertunjukan wayang kulit di sebuah desa di Jawa Tengah. Sebagai seorang asing, kesan pertama yang tertangkap dari Nicole –nama Jurnalis tersebut- ialah bahwa ia adalah seorang yang terpisah dari kondisi sosial-politis setempat. Ia adalah orang yang baru mulai mengenali wajah Jawa dan segala macam kemeruangannya, naasnya, wajah Jawa yang sedang ditelitinya itu tampil sebagai horor yang mengerikan. Sayang rasanya bahwa Wayang Koelit (juga) terpeleset menjadi Jawa yang eksotis, Jawa sebagai ruang yang berjarak yang nyaris tak berdaging dalam kemeruangannya. Saya kembali tersendat pada satu pertanyaan: kenapa pemeran utamanya harus orang non-Indonesia? Saya rasa tak akan berbeda bila pemerannya orang Indonesia. Bahkan, dengan menggunakan protagonis lokal, mungkin Jawa bisa lebih tergali dari sudut kemeruangannya.
Menjadi wilayah non-Jakarta di Indonesia berarti harus senantiasa bergelut dengan polemik semacam ini. Pembuat film dari Jakarta kerap datang ke daerah, membuat film tentang daerah yang bersangkutan dengan menggunakan referensi dan persepsi yang “Jakarta”. Lost in Papua adalah salah satu contoh terakhir yang saya catat. Kecenderungan ini yang membuat saya penasaran dengan film Mursala yang akan segera rilis. Sempat agak berkerut mendengar kabar bahwa sebuah lembaga adat di Sibolga tersinggung dengan isi cerita film tersebut. Ada bagian cerita film yang membuat “tersinggung” adat setempat. Bagian “tersinggung” ini yang tidak terasa dalam Wayang Koelit, sebab memang Jawa direkam hanya sebagai sesajen untuk mewujudkan horor yang hendak dibuat, meski harus mengorbankankan unsur kemeruangan jawa yang sejatinya kaya dan kompleks.
Cerita ketiga berjudul Kotak Musik, yang pesan ceritanya disampaikan secara verbal: “Apakah dengan sains dan teknologi kamu merasa sudah bisa menguasai segalanya?” Pesan verbal itu diucapkan oleh seorang hantu berwujud anak perempuan. Hantu kecil yang lucu ini tampak mengerti betul arti kata “sains” dan “teknologi.” Tentulah ia sangat mengikuti perkembangan mutakhir di sekitarnya. Film ini ditokohi oleh Luna Maya dengan kostumnya yang renda-renda. Ia berperan sebagai seorang ilmuwan yang tertarik mendalami dunia hantu, mungkin dengan harapan agar bisa membuktikan bahwa dunia perhantuan sebenarnya nihil belaka. Ia hanya bersemayam di cekung-cekungan psikis manusia. Tapi setelah penelitian lapangannya pada suatu malam, ada hantu anak kecil yang mengikutinya sampai ke rumah. Kotak Musik sangat tipikal baik pada cara pengungkapan cerita yang mengandalkan efek kaget (shock effect) maupun pada kejutan-kejutan (yang ternyata hanya mimpi) dan sebagainya. Bahkan ada adegan bercinta dan romansa asmara yang kurang terjelaskan faedah naratifnya bagi film secara keseluruhan.
Cerita keempat bertajuk Palasik arahan Nicholas Yudifar. Berkebalikan dengan Wayang Koelit yang mendatangi ruang Jawa, Palasik justru memindahkan legenda hantu Sumatera Barat itu ke sebuah villa yang kemungkinan besar ada di pinggiran Jakarta. Dialek yang dipakai adalah dialek Jakarta kecuali sang istri yang senantiasa memanggil suaminya dengan sebutan “Uda.” Dari beberapa obrolan setelah menonton film, sangat terasa aura bahwa penonton luar negeri kesulitan menembus tembok antar-budaya untuk memahami apa itu Palasik, meskipun, informasi yang disediakan oleh pembuat film sebenarnya sudah cukup gamblang. Bahkan ada petunjuk yang tidak saja penting untuk memperkuat latar belakang antropologis Palasik, tapi juga berperan kuat dalam sulaman cerita. Lokalitas bahan cerita menjadi kekuatan tersendiri bagi segmen ini.
Palasik adalah segmen yang paling mengundang senyum majelis penonton. Pasalnya, ada secuil adegan dimana karakter Novi tengah menyantap mi instan produk Korea yang juga sangat terkenal secara lokal. Ada seorang penonton yang berbisik, “Wah, ternyata mi merek itu sampai juga ya ke Indonesia.” Bersamaan dengan beberapa shot yang memunculkan si mi instan di layar, itulah jua senyum terlebar penonton sepanjang Hi5teria diputar.
Hi5teria ditutup oleh cerita Loket, bagian yang paling klaustrofobik sepanjang omnibus ini. Diceritakan, seorang perempuan sedang memulai (atau mengakhiri?) hari yang buram di tempat kerjanya: loket parkir di lantai bawah tanah sebuah pusat perbelanjaan. Sedari awal cerita, segalanya sudah janggal. Diri si perempuan kadang menjadi ganda, kadang juga tunggal. Palang parkir kadang bisa dibuka, kadang tidak. Petugas yang bertugas memperbaiki, kadang hangat, kadang juga dingin. Seorang ibu paruh baya datang mendekat, wajahnya kadang terlihat, kadang tidak. Loket mempermainkan kesabaran penonton dengan membuka sampul ceritanya dengan sangat pelan. Kejutan berlapis menjadi kekuatan yang paling berpengaruh dalam cerita ini. Terlepas dari problem continuity-nya yang menganggu (Si perempuan bisa membuka palang pintu parkir dengan menekan tombol di keyboard komputer, padahal komputer masih dalam tahap booting dan belum masuk ke sistem operasi. Bagaimana mungkin aplikasi bisa beroperasi bila komputer masih dalam kondisi booting? Celakanya, adegan komputer booting itu muncul berkali-kali di layar, bersahutan dengan tokoh utama yang semakin panik, jukstaposisi gambar antara keduanya menjadi terkesan konyol), meski demikian, Loket tetap menjadi salah satu usaha penggalian genre yang bekerja lumayan mulus.
Secara garis besar, kelima cerita dalam Hi5teria adalah horor berbasis tempat. Sangat mungkin bahwa para pembuat film yang terlibat memutuskan tempat terlebih dahulu sebelum memutuskan cerita apa yang akan diceritakan. “Mata orang kota” juga digunakan dalam hampir seluruh cerita, dimana karakter yang terlibat adalah penduduk urban yang berkunjung ke suatu desa, tempat peristirahatan, atau rumah kosong, dan menemukan kejanggalan di sana. Hanya Loket yang bertahan di area perkotaan dan memilih berkonsentrasi pada ruang urban yang potensial untuk dikembangkan menjadi horor.
Esok hari, Parts of the Heart karya Paul Agusta akan di putar di Lotte Cinema dengan dihadiri oleh Paul sendiri. Adapun Indonesia tahun ini adalah negara Asia Tenggara yang mengirim paling banyak karya ke PIFAN. Filipina yang biasanya sangat bersemangat di kancah festival film antarbangsa, tahun ini hanya diwakili oleh film terbaru karya sineas Jade Castro. Selain Indonesia, Malaysia dan Singapura juga mengirimkan beberapa karya, yang paling menarik adalah film Nasi Lemak 2.0, yang belakangan juga mengisi deretan film terlaris di negara muasalnya.
Tulisan ini akan diperbaharui setiap hari selama festival, tidak hanya berusaha mengikuti film-film yang naik layar, melainkan juga menjelajahi festival film sebagai khazanah kebudayaan kota, sebagai titik temu antar budaya, sebagai jendela, dan tentu saja sebagai industri.