Kehadiran Buya Ahmad Syafii Maarif (ASM) dalam khasanah kebangsaan kita adalah sebuah ilham bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia dikenal sebagai sosok pribadi yang mencerminkan kenegrawanan dan keteladanan; kualitas tokoh yang sangat dirindukan oleh masyarakat bangsa Indonesia. Sikapnya yang bersahaja dan terbuka membuat orang-orang yang mengenalnya dapat merasakan wibawa dan kesantunannya sebagai seorang tokoh yang memiliki integritas.
Ketika kisah Si Anak Kampoeng, (Kisah masa kanak ASM) dirilis di Jakarta (14/4), saya datang membawa hasrat ingin tahu terutama bukan tentang kisah sang tokoh (yang sudah cukup saya kenal) tetapi bagaimana kisah itu diungkapkan sebagai satu karya dari seorang sutradara. Tentang film ini saya mencatat beberapa kesan. Sebagai orang Minang saya menyatakan: tak ada Bahasa Minang seperti yang dipertontonkan dalam film ini. Kata-kata yang diucapkan serba campur aduk Bahasa Minang dengan Bahasa Indonesia. Diucapkan dengan banyak kejanggalan hingga terdengar menggelikan dan juga menjengkelkan. Gaya berbicara orang Minang dalam percakapan yang seharusnya bisa diungkapkan secara menarik sama sekali tak ditemukan. Film ini cacat dari segi bahasa dan segi pemahaman budaya. Lack of poetry and lack of cultural understanding. Dari segi bahasa gambar pun film ini porak poranda, sepertinya tidak ada pemahaman terhadap tata adegan atau mise-en-scene yang baik.
Penyajian kisahnya serba gagap, tersendat-sendat, tanpa ritme yang dapat dinikmati, lamban dengan berbagai perulangan yang berlebihan. Pencak silat yang ditampilkan berulang-ulang sama sekali tak menghadirkan kesan pencak silat sebagai satu bentuk seni bela diri. Sama sekali tidak hadir pada adegan perkelahian. Dengan berbagai cacat yang hadir dalam film ini secara keseluruhan, film ini sesungguhnya belum bisa dinilai. Untuk dikatakan jelek pun tidak bisa karena itu berarti sudah bisa dinilai.
Film ini adalah hasil dari sikap asal-asalan yang membabi buta. Sama sekali tidak ada kesan bahwa ada upaya atau keinginan untuk menciptakan sebuah karya yang berharga dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penonton yang berharap akan menyaksikan sebuah kisah penting tentang seorang bocah yang kemudian menjadi tokoh penting dalam kehidupan bangsa ini pasti kecele. Saya sendiri sungguh merasa tertipu. Saya tak dapat menduga bagaimana kesan Buya Ahmad Syafii Maarif sendiri.
Film Si Anak Kampoeng garapan sutradara Damien Dematra, produksi Syafii Maarif Production dan Damien Dematra Production adalah sebuah karya yang gagal. Ditimbang dari sikap asal-asalan sutradaranya, film ini merupakan sebuah bencana yang memalukan. Tentang kesia-siaan dan kegagalan seperti ini orang Minang memiliki ungkapan: “Minyak abih, samba ‘ndak lamak. Arang abih, basi binaso.” (“Minyak habis, tapi lauk tak enak. Arang habis, tapi besinya hancur.”)
Kalau film ini akan diproduksi sebagai trilogi, lebih baik diulang dari awal. Kegagalan dan bencana Si Anak Kampoeng merupakan bukti dari keterlanggaran fatwa: Serahkanlah suatu pekerjaan kepada ahlinya. Bila tidak tunggulah bencana yang akan tiba. Diperlukan komitmen seorang profesional yang punya kemauan untuk memahami betul tentang apa dan siapa tokoh yang hendak difilmkannya, sembari menjunjung tinggi etika profesional. Semoga bencana tidak berlanjut.
Si Anak Kampoeng | 2011 | Sutradara: Demian Dematra | Negara: Indonesia | Pemain: Radhit Syam, Pong Hardjatmo, Virda Anggraini, Ayu Azhari, Lucky Moniaga