Aceh Butuh Bioskop!

aceh-butuh-bioskop_hlgh

Diputar perdana pada 22 Desember 2011, Hafalan Shalat Delisa sukses meraup 631.997 penonton dalam empat minggu pemutarannya.[i] Jumlah penonton tersebut tidaklah terpaut jauh dari Surat Kecil Untuk Tuhan, film Indonesia terlaris tahun 2011 dengan 748.842 penonton. Delisa saat ini adalah film nasional terlaris di awal 2012. Apabila dihitung sebagai film tahun 2011, maka Hafalan Shalat Delisa akan menempati posisi ketiga, di antara Arwah Goyang Karawang (727.540 penonton) dan Poconggg Juga Pocong (617.482 penonton). Sedikit latar belakang: Hafalan Shalat Delisa merupakan film yang diangkat dari novel laris berjudul sama karya Tere Liye, disutradarai oleh Sony Gaokasak, dan diproduseri Chand Parwez Servia (Starvision). Film tersebut menggambarkan bencana tsunami Aceh, dan diluncurkan bertepatan dengan peringatan Tujuh Tahun Tsunami Aceh 2011 lalu. Pengambilan gambar dilakukan di Ujung Genteng, Sukabumi Selatan. Seorang penyanyi Aceh, Rafli, turut serta terlibat dalam film ini dan menyanyikan musik pengiring film.

Untuk sebuah film berlatar di Aceh, Hafalan Shalat Delisa kenyataannya tidak diputar sama sekali di tanah asal ceritanya. Tidak ada bioskop di Aceh. Tentu akan menjadi momentum yang sangat baik jika film Hafalan Shalat Delisa diputar di kota asal ceritanya. Ia akan menjadi peringatan tujuh tahun tsunami, sekaligus penutup bagi program tahun kunjungan wisata Banda Aceh. Bayangkan, beberapa kolega saya yang juga gemar menonton film telah lama menunggu film ini beredar. Sayangnya, beberapa cuma dapat melihat tampilan singkatnya di Youtube, sementara beberapa lainnya sampai harus rela mengeluarkan uang lebih agar dapat menonton film itu di Medan, daerah terdekat yang memiliki bioskop. Perjalanan panjang ke propinsi sebelah ditempuh, ketimbang menunggu lebih lama lagi hingga filmnya beredar dalam format VCD maupun DVD.

Kegiatan Episentrum Ulee Kareng
Kegiatan Episentrum Ulee Kareng

Persoalan tidak ada bioskop juga menjadi kendala bagi orang-orang yang berinisiatif melaksanakan program pemutaran maupun festival film. Beberapa lembaga kebudayaan asing, baik yang di Jakarta maupun luar negeri, sering mengadakan program pemutaran maupun festival film, dalam rangka memperkenalkan budaya negara mereka maupun tema tertentu melalui medium film. Film yang bisa diputar di Aceh akhirnya hanya yang sudah tersedia dalam format VCD atau DVD. Film dalam format 8 mm, 16 mm, dan 35 mm tidak dapat diputar karena tidak tersedia alat pemutar. Japan Foundation pernah membawa sendiri alat pemutar piringan filmnya ke Aceh. Itu sangat berat dalam biaya dan penuh risiko bilamana rusak dalam pengiriman. Beberapa pembuat film dari luar negeri (khususnya dari negara-negara jazirah Arab), yang telah berkomitmen dan ingin berpartisipasi dalam Festival Film Arab (rutin diselenggarakan di Aceh tiap tahunnya), juga terpaksa mengurungkan niat untuk berpartisipasi. Pasalnya, film produksi mereka masih dalam bentuk film utuh dan belum dikonversi ke bentuk VCD/DVD. Konversi film menjadi bentuk massal juga membutuhkan biaya tambahan bagi pembuat film. Akhirnya Festival Film Arab (serta program pemutaran lainnya) hanya dapat memutar film yang sudah tersedia dalam bentuk VCD/DVD. Beberapa film tidak disertai dengan terjemahan Indonesia, karena filmnya berasal dari luar negeri dan belum diputar/dipasarkan sama sekali di Indonesia.

Kondisi Aceh yang sekarang tidak ada bioskop menuai reaksi dari generasi muda setempat. Di Facebook, muncul grup “Aceh butuh BIOSKOP”. Beberapa orang mencoba membuat alternatif tempat untuk digunakan untuk memutar film sebagai pengganti bioskop. Berbekal proyektor, layar, dan sistem suara, pemutaran film bisa dilaksanakan. Alternatif tempat pemutaran film adalah AAC Dayan Dawood Darussalam, gedung Sosial/T.Chik Di Tiro, gedung Samsung IT Learning Center, gedung ACC Sultan II Selim, kantor Uni Eropa, dan beberapa warung kopi yang menyediakan layar lebar. Rata-rata gedung dan tempat itu membutuhkan biaya sewa, bisa mencapai Rp. 3 juta untuk satu hari pemutaran. Meski begitu, ada juga yang bisa gratis digunakan untuk publik. Ada juga sebuah bioskop alternatif berukuran kecil bernama Episentrum Ulee Kareng, yang dinisiasi lima tahun silam dan rutin melaksanakan pemutaran dan diskusi film.

Beberapa bioskop yang dulu pernah ada di Aceh akhirnya tutup. Terakhir adalah Gajah Theater, yang tutup pascatsunami. Sebelumnya ada PAS 21, Garuda, dan Merpati yang gulung tikar. Sebenarnya ini bukan masalah di Aceh saja, mengingat masih ada beberapa provinsi serta kabupaten yang tidak memiliki bioskop. Namun, melihat animo masyarakat yang tinggi saat ada pemutaran film di Aceh, investasi bioskop di Aceh menjadi sangat mungkin dan menguntungkan. Pembangunan infrastruktur dan pesatnya modal yang masuk ke Aceh bisa diarahkan untuk pembangunan bioskop di Aceh. Ini penting, mengingat ketiadaan bioskop membuat beberapa sumber pendapatan daerah yang seharusnya terlegalisasi menjadi menguap. Walaupun sekarang sudah ada beberapa acara pemutaran film yang komersial, tapi kutipan dari tiket penonton, parkir, dan sumber lainnya tidak jelas kontribusinya ke kas daerah. Bayangkan berapa banyak uang yang masuk ke kas daerah jika Aceh memiliki bioskop? Dampak lainnya adalah pengurangan kemiskinan dan pengangguran, mengingat banyak tenaga kerja yang akan terserap di sektor ini.

Salah satu bioskop yang sudah tutup di Aceh
Salah satu bioskop yang sudah tutup di Aceh

Persoalan dari pembangunan bioskop di Aceh adalah label anti-syariah yang kerap dikaitkan dengan bioskop. Ada kesan bahwa bioskop tak pernah jauh dari tempat pacaran atau kegiatan mesum. Ini ironis, karena di saat bersamaan banyak film komedi Aceh yang laris di pasaran dan diproduksi menjadi beberapa seri, tapi pemain perempuannya tidak menutup aurat sesuai aturan syariah, pemain pria bisa dengan mudah bersentuhan dengan lawan jenis, dan temanya adalah percintaan. Anehnya, hal semacam ini tidak dilarang. Jika memang nantinya ada pemodal yang ingin membangun, bioskop tersebut haruslah mematuhi qanun (peraturan daerah) maupun aturan MPU (MUI Aceh). Faktanya, negara-negara Arab maupun negara mayoritas Islam lainnya memiliki bioskop. Banyak juga film produksi Arab yang ceritanya bagus dan sering memenangkan festival film internasional. Baru-baru ini, film Iran berjudul A Separation didapuk sebagai film berbahasa asing terbaik dalam Golden Globe 2012.

Hal yang perlu ditaati adalah aturan tentang keramaian publik. Contohnya: laki-laki dan perempuan harus duduk terpisah (kecuali suami istri), isi film yang tidak ada unsur pornografi (jika memungkinkan perlu adanya lembaga sensor khusus Aceh), adanya pengontrolan dari Wilayatul Hisbah (polisi syariah), adanya aturan batasan umur untuk kategori film, dan tentu saja penonton yang taat aturan. Harapannya, jaringan Cineplex 21, Blitz Megaplex, Lotte Group maupun investor lainnya tertarik berinvestasi di Aceh dengan membangun bioskop. Kabar terakhir: Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia NU (PP Lesbumi) ingin membangun bioskop alternatif di daerah basis NU, termasuk Aceh.

Keberadaan bioskop di Aceh sangat diperlukan, mengingat eratnya daerah ini dengan tradisi sinematik. Contohnya adalah P. Ramlee (Teuku Zakaria bin Teuku Nyak Puteh). Ia berasal dari Aceh, dan merupakan salah seorang pemain film yang mahsyur di negeri jiran. Di Wikipedia, tercatat ada sekitar 66 judul film yang diperankan oleh P. Ramlee. Sayangnya, film P. Ramlee jarang dikenal di Aceh. Belum lagi banyak tokoh aktor dan aktris film nasional yang berasal dari Aceh, serta produksi film karya sineas Aceh yang telah memenangkan beberapa penghargaan film seperti Eagle Awards dan penghargaan lainnya. Dengan masuknya bioskop ke Aceh, harapannya masyarakat nanti dapat menyaksikan film-film yang berkaitan dengan Aceh, serta tentunya keragaman sinema lokal maupun internasional. Tidak perlu jauh-jauh lagi ke Medan.


[i] Data diambil dari filmindonesia.or.id