Pengkhianatan G30S PKI, Menurut FPI

pemutaran-pki-fpi_hlgh

Pada 22 September lalu, seorang kawan di Jogja menanyakan apakah saya akan menghadiri pemutaran film Pengkhianatan G30S PKI yang akan diselenggarakan oleh Front Pembela Islam (FPI) pada malam 30 September 2015. Dia mengirim screen capture dari sebuah grup Whatsapp.

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah organisasi iblis yang pengkhianatan dan kebiadabannya terhadap bangsa ini tak terkira.

Kebiadaban PKI tahun 1965 yang telah memberontak dari kedaulatan NKRI, membunuhi jendral-jendral dan para ulama pelan-pelan mulai dilupakan orang terutama generasi muda.

Apalagi antek-antek PKI memang terus berusaha menhapus jejak-jejak kekejaman mereka, sehingga di dalam buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah fakta mengenai kekejaman PKI sudah tidak dimuat lagi khususnya sejak era reformasi tahun 1998.

Tapi kami umat Islam tidak lupa, TNI tidak lupa, dan FPI tidak pernah lupa dengan kebiadaban PKI.

Maka itu FPI dengan dukungan penuh Kopassus dan Pangdam Jaya, akan mengadakan acara houl Para Pahlawan Revolusi bertempat di:

Aula Majlis Ta’lim Anwarul Hidayah, Jl. MT Haryono RT.001/006 Kelurahan Cawang (samping BNN Cawang).

Pimpinan Habib Muhsin Bin Zaid Al Attas Imam FPI Jakarta, pada hari Rabu 30 September 2015 jam 7 malam (Sholat Isya’ berjamaah).

Yang akan menjadi pembicara dalam acara houl ini adalah Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab.

Seusai acara houl akan diadakan pemutaran film Pemberontakan [sic] G 30 S/PKI lewat layar tancap yang akan disaksikan bersama-sama oleh umat Islam yang hadir dan jajaran TNI.

Sehari sebelumnya, selasa 20 September 2015 pagi, diadakan ziarah bersama Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab, tokoh-tokoh Islam dan jajaran TNI ke makam… [pesan terputus]

Siang 30 September, saya membaca berita yang menyatakan tersebarnya surat instruksi dari Kodim 0807 Rayon Militer 0807/02 kepada Ketua Pondok Al Fatahiyah di Boyolangu, Tulungagung, untuk memutar film Pengkhianatan G30S PKI. Kabar ini segera mendapat sangkalan dari Brigadir Jenderal Mohamad Sabrar Fadhilah, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat. Seperti yang dilansir CNN, Fadhilah “menyatakan institusinya tidak pernah memerintahkan jajaran komando distrik militer maupun komando resor militer untuk memutar film Pengkhianatan G30S PKI.” Hanya saja, Mabes TNI tidak akan melarang pemutaran film tersebut. Fadhilah juga mengklaim bahwa “simbol-simbol Partai Komunis Indonesia kembali bermunculan di ruang publik.”

Di tempat terpisah, Mabes PII (Pelajar Islam Indonesia) diberitakan menggelar pemutaran film yang sama. Pemutaran itu dihadiri oleh Mantan Komandan Jenderal Kopassus Muchdi PR, alumni PII, dan seorang yang sempat didakwa dalam kasus pembunuhan Munir. Dalam sambutannya, Ketua Umum PB PII, Munawar Khalil menyatakan, “Pemutaran ini karena film ini seakan dilupakan.”

pemutaran-pki-fpi_01

Panggung FPI dan Pengkhianatan G30S PKI

Malamnya, kawan saya datang. Kami bertemu di BNN dan menemukan acara digelar di lapangan Majlis Taklim. Sepanjang jalan ke lokasi pemutaran telah dipadati awak kepolisian dan LPI (Laskar Pembela Islam), sayap paramiliter FPI. Adapun trotoar menuju pintu masuk diramaikan oleh pedagang yang berjualan suvenir khas FPI: poster-poster para petinggi FPI, kaos berlogo FPI, parfum, siwak, tasbih, dan banyak lagi—yang membuat acara ‘houl’ dan pemutaran film ini sedikit mirip pasar malam.

Sulit diperkirakan berapa jumlah orang yang hadir. Namun, sejak pukul tujuh hingga dimulainya ceramah Habib Rizieq, massa berpeci putih dan ibu-ibu beserta anak-anak membanjiri lapangan parkir. Saya sempat bertanya kepada seorang petugas keamanan FPI soal estimasi jumlah penonton. Dia mengatakan, ada ribuan yang didatangkan dari Kebon Jeruk, Depok, Bekasi, dan sejumlah wilayah di sekeliling Jakarta.

Film Pengkhianatan G30S PKI yang berdurasi lebih dari tiga jam itu baru diputar sekitar pukul 23.10, meleset dua jam dari yang semula diperkirakan. Pasalnya, sepanjang dua jam itu Habib Rizieq berceramah. Sebelum Rizieq, sejumlah petinggi FPI turut memberi sambutan untuk acara yang dibuka oleh Tito Karnavian, Kapolda Metro Jaya.

“FPI Yes! PKI No!” adalah slogan malam itu. Tak hanya itu, baik Tito maupun Habib mengemukakan perlunya mewaspadai paham-paham asing yang tidak sesuai “nilai-nilai Islam”, salah duanya komunisme dan liberalisme. “Liberalisme dan Komunisme itu beda tipis, seperti adik-kakak,” tutur Habib Rizieq.

Ada beberapa hal yang menarik perhatian saya dari acara ini. Pertama adalah ketika memahami perhelatan itu sebagai sebuah panggung hiburan politik dengan Rizieq sebagai performer utama—setelah sebelumnya dibuka oleh sejumlah ‘ustadz’ serta didukung aparat negara.

Penampilan Rizieq sungguh-sungguh dinanti. Penonton yang datang (atau didatangkan) dari seluruh penjuru Jakarta pun nampaknya sudah mengantisipasi apa kira-kira pesan yang akan disampaikan Rizieq, sambil berharap mendapatkan konfirmasi dari ceramah sang Habib. Dalam hal ini pesannya adalah antikomunisme, sebuah komponen mendasar ideologi Orde Baru yang sangat sulit dirontokkan, karena pembungkaman sejarah alternatif dan represi yang sistematis selama puluhan tahun.

Dalam pagelaran panggung dangdut, masyarakat kelas bawah umumnya mendatangi panggung dangdut agar merasa terhibur, lepas dari rutinitas kerja dan penderitaan sehari-hari. Para hadirin ceramah Rizieq, yang juga berasal dari segmen masyarakat terpinggirkan, diajak untuk semakin yakin bahwa komunisme adalah biang kerok segala permasalahan harian mereka. Bayangkan jika Rizieq tidak hadir. Barangkali pemutaran itu akan sepi penonton, atau setidaknya, tingkat antusiasmenya bakal berbeda.

pemutaran-pki-fpi_02-

Imajinasi Kekejaman PKI dan Narasi Antikomunis

Kedua, perkembangan narasi antikomunis pasca-1998. Sepanjang Orde Baru, negara selalu memperbaharui narasi tragedi 1965 yang dipusatkan pada peristiwa G30S, ketika sejumlah perwira Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh pasukan Cakrabirawa. Dua narasi yang paling mutakhir adalah film Pengkhianatan G30S PKI (1984) dan Buku Putih Pengkhianatan G30S PKI (1994). Setelah 1998, Angkatan Udara meminta agar pemutaran Pengkhianatan G30S PKI tiap tahunnya di seluruh stasiun televisi nasional dihentikan.

Setelah 1998, dalam penyebaran narasi antikomunisme nampaknya negara mengambil peran yang lebih pasif. Atau, setidaknya, sejumlah aparatusnya seperti militer diduga tidak menunjukkan peran yang terang-terangan—kalaupun iya, hanya sebatas aktivitas seremonial, seperti memasang spanduk “Awas bahaya laten komunis!”. Dugaan keterlibatan lebih jauh masih butuh pembuktian.

Di sisi lain, yang nampak di mata kita adalah politik ketakutan yang justru tersebar lewat inisiatif-inisiatif berwajah sipil di masyarakat. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), misalnya, dua tahun silam menerbitkan buku Benturan NU-PKI: 1948-1965. Di kalangan NU sendiri terdapat kontradiksi dalam menyikapi peristiwa ’65. Tak sedikit generasi mudanya aktif mendukung proses rekonsiliasi, tuntutan permintaan maaf dari negara, dan pelurusan sejarah yang berpihak pada korban pembantaian. Sementara itu, di kalangan yang sama, masih terpelihara kecenderungan untuk menormalisasi tragedi kemanusiaan tersebut sebagai aksi pembalasan rakyat secara spontan, terhadap apa yang dipercaya sebagai pembantaian ulama di Madiun pada 1948.

Di wilayah inisiatif-inisiatif berwajah sipil inilah, imajinasi tentang ‘kekejaman PKI’ yang pantas diganjar kematian kurang lebih tiga juta jiwa subur terpelihara dan terus-menerus dimodifikasi, seringkali secara liar. Ketika mengemuka tuntutan negara harus minta maaf terhadap korban pembantaian, segeralah muncul tanggapan bahwa negara hanya patut minta maaf kepada korban salah bunuh, bukan korban yang memegang kartu keanggotaan PKI—yang dianggap telah menyeret rakyat kecil ke dalam pusaran konflik demi kepentingan politiknya. Dengan kata lain, tercipta sejenis hirarki korban—antara korban yang tidak tahu apa-apa, yang patut dimaafkan, dan korban yang segala tahu, yang selamanya terkutuk.

Contoh lain adalah ketika para sejarawan mulai menguak peran signifikan PKI dalam perjuangan antikolonial sepanjang paruh pertama abad 20 di Indonesia. Habib Rizieq mengatakan bahwa politik komunis di Indonesia pada dasarnya bersifat transnasional, sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kasus lain yang lebih ngawur adalah demo mahasiswa sebuah kampus di Makassar baru-baru ini, yang mengaitkan isu migrasi pekerja asal Tiongkok ke Indonesia dengan rumor penyebaran ideologi komunisme.

pemutaran-pki-fpi_03

Karnaval Kebencian

Hari-hari sekitar 30 September ini adalah momen ketika narasi-narasi antikomunis ini memperoleh ruang ekshibisinya—apapun yang dianggap salah dalam kehidupan bermasyarakat lantas ditumpahkan ke PKI. Kesan karnaval kebencian itu saya rasakan dalam pemutaran Pengkhianatan G30S PKI Rabu pekan lalu.

Pada momentum ini pula Rizieq menawarkan plintiran-plintiran baru wacana antikomunis. Misalnya Rizieq mengatakan, dengan meminta maaf negara kepada korban peristiwa 65, negara harus membayar kompensasi Rp 1 miliar untuk masing-masing korban yang jumlahnya sekitar 3 juta orang.

“Bayangkan 1 miliar dikalikan 3 juta. Tiga ribu triliun. Dengan tiga ribu triliun itu, gampang saja PKI berdiri lagi dan menang pemilu, tinggal bayar tetangga kanan-kiri,” kira-kira demikian Rizieq menularkan paranoianya.

Tentu tak lengkap jika tak ada teori konspirasi. Dengan mengambil contoh terbitnya buku Aku Bangga Jadi Anak PKI karangan Ribka Tjiptaning Proletariyati, seorang anggota parlemen 2009-2014 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rizieq mengklaim bahwa DPR sudah disusupi oleh (anak-anak) PKI. Pesan ini nampaknya tertuju pada partai yang berkuasa saat ini, dengan presiden yang sempat diisukan—atau diharapkan?—akan meminta maaf kepada para korban.

Ceramah Rizieq pun menukik ke soal-soal sejarah. Ia menekankan kemunculan PKI berasal dari Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), yang didirikan Sneevliet dan sejumlah sosialis Belanda, untuk mengubah Hindia Belanda yang kapitalis menjadi Hindia-Belanda yang komunis. Caranya adalah dengan mengeksploitasi sentimen buruh dan petani. “ISDV itu didirikan sebagai perhimpunan buruh—ingat, perhimpunan buruh! Mereka tidak pakai kata ‘komunis’!” tuturnya.

Bagi Rizieq, dari segala pemberontakan yang pernah terjadi di Indonesia, hanya PKI yang layak dituding merongrong pemerintah—tak peduli pemerintah Hindia-Belanda atau Republik Indonesia. DI/TII tidak masuk daftar, pemberontakan PRRI/Permesta yang melibatkan tentara di luar Jawa tidak dihitung. Menurut Rizieq, Soekarno bukan PKI, namun “kebijakannya menguntungkan PKI”, dan gara-gara PKI pula Masyumi dibubarkan agar melapangkan jalan komunis untuk merebut pemerintahan. Tentu, yang tidak disebut Rizieq adalah dasar pembubaran Masyumi saat itu, yakni terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta—dan persis dengan alasan yang sama, Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang sama sekali tak berbasis Islam, dibubarkan.

Selain itu, Rizieq juga mengulang ‘tradisi lisan’ peristiwa Madiun 1948, menggarisbawahi banyaknya korban di kalangan pesantren (tanpa menyebut pasti angkanya) dan apa yang dia sebut-sebut sebagai rencana sistematis PKI untuk membantai ulama. Muda diduga, pada akhirnya Rizieq menarik kesimpulan perlunya mewaspadai ancaman komunis dengan memperkuat kerjasama NU, Muhamadiyyah, dan militer. Tentu Rizieq tidak menyebutkan berapa jumlah korban muslim yang diberondong tentara para peristiwa Tanjung Priok (1984). Namun, di luar itu, pesan Rizieq yang paling mendasar adalah Komunisme adalah tubuh asing, alien, dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yang menemukan menemukan musuh abadinya pada manunggaling Umat Islam dan TNI—yang dalam ceramah Rizieq tiba-tiba saja menjadi perajut alamiah dari Republik.

pemutaran-pki-fpi_04

Konteks Baru Peristiwa 65

Lalu bagaimana dengan pemutaran Pengkhianatan G30S PKI?

Baiklah, ini poin ketiga. Sepanjang Orde Baru film ini merupakan salah satu elemen utama ritual Hari Peringatan Kesaktian Pancasila (Hapsak) setiap 30 September. Setelah Mei 1998, Pengkhianatan G30S PKI tidak lagi diputar di seluruh stasiun televisi dan diganti oleh drama keluarga Bukan Sekadar Kenangan (BSK). Katinka van Heeren mencatat bahwa BSK hanya diputar pada 30 September 1998. Dalam pemerintahan-pemerintahan selanjutnya, terutama pada era Megawati, Hapsak tidak diperingati besar-besaran dan hanya menjadi berita harian saja (Heeren: 2012).

Pengkhiatanan G30S PKI sendiri baru memasuki alam digital setelah dirilis sebagai VCD pada 2001 dan pertama diunggah di youtube sekitar empat tahun silam. Orang lantas bisa menonton film ini sendirian di kamar sambil tertawa-tawa sambil membuat meme, atau beramai-ramai dalam keadaan khidmat, seperti pada pemutaran FPI minggu lalu. Pastinya, ketiadaan komando untuk memutar film ini secara serentak menyebabkan kesan angker film ini berkurang. Ditambah lagi dengan inisiatif warga untuk memutar film-film seperti Jagal dan Senyap, konteks dari Pengkhianatan G30S PKI semakin dipertanyakan, dan membanjirnya historiografi alternatif seputar peristiwa 1965 membuat sentralitas peristiwa G30S kian tergeser oleh fokus yang kian tertuju pada keberadaan jutaan korban serta konteks global tragedi 1965.

Dari pernyataan sejumlah penyelenggara di tempat-tempat terpisah yang menyesalkan Pengkhianatan G30S PKI tidak lagi diputar di televisi, nampak bahwa poin yang terpenting sebetulnya bukan pemutaran film yang mereka organisir. Bagi saya, justru hal ini adalah pernyataan kekalahan, kapitulasi, dari pihak penyebar wacana antikomunis yang semakin ngawur, termasuk Rizieq.

REFERENSI

Katinka van Heeren. 2012. Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and Ghosts from the Past. KITLV Press, Leiden.