Jane Eyre: Perjalanan Panjang Meretas Kepalsuan

jane-eyre_hlgh

Untuk yang ketiga kalinya, novel Jane Eyre terbitan tahun 1847 diadaptasi menjadi sebuah film. Kali ini oleh sutradara Cary Joji Fukunaga, salah satu wakil paling mencolok dari “generasi sekolahan” dalam kurun dua tahun terakhir. Fukunaga menarik perhatian lewat Sin Nombre (2009), film panjang pertamanya, yang bercerita tentang perjalanan imigran gelap dari Amerika Latin menuju Amerika Serikat, menumpang di atap kereta berbulan-bulan lamanya.

Pertanyaannya adalah, apa yang menyebabkan Fukunaga memutuskan untuk mengadaptasi Jane Eyre, padahal novel itu baru saja dibuat versi drama televisinya tahun 2006 lalu? “Sebagai anak kecil, saya menikmati Jane Eyre sebagai sebuah cerita. Setelah dewasa, saya memaknainya sebagai semacam pencarian asmara”, tukas Fukunaga dalam sebuah wawancara.[1] Dan Fukunaga membayar kekagumannya dengan adaptasi layar lebar ketiga–setelah adaptasi oleh sutradara Franco Zefirelli dan Bob Stevenson puluhan tahun silam.

Alkisah, Jane Eyre adalah anak perempuan yang dibesarkan oleh bibinya. Orang tuanya sudah wafat. Karena bukan anak kandung, maka sudah sewajarnya bila sang bibi cenderung menomor-duakan Jane. Ia didaftarkan pada sekolah perawat dan memulai petualangan hidupnya dari sekolah itu. demikian sinopsis novelnya.

Alih-alih menurut pada novel, Fukunaga justru memulai Jane Eyre dari bau basah padang rumput yang menggigil kehujanan. Dari kejauhan, seorang wanita remaja berlari tertungging-tungging seperti dikejar malaikat maut. Pemandangan gotik menguasai mata. Tak lama berselang, si remaja sudah semaput di depan rumah kecil yang tergeletak sendirian di padang rumput itu. Fukunaga memulai filmnya dari adegan Moor House yang dalam novel justru berada di bagian menjelang akhir cerita. Apa maksudnya?

Jika dalam novel kita dibuat merasai latar yang gelap, perjalanan malam hari disertai angin kencang, maka Fukunaga menyuntikkan bilur-bilur kegelapan atmosfer itu ke dalam nadi para karakternya. Lewat penceritaan maju-mundur, Fukunaga menegaskan bahwa bukan hanya latar, tetapi juga isi kepala para karakter –orang Inggris tahun 1600an- yang penuh dengan kegelapan dan kepalsuan. seperti juga yang disiratkan oleh novelnya.

Adegan pembuka film adalah adegan yang mengandung kadar kepalsuan terbesar di sepanjang film. Jane memaksa orang untuk menolongnya sementara ia tak rela membeberkan identitasnya. Adegan berikutnya, kita dibawa ke masa kecil Jane; bagaimana benih-benih kepalsuan ditumpuk dalam dirinya oleh situasi sosial sekitar sehingga Jane tumbuh menjadi dirinya yang tersaruk-saruk di depan Moor House itu. Cara ini adalah strategi penceritaan filmis yang sangat jitu. Tak jauh beda dengan alur flashback jenius Aaron Sorkin dalam The Social Network, sebab penonton bisa mendapat akses penuh terhadap motivasi karakter lewat satu dua kali pergantian gambar saja.

Inggris pasca kontrak sosial adalah jiwa-jiwa Hobbesian[2] yang berlindung di balik rok payung besar dan tudung kepala. Dialeknya menyiratkan formalitas yang dirancang khusus untuk bermegah diri. Jane Eyre berminat besar dalam melucuti kepalsuan itu dan merunut proses terbentuknya. Tokoh Jane Eyre kecil senantiasa berusaha menjadi “asli” namun selalu saja dicap “palsu” oleh orang-orang di sekitarnya. Trauma masa kecil itu membawa Jane untuk selalu merasakan kebimbangan yang sama setiap memasuki tempat baru: menjadi “asli” ataukah menjadi “palsu”.

Penonton hampir sudah tahu akhir ceritanya, sehingga informasi yang tertinggal adalah bagaimana Jane bisa sampai pada akhir cerita yang sedemikian itu. Reaksi-reaksi yang menghalangi perjuangan Jane dalam mempertahankan keasliannya adalah benang merah konflik Jane Eyre. Dikisahkan, bahwa seorang kaya Eric Rochester jatuh hati pada Jane Eyre. Cinta itu sudah tampak sejati ketika terbongkar rahasia bahwa Eric Rochester sejatinya adalah pria beristri: bahwa cintanya pada Jane adalah palsu belaka.

Yang menarik dari karakter Jane Eyre adalah karena ia tak pernah tahu persis apa keinginannya. Jane Eyre adalah tubuh kosong yang disetir oleh lingkungan sosial. Apakah yang ia cari adalah cinta? Lantas bagaimana dengan kekecewaannya pada kepalsuan cinta Eric Rochester? Apakah yang ia cari adalah kekayaan? Lantas mengapa ia betah tinggal di Moor House yang sederhana? Jane Eyre berusaha mempertahankan keaslian dirinya, padahal dalam waktu yang bersamaan, ia kehilangan diri itu.  Ia berusaha mati-matian untuk melakukan sesuatu, padahal sang sesuatu tak pernah sekalipun ia inginkan.

Beranjak dewasa, sebagaimana semua orang, Jane Eyre mulai menyadari bahwa kepalsuan juga membawa ketenangan. Bahwa kostum besarnya adalah tembok yang melindungi kerapuhan. Bahwa kepalsuan adalah roda perputaran siklus di masyarakatnya.  Sejak itulah Jane Eyre membenci untuk menampakkan dirinya yang asli. Tamparan terkuat Jane Eyre ada di sisi ini, bahwa Jane Eyre sama sekali bukan orang yang berbeda dengan orang lain. Jane Eyre adalah setiap orang Inggris, dan setiap orang Inggris adalah Jane Eyre. Pada dirinya mewujud semangat zaman (zeitgeist) dan cara memandang dunia (weltanschauung) orang-orang Inggris zaman itu.

Lewat penceritaan flashback, Fukunaga tidak saja menceritakan ulang kisah Jane Eyre, melainkan juga menyediakan pisau bagi penonton untuk mengupas jiwa-jiwa cerita di dalamnya.  Novel karya Charlotte Bronte tersebut adalah salah satu novel yang paling berpengaruh dalam tarikh kesusasteraan Inggris. Dan saya sepakat dengan kritikus film Richard Roeper: versi Fukunaga adalah yang terbaik diantara semua adaptasi Jane Eyre.

Jane Eyre | 2011 | Sutradara: Cary Joji Fukunaga | Produksi: BBC Films, Ruby Films | Negara: Amerika Serikat | Pemeran: Mia Wasikowska, Jamie Bell, Michael Fassbender, Sally Hawkins, Su Elliot.


[2] Istilah “Hobbesian” diambil dari nama Thomas Hobbes, filsuf Inggris yang pemikirannya diakomodir ke dalam kultur politik dominan di Inggris pasca Renaissance.