Jakarta Maghrib: Menangkap Jakarta Lewat Senja Beragam Rasa

 

jakarta-maghrib_highlight

Katanya, maghrib adalah titik tengah waktu, konon disinilah terang siang bercampur gelap malam dan membentuk warnanya sendiri. Dalam Jakarta Maghrib, anggapan itu dibuat semakin spesifik nan mendetail. Dalam film itu, katanya, orang Jakarta hanya shalat berjama’ah di waktu maghrib. Katanya, tak baik kita menidurkan anak ketika maghrib menjelang. Katanya, kuntilanak dan kawanan hantu akan ramai keluar sarang ketika maghrib. Berbagai hal yang sedapat mungkin diasosiasikan dengan waktu maghrib, dirangkum Salman Aristo ke dalam sekumpulan skenario lalu dibuatnya sendiri menjadi sebuah film.

Jakarta Maghrib merangkum “Maghrib” sebagai waktu spesial yang telah lama menebar berbagai anggapan ke tengah masyarakat. Ia berusaha menangkap maghrib bukan saja sebagai fenomena relijius tetapi sebagai bagian yang khas dari masyarakat urban Jakarta, lalu menyusunnya kedalam lima tautan cerita sebagai strategi penyampaian narasinya.

Cerita pertama tentang Iman yang berusaha keras menemui Nur, sesuatu yang sudah sepatutnya menjadi miliknya tetapi maghrib yang seharusnya menjadi momen penyatuan mereka, hari itu tampak tak berpihak. Iman tak selalu bisa berdamai dengan Nur. Cerita kedua tentang seorang preman, yang tak pernah habis pikir kenapa orang masih saja terus menyumbang untuk Musholla padahal tak pernah mereka datangi sembahyang. Suatu maghrib, ia memutuskan bertanya pada seorang Kiai penjual kerupuk. Cerita ketiga, tentang kompleks perumahan dimana para penghuninya baru pertama kali bertemu rupa setelah hitungan tahun bertetangga, juga karena maghrib yang janggal di depan rumah mereka. Cerita keempat, tentang tragedi senjata makan tuan antara Ivan melawan para kuntilanak. Kuntilanak ini konon kuasa merasuki badan siapa saja yang Ivan kenal. Tentu maghrib menjadi begitu menakutkan sebab kuntilanak memang ramai berkeliaran di waktu-waktu seperti ini. Cerita kelima, tentang pasangan gelisah yang sedang dalam perjalanan menuju pesta pernikahan di suatu senja. Kegelisahan mereka mengganda ketika sadar masalah, bahwa menikah menjadi suatu yang harus dicapai dan dihindari dalam waktu bersamaan.

Salman Aristo jelas menyulam pernyataan politisnya terlebih dahulu sebelum membuat cerita. Sebab bagi penulis kawakan  macam ia, menulis skenario sudah jadi kegiatan mekanis; nyaris apa saja bisa menjadi cerita. Maka ia memilih waktu maghrib dengan segala atribut sosio-relijiusnya untuk kemudian dikaitkan dengan orang-orang Jakarta yang beraktifitas di sekitar maghrib tersebut.

Kenapa harus maghrib? Saya rasa jawabannya bukan karena eksotisme waktu semata. Bagi orang Jakarta, siang artinya terberai mencari uang, mencari uang berarti membatasi interaksi universal manusia menjadi sekedar interaksi professional. Di waktu siang, kecil kemungkinan anda menemukan seorang insinyur bertemu dengan pemilik rental playstation. Sebab sang insinyur hanya berinteraksi dengan orang-orang yang secara profesi dekat dengannya: arsitek dan pimpinan proyek misalnya. Demikian juga dengan dengan pemilik rental playstation, anak-anak bolos sekolah dan tukang ngutang adalah santap hariannya. Sedang malam, adalah waktu bersama keluarga dan beristirahat agar besoknya bisa cari uang lebih giat. Maghrib adalah detik keramat antara momen terberai dan momen berkumpul. Saat maghrib, orang-orang berjalan dari luar masuk ke rumah lewat pola-pola yang paling universal sebab tak terkait dengan profesi apapun.

Salman Aristo menggubah maghrib menjadi termin penting untuk menyampaikan gagasan besar dengan menyebarnya kedalam lima cerita pendek visual. Dengan skenario yang saya nilai luar biasa, Jakarta Maghrib menceritakan berbagai interpretasi tentang satu sangkala yang dirunut secara holistik berdasarkan standar apapun. Kelas bawah cenderung membaca maghrib indah sebagai momen relijius, kelas menengah menganggap maghrib sebagai jam pulang, dan kelas atas lebih mengartikan maghrib sebagai waktunya memulai pesta. Anak-anak merasakan maghrib sebagai ancaman horor, remaja memahami maghrib sebagai saat berkontemplasi, orang dewasa menganggap maghrib sebagai waktunya mulai kasih afeksi kepada pasangan, dan orang tua mencerap maghrib sebagai sesi mengobrol dengan Tuhan.

Meskipun tak sepenuhnya aman dari stereotip, tapi itulah maghrib di mata Salman Aristo dan demikianlah interaksi masyarakat urban menurutnya. Jakarta Maghrib adalah salah satu film paling menarik yang diproduksi di Indonesia sepanjang tahun 2010.

Jakarta Maghrib | 2010 | Sutradara:  Salman Aristo | Negara: Indonesia | Pemain: Indra Birowo, Agus Ringgo, Lukman Sardi, Fanny Febriana, Azrul Dahlan