You and I: Mereka yang Masih Sempat Jadi Cerita

Dalam catatan saya, You and I adalah film keseratus yang bicara tentang peristiwa 1965. Sembilan puluhan film sebelumnya bisa kita pilah dalam setidaknya enam kategori. Pertama tentu saja propaganda, yang dirintis Operasi X (1968) dan dipopulerkan Pengkhianatan G30S PKI (1984). Jenis film ini, termasuk The Year of Living Dangerously (1982) yang mereproduksi propaganda Perang Dingin, lama menjadi narasi tunggal tentang 1965 sampai tiba reformasi. Puisi Tak Terkuburkan (1999) tayang dan menggariskan satu kategori baru: film penyintas. Sejarah yang tadinya dikemas secara steril oleh penguasa, kini diungkapkan nyaris tak tersaring dari sudut pandang saksi di balik penjara.

Film penyintas sampai sekarang menjadi jenis yang paling banyak diproduksi. Ia menjadi poros yang memungkinkan dan mendampingi berbagai bentuk lain dalam menarasikan peristiwa 1965. Pada awal 2000-an, narasi seputar penculikan, penghilangan, dan pembunuhan massal membentuk kategori sendiri, seperti Mass Grave (2002) dan Djedjak Darah (2004). Pada periode yang sama, hadir pula sejumlah film bercorak jurnalistik yang fokus pada aspek sosio-historis peristiwa 1965, seperti Shadow Play (2001) dan Saya Rasa Itu Sulit untuk Dilupakan (2003). Belakangan, kita mendapat film dengan sudut pandang aktor genosida dan kaki tangan propaganda, seperti Act of Killing (2012) dan On the Origin of Fear (2015), juga film dengan wacana rekonsiliasi, seperti Sowan (2014) dan Bangkit dari Bisu (2016).

Film propaganda sendiri berganti wajah. Sama seperti budaya menonton, propaganda tak lagi terbatas pada layar perak maupun layar kaca. Mitos soal PKI kini diteruskan melalui berbagai siaran dan video di media sosial. Bentuknya beragam: dari slideshow foto dan teks, rekaman ceramah, hingga dokumentasi wisata gaib ke Lubang Buaya dan Madiun—bisa diduga siapa hantunya. Varian lainnya: diskusi tentang kebangkitan komunisme featuring isu publik yang sedang hangat—dari LGBT, buruh Tiongkok, pemilihan presiden, hingga tentu saja COVID-19.

Terbaca jelas semangat zaman yang melatari konstelasi narasi sinematik peristiwa 1965 setelah reformasi. Sejarah, yang tadinya sebuah kisah suci mahabenar, kini menjadi arena bagi rekoleksi memori versus siaran konspirasi.

Intim dan Dekat

Menonton You and I sejatinya tidak perlu paham soal hingar-bingar PKI, komunisme, maupun sejarah penumpasan unsur-unsur progresif di Indonesia. Saya lebih melihat film ini sebagai kisah cinta. Selama menonton dari draft awal hingga versi final, saya selalu teringat Amour (2012) karya Michael Haneke. Sepasang lansia menua bersama dalam sebuah rumah. Yang satu merawat yang lainnya, dengan kepasrahan bahwa segalanya bisa berakhir dengan segera.

Meski begitu, kepingan sejarah 1965 melekat erat pada You and I. Melalui paparan teks pada awal film, ia memperkenalkan tumpuan kisahnya: sepasang perempuan penyintas—Kaminah dan Kusdalini—yang pertama kali bertemu di penjara dan semenjak itu tak terpisahkan. Setelah bebas, mereka pindah ke Solo untuk menjalani masa tua berdua, yang hari-hari terakhirnya direkam secara intim oleh Fanny Chotimah dan kawan-kawan.

Untuk kisah cinta dengan cap 1965, You and I bicara dalam bahasa yang amat personal. Kita mengenal Mbah Kam dan Mbah Kus dari kerutinan dalam rumah mungil mereka. Kamera, mungkin karena ruang gerak sempit, hampir selalu berada dekat keduanya. Mbah Kam menyiapkan makan dan obat untuk Mbah Kus, yang tubuhnya tak lagi kuat berjalan, juga mengurus rumah dan meladeni tetangga yang singgah. Sembari disuapi atau diolesi salep, Mbah Kus bercakap tentang teman-temannya dulu, mimpinya semalam, apapun yang terlintas di pikirannya. Mbah Kam kadang menanggapi serius, kadang sekenanya, kadang diam saja sambil menatap nanar. Begitu terus sampai Mbah Kus masuk rumah sakit.

Film penyintas umumnya mengusung agenda politik yang gamblang. Kehilangan atau kehidupan sunyi penyintas hari ini seringnya dibingkai dalam pesan atau kampanye untuk menolak lupa, mengungkap sejarah yang masih gelap, atau bahkan menulis sejarah baru. Namun, sepanjang You and I, hari-hari sepi Mbah Kam dan Mbah Kus tak lebih dan tak kurang karena usia tua. Banyak teman sepantaran yang sudah berpulang, sementara yang masih hidup tak mudah dijangkau, karena fisik renta menyulitkan pergerakan. Kerentaan ini diungkapkan melalui gerak kamera yang lambat-lambat mengikuti Mbah Kam dan Mbah Kus dari dekat, selambat laju kerutinan mereka. Untuk ikut reuni sesama penyintas, Mbah Kam harus minta tolong supir angkot menggotong Mbah Kus masuk mobil, dan kamera menunggu setiap detik momen itu. Kamera juga secara sabar mendampingi Mbah Kus yang berjalan tertatih bersama Mbah Kam menuju tempat kumpul.

Pertemuan penyintas berlalu begitu saja. Ia sama sekali tidak mengusik ritme kehidupan domestik yang terbangun sejak menit pertama. Kembali kita menyaksikan keseharian Mbah Kam mengurus Mbah Kus, menggoreng kerupuk untuk dijual, memastikan atap rumah yang bocor ditambal, bercengkerama dengan tetangga. Sempat ada dua kali Mbah Kam bercakap langsung ke kamera, menceritakan masa lalu dan pendirian politiknya, yang itu pun buyar oleh suara Mbah Kus yang menyela masuk. Terus-menerus kita ditarik kembali ke keseharian keduanya, hingga detik-detik terakhir mereka.

Keintiman inilah yang membuat pengalaman menonton You and I begitu emosional. Kita tak butuh tafsir ndakik-ndakik. Cukup telusuri kisah Mbah Kam dan Mbah Kus dari aspek-aspek sentimentilnya: kehidupan bersahaja, kebersamaan pada usia senja, dan kematian yang diam-diam mengintai mereka. Di negara dengan jaminan sosial yang buruk, ditambah lagi status eks-tapol, bertahan hidup adalah sebuah pencapaian. Setiap gestur yang menandakan kerentaan, entah itu langkah tertatih atau tutur kata yang melambat, menjadi alasan bagi penonton untuk meratap. Setiap ungkapan kepasrahan (“Tak apa aku kerepotan, asalkan kita tetap bersama”) menjadi alasan untuk sesekali menyeka air mata. Hidup begitu indah dan hanya itu yang mereka punya.

Kematian Semakin Akrab

Saya melihat Mbah Kam dan Mbah Kus sebagai pasangan yang beruntung. Meski badai mendera, mereka masih bisa menua bersama. Lebih dari itu: mereka masih sempat jadi cerita. Ratusan, ribuan, atau mungkin jutaan penyintas lain tidak memiliki kesempatan serupa.

You and I rutin mengingatkan kita akan kematian. Sejak menit pertama, kita melihat Mbah Kus mengabsen siapa yang masih hidup dan siapa yang tidak, kebiasaan yang ia tekun lakoni setiap bercakap dengan Mbah Kam. Semakin dekat ajal, semakin sering ia mengabsen, semakin rentan pula ingatannya memudar. Menjelang tengah film, Mbah Kus tampak kesulitan mengingat sosok Bung Karno yang ia lihat dalam liputan khusus peristiwa 1965 oleh sebuah stasiun televisi, sampai Mbah Kam harus mengingatkan siapa orang itu dan gagasan-gagasan apa yang diwakilinya.

Momen ini diam-diam menjadi begitu nyaring di kepala saya. Dalam sekuens itu, sejarah dan ingatan duduk berhadap-hadapan. Yang satu dibekukan dan disyiarkan setidaknya setahun sekali oleh industri media, yang berdiri di atas saling silang kepentingan penguasa dan pengusaha, sementara satunya lagi menubuh dalam jiwa raga Mbah Kam dan Mbah Kus, yang perlahan dan pasti melapuk seiring usia.

Sejarah sendiri adalah ingatan yang diteruskan melalui lisan, tulisan, maupun rekaman. Film-film penyintas pasca-1998 sejatinya menyuarakan bahwa kita selama ini mengingat korban yang salah. Bukan negara atau tentara yang dizholimi, sebagaimana yang dipropagandakan Orde Suharto, melainkan keluarga korban pembantaian, mahasiswa eksil, buruh tani, seniman Lekra, alumni Pulau Buru, anggota Gerwani, simpatisan Bung Karno, serta orang-orang yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI dan G30S. Ingatan para penyintas 1965 kemudian dikontestasikan lagi dengan ingatan-ingatan lain yang mengendap di ruang publik, dari Madiun 1948 hingga Peristiwa Kanigoro. Kontestasi ini turut mewarnai pewacanaan dan perebutan klaim atas sejarah hari ini.

Di tengah keriuhan ini, You and I menjelma ingatan jenis lain lagi, yakni ingatan tentang penyintas. Mbah Kus berpulang pada usia 74 tahun, Mbah Kam 71 tahun, dan kematian keduanya menjadi penutup kisah dalam film. Setahunan sebelum You and I bisa ditonton publik pada 2020, ada film Lagu untuk Anakku yang turut menampilkan hari-hari terakhir penyintas. Dalam dokumenter arahan Shalahuddin Siregar itu, dikisahkan anggota grup paduan suara Dialita, yang seluruhnya adalah perempuan penyintas tahanan politik 1965, mengunjungi dua kawannya yang sedang terbaring sakit. Nama salah satu di antaranya, Titi Kamariah, tertulis dalam in memoriam pada akhir film.

Februari lalu, kita juga sempat mendapat kabar duka tentang Tedjabayu Sudjojono, mahasiswa aktivis yang diasingkan ke Pulau Buru bersama ratusan tahanan politik lainnya. Ingatannya akan masa tahanan sempat diabadikan oleh anaknya, Ratrikala Bhre Aditya, dalam film pendek Ces’t La Vie (2017). Tedjabayu berpulang pada usia 78 tahun.

Kematian semakin akrab dan kita sedang menuju akhir sebuah masa. You and I menyiratkan kepada kita sebuah masa depan tanpa penyintas 1965 dan ketika masa itu tiba, kita kehilangan satu sisi penting dalam pergumulan identitas kita sebagai bangsa. Hari ini kita menangisi kepergian Mbah Kam dan Mbah Kus, suatu hari nanti kita meratapi kehilangan sejarah yang begitu besar sehingga yang tersisa hanyalah sejarah kehilangan.

Setelah You and I, mungkin masih akan ada seratus film lagi tentang 1965. Selama negara masih memperlakukan dosa masa lalunya seperti debu yang disapu ke kolong ranjang, film-film ini akan terus dibuat. Selama itu pula kita perlu mencari cara lain untuk mengingat.

You and I | 2020 | Sutradara: Fanny Chotimah | Produksi: KawanKawan Media, Partisipasi Indonesia | Negara: Indonesia | Narasumber: Kaminah, Kusdalini