White Material: Fragmen Acak dari Krisis yang Tak Kalah Acak

white-material_highlight

Tahun 2008-2009, Claire Denis membuat dua film yang sama-sama menarik perhatian lewat dua tekstur cerita yang bersenjangan. 35 Shots of Rum menyembul dari tetangga rumah susun tengah kota, memotret kegelisahan dan niat kuat untuk memperbaikinya. Sementara White Material melanglang jauh ke benua Afrika, menangkap permasalahan politik yang konstan di wilayah itu. Terlepas dari perbedaan cerita yang sangat menonjol, Denis menerapkan visi yang sepadan dalam kedua filmnya ini. 35 Shots of Rum dan White Material sama-sama bicara tentang kebimbangan manusia antara pergi dan tinggal sementara eksistensi mereka dikerangkeng oleh ruang dan waktu, kedua film ini dirangkap menjadi semacam petit histoire, peristiwa mungil yang menjadi bagian dari pergeseran sejarah yang sangat besar.

White Material dibikin di Afrika dengan pendekatan teknis yang berbeda dibanding 35 shots of Rum. Dalam White Material, Denis lebih banyak menggunakan hand-held camera untuk merekam suasana yang hampir seluruhnya genting. Sebenarnya alur ceritanya sangat polos, keluarga Marie Vial dipaksa pulang ke Prancis karena Afrika tengah diaduk oleh konflik sipil. Serangan para militan mulai mengarah ke rumah Vial karena ditengarai menjadi tempat persembunyian Boxer, buronan yang paling dicari. Sebagai semacam sejarah-kecil, plot White Material justru baru dipanaskan ketika sejarah besar yang menjadi induknya sudah mulai mereda. Film baru dimulai ketika para militan sudah mulai bergerak ke rumah Vial, dan disuatu tempat, Boxer sudah kritis hampir tewas. Resikonya, penonton akan tersaruk-saruk mengejar cerita sebab tak ada yang namanya perkenalan karakter dan tempat. Semua berlangsung begitu cepat dan buru-buru.

Film dibuka dengan scene acak yang dikutip dari seluruh tubuh film, faktor ini yang saya kira menjadi pemicu kebingungan penonton. Ada empat scene yang dibolak-balik disepuluh menit pertama dan hanya satu diantaranya yang akhirnya menjadi terminal utama, sebelum berangkat berkilas balik sedikit ke belakang, ke dalam rangkaian konflik yang juga dijumput secara acak, tanpa kronologis dan diambil di sembarang tempat, yang menjadi penanda konstan dari semua konflik itu hanyalah ketakutan yang terlihat dimata setiap orang.

Denis berusaha memasuki dunia perang lewat mata seorang perempuan, baik matanya sendiri sebagai sutradara maupun mata Maria Vial sebagai karakter. Vial bersikeras menetap di Afrika sebab pucuk pepohonan kopi di kebunnya tengah berbunga, ia harus mati-matian keluar masuk konflik sekedar untuk mencari pekerja pemetik kopi. Semua orang enggan membantu Vial karena tahu rumahnya adalah sasaran utama para militan bersenjata. Vial semakin bimbang sebab keluarganya tidaklah kecil dan semuanya ingin pergi, suaminya sudah mati-matian membujuknya agar mau pulang ke Prancis. Kebimbangan dengan model yang sama persis dengan penutup cerita 35 Shots of Rum. Dalam White Material, keberseberangan antara pergi dan tinggal menjadi kacau ketika awalnya orang yang berencana pergi ternyata tak juga pergi, dan orang yang tak pernah pergi, tiba-tiba menghilang entah kemana. Vial menjadi poros tengah dari semua kebimbangan itu.

Dalam White Material, Denis tidak bekerja sama dengan Agnes Godard, sinematografer yang menangani hampir semua filmnya. Ia mengajak sienmatografer Yves Cape dan hasilnya adalah film yang fokus pada gerak dan badan sementara latarnya blur sebagai bagian dari penerjemahan krisis manusia tanpa peduli dimanapun mereka ada. Afrika dalam White Material adalah semata Afrika saja tanpa pernah disebutkan negaranya. Disini latar menjadi semacam variabel yang bisa diganti oleh apa saja sementara manusia sebaliknya, mereka adalah peran inti yang tak tergantikan. Denis selangkah mendekati metode yang sering dipakai oleh Dardenne Bersaudara: menangkap krisis manusia dan hanya manusia (entah mereka dipotret sebagai korban lingkaran sistem atau ketika mereka gegabah mengorbankan sistem demi kepentingan sendiri, tetapi tetap saja manusia), lewat film yang mengorbankan latar (terutama lewat rack focus), dan kamera yang anti berhenti.

Dibalik penampakannya yang tak pernah berhenti bergerak, Vial sebenarnya tengah membohongi penontonnya. Dalam hatinya tengah terjadi perkelahian keputusan antara pergi dan tinggal. Acting bercabang khas film-film Prancis, di mana karakternya melakukan suatu hal sementara pikirannya tengah hinggap di tempat lain (contoh paling eksplisit mungkin adalah saga Antoine Doinel). Kebercabangan ini juga mendukung ketertutupan White Material terhadap konsep ‘hubungan’. Kita tak pernah tahu apa hubungan antara Vial dengan The Boxer sampai ia bisa dicurigai menampung The Boxer di rumahnya, justru ketika semua orang memburunya. Vial jelas tak punya komitmen politis apapun sebab yang ia pikirkan hanya satu yakni kebimbangan antara pulang dan menetap, dan yang ia lakukan di sepanjang film juga hanya satu, yakni mondar-mandir mencari pekerja yang mau memetikkan kopi untuknya, berkubang dalam perkara politik jelas tak mungkin sebab orang seperti Vial tak kenal siapa-siapa, rumahnya di tengah kebun dan tak pernah mau meninggalkan kopi-kopinya selangkahpun. White Material memilih untuk berpaling dari hal-hal seperti ini, kita tak pernah tahu bagaimana hubungan antara Vial dengan suaminya, atau siapa lelaki tua yang tinggal dirumahnya. Hal ini dilakukan demi tercapainya tujuan untuk terus melekatkan tatap penonton pada krisis manusia dengan kacamata kuda yang ketat, menjelaskan hubungan antara para karakternya justru akan beresiko mengurangi tensi krisis itu sendiri.

White Material | 2009 | Sutradara: Claire Denis | Negara: Prancis |  Pemain: Isabelle Huppert, Christopher Lambert, Nicolas Duvauchelle, Isaach De Bankolé, William Nadylam