Where Do We Go Now?: Para Perempuan Pengubur Senjata

where-do-we-go-now_hlgh

Laughter and tears are both responses to frustration and exhaustion. I myself prefer to laugh, since there is less cleaning to do afterward.

—Kurt Vonnegut

Sebuah masyarakat dengan berbagai kesusahan dan kesedihan yang tak berujung, tidak serta-merta berbanding lurus dengan selera humor mereka. Karena perang yang tak kunjung usai, pejabat yang korup, subordinasi, dan diskriminasi ras bisa menjadi menu andalan dalam guyonan mereka. Kibulan mereka bukan sekedar tetek bengek tak jelas seputar dapur atau bon warung yang tak kunjung lunas. Wilayah komedi mereka adalah ras, agama, dan negara yang totaliter. Komedi mereka ‘cadas’, namun bukan sekedar olok-olok dan lempar tepung. Prinsip mereka, seperti yang pernah diungkapkan Charlie Chaplin, adalah “to truly laugh, you must be able to take your pain and play with it!

Pernyataan ini dapat dibuktikan, salah satunya, dengan adanya buku Mati Ketawa Cara daripada Soeharto pada 1998. Dari judulnya, kita bisa melihat sisipan ejekan yang ditujukan pada mantan presiden kita, Suharto—kita semua tahu bahwa selain “semangkin”, “daripada” adalah kata yang kerap ia ucapkan. Sampulnya bergambar arca Soeharto yang duduk di atas sepatu lars dan ornamen bertuliskan “Penguasa Sampai Mampus”, dengan para hamba yang menyembah-nyembah di bawahnya dan kepulan asap kemenyan di depan mereka. Bisa dibayangkan, pada masa itu, sang Prabu masih berkuasa di tanah Nusantara. Meski demikian, “Rakyat Indonesia yang di tengah tekanan dan penderitaannya masih bisa berhumor-ria”, tulis penerbit.

Gus Dur, dalam kata pengantarnya untuk buku kumpulan humor yang berjudul Mati Ketawa Cara Rusia (1986), mengatakan:

“…Rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian, humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat…”

Humor adalah “pertahanan terakhir” bagi masyarakat yang setiap harinya berhadapan dengan tangisan bayi yang lapar, kematian anggota keluarga, dan kehilangan nyawa.

Dalam dunia perfilman, banyak film satir yang diangkat dari kisah-kisah getir kehidupan. Timbuktu, misalnya. Film karya Abderrahmane Sissako itu menarasikan suatu perkampungan di sebuah padang sahara yang dikuasai oleh Islamis fundamental. Mereka, para jihadis ini, memberlakukan hukum ketat yang seringkali absurd—banyak kegiatan yang sebelumnya lumrah dilakukan malah dilarang. Absurditas ini dapat kita saksikan saat sekelompok pemuda sedang bermain sepak bola tapi tanpa bola. Kendati tidak menggunakan bola, permainan berjalan dengan sebagaimana adanya. Ada wasit, dan para pemain memakai kaos olahraga, sepatu bola dan kaos kaki. Ada tendangan bebas, kartu kuning (imajiner), rebutan menggocek bola, pinalti, hingga selebrasi. Dan meskipun dilakukan dengan tanpa bola, para jihadis masih saja melarangnya.

Pertanyaannya, mengapa harus humor? Kenapa tidak disajikan dengan narasi yang menyayat hati? Mampukah humor menyampaikan ide dan pesan film, yang notabene berisi protes akan ketimpangan, kepada penonton? Dan lebih jauh lagi, mungkinkah ia menjadi alat perubahan sosial?

Telah banyak studi yang dilakukan untuk menguak fungsi lelucon dalam kehidupan sosial. Sigmund Freud, misalnya, menyatakan bahwa lelucon adalah sebuah kejengkelan, dan pengingat dari alam bawah sadar manusia yang hidup dalam dunia yang rasional. Selain itu, humor dan lelucon dapat menjadi alat protes sosial yang sangat kuat, lebih-lebih dalam sebuah negara yang dipimpin oleh rezim totaliter.

Agaknya, Nadine Labaki mengusung semangat serupa dalam Where Do We Go Now? (Ou Halla La Weyn?). Film ini dibuat dari 18 Oktober sampai 18 Desember 2010, di tengah gencatan senjata dengan Israel pasca pertempuran di Adaisseh, sebuah desa di Lebanon Selatan, yang berbatasan dengan kibbutz (daerah pertanian) di Misgav Am, Israel bagian utara.

Dikemas sebagai sebuah satir, Where Do We Go Now? berkisah kehidupan sebuah kampung yang terisolir, dan didiami oleh dua kelompok Muslim dan Kristen. Penghubung antara desa dengan kehidupan luar hanyalah “jembatan”, yang sebenarnya adalah sepetak tanah bekas ladang ranjau. Kiri-kanannya jurang curam.

Where Do We Go Now? dibuka dengan tarian requiem oleh perempuan-perempuan berbaju serba hitam dengan membawa seikat bunga; beberapa ada yang berkerudung; beberapa memegang foto lama bergambar seorang laki-laki dan menempelkannya di dada; berjalan beriringan menuju pemakaman yang terbagi dua oleh garis maya berupa agama. Sebagian besar yang dimakamkan di sana adalah laki-laki, yang belakangan diketahui bahwa mereka adalah anak, saudara dan suami perempuan-perempuan tersebut.

Adegan selanjutnya kemudian bertutur mengenai kiprah perempuan mempertahankan kedamaian kampungnya, dan tentu saja menjaga agar laki-laki terdekatnya tidak terseret oleh arus konflik yang selalu berpotensi muncul dalam perbedaan keberagamaan. Demi melanggengkan status quo, Amale (Nadine Labaki) dan teman-temannya menyabotase radio, koran, dan televisi yang memberitakan ketegangan antara umat Islam dan Kristen di Wardeh—hingga mendatangkan para penari dari sebuah bar di kota. Tujuannya untuk melupakan bibit-bibit konflik yang bercokol dalam hati laki-laki mereka.

Akan tetapi, ketika para perempuan merasakan bahwa angin kebencian mulai berhembus kembali, mereka tidak takut untuk mengorbankan perasaan dan diri mereka demi kedamaian kampung. Takla (Claude Baz Moussawbaa), misalnya, Setelah menutup rapat kabar kematian putra bungsunya, Nassim (Kevin Abboud), yang terkena ranjau, dari masyarakat, Takla tidak segan untuk menembak kaki Issam (Sasseen Kawzally) agar anak tertuanya itu tidak kalap membantai warga Muslim yang dianggapnya sebagai pembunuh adiknya. Dan puncaknya, warga perempuan ramai-ramai pindah agama.

“Sekarang kau hidup dengan musuhmu. Aku salah satu dari mereka (baca: muslim) sekarang. Apa lagi yang akan kau lakukan?” tanya Takla sembari mengusap kepala Issam dengan lembut.

where-do-we-go-now_01

Meski sama-sama menyorot isu perempuan dan kental dengan humor, Where Do We Go Now? berbeda jauh dengan Caramel (Sukkar Banat), film Nadine Labaki pada 2007. Caramel lebih fokus pada kehidupan perempuan yang multi-personal dan pada bentuk pertahanan psikologis mereka dalam dunia modern. Konflik yang dibidik Caramel lebih pada wilayah personal, bukan dalam dunia yang lebih luas.

Where Do We Go Now? tidak demikian. Konflik film ini tidak berkutat seputar mencintai suami orang atau kisah gadis paruh baya yang memilih untuk merawat kakak perempuannya daripada menikah, namun lebih kompleks dari itu—tentunya bukan dalam arti mengerdilkan konflik-konflik tersebut. Perempuan-perempuan dalam dunia Where Do We Go Now? adalah pejuang-pejuang yang siap mengorbankan dirinya demi terwujudnya kedamaian dalam kampung mereka.

Menonton Where Do We Go Now mengingatkan kita pada drama-komedi Lysistrata karya Aristophanes. Lysistrata pertama kali dipentaskan di Yunani pada 411 Sebelum Masehi. Dalam Lysistrata, perempuan-perempuan Yunani bersekongkol untuk mengakhiri perang Peloponnesian. Caranya dengan menolak berhubungan seksual dengan suami dan kekasih mereka, hingga mereka menghentikan peperangan. Tidak hanya itu saja, Lysistrata dan Calonice juga mengagitasi tetua perempuan yang berada di pemerintahan untuk mengokupasi kas negara. Konsekuensinya, para pria tak dapat melanutkan peperangan mereka karena terhambat dalam pendanaan.

Dalam dunia nyata, apa yang dikisahkan Nadine Labaki melalui Where Do We Go Now? tidak jauh berbeda. Sejak 1975 perang telah meletus di Lebanon. Meski tidak seluruhnya disebabkan oleh konflik antara pemeluk agama, namun sebagai kelompok yang paling rentan terkena dampak peperangan, perempuan harus kreatif mencari cara untuk menghentikan kekonyolan yang dilakukan oleh laki-laki mereka. Perubahan yang mereka lakukan tidak hanya melalui jalan “damai” seperti Where Do We Go Now?, Lysistrata, dan puluhan penyair serta jurnalis yang mengabarkan keadaan Lebanon kepada dunia. Mereka juga ikut terjun dalam medan pertempuran, seperti yang dilakukan oleh Maman Aida dalam Perang Saudara yang meletus pada 1975.

Dengan melihat realitas yang demikian, dalam memandang konstelasi politik, agama, dan sebagainya, nampak perempuan melampaui laki-laki pada umumnya. Perempuan bisa fleksibel dalam mengelola konflik dan perbedaan, bahkan dalam kondisi yang seringkali menghadang gerak mereka: budaya patriarkis.

Dalam Perang Dunia Pertama, misalnya, lebih dari seribu perempuan berkumpul untuk membicarakan perdamaian di Den Haag. Mereka melakukan perjalanan ke sana dari dua belas negara, di kedua sisi Atlantik dan kedua sisi konflik, disatukan oleh keyakinan bahwa perempuan bisa mencapai sesuatu yang tak diinginkan dan tak mau dilakukan oleh pemimpin laki-laki: menghentikan peperangan. Ketika kongres berakhir, mereka mengutus perwakilan-perwakilan mereka untuk kepala-kepala negara yang berpartisipasi dalam perang, mendesak mereka untuk memulai komisi perdamaian. Tapi apa lacur, perang tak dapat dihentikan, dan berlangsung hingga tiga tahun, dengan memakan korban 37 juta jiwa: laki-laki, perempuan dan anak-anak.

Dalam dunia modern, kiprah perempuan dalam menjaga perdamaian, salah satunya, ditunjukkan dalam organisasi Women’s International League for Peace and Freedom (WILPF). Pada 2015 kemarin, WILPF mencapai usia seratus tahun. Banyak hal yang telah dilakukan oleh WILPF. Dalam konteks Lebanon, pada 2014, WILPF telah mendirikan ruang pelatihan yang akan digunakan untuk kuliah, mengajar dan melatih perempuan di segala bidang. Di tempat yang sama juga akan diadakan simposium untuk menyebarkan prinsip WILPF: kesetaraan gender, pendidikan perdamaian, perlucutan senjata dan hak asasi manusia.

Lantas, di mana (pemuka) agama?

Nadine Labaki menutup Where Do We Go Now? dengan ejekan akan kerapuhan dan ketidakbecusan agamawan dalam mengurus umat. Pasca mengundang jemaatnya untuk menonton pertunjukan tari perut dan memakan kudapan yang penuh dengan hasyisy, sang Imam dan Pendeta melarikan diri dari kampung bersama rombongan para penari.

“Benarkah kita pergi bersama mereka?” tanya Pendeta dengan keraguan.

“Di bawah sini, mungkin. Tapi di atas sana, aku tidak yakin,” jawab Imam diplomatis.

Sebagaimana dalam pembukanya, Where Do We Go Now? ditutup pula dengan requiem yang mengantar kepergian Nassim ke alam baka. Maka, sepertinya tepat juga jika tulisan ini ditutup dengan puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Berjalan di Belakang Jenazah ini:

berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya.

Where Do We Go Now? (Ou Halla La Weyn?) | 2011 | Durasi: 110 menit | Sutradara: Nadine Labaki | Penulis: Nadine Labaki, Sam Mounier, Rodney El Haddad, Thomas Bidegain, Jihad Hojeily | Produksi: Les Films des Tournelles, Pathé, Les Films de Beyrouth | Negara: Prancis, Lebanon, Mesir, Italia | Pemeran: Nadine Labaki, Claude Baz Moussawbaa, Caroline Labaki, Leyla Hakim, Yvonne Maalouf, Antoinette Noufaily, Anjo Rihane, Julian Farhat, Kevin Abboud, Sasseen Kawzally