Umar Amir: Film Pendek, Credit Title Panjang

umar-amir_highlight

Ancha Latief mungkin bukan sosok yang kerap diperbincangkan di dunia film pendek. Paling banter orang mengenalnya sebagai salah satu sutradara asal Palu, kota kecil di Sulawesi Tengah yang belakangan disebut punya potensi di dunia sinema. Anggapan di atas sahih sampai Umar Amir disaksikan publik.

Saya mengenal Ancha lewat beberapa filmnya. Yang paling saya ingat And Sky is the Limit (2011), sebuah film yang bertutur secara puitis akan kesempurnaan dan cinta sepasang kekasih. Apa yang menyisa di ingatan? Gambar-gambar cantik beraroma galau, serta pesan moral yang sudah kerap kita dengar. Pesan moral sepertinya akrab dengan film-film Ancha. Sebutlah Fullan, film Ancha tahun 2010, yang mengikuti dilema keimanan seorang Muslim dalam beribadah. Dalam perjalanan ke masjid untuk shalat berjamaah, protagonis bertemu orang-orang yang butuh bantuan, dari pengemis minta uang sampai teman pinjam sarung. Ia menyanggupi semuanya, walau sebenarnya ia dirugikan secara materiil. Di akhir film, tindakan protagonis membantu orang-orang dibenarkan oleh forum pengajian, yang membahas bagaimana hubungan dengan sesama manusia merupakan wujud lain dari ibadah.

Umar Amir jadi berbeda karena Ancha keluar dari kebiasaan di film-filmnya terdahulu. Ia menanggalkan gambar-gambar galau, mencoba bereksperimen dengan tampilan visual baru. Ia meninggalkan kesan puitik, menggantinya dengan humor sarkastik. Dikuburnya pesan moral, digantinya dengan otokritik cerdas. Secara keseluruhan, Umar Amir bisa disebut sebagai eksperimen Ancha yang sukses. Ada sebuah kedalaman yang bisa menolehkan kepala penikmat maupun pegiat film.

Otoritas Pembuat

Film ini dibuka dengan pelarian Umar dan Amir, duo bersaudara, dari suatu tempat. Di tengah perjalanan mereka berdebat. Sejenak penonton dibuat menunggu adegan selanjutnya. Tapi yang hadir justru berbeda. Dari hutan yang mencekam, film pindah setting ke layar komputer rumahan, dengan latar dua suara yang berdebat seputar film. Umar dan Amir adalah film-dalam-film yang dipinjam untuk memicu cerita utama. Film itu sedang disunting oleh dua orang di depan komputer, sutradara dan editor. Umar dan Amir pun harus rela untuk dipotong, disulam, dipermak, dan didandani demi menjadi sebuah film yang ideal—paling tidak di mata dua makhluk yang berkuasa penuh di depan layar komputer penyuntingan.

Suara yang kurang sempurna jadi sumber perdebatan. Menurut editor, suara di film itu masih mengganjal, Coba kau dengar bae-bae, kalo mau dipaksa angkat ba-noise sekali” (“Coba kau dengar baik-baik, kalau mau dipaksa angkat, noise-nya terasa”). Si sutradara bertanya balik Jadi bagaimana dan? Mau direkam ulang audionya? So malas saya ba-take ulang, biar jo banoise, te apa itu” (“Jadi mau bagaimana? Mau direkam ulang audio-nya? Malas saya take ulang, biar saja ada noise-nya, tidak masalah”).

Kritik Ancha sudah terasa sejak perdebatan awal antara si sutradara dan editor. Film terus mengalir, perdebatan makin panas. Apa yang sedang dikritik Ancha? Lewat humor, Ancha mengkritik dunia film pendek dan beberapa pola produksi di dalamnya. Yang menarik lagi, Ancha pun aktif di dalamnya—dia sedang mengkritik dirinya sendiri pada saat bersamaan.

Otoritas para pembuat film terhadap film menjadi topik paling dominan dan dituturkan Ancha secara berulang-ulang, mulai dari perdebatan tentang kualitas suara, bahasa gambar, sampai pada perihal credit title. Misalnya, saat pertikaian memuncak, dengan nada arogan sutradara melempar pertanyaan ke editor, Siapa sutradara sebenarnya kah, saya atau kau?” Tanpa perlu penjelasan yang lebih gamblang, Umar Amir pada titik ini menyindir posisi sutradara, yang memang sudah turun-temurun memposisikan diri sebagai pihak di piramida teratas dalam urusan tata artistik film. Bahkan boleh jadi, Ancha sedang mengajak para pembuat film pendek (terutama para sutradara) untuk bertanya lagi pada masing-masing diri: otoritas macam apa yang sedang mereka mainkan?

Sebagian boleh jadi akan berkilah bahwa otoritas semacam itu memang diperlukan dalam produksi film. Umar Amir juga tak menampiknya, tapi film ini menampilkan wajah otoritas artistik yang buruk: rasa “sok paling benar” sang sutradara. Ini terlihat saat masalah durasi dan kebutuhan menghilangkan salah satu shot dibutuhkan. Editor mencoba memberi penjelasan: Coba kau perhatikan ini gambar…tidak realistis! Menganggu sekali gambar tangan itu.” Pernyataan ini langsung ditimpali si sutradara, Jangan! Ada pesan yang ingin saya sampaikan dari tangan itu.” Ancha menampilkan gambar tangan itu sedemikian rupa, hingga melahirkan kesan bahwa keberadaannya remeh dan tidak penting. Meski demikian, ungkapan “tidak realistis” dari si editor mungkin juga terasa tidak tepat.

Tapi si sutradara selalu saja punya pembenaran, dan (boleh jadi) merasa paling berkuasa serta memahami filmnya dari ujung ke ujung. Atau mungkin saja ketika membuat film (terlebih fiksi), seorang sutradara memang sedang membuat dunianya sendiri? Bila ya, maka bukan tak mungkin dia abai dengan dunia lain di luarnya: penonton. Kecenderungan berasyik-masyuk dengan dunia sendiri itu ditekankan lagi lewat percakapan selanjutnya. Kalo cuma tangan itu dikasi hilang, tidak pengaruh juga dengan pesan filmmu,” ujar editor mencoba meyakinkan. Justru kunci pesannya ada di situ, jangan dikasih hilang,” jawab sutradara.

Pola Produksi

Umar Amir juga menyinggung pola-pola produksi film pendek saat ini, di mana proses pembuatan film kerap bersandar pada semangat, komunitas, dan pertemanan. Produksi lebih sering berlangsung cair, dengan semangat yang kadang sedikit luntur, dan tak jarang disertai kemalasan untuk mendapat hasil akhir yang baik. Dalam Umar Amir, hal ini terlihat dari keengganan untuk melakukan re-take suara, yang diyakini mengganjal.

Pola komunitas juga menyiratkan kesederhanaan juga tak luput dari bidikan Umar Amir. Layar komputer yang 90 persen mendominasi film Umar Amir, bisa diidentifikasi sebagai komputer rumahan. Sesekali terdengar bunyi crash saat ada dua program yang sedang running. Boleh jadi komputer itu kelelahan. Ini makin mendekatkan penonton, terutama pegiat film pendek, dengan dunia mereka. Selama ini produksi film pendek (melalui alat komunitas), memang lebih sering dimulai dari ruang-ruang sederhana, alat-alat seadanya, dan tenaga-tenaga sebisanya.

Soal pertemanan juga disinggung dalam perdebatan tentang ucapan terimakasih di penghujung film. Ini kebiasaan: filmnya pendek, ucapan terimakasihnya panjang. Sebagaimana yang diperdebatkan dalam Umar Amir memuat, ada rasa sungkan atau tak enak dari para kru film, jika satu nama kawan terlewat. Padahal, terkadang nama-nama yang disebutkan dalam ucapan terimakasih itu belum tentu punya sumbangsih atau hubungan langsung dengan produksi film.

Pernyataan yang paling kuat pada bagian perdebatan credit title ini adalah saat si sutradara mengatakan Kalo dorang bantu urus konsumsi, boleh jo” (“Kalau mereka ikut bantu mengurusi konsumsi, boleh lah dimasukkan”). Bahkan untuk urusan makan (baca: konsumsi), mereka yang terlibat dalam produksi film pendek harus siap mandiri, karena sudah lazim pekerjaan di lapangan berlangsung tanpa sokongan dari luar.

Di sinilah peta besar film pendek Indonesia tergambar. Wilayah ini belum jadi industri. Selama kerja produksi belum terjamin, tak usahlah berharap ada upah karena urusan konsumsi. Paling banter, film pendek hanya menjadi batu loncatan menuju industri (film panjang). Jika pun ada film pendek yang mulai menampakkan (keseluruhan atau salah satu) ciri dari industri, bisa segera disimpulkan persentasenya tak sampai dua digit. Ini pun biasanya terjadi jika si pembuat film adalah orang yang memang punya duit untuk membiayai produksi. Mungkin juga, si pembuat film memang sedang mengerjakan film pendek untuk keperluan tertentu. Kemungkinan lain, yang bersangkutan sekadar beruntung mendapat sponsor atau hibah dari lembaga tertentu. Tapi sekali lagi, kemungkinannya sangat kecil, padahal pembuat dan pegiat film pendek terus bertambah dari hari ke hari.

Tanpa harus membuat kritik yang kaku, Umar Amir sukses mengemas sebuah otokritik lewat humor yang sarkas tapi menghibur. Otokritik macam ini tak harus hadir lewat diskusi, percakapan, atau tulisan. Ancha menawarkan bentuk lain (meski tak baru): film.

Catatan Representasi

Saya tak heran saat Umar Amir jadi salah satu buah bibir di ajang Festival Film Solo 2013. Para penonton, yang notabene akrab atau bergiat di dunia film pendek, pastilah merasa dekat dengan film ini. Jika para pembuat film pendek menonton Umar Amir dan tertawa, marilah berharap semoga mereka juga sadar bahwa di saat yang sama mereka (bisa jadi) sedang menertawakan diri sendiri.

Terlepas itu, ada beberapa catatan penting terkait representasi dalam film ini. Pertama, sebagai seorang yang fasih bertutur dalam dialek Palu, saya merasa percakapan antara kedua tokoh di dalam film ini kurang natural, tidak mengalir, terlalu A-B-C. Kesan itu saya tangkap dalam beberapa bagian. Kurang naturalnya percakapan Umar Amir menjadikan fiksi ini begitu terasa “kesan sandiwara”-nya.

Kedua, suara perkelahian bernuansa komikal di ujung film terasa menganggu. Dalam diskusi pasca pemutaran di Festival Film Solo, Ancha sempat menjelaskan niatannya untuk menyelipkan pesan lain, “Bahwa pertikaian bisa dimulai dari hal-hal kecil. Di Palu, yang terkenal dengan konflik antarwarga, hal seperti ini sering terjadi”. Bagi saya, suara komikal itu adalah buah dari kegagapan Ancha dalam menampilkan pesannya di atas. Suara komikal itu justru merusak mood penonton. Boleh jadi ada di antara penonton yang menganggap humor ini serius, dan malah gagal mendapatkan kesan seriusnya di penghujung film, sebab ada suara pertikaian yang serupa film kartun itu.

Ada banyak cara menampilkan perkelahian serta pesan yang disasar oleh Ancha, tak harus dengan latar suara komikal itu. Kenapa, misalnya, tidak sekalian mengambil unsur lokal saja? Saya pribadi mengharapkan “tai laso”, makian setaraf “bangsat”, “fuck”, atau ”jancok” di Palu.

Umar Amir | 2013 | Sutradara: Eldiansyah Ancha Latief | Negara: Indonesia | Pemain: Randy, Hendris