Film-film fiksi-romantis umumnya dianggap sekedar memanjakan para penontonnya dengan mimpi-mimpi atau lamunan manis di siang bolong. Namun, toh genre ini tetap memiliki pesonanya tersendiri. Pesona itulah yang mungkin membuat film-film fiksi-romantis masih tetap populer dan laris-manis dinikmati oleh para penontonnya yang berasal dari berbagai kalangan, di seluruh dunia. Maka tidak jarang film-film yang memuat tema itu meraih kesuksesan komersil. Tak terkecuali The Twilight Saga; dengan total pendapatan dari rangkaian kelima filmnya di suluruh dunia—berdasarkan boxofficemojo.com—mencapai $3,342,792,667.
Mungkin telah diketahui banyak orang bahwa kelima film The Twilight Saga merupakan hasil visualisasi dari rangkaian empat novel buah pena Stephenie Meyer yang bisa disebut sebagai Twilight Series. Kepopuleran dan kesuksesan komersil The Twilight Saga pun didahului oleh kepopuleran dan kesuksesan komersil Twilight Series. Tercatat, Twilight Series telah diterjemahkan ke dalam (setidaknya) 38 bahasa berbeda di seluruh dunia, dan mencapai total penjualan lebih dari 120 juta copy di seluruh dunia, selama periode 2005-2011. Besarnya basis penggemar Twilight Series pun luar biasa, hingga akhirnya produser film pun berani mengangkat tetralogi ini ke layar lebar. Kesuksesan The Twilight Saga dan Twilight Series menunjukan bahwa kisah-kisah fiksi-romantis memang memiliki daya tarik.
Di samping popularitas dan kesuksesan komersil, Twilight Series dan The Twilight Saga juga memancing kritik—positif maupun negatif—dari beragam kalangan: kritikus sastra dan film, penulis, jurnalis, agamawan, ahli-ahli kejiwaan, hingga kaum feminis.
Kesuksesan komersil, popularitas, ditambah dengan munculnya berbagai kritik dari beragam latar belakang menunjukkan bahwa Twilight Series dan The Twilight Saga telah menarik perhatian banyak orang. Melihat itu, tidak mengada-ada rasanya jika muncul dugaan bahwa di dalam rangkaian kisah The Twilight Saga sebenarnya bisa dipindai sebagai lebih dari sekedar percintaan fiktif. Karena di balik setiap kisah, sefiktif apa pun, semestinya terkandung secukil dua kenyataan—kecil atau besar—yang menandai situasi masyarakatnya. Hal ini karena setiap kisah toh tidak bisa dilepaskan dari faktor penulisnya yang merupakan manusia-manusia riil, yang hidup di dalam ruang, waktu, dan situasi masyarakat yang riil pula. Relevansi dengan realitas itulah yang membuat para pembaca dan penonton bisa terhubung dengan sebuah kisang; dan memungkinkan para kritikus untuk meninjau dan mengkajinya dari berbagai sudut pandang.
Tentang Bella dan Edward
Sebelum masuk pada relevansinya dengan realitas, mari kita simak dahulu garis besar ceritanya. Bagi yang tidak familier dengan ceritanya, The Twilight Saga utamanya mengisahkan perjalanan asmara antara Isabella “Bella” Swan dan Edward Cullen. Tak kurang fiktifnya, kisah percintaan itu terjadi di antara seorang manusia dengan vampir. Situasi itu semakin rumit ketika ditambah dengan kehadiran werewolf yang bernama Jacob Black di antara mereka berdua, menjadikan rangkaian cerita ini sebagai kisah cinta segitiga fiktif antara tiga makhluk berbeda alam. Tidak berhenti sampai di situ, berbagai konflik yang pelik dan mematikan pun terjadi, semakin besar dan melibatkan semakin banyak individu dari ketiga alam tersebut. Konsekuensi dari konflik-konflik tersebut bahkan berpotensi membahayakan nyawa seluruh warga kota Forks, tempat Bella dan Edward bermukim yang tidak tahu-menahu soal keberadaan makhluk-makhluk supranatural. Namun sebagaimana kisah-kisah fiksi-romantis pada umumnya, The Twilight Saga juga akhirnya berujung bahagia, terutama bagi Bella dan Edward.
Sepintas, kisah The Twilight Saga tidaklah istimewa: tipikal fiksi-romantis. Tetapi jika dicermati, keistimewaannya justru tampak dari hal-hal yang “sangat biasa” itu. Pertama, Bella sebagai karakter utama yang (awalnya) merupakan manusia dan gadis yang biasa-biasa saja. Kedua, setting tempatnya di kota Forks dan setting waktunya di masa kini. Forks memang sungguh ada, dengan kondisi alam dan iklim seperti gambaran dalam The Twilight Saga. Situasi kota dan masyarakatnya juga seperti kehidupan manusia masa kini pada umumnya. Di situlah Bella tinggal dan bersekolah, sekaligus bertemu dengan vampir dan werewolf. Tidak perlu kekuatan spesial, portal sihir, atau mantra apa pun untuk menemukan mereka karena mereka ada di sekitar manusia. Ketiga, keberadaan makhluk-makhluk supranaturalnya yang manusiawi dan membaur dengan manusia. Vampir dan werewolf ala Stephenie Meyer ini bisa berkeliaran dengan bebas, bahkan memiliki rumah dan kehidupan layaknya manusia. Para vampirnya tidak seram, tidak tidur dalam peti mati, tidak takut bawang putih atau salib, bahkan sinar matahari tidak mematikan mereka. Sedangkan para werewolfnya berubah wujud bukan karena pengaruh dari bulan purnama.
Ketiga hal yang sangat biasa itu secara tidak langsung menunjukkan kedekatan kisah The Twilight Saga dengan realitas kehidupan manusia sehari-hari. Salah satunya adalah realitas relasi antarindividu dalam masyarakat. Dengan kata lain, jika dilepaskan dari unsur-unsur fiktifnya, kisah The Twilight Saga bisa jadi mencerminkan potret relasi antarindividu dalam masyarakat masa kini, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi, terutama kebebasan dan kesetaraan. Hal ini bisa dilihat melalui interaksi dan relasi antara karakter-karakter di dalamnya.
Tengoklah relasi Bella dengan Edward. Awalnya, mereka berdua adalah individu bebas yang tidak saling mengenal. Kehadiran Bella sebagai murid baru di sekolah mengusik hasrat dan rasa penasaran Edward. Bella pun diam-diam penasaran dengan kemisteriusan Edward. Edward memperingatkan Bella bahwa dirinya berbahaya. Tetapi peringatan itu malah membuat Bella semakin tertarik. Akhirnya Edward memutuskan untuk mendekati Bella sebagai teman. Bella pun menerima tawarannya demi memuaskan rasa penasaran.
Relasi pertemanan Bella dan Edward diawali dengan kesepakatan dari kedua individu untuk memasuki sebuah relasi pertemanan didasari rasa penasaran masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa relasi antarindividu dalam masyarakat masa kini pertama-tama diawali oleh keinginan (untuk menjalin suatu relasi) yang disepakati bersama, demi kepuasan dan kesenangan masing-masing, dan bisa berlanjut selama semua individu yang terlibat merasa nyaman dengan relasi itu. Maka tidak heran bila pertemanan mereka berubah menjadi relasi asmara justru ketika Bella mengetahui bahwa Edward adalah vampir. Bella mengabaikan kondisi Edward dan melanjutkan hubungan mereka karena ia merasa nyaman dengan hal itu. Jadi, selama Bella tidak peduli pada wujud Edward yang sebenarnya dan Edward tidak keberatan pada kekurangan Bella, mereka akan melanjutkan relasi mereka.
Tentang Masyarakat Modern
Hubungan Bella dan Edward adalah perwujudan dari relasi yang disebut dengan istilah pure relationship. Ciri utamanya adalah bahwa relasi itu dipilih untuk dimasuki demi relasi itu sendiri (a situation where a social relation is entered into for its own sake). Artinya, ketika individu-invidu itu sepakat untuk menjalin suatu relasi, mereka tidak mempertimbangkan hal-hal yang lebih dari relasi itu sendiri: tidak ada orientasi pada masa depan, pernikahan, keturunan, keluarga, masyarakat, etc.
Selanjutnya, Bella dan Edward mulai membuka diri masing-masing. Keduanya saling bertanya-jawab, bertukar informasi: mulai dari selera musik, warna kesukaan, latar belakang keluarga, hingga masa lalu Edward. Mereka juga bertukar emosi: saling mengungkapkan perasaan dan mengekspresikan kasih sayang melalui tindakan. Dalam semua proses itu, Bella dan Edward saling menerima pasangannya. Relasi mereka bisa berlanjut lagi-lagi karena keduanya merasa nyaman dengan hal-hal yang mereka temukan dari diri pasangan mereka. Dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul, mereka berkompromi dan bernegosiasi untuk menyelesaikannya bersama-sama.
Proses kerjasama Bella dan Edward dalam membangun dan mempertahankan relasi itu meliputi komunikasi, kejujuran, kompromi dan negosiasi, saling percaya dan saling menerima kepribadian masing-masing serta adanya kenyamanan dan kepuasan. Hal-hal itu adalah ciri-ciri dari intimacy (kemesran atau keakraban), yaitu kedekatan emosional yang terbangun dalam sebuah relasi antarindividu. Intimacy erat kaitannya dengan pure relationship karena pure relationship menjanjikan terciptanya intimacy. Ketika kemesraan tercapai, hal itu menandakan kesetaraan dalam suatu relasi antarindividu (Where achievable, intimacy implies equality in relationships). Kesetaraan yang dimaksud bukan hanya dalam status, tetapi juga kesetaraan emosional.
Berikutnya, tantangan bagi relasi Bella dan Edward pun muncul dengan hadirnya orang ketiga, yaitu Jacob Black. Jacob dan Bella awalnya hanya berteman; tetapi Jacob kemudian terang-terangan menyatakan bahwa dirinya jatuh hati pada Bella. Meski awalnya menolak perasaan Jacob, tapi akhirnya Bella mengakui bahwa ternyata dirinya juga mencintai Jacob. Terlibat dalam pusaran cinta segitiga, tanpa disangka Edward justru membebaskan Bella untuk memilih dirinya atau Jacob.
Kejujuran dan keterbukaan setiap individu yang membebaskan pasangannya untuk memilih, adalah ciri dari confluent love. Confluent love sifatnya aktif dan terbuka pada segala kemungkinan (contingent). Artinya, cinta seperti ini tidak “memiliki” pasangan dan “menyegel” masa depannya, melainkan “membebaskan” setiap individu untuk terbuka pada segala kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan. Dalam confluent love, masing-masing individu dituntut untuk bersikap otonom dan independen, sekaligus mengetahui batasan-batasan (boundaries) bagi diri sendiri dan pasangan. Confluent love bukan bertujuan untuk menemukan ”special person”, melainkan untuk menciptakan “special relationship”. Karakteristik inti yang ada dalam confluent love tersebut memungkinkan untuk diterapkan secara lebih luas dalam relasi orangtua dan anak, dalam relasi kekeluargaan lainnya maupun dalam persahabatan. Namun, dengan sifatnya yang terbuka, confluent love memungkinkan suatu relasi untuk bubar kapan saja.
Begitulah, sekelumit potret relasi antarindividu dalam masyarakat masa kini yang tampil dalam The Twilight Saga melalui relasi asmara ketiga karakter utamanya. Pure relationship, intimacy, dan confluent love adalah istilah-istilah yang muncul dan menjadi ciri khas relasi antarindividu dalam masyarakat masa kini. Kajian mendetail tentang hal ini bisa ditemukan dalam kajian sosiologis terhadap masyarakat masa kini (bisa disebut juga masyarakat modern akhir atau masyarakat kontemporer) yang dikemukakan oleh sosiolog terkemuka asal Britania Raya, Anthony Giddens.
Setidaknya ada tiga buku Anthony Giddens yang memuat tentang relasi antarindividu di masyarakat masa kini. Pertama adalah The Consequences of Modernity (Polity Press, 1990), yang menjabarkan garis besar pemikiran Giddens mengenai modernisasi masyarakat Barat: proses perubahan dari pramodern ke modern yang ditandai dengan terlepasnya manusia dari konteks ruang dan waktu, serta kekuatan nalar manusia yang memunculkan prinsip liberty, equality, fraternity sebagai landasan ideologi demokrasi—yang kini telah merasuki segala aspek kehidupan manusia. Kemudian, proses perubahan dari modern ke masa kini yang ditandai oleh menguatnya kebebasan dan kesetaraan individual, beserta segala dampaknya bagi berbagai aspek kehidupan manusia (personal maupun publik), termasuk persoalan relasi antarindividu yang dibahas dalam bab IV.
Kedua adalah The Transformation of Intimacy (Stanford University Press, 1992), yang secara khusus menjabarkan uraian Giddens mengenai perubahan wujud relasi antarindividu dalam masyarakat pramodern, modern, hingga masa kini, beserta berbagai kecenderungan dan potensinya (positif maupun negatif). Dalam buku ini pula terdapat penjelasan yang detail mengenai pure relationship, intimacy, dan confluent love yang terdapat dalam berbagai macam relasi antarindividu dalam masyarakat masa kini: dalam relasi antara sepasang kekasih, relasi orangtua dan anak, relasi kekeluargaan lainnya, maupun persahabatan.
Ketiga adalah Conversations with Anthony Giddens: Making Sense of Modernity (Polity Press, 1998) yang berupa transkrip tanya-jawab antara Christopher Pierson dengan Anthony Giddens. Isinya mencakup riwayat hidup Giddens, pandangannya mengenai sosiologi klasik dan kontemporer, teori strukturasi ciptaan Giddens, modernitas dan dampaknya bagi masyarakat (mulai dari kehidupan personal hingga kehidupan politik), hingga pandangan Giddens tentang politik global. Mengenai relasi antarindividu dibahas secara khusus dalam Interview Five.
Anthony Giddens memang berasal dari Inggris dan teori-teori nya didasari oleh pengamatannya terhadap realitas masyarakat Barat, menggunakan ilmu sosiologi dan psikologi sebagai modalnya. Namun, karena modernitas telah menyebar hampir ke seluruh penjuru Bumi, maka pemikiran-pemikiran Giddens terbilang relevan dengan gejala-gejala yang terjadi dalam masyarakat global. Selain itu, kita juga masih hidup dalam masyarakat masa kini, sehingga gagasan-gagasan Giddens—meskipun diungkapkan sejak tujuh belas sampai dua puluh lima tahun yang lalu—masih relevan hingga saat ini. Giddens juga menolak istilah postmodern—karena menurutnya manusia belum beranjak dari modern. Itulah sebabnya, ia selalu memakai istilah late modern atau modern saja.
Ketiga buku tersebut telah hadir untuk menawarkan penjelasan mengenai realitas relasi antarindividu dalam masyarakat masa kini dari sudut pandang sosiologis; lebih spesifik lagi, sosiologi ala Anthony Giddens. Semoga pemikiran-pemikiran Giddens itu bisa menjadi salah satu—tetapi bukan satu-satunya—cara untuk memandang dan memahami realitas masyarakat masa kini, sekaligus membantu memahami diri kita sendiri sebagai manusia-manusia masa kini. Adapun Twilight Saga, tentu saja, tak lebih dari sekedar ilustrasi belaka.