The Mirror Never Lies: Sebuah Arketip Tentang Kehilangan

mirror-never-lies-kamila-andini_hlgh

Narasi tentang suatu budaya selalu terombang-ambing antara dua bentuk cerita: stereotip (stereotype) dan arketip (archetype). Menurut Robert McKee, seorang pakar penulisan naskah, stereotip adalah bentuk yang mereduksi sebuah lokasi, serta segala kekayaan budayanya, menjadi ornamen untuk suatu jenis cerita yang populer. Strategi tersebut, menurut McKee, digunakan oleh penulis yang khawatir ceritanya akan sukar dipahami oleh orang-orang di luar lingkup kultural lokasi ceritanya. Unsur-unsur lokal dipilih yang paling populer saja, lagi-lagi dengan pertimbangan pemahaman penonton. Produk dari strategi penulisan semacam ini sering kita lihat di televisi nasional. Bukankah banyak film televisi yang berlokasi di Jogjakarta, misalnya, namun unsur lokal yang kita lihat hanyalah monumen daerah dan beberapa karakter berlogat medok? Ceritanya sendiri mayoritas adalah drama cinta remaja yang putus-sambung-putus-lagi-sambung-lagi.

Kebalikan dari stereotip, arketip menarasikan nilai-nilai universal melalui unsur-unsur yang berasal dari kekayaan budaya lokasi cerita. Simbol serta informasi yang terkandung dalam cerita boleh jadi sangat spesifik secara kultural, namun di baliknya ada muatan nilai yang dapat dipahami banyak orang. Strategi tersebut yang secara efektif diterapkan oleh Kamila Andini, penulis dan sutradara The Mirror Never Lies. Dalam film debutnya tersebut, Kamila Andini bercerita tentang relasi segitiga antara Pakis (Gita Novalista), Tayung (Atiqah Hasiholan), dan Tudo (Reza Rahardian). Pakis adalah putri dari Tayung, seorang ibu dari suatu keluarga suku Bajo di wilayah kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Tudo adalah seorang peneliti lumba-lumba dari ibukota, yang menumpang tinggal di Wakatobi untuk kepentingan riset. Di tengah mereka bertiga adalah misteri keberadaan bapaknya Pakis, yang konon hilang atau mati di tengah laut.

Sejak awal film, kita dapat melihat atensi pembuat film pada rutinitas sehari-hari suku Bajo. Ada tracking shot yang mengikuti Pakis berjalan di titian antara rumah-rumah di kampung Bajo, yang dibangun di atas laut. Ada sekuens yang menampilkan bagaimana Pakis dan temannya berangkat sekolah. Adegan pertama memperlihatkan mereka turun dari rumah ke perahu yang mengambang di lautan. Kamera lalu menyorot mereka mendayung perahu bersama. Kemudian, melalui sebuah establishing shot, terlihatlah sebuah sekolah dasar di atas lautan, di mana banyak perahu-perahu lainnya yang “parkir” di sekitar sekolah. Dari gambar-gambar tersebut, kita dapat menangkap realita suatu komunitas yang hajat hidupnya sangat tergantung pada lautan.

Perhatian pembuat film pada unsur lokal tidak berhenti sampai pengungkapan saja. Unsur-unsur lokal tersebut turut bertaut dengan perkembangan cerita. Dalam menyikapi absensi kepala keluarga, Pakis dan Tayung mengambil langkah yang berbeda. Pakis begitu terbawa oleh kenangannya akan bapaknya. Sepanjang film, kita melihat obsesinya dengan cermin pemberian bapaknya. Beberapa kali, Pakis sampai menjalani kata-kata bapaknya secara ekstrem, seperti mencuri ikan kecil dari tangkapan orang lain, lalu mengembalikannya ke laut. Pakis memegang teguh wejangan bapaknya, yang percaya bahwa ikan kecil harus dibiarkan tumbuh sampai besar dulu di lautan luas.

Apabila Pakis masih terjebak pada romantisme kenangan, ibunya lebih realistis. Tayung memilih menelan realita pahit akan absensi suaminya, berusaha melanjutkan hidup seperti sedia kala, sembari mencoba meyakinkan putrinya untuk melakukan hal yang sama. Pasalnya, tanpa suaminya, Tayung berarti juga kekurangan sumber daya untuk hidup. Satu adegan kunci adalah ketika seorang ibu menyumbang tiga ekor ikan untuk Tayung, untuk menambah jualan Tayung yang kian sedikit. Ketiadaan suaminya berdampak pada persediaan ikan yang bisa dijual Tayung di pasar. Dalam beberapa adegan sepanjang film, Tayung turun ke laut untuk mencari teripang dan rumput laut, demi kelangsungan hidup keluarganya.

Pada titik ini, The Mirror Never Lies dapat dikatakan sukses menghasilkan cerita yang universal tentang kehilangan figur seorang kepala keluarga. Simbol dan informasi yang terkujur dalam cerita memang spesifik suku Bajo, namun di baliknya terkandung nilai-nilai yang dapat dipahami banyak orang. Dalam kasus ini, sebenarnya Tudo adalah karakater yang hampir tidak konteks. Dia memang memenuhi fungsi sebagai substitusi figur laki-laki yang lenyap dari keluarga Tayung dan Pakis. Masalahnya, profesinya sebagai peneliti lumba-lumba tidak disokong dengan penceritaan yang sejalan dengan narasi film. Sementara perkembangan karakter Pakis dan Tayung terikat pada tindakan-tindakannya yang memang berkaitan dengan rutinitas sehari-hari suku Bajo, Tudo menciptakan ruang sendiri yang terasa lepas dari keseluruhan film.

Sepanjang film, kita melihat Tudo mengelilingi lautan di sekitar kampung suku Bajo mencari suara lumba-lumba. Selain itu, ada beberapa adegan Tudo mengajar tentang lingkungan di sekolah dasar. Mayoritas adegan Tudo lebih menekankan aspek verbal, di mana Tudo menyampaikan beberapa pesan yang benang merahnya adalah pelestarian lingkungan. Adegan-adegan Tudo juga yang membingkai shot-shot pemandangan bawah laut dengan pesan sadar lingkungan. Bandingkan dengan adegan-adegan Pakis dan Tayung, yang lebih berorientasi pada kehilangan yang mereka alami, termasuk ketika kamera menyorot pemandangan bawah laut. Alhasil, Tudo lebih terlihat seperti corong bagi film untuk menyuarakan pesan sadar lingkungan.

Dalam konteks produksi, tendensi sadar lingkungan Tudo sebenarnya dapat dijelaskan oleh keterlibatan World Wildlife Foundation (WWF) dan Pemkab Wakatobi di balik The Mirror Never Lies. Menurut pernyataan resmi di situs WWF, The Mirror Never Lies diproduksi untuk “menyuguhkan keindahan hayati laut Wakatobi.” Data geografis menunjukkan bahwa Wakatobi terletak di jantung kawasan segitiga terumbu karang dunia, di mana Wakatobi menjadi rumah bagi 750 spesies terumbu karang di dunia. Sebagai seorang peneliti, Tudo adalah satu-satunya protagonis yang dapat melihat kekayaan laut tersebut secara berjarak. Ia jelas adalah karakter yang ideal untuk menjadi corong suara bagi pihak-pihak yang terlibat dalam produksi film. Konsekuensinya, seperti yang sudah dijelaskan, karakter Tudo terasa lepas dari keseluruhan film.

Sebagai film debut, The Mirror Never Lies merupakan langkah yang besar bagi Kamila Andini. Masih ada cacat memang, namun Kamila Andini telah membuktikan pemahamannya akan medium film dan subyek yang ia filmkan. Ia tidak menyajikan gambar-gambar indah pemandangan Wakatobi sebagai ornamen untuk sebuah kisah kehilangan. Sebaliknya, ia meneropong ke dalam akar kehidupan suku Bajo, dan mengemasnya menjadi sebuah arketip tentang kehilangan di tengah suatu komunitas yang hidupnya bergantung pada laut.

Ke depannya, semoga The Mirror Never Lies tidak menjadi potret langka tentang kekayaan maritim Indonesia, kekayaan yang kerap kita lupakan sebagai warga yang mengaku hidup di nusantara.

The Mirror Never Lies (Laut Bercermin) | 2011 | Durasi: 100 menit | Sutradara: Kamila Andini | Produksi: SET Film, WWF Indonesia, Pemda Kabupaten Wakatobi | Negara: Indonesia | Pemeran: Atiqah Hasiholan, Reza Rahardian, Gita Novalista, Eko, Zainal, Kuasi