Terpukul Lalu Berkumpul: Film Indonesia Selama Pandemi

Pada Senin, 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga negara Indonesia positif COVID-19, tak lama setelah beberapa pejabat pemerintahan terlihat menyepelekan kabar munculnya virus baru yang membahayakan ini. Pada 20 Maret 2020, Gubernur Anies Baswedan menetapkan masa tanggap darurat setelah penyebaran di DKI Jakarta semakin mengkhawatirkan. Melalui Surat Edaran Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta No.60/SE/2020, ia mengumumkan penutupan sementara kegiatan operasional industri pariwisata, termasuk bisnis bioskop. Enam hari setelahnya, Kepolisian Republik Indonesia mengeluarkan surat edaran yang melarang kegiatan produksi untuk seluruh rumah produksi di Indonesia. Sejumlah produksi terpaksa berhenti dan sejumlah film batal tayang di bioskop. Pemberhentian seketika ini tentunya memukul Indonesia yang industrinya tumbuh pesat sejak 2016 hingga masuk sepuluh besar pasar film di dunia.

Selang setahun, pada 5 Maret 2021, Insan Film Indonesia mengirimkan surat untuk Presiden. Isinya tentu berbagi keluh kesah dan pandangan terhadap kondisi yang dialami setahunan terakhir. Walau sudah ada pelonggaran pembatasan sosial, nasib perfilman masih belum pulih benar. Tertulis dalam surat: puluhan ribu pekerja yang kesulitan bertahan hidup karena kegiatan film terhambat, karyawan bioskop (dan bioskopnya) terancam bubar, pembajakan film yang kian merajalela, peran penting film terhadap berbagai bidang, kemajuan industri film, dan meminta koordinasi untuk memberikan bantuan kepada perfilman Indonesia berupa “paket stimulus, subsidi, dan perlindungan hukum dan kesehatan”. Harapannya: produksi bisa membuat film untuk tayang di bioskop, sehingga penonton tertarik nonton di bioskop dan bioskop selamat dari kepunahan. Sepucuk surat memang tidak bisa menggambarkan keseluruhan masalah, tapi saya mau berpendapat atas isi surat Insan Film Indonesia.

Adrian Jonathan Pasaribu sudah memberi tanggapan atas surat Insan Film Indonesia dengan memaparkan hal-hal lebih luas yang perlu dipertimbangkan. Saya dan Adrian sempat berdiskusi sebelum ia menerbitkan tulisannya di Cinema Poetica. Pendirian dan pemikiran kami kurang lebih sama, namun saya ingin menambahkan sejumlah hal menurut perspektif saya.

Masalah Klasik

Masalah yang sering kali muncul ketika kita membicarakan perfilman Indonesia adalah luputnya aspek di luar produksi film panjang dan layar di luar bioskop arus utama. Kita sering lupa perfilman adalah sebuah ekosistem. Ibarat sebuah mobil, perfilman tidak hanya soal mesin dan bahan bakar. Ada juga roda, setir, pedal gas, ban, kopling, rem tangan, kaca spion, kursi, sabuk pengaman, hingga wiper. Dengan mesin dan bahan bakar, mobil memang bisa bergerak tapi apa ia mesin memang bisa hidup tapi apakah dia akan berjalan sebagai sebuah mobil?

Serupa anatomi mobil, perfilman lebih luas dari produksi film panjang dan bioskop arus utama. Membicarakan perfilman berarti juga membicarakan film pendek, dokumenter, animasi, serta layar atau kanal yang menayangkan mereka. Lebih luas lagi, kita juga perlu membicarakan mata rantai lain setelah film tayang: dari apresiasi, pendidikan, hingga pengarsipan. Dengan begitu, kita tidak bisa tidak membicarakan publik atau penonton. Tanpa saling bekerja sama, perfilman Indonesia berjalan di tempat atau bisa saja sukses tapi semu lalu menguap.

Mari kita bercermin pada sejarah. Pada akhir 1990-an, film Indonesia di bioskop disebut mati suri. Namun, pada saat yang sama, gerak perfilman di luar bioskop justru tumbuh. Kompetisi film pendek bergulir, pemutaran alternatif terus timbul. Mereka membawa penonton untuk terus menjaga budaya sinema yang komunal: datang ke pemutaran, bergabung bersama penonton lainnya, menonton film, dan nilai tambah berupa diskusi untuk kemudian pulang dengan perasaan dan pikiran yang memuaskan. Bagian lain dari perfilman inilah yang kemudian mencetak pekerja film setelahnya. Kita bisa menyebut nama Riri Riza, Hanung Bramantyo, Joko Anwar, Salman Aristo, Yunus Pasolang, Ical Tanjung, dan lainnya yang berangkat dari titik yang hampir serupa.

Contoh lain lagi: ketika momentum film Indonesia di bioskop mengendur sekitar 2010 dan 2011, pemutaran film di luar bioskop masih berjalan, bertahan dan turut mendorong budaya menonton dan kelahiran generasi baru pekerja film. Wregas Bhanuteja, Yandy Laurens, Aditya Ahmad adalah beberapa nama di antaranya.

Membicarakan perfilman Indonesia perlu dilakukan dengan pandangan seluas-luasnya. Dari dosen hingga penata cahaya di produksi film, dari sutradara hingga karyawan bioskop, dari kritikus hingga proyeksionis ruang pemutaran. Perfilman kita hidup dari bioskop di mal, kompetisi pelajar di sekolah-sekolah, hingga ruang-ruang kecil yang turut merawat budaya komunal dalam sinema dan menambah umur film Indonesia di mata publik. Selama pandemi, bukan hanya industri yang lesu. Semua bagian dari ekosistem nasibnya juga tidak lebih baik.

Masalah mendasar dari upaya pemulihan perfilman adalah data. Kita tidak punya pendataan yang detil dan terbaru tentang ekosistem di Indonesia, bahkan sesederhana profil umum. Kita tidak benar-benar tahu apa yang kita punya. Bagaimana kita bisa menyebut soal potensi pembuat film kelak jika kita tidak tahu ada berapa ekstrakulikuler audiovisual di sekolah se-Indonesia? Bagaimana kita bisa belajar mengenai perfilman ketika kita tidak tahu ada berapa penelitian, skripsi, tesis, disertasi tentang film Indonesia yang bisa diakses publik? Ada berapa persisnya festival film dan komunitas ekshibisi film?

Dari data, kita bisa menelaah siapa saja yang terdampak dan sejauh apa terdampaknya. Dari data pula, kita bisa melihat sektor-sektor perfilman yang tengah berkembang dan merumuskan kebijakan dukungan yang tepat guna.

Produksi, Ekshibisi, Kebijakan Pemerintah, dan Penonton

Kebijakan pemerintah guna memangkas penyebaran COVID-19 berimbas kepada proses serta rencana para pekerja produksi film. Mulai dari harus menghentikan syuting, menunda jadwal produksi, hingga beradaptasi dengan protokol kesehatan. Proses produksi yang melibatkan banyak orang bukan persoalan sepele. Pada satu sisi produksi harus berjalan sesuai rencana, tapi di sisi lain keterlibatan banyak orang menjadi kekhawatiran sendiri. Belum kita bicara biaya tambahan untuk protokol kesehatan seperti tes medis, atau penyesuaian selama pandemi seperti penginapan satu tempat untuk semua pekerja film guna menghindari kemungkinan terburuk apabila berada di luar area produksi. Beberapa film tercatat berhasil menyelesaikan masa produksinya selama masa pandemi, bahkan ada beberapa yang sudah tayang untuk publik lewat platform digital.

Platform digital belum mampu menandingi bioskop dalam hal pemasukkan bagi rumah produksi. Mekanisme perhitungannya berbeda. Platform digital mengandalkan algoritma serta skema pembagian hasil yang kompleks, sementara di bioskop variabel perhitungannya sesederhana hak sineas dan pajak hiburan. Meski begitu, tak dapat dipungkiri kehadiran platform digital di Indonesia menambah keragaman film dan peluang lain untuk rumah produksi film mendapatkan pendanaan. Hingga Januari 2021, tercatat pelanggan layanan platform digital sudah mencapai lebih dari tujuh juta, melonjak drastis dari sekitar tiga juta pada September 2020.

Tujuh bulanan setelah aturan pemberhentian operasional bioskop di Jakarta, Gubernur Anies Baswedan mengumumkan bahwa bioskop boleh kembali beroperasi di DKI Jakarta dengan syarat: maksimal 25% kapasitas, penonton tak boleh berpindah tempat duduk, dan alat makan harus disterilisasi terlebih dahulu. Kapasitas ini kemudian bertambah menjadi 50% sejak November 2020 sampai hari ini, walau sempat kembali ke kebijakan 25% kapasitas.

Peningkatan kapasitas kursi tidak berbanding lurus dengan kembalinya orang ke bioskop. Menurut saya, penonton masih takut untuk berada dalam bioskop. Dalam sejumlah kesempatan, saya sempat bertanya ke publik dan jawaban itu yang hampir selalu muncul. Tentu ketakutan ini sangat beralasan karena ruang bioskop yang amat tertutup. Belum lagi kita bicara soal vaksinasi di Indonesia yang belum menjangkau semua orang, khususnya pasar utama penonton film di bioskop Indonesia.

Sayangnya, dalam surat malah tidak disebut perkara kesehatan penonton, yang sesungguhnya berperan vital bagi pemulihan ekosistem. Bisa jadi lupa, bisa juga karena keterbatasan halaman, atau bisa juga ini menyiratkan hal yang lebih besar: keberjarakan pembuat film dengan penontonnya. Bisa jadi juga penonton masih berjarak dengan bagian-bagian lain dalam ekosistem film seperti pekerja produksi dan ekshibisi film.

Efisiensi menjadi strategi bioskop bertahan hidup selama pandemi. Ada yang gugur (baca: tutup permanen), ada yang dikorbankan (baca: beberapa tempat ditutup), dan ada yang bertahan dengan segala daya upaya. Efisiensi dalam ruang bioskop ini bentuknya macam-macam. Ada yang harus menutup studionya guna menghemat pengeluaran listrik, ada yang merampingkan struktur kepegawaiannya hingga menjadi super ketat, sampai ada yang efisiensi dengan mengurangi jumlah karyawan.

Bioskop juga harus beradaptasi dengan peraturan pemerintah dan pembajakan. Kapasitas dan waktu jam tayang terakhir ditentukan oleh peraturan pemerintah. Sialnya, peraturan pemerintah ini terbit pada waktu yang terlalu mepet dalam logika waktu bioskop. Sebagai pengedar banyak film kegemaran publik, bioskop juga harus melawan dengan cepatnya arus pembajakan hari ini sebagai konsekuensi dari kian mapannya penayangan digital hari ini. Kebijakan penayangan simultan di bioskop dan platform online turut mempercepat waktu edar versi bajakannya.

Berpikir ke Depan, Bertindak Bersama.

Pandemi menyediakan momentum bagi keseluruhan ekosistem film untuk berembuk bersama merumuskan langkah yang tepat dan konkret guna menjawab darurat hari ini dan tantangan mendatang. Modalnya seperti yang sudah dipaparkan: perspektif yang utuh atas ekosistem, pendataan yang lebih lengkap, serta pelibatan penonton dalam perencanaan. Dengan begitu, posisi tawar perfilman akan lebih jelas, khususnya ketika meminta dukungan dari negara. Insentif ekonomi yang diupayakan bisa berupa subsidi pajak hiburan, peringanan biaya operasional seperti listrik, atau penghapusan tarif sensor. Bisa juga ada dukungan untuk pelaksanaan protokol kesehatan seperti tes atau vaksin untuk pekerja film di lapangan dan penonton yang hendak masuk ruang bioskop. Rasa aman tidak muncul dari slogan publik atau cuitan media sosial, tapi dari komunikasi publik yang jelas serta tindakan nyata yang bisa dievaluasi.

Setelahnya kita mulai bicara mengenai jangka panjang dan hal ini perlu dicatat, jangan sampai menguap. Perbincangan mengenai dukungan terhadap komunitas baik produksi, ekshibisi hingga apresiasi, penguatan dan pengawasan properti intelektual, pendanaan modal produksi, pendanaan pengiriman delegasi segenap ekosistem (tidak hanya produksi) untuk undangan luar negeri, penguatan pengarasipan, penghimpunan informasi yang dapat diakses publik, pemberantasan korupsi, kurasi penyelenggaraan kegiatan yang didanai negara, hingga penguatan literasi film sejak dini.

Ini bukan kali pertama ekosistem perfilman Indonesia mengalami krisis. Kita punya banyak sejarah untuk belajar. Tantangannya sekarang: maukah kita sama-sama belajar dan bekerja membangun ekosistem perfilman yang sehat dan kondusif bagi semua pihak? Hanya dengan kemauan untuk diskusi lebih luas dan bukan bicara ego masing-masing, ekosistem ini bisa berjalan dengan baik.

Panjang umur sinema Indonesia.