Silakan tanya setiap warga Indonesia yang tengah berkelana di luar negeri, apa yang mereka kangeni dari ibu pertiwi. Jawabannya hampir pasti soal makanan. Bagi bangsa kita, makanan menjadi sesuatu yang identik dengan rumah. Anak rantau memburu makanan daerahnya untuk merasakan kampung halaman, walau hanya sesaat.
Kedekatan makanan dengan rumah inilah yang menjadi pusat dari film Tabula Rasa. Apabila diartikan secara naif, judul ini jelas dipilih karena penggunaan kata “rasa” yang berkaitan erat dengan makanan—payung tematik dari film ini. Sementara secara etimologis, Tabula Rasa berarti lembaran baru—kesempatan memulai tanpa prasangka.
Adalah seorang atlit sepakbola bernama Hans, putra daerah kebanggaan Serui yang menclok di Jabotabek. Hans merantau dari Serui, dengan harapan menjadi gelandang. Sepah dibuang, Hans beralih profesi menjadi gelandangan. Di tengah menggelandang inilah, tokoh Mak datang sebagai terang, menggiring Hans ke rumah makan Minang. Di sinilah cerita bergulir. Hans mulai dibumbui dengan kehangatan Mak, kejenakaan Natsir, dan kegetiran Parmanto.
Cara Tabula Rasa mengemas cerita sesungguhnya representatif untuk konteks Indonesia. Pertama, bisa dilihat dari diangkatnya budaya kuliner Minang yang adalah tuannya budaya kuliner Nusantara—warung Padang menjamur bak McDonald di Indonesia. Kedua, Indonesia Barat dan Indonesia Timur dilebur di Jabotabek, melting pot-nya Indonesia. Tabula Rasa membawa wacana yang besar: food film yang sangat Indonesia. Pertanyaannya adalah, apakah wacana ini berhasil tersampaikan?
Sebagai food film yang tidak ingin sekadar bersolek, film ini berhasil. Tabula Rasa memiliki nilai lebih dari food porn. Budaya Minang mendapat posisi yang sama penting dengan shot-shot cantik ulekan sambal dan bakaran daging. Melalui Hans, penonton diperkenalkan dengan nilai-nilai budaya kuliner Minang: mulai dari penggunaan bahan lokal untuk memasak, jenis-jenis rendang, hingga pantun “tahi kambing” soal ketelatenan mengaduk bumbu rendang.
Bicara ke-Indonesia-an, Tabula Rasa berhasil menyajikan dialek Minang dan Papua secara rancak dan manise. Tidak sembarang pula; keberadaan pelatih dialek dalam tim produksi menjadi bukti. Plot yang disajikan juga representatif. Kebhinneka-tunggal-ikaan muncul pada makanan, Mak menolong Hans tanpa memedulikan suku, Hans dan Natsir bertukar canda akan getirnya ekonomi di wilayah ibu kota, dan nilai-nilai khas Indonesia lainnya soal kebersamaan. Tabula Rasa menghidangkan Indonesia yang sangat PPKn, lewat propaganda manis yang cocok untuk konsumsi keluarga.
Sayangnya, keberhasilan wacana-wacana besar tersebut malah menumbalkan Hans sebagai protagonis. Kelemahan Tabula Rasa adalah kelinglungannya dalam menyorot Hans. Keberadaan Hans dalam film ini terbagi atas dua masa: dia di Serui hingga keberangkatannya, dan dia di Jabodetabek sejak menjadi gelandangan. Antara kedua masa itu adalah kekosongan plot yang hanya diisi melalui segigit penjelasan Hans kepada Mak: bahwa ia dikeluarkan dari tim karena cedera kaki.
Porsi lebih besar dimenangkan oleh banyaknya adegan Hans sebagai gelandangan yang mengais beras dan depresi, disertai nostalgianya akan Serui yang malah terbaca sebagai eksotisme kosong. Kekosongan ini tidak terisi sampai dua-per-tiga film, sampai Hans mengutarakannya dalam beberapa patah kalimat. Akibatnya, bukannya bersimpati pada Hans sejak awal, penonton malah terus menerus bertanya, “Kenapa?” Hans dikemas seperti sepiring makan siang yang lebih banyak lauk dari pada nasi. Kenyang lidah, bukan perut. Banyak sensasi, tapi tidak memuaskan.
Keberadaan Serui dalam Tabula Rasa tidak beranjak dari eksotisme dan mungkin edukasi. Pembuat film menuturkan kerinduan Mak akan tanah Minang dengan begitu kuat, bahkan lebih kuat daripada kerinduan Hans akan Serui. Nyatanya, apa yang Hans rindukan tidaklah jelas. Serui-nya atau permainan bolanya? Kalau permainan bola, apalah fungsi Mama dan lautan itu baginya? Apabila Serui, sisi apa dan mengapa? Tidak ada ikatan kental antara kilas balik ini dengan plot. Kedua Hans ini gagal menyatu sebagaimana rendang yang baru sejam diaduk.
Kerinduan Hans (akan entah apa) yang seharusnya menjadi hidangan utama menjadi tersampingkan karena minimnya penjelasan. Adapun gulai kepala ikan mengambil alih sebagai ikon. Entah mengapa, gulai ini menjadi sopir yang lebih mahir bagi cerita dibanding karakter utamanya. Gulai kepala ikan menjadi sosok yang serba ada; ia hadir sebagai motivasi Hans, kerinduan Mak dan Parmanto, penyelesaian konflik, sekaligus simbol rumah yang lebih ekonomis daripada Serui.
Ironis, bahwa penonton akan lebih bersimpati akan Mak dibanding Hans, meski tanah Minang hanya muncul melalui lukisan dan gulai kepala ikan. Meskipun gulai kepala ikan yang disajikan sangat spesial hingga bisa membuat rumah makan mereka penuh dan saingannya kosong. Gulai yang saking spesialnya, kamera selalu tergoda untuk follow dan zoom in.
Tabula Rasa | 2014 | Durasi: 107 menit | Sutradara: Adriyanto Dewo | Produksi: Lifelike Pictures | Negara: Indonesia | Pemeran: Dewi Irawan, Jimmy Kobagau, Yayu Unru, Ozzol Ramdan