Paruh kedua dekade 70an, Indonesia ketiban rezeki nomplok. Embargo minyak yang dilakukan negara-negara Arab mengerek naik harga minyak, membawa keuntungan besar bagi negara-negara pengekspornya, termasuk Indonesia. Di dalam negeri, gaji PNS naik lima kali lipat, orang kaya baru bermunculan, uang dihambur-hamburkan tanpa rencana pemanfaatan yang jelas. Sindiran atas kondisi masyarakat materialistis itulah yang Arifin C Noer tampilkan lewat debut penyutradaraannya, Suci Sang Primadona.
Suci adalah penampil di teater rakyat Surabaya. Meski Suci mampu melalap segala macam kesenian, mulai dari lagu pop sampai tarian gandrung, bagi para penggemarnya, terutama penggemar laki-laki, daya pikat Suci terletak pada penampilan fisiknya. Puja-puji buat kemolekan Suci bertebaran di awal film. Selain pentas di atas panggung, Suci juga digambarkan memberikan hiburan rutin dan privat kepada tiga orang laki-laki: Pak Dawud, sosok pejabat yang pemilik tambak garam; Tuan Tjondro, konglomerat peranakan Tionghoa; dan Om Kapten, kepala preman yang berlogat Batak. Pertemuan-pertemuan dengan para pria yang tergila-gila dengannya itu terjadwal rapi. Tempat untuk masing-masing pria pun berbeda.
Alasan kerja dobel yang dilakukan Suci ini layaknya legenda urban, hanya diterangkan secara verbal oleh karakter lain di film. Konon latar belakang Suci adalah penari gandrung di desa. Ia merantau ke kota karena sudah bosan dengan kemiskinan. Melakoni rangkap pekerjaan seperti karena itu bisa kita bayangkan sebagai cara Suci untuk keluar dari keadaan papa. Ditambah memberikan jasa hiburan kepada laki-laki, Suci memaksimalkan kemakmuran yang bisa diraihnya. Dengan punya temu janji rutin dengan tiga pria sekaligus, Suci terhindar hanya bergantung kepada satu laki-laki. Alasan yang sama bisa dipakai ketika kita mendengar Suci enggan untuk menikah dengan salah satu dari ketiga pria yang naksir dengannya itu. Dengan diplomatis, Suci berkilah bahwa ia primadona dan milik banyak orang.
Segala langkah yang ditempuh Suci memang kemudian membuatnya terlihat lebih mentereng dibanding rekan-rekannya yang lain. Saya agak susah mengenali simbol kekayaan Suci karena saya tidak pernah mengalami masa tersebut. Apa yang dianggap sebagai simbol kekayaan pada masa itu, bisa jadi, menurut penalaran saya sudah biasa saja. Tapi tetap ada beberapa simbol kekayaan yang menurut saya cukup lintas zaman seperti keberadaan rumah, mobil, dan asisten rumah tangga. Suci bisa bepergian menggunakan mobil, lengkap dengan supir pribadi. Asisten rumah tangga bisa kita lihat ketika Suci sedang berada di rumah yang disediakan Tuan Condro. Kontras jika dibandingkan dengan penampil lain di teater rakyat yang hanya menempati petak-petak sederhana yang disediakan oleh pemilik teater rakyat dan mengerjakan pekerjaan domestik mereka sendiri, tanpa ada pembantu.
Film-film Arifin C Noer seringkali menampilkan gestur penolakan terhadap kehidupan yang materialistik. Karakter-karakter dalam film-film Arifin malah tidak bahagia meski harta berlimpah. Dalam Biarkan Bulan Itu (1987), misalnya, kita bertemu dengan Dayan, pengusaha sukses yang sejak awal film tidak lepas dari raut muram dan lesu. Ia sukses di bidang bisnis tapi rumah tangganya bermasalah. Istrinya lebih banyak menghabiskan waktu dengan kegiatan sosial, sementara anak remajanya terjerumus pergaulan ugal-ugalan. Atau Desi yang diperankan Meriam Bellina dalam film Taksi (1989). Desi berhasil melejit jadi penyanyi terkenal tapi sebagai konsekuensi kontrak keartisannya, Desi harus berbohong ke publik soal urusan pribadinya, termasuk soal keberadaan Ita putrinya. Desi kemudian sampai pada satu titik untuk merelakan karirnya daripada harus terus menerus berbohong soal Ita.
Pola serupa muncul dalam Suci. Sejak awal film, Suci ditampilkan punya mobilitas sosial yang tinggi, menjalani beberapa pekerjaan sekaligus—dari penghibur di atas panggung kemudian menghibur di atas ranjang. Masalah yang dialami Suci memang tidak ditunjukkan secara konkret, hanya lewat gestur menggigit jari yang diperlihatkan tiap kali pria-pria pasangan kencan Suci mengajaknya bercinta. Gestur itu baru kemudian tidak tampak lagi setelah Suci bertemu Eros.
Solusi yang ditawarkan oleh Arifin C Noer kemudian tampak klise. Peliknya kehidupan materialistik dapat diredakan hanya dengan cinta. Dalam Biarkan Bulan, Dayan merasa lebih bahagia ketika ia meninggalkan keluarga dan perusahaan (yang ironisnya ia “sekumpulan mesin”) lalu hidup bersama sekretarisnya, Dewi. Dalam Suci, ada Eros (yang dalam bahasa Yunani berarti cinta), pemuda naif dan idealis usia belasan yang kebetulan singgah di rumah yang ditempati Suci. Cinta yang muncul juga adalah cinta yang kata sifat , bukan yang kata kerja, karena hadir begitu saja tanpa usaha. Bagai keping puzzle yang saling mengisi, Suci dan Eros langsung klop sejak pertama kali bertemu.
Jika cinta jadi solusi dalam lingkup personal, untuk lingkup yang lebih luas penawarnya seolah diekstrak dari butir-butir Pancasila sila kelima: tidak bergaya hidup mewah. Konflik terjadi ketika para penampil—yang jadi representasi masyarakat kelas bawah—terpapar dengan kemewahan yang ditunjukkan oleh orang kaya baru. Atmo, salah seorang penampil di teater rakyat jadi terpacu untuk mengubah nasib via lotre. Gara-garanya adalah Paijo, tukang asongan di kompleks teater, mengiklankan kisah suksesnya main lotre. Paijo, ditampilkan tipikal orang kaya baru, datang ke kompleks teater mengendarai mobil mewah, pakai pakaian yang super norak, serta bagi-bagi uang.
Sama seperti Paijo, Suci juga masuk kategori orang kaya baru. Parti, rekan penampil Suci, secara tersirat mengungkapkan bahwa mobilitas sosial yang dicapai Suci sebenarnya belum terlalu lama. Kepada perempuan-perempuan figuran lain di teater rakyat, Parti bergunjing, “Memangnya kita tidak tahu dulunya dia (Suci) bagaimana.” Pola hubungan Atmo-Paijo kemudian terlihat pula dalam hubungan antara Parti-Suci. Walau tidak pamer harta senorak Paijo, Suci dengan segala atributnya ternyata sama-sama memicu kecemburuan. Bedanya hanya soal sarana mobilitas sosial. Atmo menggunakan lotre yang bebas dibeli oleh semua kalangan, sementara Parti mengincar posisi ratu panggung. Dalam kebiasaan teater rakyat semacam Srimulat, posisi ratu panggung hanya disematkan kepada perempuan muda yang rupawan.
Krishna Sen dalam Indonesian Cinema: Framing the New Order (1994) menuliskan bahwa pada dekade 1970an muncul tuntutan dari kaum intelektual agar sinema Indonesia turut merespons masalah-masalah sosial secara konkret di masyarakat. Suci adalah cara Arifin C Noer menggambarkan ketidakberesan dalam masyarakat ini. Ibarat karya dwimatra, Suci adalah sketsa cepat, karena tidak menggambarkan lebih detail struktur yang jadi penopang kesenjangan sosial, yang bisa dipahami mengingat ketatnya kontrol negara atas segala bentuk ekspresi waktu itu. Anehnya ketika zaman sekarang kebebasan berekspresi relatif lebih terbuka, masih banyak saja film populer yang memakai model sketsa cepat, persis seperti yang dilakukan Arifin C Noer kurang lebih empat puluh tahun yang lalu.
Suci Sang Primadona | 1977 | Durasi: 116 menit | Sutradara: Arifin C Noer | Produksi: PT Gramedia Film | Negara: Indonesia | Pemain: Joice Erna, Sukarno M Noor, Alam Surawidjaja, Awaludin, Rano Karno, Menzano, Dorman Borisman, Hadi Poernomo
Tulisan ini merupakan hasil dari lokakarya Mari Menulis! edisi #KolektifJakarta 2015, program pemutaran yang diselenggarakan Kolektif dan babibutafilm pada 4-26 April di Kineforum DKJ.