Silenced: Kronologi Disia-siakannya Manusia

silenced-ariani-darmawan_hlgh

Tidak berucap bukan berarti tidak merasa, bukan juga tidak merespon. Tidak berucap adalah respon, dan tidak merespon adalah mati.

Silenced (2004), film pendek Ariani Darmawan, dibuka oleh seorang wanita. Selama enam menit kita melihat bagaimana dirinya berubah. Awalnya wanita ini membaca buku berjudul Inner Experience. Beberapa saat kemudian, ia menatap ke arah kamera, seakan ada objek di sana yang mengajaknya berinteraksi dengan suara yang tidak dapat didengar oleh penonton. Ia sesekali menoleh, hingga akhirnya tidak membaca bukunya lagi. Tidak ada monolog. Hanya ada alunan musik dan desiran ombak pantai.

Awalnya interaksi tokoh wanita ini dengan kamera terlihat menyenangkan. Si wanita tersenyum. Musik pengiring riang menyiratkan sukacita; ia sesekali tertawa. Tiba-tiba, musik berganti; nada-nada sumbang bermunculan. Ia mengernyitkan dahi dan mendekatkan wajahnya ke kamera. Saat musik sudah terlampau sumbang, si wanita mendekatkan wajahnya hingga sangat dekat. Saat itu juga ia mendapat pukulan dan terpaksa melindungi diri dengan buku yang ia pegang.

Musik berhenti. Perlahan si wanita menghilang dari frame untuk beberapa saat. Terdengar alunan musik bernada minor. Pilu. Wanita itu mulai masuk ke dalam frame lagi, akan tetapi dengan wajah yang sempat tertutup oleh rambutnya. Ia terlihat enggan untuk berinteraksi kembali.

Wajahnya terlihat datar dan matanya berusaha untuk menatap ke tempat lain. Akan tetapi kamera seakan terus merayu. Dengan perlahan wanita itu merapikan rambutnya dan mulai menanggapi lagi. Ia mulai tersenyum kecil, namun senyumannya jauh berbeda dengan yang di awal film. Kamera terus merayu, musik mengalun sendu. Ia mendekatkan diri lagi dengan senyum di wajahnya. Namun ia kembali dipukul hingga menghilang dari frame. Hilang dan tak dapat ditemukan lagi.

Inner Experience

Atribut kunci dalam Silenced adalah buku yang dipegang si wanita. Buku tersebut berjudul Inner ExperienceBila diterjamahkan, inner experience berarti pengalaman yang letaknya di dalam diri atau pengalaman pada proses mental. Pengalaman ini selain bisa dialami dengan berkontemplasi, dialektika, meditasi dan sebagainya, dapat juga tercipta melalui sebuah proses internalisasi serta pemaknaan dari outer experience. Oleh karena itu, outer experience dan inner experience seringkali sulit untuk dipisahkan.

Pola penggambaran dinamika outer dan inner experience ini nantinya Ariani ulangi dalam Sugiharti Halim (2008). Outer experience yang dialami kedua tokoh wanita di Sugiharti Halim dan Silenced pun sama, yaitu interaksi dengan orang lain. Interaksi tersebut kemudian mereka maknai sekaligus jadikan inner experience mereka. Sugiharti Halim menjadi lebih dewasa dalam menerima namanya, sedangkan wanita di Silenced menjadi trauma.

Interaksi awalnya berjalan menyenangkan. Tidak ada perebutan kepentingan, hanya saling melengkapi. Si wanita diperlakukan dengan begitu baiknya, sehingga mengalami proses mental yang baik pula. Perlakuan tersebut pun tak ayal menjadi outer experience yang menyenangkan. Sama menyenangkannya dengan inner experience wanita tersebut.

Inner experience yang menyenangkan sebenarnya tidak terlihat secara fisik, namun terlihat dari permainan audiovisual pada film. Lewat musik, ekspresi, serta gestur tokohnya, pembuat film berusaha mengilustrasikan inner experience yang pada dasarnya sangat kompleks.

Pembuat film menggunakan musik pengiring bernuansakan free jazz. Kompleksitas komposisi nadanya sebanding dengan kompleksitas inner experience si wanita. Alhasil dua hal kompleks ini pun berhasil dikawinkan dengan padu. Musik ini mampu mendampingi fluktuasi emosi tokoh tanpa terasa terputus-putus. Tiap bagian kecil dari emosi seakan terwakili oleh sumbang dan syahdunya nada-nada yang dimainkan.

Film kemudian dilanjutkan lagi oleh tahap berikutnya. Si wanita mengalami konflik dan dilumpuhkan. Kelumpuhan ini pun berdampak buruk pada inner experience wanita tersebut. Ia bisa saja trauma atau setidaknya merasa sedih. Sejak saat itu, ia mulai menjaga jarak agar pengalamannya tidak terulang kembali –yang ditandai dengan musik pengiring yang terasa sendu. Pada bagian inilah, rekonsiliasi terjadi. Namun demikian, perbaikan dampak konflik tentu bukan hal yang mudah. Rekonsiliasi membutuhkan waktu yang lama. Tokoh wanita telah belajar dari pengalaman tidak menyenangkannya. Ia kembali dekat namun dengan jarak.

Saat rekonsiliasi telah tercipta, terjadi konflik baru. Konflik lanjutan yang biasanya meningkat dari segi kualitas ini merupakan suatu hal yang fatal. Dampaknya tentu saja penghindaran yang sifatnya mutlak atau mungkin kematian bila konfliknya adalah konflik fisik. Di film, hal ini ditunjukan dengan menghilangnya si wanita dari frame.

Kesimpulannya: ada lima bagian dalam film pendek tanpa kata ini. Pendekatan, interaksi yang intens, konflik, rekonsiliasi, dan di akhir adalah konflik kesekian kalinya yang tidak dapat diterima. Semua bagian itu sebenarnya bersifat siklis, namun pada film ini, pembuat film hanya menampilkan puncak dari siklus tersebut. Yang pasti, apa yang dialami wanita ini adalah sebuah pengalaman, dan semua pengalaman itu adalah pembentukan diri, ataupun juga perusakan diri.

“Untuk mereka yang dilumpuhkan”

Di awal, mungkin film ini terasa seperti kain perca yang tidak tahu harus dibentuk menjadi apa. Film ini tidak menggunakan dialog, bentuk fisik salah satu tokoh tidak diperlihatkan, dan konteksnya pun minim. Kalimat satu-satunya hanya “Untuk mereka yang dilumpuhkan”, itu pun berada di akhir film. Alhasil, kalimat “Untuk mereka yang dilumpuhkan” seakan menjadi bentuk akhir yang harus dicapai lewat potongan-potongan kain perca sebelumnya.

Sebelum mencapai kalimat “Untuk mereka yang dilumpuhkan”, ada potongan-potongan kain perca yang mungkin dapat digunakan ataupun dibuang. Potongan tersebut berisikan apa yang terlihat dari tokoh di film ini, wanita dengan kulit putih dan mata sipit.

“Wanita” bisa berartikan isu kekerasan terhadap wanita, “kulit putih dan mata sipit” identik dengan etnis Tionghoa yang merupakan etnis minoritas. Keduanya sebenarnya dapat diasosiasikan dengan kalimat “Untuk mereka yang dilumpuhkan”, namun jalan menuju ke sana justru menjadi mentah ketika pihak yang menyakiti si wanita dihilangkan bentuk fisiknya. Karena untuk dapat berkata tentang kekerasan terhadap wanita, tokoh yang menyakiti haruslah pria, dan untuk dapat berkata tentang kekerasan terhadap etnis Tionghoa, tokoh yang menyakiti haruslah yang bukan Tionghoa.

Dengan keadaan demikian, melalui Silenced, pembuat film bisa dibilang menyediakan “sepatu” untuk para penontonnya: sepatu yang biasa dipakai oleh orang-orang yang dilumpuhkan, yang bisa digunakan untuk mengingat kembali caranya berempati. Sepatu ini pembuat film ciptakan dengan memposisikan tokoh wanita sebagai subjek tunggal yang disakiti oleh seorang pelaku yang tidak dapat penonton lihat. Tidak terlihatnya pelaku ini membuat penonton tidak perlu sibuk-sibuk memecah atensinya. Penonton hanya perlu melihat apa yang terjadi pada korban, tanpa perlu sibuk-sibuk membenci pelakunya. Penonton dibuat tidak memiliki pilihan inner experience yang bisa dihayati, selain apa yang dialami tokoh wanita. Tuntutannya satu: berempati.

Empati menjadi penting karena setiap manusia pada dasarnya mempunyai subjektivitasnya masing-masing. Subjektivitas tersebut terbentuk oleh inner experience dan outer experience yang didapat sepanjang hidupnya. Namun, kadangkala seorang manusia suka terlalu akrab dengan dirinya sendiri dan melupakan keberadaan subjektivitas orang lain. Hasilnya mereka seakan lupa bahwa orang lain juga merasa, berpikir, berkeinginan, dan berharap. Mereka pun menjadi egois dan lupa berempati.

Silenced berusaha mengingatkan mereka yang kadang buta dalam melihat ekspresi orang yang mereka lumpuhkan, yang luput dalam mendengar kepiluan yang mereka ciptakan, dan yang hanya melihat kepentingan dirinya sendiri tapi terlalu pongah dalam menjalani peran dan kuasanya.

Semua manusia mampu merasa dan merespon. Di saat mampu merasa dan merespon, mereka hidup dan tidak layak dijadikan objek.

Silenced | 2004 | Durasi: 6 menit Sutradara: Ariani Darmawan | Negara: Indonesia | Pemeran: Ariani Darmawan