Serdadu Kumbang: Potongan-Potongan Dibuang Sayang

serdadu-kumbang_highlight

Sepertinya wilayah-wilayah jauh dari ibukota sedang seksi-seksinya dijadikan latar pembuatan film. Tandanya adalah mencuatnya Laskar Pelangi yang mengambil lokasi di Belitung, pulau yang tak pernah diimpikan oleh penonton sekalipun untuk jadi lokasi syuting. Kemudian, muncul beberapa film yang dengan “berani” bertempat di daerah-daerah jauh. Sebut saja Jermal (2009) dan The Mirror Never Lies (2011). Masing-masing mengambil lokasi di tengah laut Sumatra Utara dan kepulauan Wakatobi. Tentu saja ini bukan trend tanpa alasan. Lokasi-lokasi tersebut dipilih berdasarkan alasan-alasan penting dan kepentingan cerita.

Begitu juga dengan Serdadu Kumbang (2011). Film garapan Nia dan Ari Sihasale ini mengambil tempat di sebuah desa kecil bernama Mantar di Sumbawa. Dari tempat yang dipilih, sudah banyak hal menarik yang bisa dijadikan latar cerita sebenarnya. Dan, film ini memotret kehidupan masyarakat desa pedalaman Sumbawa dengan baik pula: mulai dari masyarakat yang belum terlalu peduli pendidikan, bentang alam yang indah, mitos yang mengakar, hingga kebiasan-kebiasaan masyarakat desa yang unik. Hal-hal tersebut seharusnya bisa menjadi modal yang lebih dari cukup. Kehadiran tokoh-tokohnya pun menarik. Contohnya, Amek dengan bibir sumbing, namun tetap jahil tapi juga cengeng, membuat film ini seolah mengiming-imingi calon penonton sesuatu yang tak hanya menarik, namun (seharusnya) juga mengharukan.

Film ini bercerita seputaran Amek (Muhammad Amek), anak laki-laki kelas enam SD berbibir sumbing, yang ditinggal ayahnya ke Malaysia. Juga, cerita tentang kelas Amek dan kakaknya yang menghadapi ujian. Bukan cuma itu, ada juga cerita Amek yang tiba-tiba menjadi joki. Ada lagi, cerita kekerasan yang sering terjadi di sekolah Amek. Ada baiknya sebuah perusahaan multi nasional juga masuk ke dalam cerita. Atau cerita para orang tua yang cemas ketika anak-anaknya menghadapi ujian? Atau kegagalan ayah Amek yang pulang membawa kebohongan dan hutang? Atau soal anak-anak yang belajar agama? Atau pemberantasan buta huruf? Terus kumbangnya ngapain di sana? Atau? Atau?

Cerita dalam Serdadu Kumbang memang banyak sekali, hingga sinopsisnya tak bisa dirangkum dalam satu-dua kalimat. Tak apa sebenarnya cerita dengan banyak plot atau bahkan banyak karakter. Bisa ambil contoh dari film-film sejenis, seperti Love Actually atau Eat Drink Man Woman. Semua karakter memiliki masalahnya masing-masing yang perlu diselesaikan. Cerita berjalan atau plot berkembang ketika protagonis berusaha untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Cerita menjadi menarik ketika banyak antagonis mengahalanginya mencapai tujuannya. Permasalahan di Serdadu Kumbang adalah tidak adanya gambaran yang cukup tentang apa yang ingin diraih para protagonis, dan halangan macam apa yang mereka hadapi.

Film ini seolah seperti aktivis LSM yang sedang jadi turis, yang cerewet mengomentari semuanya, tapi juga ingin tahu semuanya.  Film jadi gagap dengan ceritanya sendiri, hingga tak ada yang benar-benar mengalir dengan baik. Kesatuan narasi tak lagi terbangun, karena film ini sibuk ingin memamerkan semua yang bisa tertangkap kamera kepada penonton. Potongan-potongan kejadian dalam film ini seperti bukan cerita. Kalaupun cerita, narasinya tak dibangun dengan logika yang baik. Tak ada hal yang benar-benar menjadi masalah, tak ada juga yang benar-benar selesai. Masalah kekerasan guru, yang diutamakan dalam film dan beberapa kali diungkit sepanjang film, tak jelas apa latar belakangnya dan bagaimana resolusinya. Sedang, kakak Amek yang terkenal pintar dan tanpa konflik dari awal malah mengalami klimaks tragis, dengan tidak lulus dan akhirnya meninggal jatuh dari pohon (yang tak terlalu tinggi). Penyelesaiannya bukan pada mengapa ia tidak lulus, namun pada masalah pohon (yang dipercaya musrik) yang ia naiki.

Ada juga cerita Amek yang tiba-tiba dioperasi pasca meninggalnya kakaknya. Sedangkan kesumbingan Amek yang tak pernah menjadi masalah dalam film, tak ada satu adegan pun yang menunjukkan Amek merasa ia sumbing, atau lingkungan sekitarnya merasa demikian. Amek digambarkan tinggal di sekeliling orang-orang yang menyayangi dan mendukungnya. Tak ada cukup alasan untuk ia mengkwatirkan itu, kecuali ketika Amek tak berani mengatakan apa cita-citanya. Malah hal itu yang menjadi seperti gong besar film ini. Sehingga, seolah-olah kesumbingan Amek hanya dimanfaatkan untuk mengakomodasi iklan terbesar dalam film itu: kegiatan corporation social responsibility (CSR) sebuah perusahaan. Hanya itu.

Bila menilik dari akhir cerita, film ini berpusat pada tokoh Amek dan cita-citanya. Dalam adegan-adegan di akhir film, kita baru tahu bahwa Amek ingin menjadi penyiar berita. Logisnya, bibirnya yang sumbing adalah halangan besar. Namun, bukannya berfokus pada halangan ini, selama hampir dua jam penonton malah disuguhi banyak masalah lain di sekitaran Amek. Sialnya, cerita-cerita itu tidak berpengaruh langsung terhadap apa yang ingin ia capai. Amek yang pernah tidak lulus, Amek yang menjadi joki dengan kuda kesayangannya, dan Amek yang rindu ayahnya. Belum lagi hingar bingar masalah orang-orang di sekitarnya malah mengkonsumsi durasi. Penonton tidak mendapat kesan yang cukup tentang kekurangan fisik Amek, dan malah menganggapnya plot minor. Kalau saja si pembuat film mau sedikit berfokus pada hal ini, ceritanya mungkin akan berbeda.

Walhasil, semua cerita dalam film ini hanya seperti fragmen-fragmen lepas yang tak bisa dihubungkan. Pembuat filmnya seperti overwhelmed dengan apapun yang ada di sana, dan memaksa semua itu ada dalam 105 menit durasi film. Kesannya seperti potongan-potongan yang dibuang sayang, atau adegan-adegan hasil potongan editor yang geli ingin diselipkan si pembuat film hingga memenuhi credit title.

Serdadu Kumbang | 2011 | Sutradara: Ari Sihasale | Negara: Indonesia | Pemain: Yudi Miftahudin, Aji Santosa, Fachri Azhari, Monica Sayangbati, Titi Sjuman, Alex Komang