
Terlepas dari keragaman pendapat dan pendapatan kita, bisakah kita setidaknya sepakat kalau perfilman Indonesia saat ini sedang begitu menggoda?
2018 kian menegaskan bahwa kegemaran masyarakat dengan film Indonesia bukanlah romansa sesaat. Kurang lebih terkumpul 46 juta penonton dari 133 film yang beredar di bioskop sepanjang tahun lalu. Ada kenaikan delapan juta penonton dari capaian 2017, yang sebelumnya tercatat sebagai tahun dengan jumlah penonton film Indonesia terbanyak sepanjang sejarah perfilman Indonesia pasca-reformasi. Faktanya, semenjak 2016, kita konsisten berada di atas 30 juta penonton. Basis massa film Indonesia, setidaknya di jaringan bioskop komersil, semakin kuat setiap tahunnya. Film dengan lebih dari satu juta penonton sudah menjadi sebuah kewajaran.
Kehadiran jasa-jasa siaran digital menghadirkan sejumlah kemungkinan asyik bagi perfilman Indonesia pada masa mendatang. Ada opsi yang kian mapan bagi ekshibisi, distribusi, bahkan produksi film. Mereka rutin mengirim perwakilan ke forum-forum pendanaan, juga mendekati secara personal para pelaku perfilman di tingkat industri maupun akar rumput, untuk mencari konten dan kreator baru. Patut dicatat juga kehadiran perusahaan-perusahaan investasi film, yang menawarkan opsi baru untuk pendanaan dan penataan proyek film.
Sedari awal menerbitkan daftar sepuluh film Indonesia pilihan, Cinema Poetica berniat merangkum keragaman capaian karya film di seantero nusantara secara adil. Setiap lini produksi dan ekshibisi perlu mendapat perhatian—mulai dari kantong-kantong sineas pelajar, lingkar komunitas film, sirkuit festival, hingga jaringan bioskop komersil. Kami percaya film Indonesia tidak sebatas yang tayang di bioskop semata.
Ambisi sebesar ini jelas butuh waktu dan tenaga. Selama Januari kemarin, kami meninjau kembali film-film apa saja yang sempat menarik perhatian kami selama 2018. Ada tiga orang yang terlibat sepanjang proses. Pertama, Adrian Jonathan Pasaribu selaku pemimpin redaksi Cinema Poetica serta pegiat komunitas film. Kedua, Alexander Matius sebagai anggota Cinema Poetica serta pengurus program Kinosaurus. Ketiga, Ayu Diah Cempaka selaku mitra kerja Cinema Poetica serta pengurus program Festival Film Dokumenter dan Cinecoda. Masing-masing memiliki jaringan kerja dan rentang kepenontonan yang khas, sehingga diharapkan bisa menyusun gambar seutuh mungkin tentang capaian perfilman Indonesia pada 2018.
Ada tiga poin yang mendasari pemilihan kami. Pertama, relevansi suatu film pada zamannya, yang dalam kasus ini adalah dinamika sosial-politik selama 2018. Kedua, terobosan atau kesegaran perspektif suatu karya, yang dihadapkan dengan gagasan-gagasan sinema Indonesia pada 2018 dan tahun-tahun sebelumnya. Ketiga, kepaduan kemasan film dengan gagasan yang ditawarkan, karena gagasan tanpa kemasan yang memadai adalah angan-angan, dan kemasan tanpa gagasan yang menarik adalah kemubaziran.
Daftar ini adalah tanda cinta kami bagi film Indonesia. Tidak ada niatan dari kami untuk memberi peringkat, karena apresiasi film bukanlah pertandingan sepakbola, yang bisa ditentukan oleh skor angka dan papan klasemen. Kami berharap film-film ini bisa terus bertemu dengan publik.

27 STEPS OF MAY
Ravi Bharwani / 112 menit / Green Glow Pictures, Go-Studio
Kasus kekerasan seksual tidak bisa ditangani secara matematis. Dampaknya terhadap korban seringkali lebih banyak psikis daripada fisik. Ada trauma berkepanjangan, yang seringkali tidak mudah dibahasakan oleh korban. Bagi kebanyakan dari kita, kosakata tentang kekerasan seksual masihlah bahasa asing, yang perlu dipelajari dan dipahami dalam periode waktu yang seringkali tidak singkat. Proses itulah yang menjadi fokus 27 Steps of May. Kita menyaksikan bagaimana seorang korban perkosaan bergulat dengan traumanya sebelum memutuskan untuk menempuh jalur hukum atau membawa kasusnya ke publik. Dalam film, proses tersebut butuh lebih dari delapan tahun. Dalam dunia nyata, bisa jadi lebih lama lagi. Selama itulah rangkaian trauma yang dialami telah menubuh dalam diri korban, bahkan berdampak pada pilihan hidup sehari-hari.

BALLAD OF BLOOD AND TWO WHITE BUCKETS
Yosep Anggi Noen / 15 menit / KawanKawan Film, Limaenam Films
Darah tidak selalu menghantarkan hidup. Terkadang, ia juga menandakan kematian—bisa nyawa, bisa juga nalar. Ballad of Blood and Two White Buckets sejak awal menegaskan bahwa semesta ceritanya berbagi ruang dan waktu dengan demonstrasi penistaan agama yang sempat marak beberapa saat lalu. Ceritanya sendiri fokus pada sepasang suami-istri kelas ekonomi bawah, yang sehari-hari menyambung hidup dengan berjualan saren—panganan hasil kukusan darah sapi. Dua peristiwa ini perlahan terkait, baik melalui kosa gambar film maupun melalui asumsi (atau stigma) kita terhadap kedua fenomena tersebut. Secara visual, Ballad of Blood and Two White Buckets memotret kemiskinan dan penghisapan struktural yang tak terelakkan. Secara sosial, ia merekam ekses-ekses arogansi politik kita beberapa tahun belakangan ini.

LAKARDOWO MENCARI KEADILAN
Linda Nursanti / 61 menit / Paradoc Production
Seni tidak bisa memantik perubahan sosial, namun perubahan sosial tidak mungkin terjadi tanpa peran seni, termasuk film. Mungkin itulah alasannya kenapa masa-masa krisis kerap menghasilkan karya-karya dokumenter. Lakardowo Mencari Keadilan jelas lahir dari situasi krisis. PT Putra Restu Ibu Abadi secara ilegal telah mengubah Lakardowo dari sebuah desa bersahaja menjadi tempat penimbunan limbah kimia industri. Sumber air setempat tercermar dan menyebabkan sejumlah penyakit. Warga tentu saja melawan, demi hak atas lingkungan hidup yang sehat. Pesan yang hendak disampaikan klasik namun masih perlu kita suarakan hingga sekarang. Apabila kita hendak mewujudkan dunia yang lebih baik untuk kita semua, kita perlu tahu apa dan bagaimana wujud dunia tersebut. Film-film seperti Lakardowo Mencari Keadilan menjadi berharga karenanya.

KADO
Aditya Ahmad / 15 menit / Miles Films
Kado bukanlah film yang mudah. Sejak adegan pertama, ia sudah menuntut kita untuk sejenak mematikan nalar, dan menerima fakta bahwa seorang perempuan berpakaian maskulin bisa diterima oleh teman-temannya sebagai lelaki—mungkin terjadi, tapi terlalu luar biasa untuk dalam realitas sosial Indonesia. Tapi, apabila kita mau sejenak menangguhkan pengalaman keseharian kita, Kado merupakan eksplorasi tentang rentang identitas gender manusia yang teramat kompleks untuk dibahasakan melalui alat kelamin semata. Mulai dari jilbab hingga seragam sekolah, pembuat film secara cergas memanfaatkan stigma kostum sehari-hari sebagai jalan bagi penonton untuk memaknai pencarian jati diri yang dilalui protagonis cerita. Terlebih lagi sekarang, ketika kita sering meributkan kelayakan suatu gender dari apa yang terungkap, tapi luput dengan apa yang sebenarnya terpaksa disingkap.

LOVE FOR SALE
Andibachtiar Yusuf / 104 menit / Visinema Pictures, Stay Connected Media, 13 Entertainment
Love for Sale tidak hanya bicara soal cinta, tapi juga soal kerja. Relasi kedua protagonis—satu bujang kesepian, satu lagi pasangan musiman—bukanlah relasi personal, melainkan profesional. Interaksi keduanya secara elegan menyingkap dimensi kerja dari cinta—kita mendedikasikan waktu dan tenaga untuk mewujudkannya, setidaknya untuk menjaga ilusi keintiman yang merekatkan hubungan. Memang, dilihat dari perspektif lain, Love for Sale bisa dengan mudah dituding sebagai mimpi basah maskulin—dan kami mengakui itu kelemahan film ini. Protagonis perempuan dalam banyak hal begitu diobjektifikasi supaya sesuai dengan kebutuhan protagonis laki-laki. Namun, melalui perspektif itulah, Love for Sale samar-samar menjadi kritik terhadap romansa zaman modern yang tak ubahnya pasar komoditas. Apa kabar, Tinder?

KEMBALILAH DENGAN TENANG
Reza Fahriyansyah / 26 menit / Crazyone Films
Di Indonesia, kematian tidak pernah personal. Dampaknya selalu sosial. Setidaknya, masih ada pihak-pihak yang ditinggalkan, yang harus menanggung segala yang belum selesai dari pihak yang meninggalkan. Premis sederhana inilah yang mendasari Kembalilah dengan Tenang. Seorang remaja dinyatakan wafat oleh dokter, dan keluarganya harus berjibaku mencari tempat peristirahatan terakhir untuknya. Semenjak itulah, Kembalilah dengan Tenang menjadi ode tentang kota. Bagi yang masih dan akan hidup, pembangunan sudah menyulitkan banyak orang untuk mencari ruang hunian. Apalagi yang sudah tidak hidup, yang lahan rehatnya kian tergeser dan tersekat-sekat oleh ketimpangan kelas. Kembalilah dengan Tenang bisa bicara bagi banyak orang, dan pastinya ia akan terasa begitu getir bagi generasi milenial yang makin kesulitan cari rumah.

GOLDEN MEMORIES: PETITE HISTOIRE OF INDONESIAN HOME CINEMA
Afrian Purnama, Mahardika Yudha, Syaiful Anwar / 121 menit / Milisifilem, Forum Lenteng
Tidak ada sejarah, yang ada hanyalah sejarah-sejarah. Melalui Golden Memories, Forum Lenteng menelusuri lintasan sejarah-sejarah yang tercecer dalam koleksi video rumahan sejumlah pribadi—seorang pilot dan kepala laboratorium pabrik gula, beserta keturunan-keturunannya. Apa yang bermula sebagai labor of love terhadap medium sinema perlahan menyublim menjadi perekaman ulang dan pembacaan tentang sejarah itu sendiri. Sinema keluarga, yang selama ini hampir tidak pernah dihitung dalam wacana soal perfilman, tidak lagi menjadi sekadar bagian receh dari sejarah sinema. Ia adalah ibu bagi sinema.

DAN KEMBALI BERMIMPI
Jason Iskandar / 12 menit / Studio Antelope
Butuh keberanian lebih untuk menjadi relevan. Dan Kembali Bermimpi jelas tidak kekurangan nyali. Sejak adegan pertama, ia mengimajinasikan nusantara yang terkungkung politik agama. Di tengah itu semua, suatu pasangan bersama seorang pastor yang mereka sekap mencoba melarikan diri supaya bisa menikah. Lantas, kita mendapat tontonan yang sensasinya serupa dengan serial Black Mirror: skenario sehari-hari dalam latar yang spekulatif, bahkan nyaris sains-fiksi, namun terasa akrab dengan masa sekarang. Poin apresiasi lebih juga patut dialamatkan pada proses kreatifnya. Dan Kembali Bermimpi sejatinya adalah bagian dari Hukla in Motion, kompilasi sembilan film dan video hasil tafsiran puisi-puisi Leon Agusta. Menerjemahkan kata menjadi citra saja bukanlah hal yang mudah, apalagi sampai menghasilkan karya fiksi yang bisa bergaung secara sosial.

SUM
Firman Fajar Wiguna / 15 menit / SMAN 2 Purbalingga
Haruskah film karya pelajar bicara hal-hal besar untuk dianggap signifikan? Tentu saja tidak, tapi tidak ada salahnya mencoba. Terlebih lagi apabila percobaan itu menghasilkan film yang solid dan enak ditonton. Sum pada dasarnya adalah tipikal film-film penyintas 1965 yang banyak diproduksi di Indonesia pasca 1998—faktanya, lebih dari setengah film bertema 1965 yang ada saat ini adalah tentang penyintas. Film-film penyintas seringkali terkungkung dalam cara tutur yang kurang komunikatif: penyintas dihadirkan sebatas fakta politik, alih-alih sebagai manusia yang utuh. Kita tahu status subjek sebagai korban sebuah tragedi politik berdarah, tapi kita tidak tahu apa rasa dan karsa yang ia lalui sebagai manusia. Alhasil, mayoritas film tentang penyintas 1965 seringkali hanya bisa efektif bagi kalangan yang sudah tahu. Sum berangkat sebagai potret tentang seorang petani sederhana yang mencoba bertahan hidup. Perlahan, seiring berjalannya film, kita mengetahui perundungan sistemik yang selama ini menghantuinya. Empati pun terbit.

PETUALANGAN MENANGKAP PETIR
Kuntz Agus / 93 menit / Fourcolours Films
Film anak di Indonesia begitu terobsesi dengan kompetisi. Pakem paling umum: ada suatu perlombaan yang menjadi pusat konflik, yang mempertandingkan setiap tokoh anak dalam cerita film dan mengantar mereka ke pemahaman tentang nilai-nilai luhur dalam hidup. Petualangan Menangkap Petir tidak ambil pusing soal kompetisi. Sejak awal cerita, para protagonis sudah mengetahui kekurangan masing-masing, dan saling membantu untuk memenuhi kebutuhan sejawatnya. Fokusnya ada pada kolaborasi. Bagi kawan-kawan berusia dini, film ini merupakan kisah manis juga jenaka tentang persahabatan dan keberanian untuk bermimpi. Bagi kawan-kawan yang lebih berumur atau sudah terlalu jenuh dengan perfilman, Petualangan Menangkap Petir adalah kerinduan akan zaman yang lebih sederhana dan minim jargon.