Sepuluh Film Indonesia Pilihan Tahun 2017

2017 menunjukkan bahwa film Indonesia punya ketahanan menghadapi zaman. Atau, lebih tepatnya, ketahanan dalam mengisi ceruk pasar dan menjaga antusiasme penonton bioskop. Pengabdi Setan dan sejumlah film horor lainnya mendominasi puncak boxoffice tahun ini, menggantikan film roman dan film remaja yang mendominasi pada tahun sebelumnya. Kisah-kisah lanjutan macam Ayat-ayat Cinta 2, Warkop DKI Reborn Part 2, dan Surga yang Tak Dirindukan 2 turut meramaikan. Total penonton film Indonesia di bioskop sepanjang 2017 berkisar pada angka 40,1 juta, melewati 34,5 juta capaian tahun sebelumnya.

Tentunya, sebagaimana yang sering dijabarkan dalam berbagai terbitan Cinema Poetica, film Indonesia tidak terbatas di layar bioskop saja. Tahun lalu, menurut catatan redaksi, ada 77 festival film yang diselenggarakan di Indonesia untuk tingkat pelajar, mahasiswa, dan umum. Beberapa adalah festival yang penayangannya merupakan hasil seleksi dari proses pendaftaran, yang tak jarang melampaui seratus film. Beberapa lagi adalah festival yang penayangannya merupakan etalase dari hasil lokakarya produksi pelajar atau mahasiswa setempat, yang tak jarang melahirkan komunitas atau kelompok produksi baru di berbagai daerah. Sulit untuk dipastikan berapa sesungguhnya jumlah film Indonesia yang tayang untuk publik pada 2017, tapi bisa diperkirakan jumlahnya tiga atau empat kali lipat dari 117 film Indonesia yang tayang di bioskop.

Atas realitas itulah daftar sepuluh film pilihan ini disusun, sebagai bentuk apresiasi terhadap keragaman karya sinema di Indonesia. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, seleksi film ini tidak diniatkan sebagai penentuan film terbaik, walau tahun ini ada sedikit perbedaan dalam proses kerjanya. Selain perwakilan dari redaksi Cinema Poetica, yakni Adrian Jonathan dan Raksa Santana, seleksi tahun ini turut melibatkan kawan-kawan di luar redaksi Cinema Poetica, yakni Alexander Matius, Ayu Diah Cempaka, dan Yulaika Ramadhani. Mereka diundang berdasarkan rentang kepenontonan mereka, baik sebagai pribadi maupun sebagai pengelola program pemutaran di Kinosaurus, Festival Film Dokumenter, dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Keterlibatan mereka diharapkan bisa memperluas jangkauan tontonan dan memperkaya diskusi saat proses pemilihan film.

Ada tiga poin yang mendasari pemilihan kami. Pertama, relevansi suatu film pada zamannya, yang dalam kasus ini adalah dinamika sosial-politik selama 2017. Kedua, terobosan atau kesegaran perspektif suatu karya, yang dihadapkan dengan gagasan-gagasan sinema Indonesia pada 2017 dan tahun-tahun sebelumnya. Ketiga, kepaduan kemasan film dengan gagasan yang ditawarkan, karena gagasan tanpa kemasan yang memadai adalah angan-angan, dan kemasan tanpa gagasan yang menarik adalah kemubaziran.

Urutan film-film pilihan kami tersusun secara acak. Tidak ada niatan dari kami untuk memberi peringkat, karena apresiasi film bukanlah pertandingan sepakbola, yang bisa ditentukan oleh skor angka dan papan klasemen. Beberapa film pilihan kami beredar pada penghujung 2017, sehingga kemungkinan besar punya perjalanan lanjutan pada 2018, baik di bioskop maupun layar independen. Selain film-film yang kami ulas di bawah ini, ada beberapa film lain yang sempat kami diskusikan selama proses pemilihan: The Unseen Words karya Wahyu Utami, Ahu Parmalim karya Cicilia Maharani, Seorang Kambing karya Tunggul Banjaransari, Urut Sewu Bercerita karya Dewi Nur Aeni, Mesin Tanah karya Wimar Herdanto, Masean’s Messages karya Dwitra J Ariana, dan Mobil Bekas dan Kisah-kisah dalam Putaran karya Ismail Basbeth.

Selamat menikmati. Semoga berfaedah.

BALADA BALA SINEMA

Yuda Kurniawan / 118 menit / Rekam Docs

Mayoritas perfilman Indonesia adalah komunitas, yang sayangnya lebih sering dinarasikan sebagai mitos alih-alih sebagai fakta. Balada Bala Sinema, meski rentan meromantisir subjeknya, sejauh ini adalah satu-satunya dokumen audiovisual yang bisa diakses publik untuk memahami kiprah komunitas film. Selama hampir dua jam, kita mengikuti awak CLC Purbalingga keliling dari sekolah ke sekolah, desa ke desa, untuk membuka ruang partisipasi bagi mereka yang tidak terwadahi oleh industri perfilman. Para pelajar mendapat kesempatan belajar melalui lokakarya, sementara warga desa mendapat layar-layar tancap sebagai titik temu bersama. Dan kita penonton mendapat perwujudan nyata dari sesuatu yang teramat langka diperbincangkan dalam wacana sinema Indonesia.

POSESIF

Edwin / 102 menit / Palari Films

Posesif mengajak penonton untuk berpaling sejenak dari penggambaran asmara remaja nusantara yang itu-itu saja: dunia milik berdua, yang lain offscreen. Seakan dua sejoli bisa sepenuhnya bebas dari semesta di sekitarnya. Posesif membingkai pribadi remaja sebagai konsekuensi dari keluarganya, yang turut mempengaruhi kehidupan asmara. Lala dihadapkan dengan cinta bapak yang bersyarat, sementara Yudhis dengan kasih ibu yang pilu. Keduanya bertemu dan menghadirkan ungkapan-ungkapan yang tak lazim dalam film remaja Indonesia: amarah, relasi kuasa, tindak kekerasan, pertanyaan akan kepemilikan, perenungan akan keberdayaan. Lebih dari itu, selepas film ini tayang di berbagai ruang publik, percakapan di media sosial tetiba ramai dengan cerita pengalaman berbagai orang tentang hubungan asmara yang eksploitatif.

C’EST LA VIE

Ratrikala Bhre Aditya / 19 menit / Two Sour Films

Sejarah peristiwa 1965 selalu pelik, tapi perlu, untuk diceritakan. Menjadi pelik karena masih banyak fakta-fakta dasar yang masih kabur, menjadi perlu karena siklus kekerasannya masih dilanggengkan sampai sekarang. Sekilas C’est La Vie nampak seperti tipikal film-film peristiwa 1965 yang diproduksi pasca 1998. Narasinya berlandaskan pada testimoni penyintas, yang bercerita dengan nada setengah-meratap-setengah-berharap. Menariknya, testimoni itu dituturkan melalui sebuah performans yang dibingkai oleh serangkaian permainan audiovisual dan montase foto. Beberapa detail cerita menjadi jelas karenanya, beberapa lagi mengundang tanya. Dari sini kita bisa melihat betapa rentannya sejarah oral, sumber informasi yang vital terkait peristiwa 1965, sebagai tiang-tiang yang meyangga kesadaran dan pengetahuan sejarah khalayak. Penyintas yang di satu sisi menjadi faktor pendorong upaya-upaya pengungkapan sejarah, di sisi lain terbatas pada daya ingat, trauma, tarung kepentingan, dan tekanan sosial secara umum.

ERRORIST OF SEASONS

Rein Maychaelson / 27 menit / Hibernasi Films

Kapitalisme telah mengubah wajah dunia sedemikian rupa sehingga siklus alam pun bergeser. Konsekuensinya: hadir sejumlah praktik kapitalisme baru untuk mengeruk untung dari perubahan iklim tersebut. Ironi ini yang ditangkap dengan begitu jenaka oleh Errorist of Seasons. Melalui kisah seorang buruh pabrik yang banyak nahasnya, kita diajak untuk berpikir tentang sebuah masalah global melalui dampak-dampaknya pada tingkat lokal bahkan personal. Bahwasanya banjir di Cina turut berdampak terhadap pabrik-pabrik di pulau Jawa, dan pergeseran musim akibat pemanasan global turut berdampak pada hajat hidup pawang hujan. Asyiknya, Errorist of Seasons tidak mengkotak-kotakkan siapa yang lebih bersalah atau siapa yang lebih dirugikan. Semua orang turut berkontribusi dalam siklus eksploitatif ini, bahkan mereka yang tereksploitasi sekalipun.

THE SEEN AND THE UNSEEN
SEKALA NISKALA

Kamila Andini / 86 menit / Treewater Productions, Fourcolours Films

Gerak seringkali menjadi cara seorang anak pertama kali memahami dunia. Anehnya, film-film Indonesia masih saja gemar membahasakan anak-anak dengan identitas moral yang seringkali dipaksakan. The Seen and the Unseen mencoba melepas segala nonsens itu dan kembali ke perkara yang lebih mendasar. Melalui kolaborasi seni pertunjukan dengan ekspresi sinematik, film ini mewujudkan imajinasi anak-anak dalam menanggapi keintiman dan kehilangan dalam keluarga—yang jugalah sebuah terobosan di tengah film-film anak yang tak jauh dari kegiatan berlibur, bertemu orang jahat, lalu menyelamatkan diri. Harapan dan ketakutan kehilangan dihadirkan melalui tarian dan nyanyi-nyanyi sendu mereka, hal-hal simbolik semacam kehadiran-ketidakhadiran purnama, putih-kuning telur, monyet-monyet di tempat ibadah, tanaman padi yang mereka tanam bersama, dan kesakitan-kesakitan lainnya.

ANGKA JADI SUARA

Dian Septi Trisnanti / 22 menit / Federasi Buruh Lintas Pabrik

Sebuah film oleh buruh, tentang buruh, dan untuk buruh. Menariknya, identitas buruh dalam Angka Jadi Suara adalah wadah untuk mendiskusikan isu lain yang tak kalah pentingnya: otoritas diri terhadap tubuh. Sepanjang dua puluhan menit, kita menyaksikan upaya serikat-serikat buruh di Kawasan Berikat Nusantara, Jakarta Utara, mengungkap praktik pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan. Kita mengikuti perjalanan mereka, dari testimoni seorang buruh ke buruh lainnya, dari negosiasi dengan satu otoritas ke otoritas lainnya. Dan, seiring berjalannya film, mata kita dibukakan akan jurang pemahaman yang lebar di antara keduanya. Fakta bahwa Angka Jadi Suara diproduksi oleh para buruh merupakan poin yang krusial, sebab hal tersebut memungkinkan temuan-temuan serta rekaman-rekaman yang barangkali tak dapat dijangkau apabila pembuatnya berasal dari pihak yang berjarak dengan lingkaran buruh. Intim dan otentik.

THE NAMELESS BOY

Diego Batara Mahameru / 5 menit / Dasawarna Pictures

The Nameless Boy bisa jadi adalah ekspresi sinematik pertama tentang Aksi Super Damai 212 beserta demo-demo lanjutannya, tapi bukan itu alasan kenapa film ini perlu diperhatikan. Melalui rekaman singkat seorang anak (tak bernama, tentunya) keliling cari jajanan dengan latar suara orasi yang menghentak lantang, The Nameless Boy menghadirkan sejumlah dikotomi yang mendasari koeksistensi di Indonesia belakangan ini: kegaduhan vs kesunyian, narasi religi vs motivasi duniawi, keterlibatan aktif vs kehadiran pasif. Lebih dari itu, The Nameless Boy menyisakan pertanyaan yang tak nyaman di kepala: ketika ujaran kebencian telah menjadi spektakel yang dianggap wajar di ruang publik, apa jadinya anak-anak generasi penerus bangsa ini?

RODA PANTURA

Hizkia Subiyantoro / 18 menit / Hizart Studio

Sebagai suatu cerita, Roda Pantura tidaklah istimewa. Kita mengikuti seorang supir truk yang harus banting tulang di tengah krisis ekonomi pada 1998. Akibat serangkaian bencana dan kesialan, status penderitaannya merosot dari kemiskinan ke kesengsaraan. Cerita serupa bisa kita temukan dalam ribuan film lainnya. Kekuatan Roda Pantura ada pada ungkapan audiovisualnya, yang secara intim menafsir ruang-ruang yang menjadi latar ceritanya: lengkung jalan raya, pantat truk yang berhiaskan canda kata, sinar matahari yang terbias debu, bising mesin dan bunyi knalpot yang tak henti. Sepanjang film, bidang pandang selalu sesak dan minim garis lurus, persis seperti keseharian di Jalan Pantura. Ketika produk-produk animasi Indonesia berloma menjadi tiga dimensi, Roda Pantura menunjukkan bahwa dua dimensi turut memiliki kedalaman yang asyik untuk dijelajahi.

KISAH DI HARI MINGGU

Adi Marsono / 9 menit / Fourcolours Films

Kisah di Hari Minggu sesederhana judulnya. Selama sembilan menit kita melihat kesibukan dan kerutinan seorang ibu rumah tangga pada suatu Minggu: masak, bebersih rumah, merawat suami, mengurus anak. Hanya karena hari libur bukan berarti tugas seorang ibu ikut-ikutan libur. Lewat penuturan sederhana inilah Kisah di Hari Minggu mengajak kita untuk merenungkan ulang makna kerja, yang seringkali diidentikkan dengan pencarian nafkah padahal kenyataannya tidak sesederhana itu. Adi Marsono dan kawan-kawan menggarap gagasan ini dengan penuturan apa adanya. Kerutinan si ibu menjadi penggerak cerita, juga penghubung dirinya dengan tokoh-tokoh lainnya dalam cerita, tanpa embel-embel yang meromantisir atau mengglorifikasi keseharian yang penuh peluh itu. Melalui kesederhanaan itulah Kisah di Hari Minggu menjadi begitu komunikatif dalam menggariskan kerja-kerja sunyi yang memungkinkan kita untuk terus bekerja memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK

Mouly Surya / 93 menit / Cinesurya Pictures

Realitas Marlina adalah sedekat-dekatnya realitas yang harus dihadapi segenap perempuan: bahwa tanpa kemelekatannya terhadap laki-laki, perempuan adalah objek teritorial tanpa otonomi. Marlina Si Pembunuh sesungguhnya tidak menawarkan jawaban atas persoalan perempuan. Ia mempertontonkan dan mengolok-ngolok cara kita memandang realitas perempuan sebagai keterasingan yang disengaja—long shot yang tiada henti adalah olok-olok terhadap male gaze yang kadung kita kompromi. Di hadapan film-film yang menyuarakan perwujudan identitas perempuan sebatas otoritas tubuh, Marlina Si Pembunuh menawarkan perspektif yang lebih komprehensif. Di rumah, di tempat ia dikonstruksikan untuk membatasi diri, Marlina justru menyatakan otonominya dengan lantang. Ketika ia didominasi di rumah dengan kesemena-menaan Markus dan teman-teman perampoknya, Marlina merebut kembali ruangnya. Di dapur, ia menebar racun. Di tempat tidur, ia menebas kepala Markus—dalam posisinya yang on top, pula. Negosiasi kekuasaan yang berawal dari perkara dapur, terus meluas ke ranah ekonomi dan stigma sosial. Epik.