Sepuluh Film Indonesia Pilihan Tahun 2016

2016 adalah tahun kembalinya penonton film Indonesia ke bioskop. Atau setidaknya begitu menurut statistik penonton. Warkop DKI Reborn Part 1 merajai tangga penjualan tiket dengan tujuh juta penonton kurang sedikit. Selain itu ada sembilan film lainnya yang berhasil melampaui perolehan satu juta penonton. Total penonton kita sepanjang 2016: 34,5 juta penonton. Jumlah ini melampaui pencapaian 32 juta penonton pada 2008 dan 30 juta penonton pada 2009. Mantap.

Di luar bioskop bukan berarti film Indonesia adem ayem saja. Masih banyak film lainnya dengan pencapaian yang tidak kalah menariknya. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Cinema Poetica mencoba untuk melihat kekayaan sinema nusantara secara utuh, tidak terbatas pada yang tayang di layar bioskop komersil. Asalkan suatu film pernah tayang untuk publik, baik di bioskop, festival film, maupun layar-layar lainnya, maka film tersebut layak untuk dipertimbangkan. Sama seperti tahun lalu juga, seleksi film ini tidak diniatkan sebagai penentuan film terbaik.

Ada tiga poin yang mendasari pemilihan kami. Pertama, relevansi suatu film pada zamannya, yang dalam kasus ini adalah dinamika sosial-politik selama 2016. Kedua, terobosan atau kesegaran perspektif suatu karya, yang dihadapkan dengan gagasan-gagasan sinema Indonesia pada 2016 dan tahun-tahun sebelumnya. Ketiga, kepaduan kemasan film dengan gagasan yang ditawarkan, karena gagasan tanpa kemasan yang memadai adalah angan-angan, dan kemasan tanpa gagasan yang menarik adalah kemubaziran.

Urutan film-film pilihan kami tersusun secara acak. Tidak ada niatan dari kami untuk memberi peringkat, karena apresiasi sinema tidak sama seperti judi gelap yang ditentukan oleh angka-angka random. Beberapa film pilihan kami beredar pada penghujung 2016, sehingga kemungkinan besar punya perjalanan lanjutan lagi di layar-layar nusantara pada 2017, baik di bioskop maupun layar independen. Selain film-film yang kami ulas di bawah ini, ada beberapa film lainnya yang turut menarik perhatian kami: Potongan karya Chairun Nissa produksi babibutafilm; The Window karya Nurman Hakim produksi Triximages dan Dash Pictures; Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara karya Herwin Novianto produksi Film One Production; Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal! karya Ilman Nafai produksi Gerilya Pak Dirman Film; dan Prenjak karya Wregas Bhanuteja produksi Studio Batu.

Selamat menikmati.

NOKAS

Manuel Alberto Maia / 75 menit / Komunitas Film Kupang

Dokumenter dengan pendekatan observasional bukan hal yang baru. Sebelum Nokas, telah ada beberapa judul yang sukses menggunakan pendekatan ini—salah satunya Negeri di Bawah Kabut, karya Shalahuddin Siregar yang menjadi produser Nokas. Meski pendekatan ini telah ada pendahulunya, Nokas tetap mampu berada di jajaran film-film penting. Hal ini disebabkan oleh kedekatan pembuat film dengan subjek dan isu yang ia angkat. Manuel Alberto Maia menuturkan isu soal tradisi mahar yang ada di Nusa Tenggara Timur—tempat tinggalnya. Isu itu pun merembet ke berbagai hal, seperti peran perempuan di keluarga, kondisi budaya setempat, hingga soal tanah. Penemuan tema-tema itu tentu bisa membuat film ini pelik. Namun, untungnya, ada banyak momen yang membuat film ini hangat, khususnya ketika tokoh dalam film berinteraksi dengan operator kamera—entah itu ditawari rokok, tertawa bersama, ataupun dijadikan sasaran keluh kesah. Penonton bisa tersenyum sejenak. Meski tak lama kemudian, hadir ekspresi Nokas dan keluarganya, yang mengembalikan fokus agar tetap kembali ke permasalahan utama.

CEK TOKO SEBELAH

Ernest Prakasa / 104 menit / Starvision

Tidak banyak film yang mengangkat kisah tentang etnis Cina dalam konteks keseharian. Seringnya, kisah seputar etnis Cina tertuang dalam narasi-narasi yang sarat konflik, khususnya yang berlatarkan 1998. Film seperti ini memang  masih relevan untuk dibuat, demi kemunculan perspektif-perspektif baru soal etnis Cina—ditunjukkan oleh Fox Exploits the Tiger’s Might ataupun Langit Masih Gemuruh. Walaupun begitu, penting juga untuk memahami bahwa kisah seputar etnis Cina tidak harus selalu berisikan konflik-konflik besar saja. Orang-orang Cina juga memiliki konflik-konflik di kelompok sosial mereka sendiri. Dan inilah yang ditawarkan oleh film-film Ernest Prakasa, khususnya Cek Toko Sebelah. Lingkup konflik film ini mungkin terbatas pada keluarga. Namun Ernest cukup jeli untuk meletakkan keluarga protoganis dalam dunia sosial yang lebih luas. Dari sana Cek Toko Sebelah berbicara tentang kisah-kisah seputar nasib toko sembako, menantu pribumi, serta gaya hidup dewasa muda Cina—baik Erwin yang mapan ataupun Yohan yang begajulan. Ditambah penceritaan yang sarat dengan komedi segar, film-film Ernest sukses mengajak khalayak luas untuk mampir ke kehidupan orang Cina tanpa prasangka apapun.

ON THE ORIGIN OF FEAR

Bayu Prihantoro Filemon / 12 menit / KawanKawan Films, Partisipasi Indonesia, Limaenam Films

Elemen yang menopang sejarah 1965 versi Orde Baru banyaknya bukan main. Maka wajar bila film-film yang coba membongkar kebohongan tersebut tidak ada habisnya. Ada yang mengangkat seputar kesaksian penyintas, pengakuan pelaku, keberadaan kuburan masal, hingga manipulasi media dan antek asing. Karya-karya semacam ini cukup konsisten dilakukan setelah reformasi. Pada 2016, ada Buru Tanah Air Beta, Bangkit dari Bisu, Izinkan Saya Menikahinya, dan Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal!. Keempat film itu memiliki sisi menariknya masing-masing—baik secara tema maupun pilihan subjek. Namun On the Origin of Fear karya Bayu Prihantoro bisa dibilang memiliki daya pikat paling kuat. Film ini mengangkat soal film propaganda termasyhur Orde Baru: Pengkhianatan G30S/PKI. Namun dengan cerdik, film juga mengakomodir wacana soal kerancuan “pelaku” dan “korban” dalam peristiwa 1965. Lewat film ini, kita sadar bahwa sejarah adalah hasil konstruksi. Mengidentifikasi kebenaran, di tengah terpaan dua perspektif yang sama sekali berlawanan, bukanlah suatu hal yang mudah. Butuh perenungan, sebagaimana yang Darto (Pritt Timothy) lakukan dengan rokoknya di akhir film.

PELACUR DAN SEEKOR ANJING

Orizon Astonia / 18 menit / Nivory Pictures, Lumipic

Lewat Pelacur dan Seekor Anjing, Orizon Astonia sukses menginjak batas suci tanpa melepas sendal. Untung, sendalnya bersih, dan Orizon tahu mau melangkah ke mana. Film dengan leluasa menggunakan kisah-kisah di kitab suci untuk suatu narasi seputar perempuan. Benda-benda keseharian ia jadikan simbol-simbol  dari suatu hagiografi, yang kita tahu, butuh kehati-hatian dalam pengemasannya. Akurasi tafsir audiens terhadap simbol-simbol dalam film tentu dapat diadu (kalau bukan dikonfirmasi kepada pembuatnya). Namun dari sejumlah kemungkinan yang ada, bisa kita duga bahwa dalam film ini, Ratna—seperti halnya Maryam—dihamili Yusuf tanpa hubungan seksual, melainkan dengan hubungan lintas dimensi lewat jalur digital dan pengisian bensin premium. Di tengah ramainya obrolan soal kesucian agama, kehadiran film ini tentu amat bisa kita rayakan. Pelacur dan Seekor Anjing mengembalikan lagi asa untuk mengotak-atik narasi agama secara kritis, sambil tetap aman dari campur tangan pikiran-pikiran bebal.

ISTIRAHATLAH KATA-KATA

Yosep Anggi Noen / 97 menit / Yayasan Muara, Partisipasi Indonesia, Limaenam Films, KawanKawan Films

Yosep Anggi Noen tidak menceritakan Wiji Thukul yang melawan. Ia justru mengisahkan Wiji Thukul menelan konsekuensi perlawanannya terhadap Orde Baru. Wiji Thukul takut. Istri dan anaknya diintimidasi. Tidak ada kemenangan, hanya ada kehilangan. Ini jelas bukan Wiji Thukul yang ada di poster-poster dan sablonan. Walaupun, bisa jadi, ini justru adalah Wiji Thukul yang paling aktual. Bagaimanapun, faktanya, Wiji Thukul bersama belasan aktivis lain masih hilang. Dan film ini memiliki fungsi penting karena mampu menekankan rasa kehilangan itu. Film ini adalah ajakan berempati—yang ternyata memang masih diperlukan, meski telah sepuluh tahun kamisan dihelat. Tak masalah bila porsi kecil cerita perlawanan Wiji Thukul dan kawan-kawan aktivis hanya ada di berita radio. Toh, anak muda zaman sekarang dapat dengan mudah mencari informasi di jagat maya. Yang dibutuhkan adalah suatu pemantik, yang mampu mendorong hasrat mencari tahu itu. Dalam hal ini, mungkin Anggi melihat hutang segelas air kepada Sipon bisa lebih mengena, ketimbang orasi berapi-api di pabrik Sritex. Dan itu jelas tak apa.

SUNYA

Hari Suharyadi / 87 menit / Sinema Hari Cipta

Hari Suharyadi, yang populer dengan nama Harry Dagoe, telah menemukan cara yang asyik untuk menuturkan dimensi mistis dalam kehidupan kita sehari-hari. Sementara kebanyakan film Indonesia masih berbicara mistis dalam kerangka antagonistik, alias demit-versus-manusia, Sunya memilih untuk bermain-main dengan kesumiran. Tidak ada shot yang definitif. Setiap adegan, setiap momen, kita masuki melalui sudut pandang yang netral: medium shot, tanpa penekanan tertentu. Satu gerakan kamera kemudian, terungkaplah cerminan akan keseharian kita: bahwasanya mistika dan realitas hidup secara berdampingan, bahwasanya jelmaan dunia lain bisa sesederhana orang di sampingmu. Bertutur menggunakan hal-hal mistik—yang kerap dibebani berbagai prasangka—Sunya menyadarkan kita bahwa tak ada yang serta merta. Harry Dagoe memilih untuk tidak bertutur secara linear, sebab begitulah naluri dari moral dan hal-hal gaib. Dalam tafsiran paling kompleks, Sunya hadir sebagai kritik akan Indonesia modern yang sarat akan kategori-kategori sosial yang beku dan membelenggu. Dalam tafsiran paling sederhana, Sunya adalah film Indonesia dengan pencapaian estetis paling unik sepanjang 2016.

1880 MDPL

Riyan Sigit Wiranto & Miko Saleh / 29 menit / Aceh Documentary

1880 MDPL berlandaskan pada alasan yang teramat sederhana: memotret keluarga sendiri. Riyan Sigit Wiranto dan Miko Saleh, keduanya pelajar SMAN 15 Takengon Binaan Nenggeri Antara, dengan cermat merekam keseharian orang tua mereka sebagai petani kopi di Desa Merah Jemang, Aceh Tengah. Berbagai detail ditangkap, dari biji kopi yang hendak digiling hingga peta lahan setempat. Berbagai momen diungkap, dari sang bapak belajar shalat, sang ibu menawar pembayaran uang tunggakan, hingga obrolan warga tentang mana lahan yang boleh digarap mana yang tidak. Penuturan observasional semacam ini kerap berakhir sebagai proses mengikuti tanpa arti, yang untungnya tidak terjadi pada 1880 MDPL. Setiap momen tersusun dengan alasan dan alur penuturan yang cergas, dari momen-momen kehidupan pasutri yang intim hingga aturan-aturan yang ditetapkan oleh rezim. Hasilnya: sebuah potret akan konsekuensi-konsekuensi dari percaturan politik makro, khususnya terkait hak pengolahan lahan, terhadap nasib ekonomi warga.

ZIARAH

BW Purbanegara / 87 menit / Purbanegara Film, Limaenam Films, Hide Project Films, Lotus Cinema, Super 8mm Studio, Goodwork

Fakta tidak pernah terbatas pada satu sisi saja. Bagi Mbah Sri, suaminya adalah pejuang kemerdekaan yang gugur di medan perang, yang hingga kini tidak diketahui lokasi pemakamannya. Bagi sesama tentara veteran, suami Mbah Sri adalah seorang pengecut yang mengkhianati kawan-kawannya sendiri. Bagi warga desa yang digusur untuk pembangunan waduk, tentara adalah bagian dari ketidakadilan yang merampas hunian mereka. Silang sengkarut sudut pandang inilah yang menjadi ruh Ziarah. Melalui kisah perjalanan seorang istri mencari sang suami, BW Purbanegara dan kawan-kawan sejatinya sedang mempertemukan sejarah-sejarah yang pemaknaannya tidak selalu searah. Pada akhirnya memang tidak ada yang perlu disepakati, dan sikap itulah yang menjadikan film ini begitu bernilai. Ziarah, meski penuturannya kadang ke mana-mana, mengajak kita untuk membongkar kembali dalil-dalil pengagungan masa lalu, yang belakangan begitu marak digalakkan sejumlah pihak. Di balik itu semua Ziarah menawarkan kisah cinta lansia yang unik dalam khazanah sinema Indonesia.

MEMORIA

Kamila Andini / 35 menit / Hivos Indonesia, Treewater Productions

Kemerdekaan selalu memakan korban, dan tidak sedikit di antaranya adalah warga perempuan. Memoria mengantarkan kita ke Ermera, yang terletak 28 kilometer dari Dili, ke tengah para penyintas kekerasan seksual pada masa perang kemerdekaan Timor Lester dari Indonesia. Mereka diperkosa tentara, dan tentara yang sama itu jugalah yang menjadi suami mereka. Potret perempuan-sebagai-korban inilah yang memicu narasi pemberdayaan dalam Memoria. Banyak film dengan pakem serupa yang terjerembab ke parade rintihan tanpa penyikapan, dan untungnya hal serupa tidak terulangi dalam Memoria. Kamila Andini dan kawan-kawan tidak sekadar bicara tentang luka lama. Kekerasan masa lampau justru difungsikan sebagai cermin bagi generasi sekarang, yang terwakili dalam film melalui anak perempuan seorang penyintas, untuk menghentikan berulangnya kekerasan serupa pada masa mendatang. Satu detail yang menarik: corak kostum para protagonis perempuan, baik sang ibu maupun putri, selaras dengan corak detail-detail ruang domestik yang mereka hidupi, di hadapan suami/bapak eks-tentara yang dengan entengnya menganggap pernikahan sebagai penebus dosa pemerkosaan.

TURAH

Wicaksono Wisnu Legowo / 79 menit / Fourcolours Films

Turah, debut penyutradraan Wicaksono Wisnu Legowo, bertempat di Kampung Tirang, sebuah perkampungan yang berdiri di atas tanah timbul di pesisir utara Kota Tegal. Nasib warga setempat bergantung pada seorang juragan, pemilik seluruh aset di Kampung Tirang—dari tambak ikan hingga peternakan kambing. Sekali ada warga yang tidak ikut aturan atau berlaku meresahkan, siap-siap warga sekampung kena getahnya. Tanpa pekerjaan dari sang juragan, warga takkan mampu bayar sewa rumah yang tidak murah itu. Sebagai film, pengemasan Turah amatlah padu. Walau masing-masing punya ritmenya sendiri, semua pemeran begitu klop dalam bertukar dialog dan beradu lakon. Kosa gambarnya juga efektif meski bermain di berbagai skala—terkadang meluas untuk menampilkan warga kampung sebagai sebuah kolektif, terkadang mendetail melalui corak visual yang khas untuk setiap tokoh. Sebagai potret sosial, Turah terasa begitu relevan. Ganti warga Kampung Tirang dengan warga ekonomi serupa di tempat lain, atau bahkan kelas menengah di ibukota, dan kita akan mendapati skenario serupa. Karena pada akhirnya kita manusia adalah tanah yang kita huni. Atau, dalam banyak kasus di negeri ini, tanah yang tidak bisa kita huni.