Satu hal yang saya pelajari dari sejarah peradaban: penemuan roda memungkinkan manusia untuk plesir, main ke kota lain, bertemu orang baru, bertukar pikiran, lalu jatuh cinta. Atau, tidak kembali ke kampung halaman.
Semalam Anak Kita Pulang garapan Adi Marsono bercerita tentang peristiwa terakhir—tepatnya tentang kepergian seorang perempuan meninggalkan orangtuanya di desa. Dan ia pergi bukan karena ingin plesir, apalagi jatuh cinta dengan orang baru, tapi karena tuntutan ekonomi. “Duitnya nanti dipakai buat bangun rumah ya, Bu. Supaya bagus, seperti rumah Yu Ningsih,” ujar sang putri saat pamitan. “Ibu lebih butuh kabarmu daripada uangmu,” jawab sang ibu, pelan. Kabar itu tidak pernah datang. Begitu juga sang putri. Yang tersisa hanyalah melankoli tentangnya.
Melankoli inilah yang ditekankan pembuat film melalui ungkapan-ungkapan visual yang ambigu. Pada awal film, sang putri hadir sebagai mimpi. Berlatarkan bulan purnama yang tertutup awan, kita melihat sosok sang putri sedang membanting padi di halaman rumah. Sang ibu terbangun dari lelapnya, mengintip keluar lewat jendela, lalu menghampiri anaknya. Pada pertengahan film, sang putri hadir sebagai memori. Sang putri menghampiri ibunya di meja makan, membawa dua tas. Ia pamit. “Kamu jangan aneh-aneh ya di sana, Nak,” sang ibu menasehati.
Momen-momen ini mewujud begitu saja di antara kerutinan sang bapak dan ibu, tanpa ada penjelas waktu yang pasti. Setelah adegan mimpi, kita melihat sang ibu sedang menunggui tungku di dapur, menyiapkan makanan untuk sang suami. Sementara itu, adegan memori hadir setelah sang suami kelar bersantap. Penanda terkuat bahwa kehadiran sang putri tak lebih dari mimpi maupun memori adalah rangkaian gambar kandang reyot pada akhir film—kontras dengan gambaran sebuah rumah yang tertata pada awal film.
Penanda lainnya adalah tingkah para pemerannya. Selama di meja makan, sang ibu bergumam berkali-kali, “Semalam anak kita pulang.” Sang bapak hanya menyeruput teh dan menghisap rokok, dengan tangan sedikit gemetar dan tatapan kosong—seolah mencoba acuh. Asumsi yang terbentuk: sang ibu sudah terlalu sering bertingkah seperti ini, sampai-sampai sang bapak tak tahu lagi harus menanggapi apa.
Melalui detail-detail ini, Semalam Anak Kita Pulang melekatkan kehilangan pada mereka yang ditinggalkan. Karena, sebaik-baiknya sang bapak dan ibu berupaya membebaskan diri dari memori, mereka takkan pernah bisa mengingkari ruang yang menjadi saksi akan segala yang telah terjadi. Mereka tetap harus tinggal di rumah yang sama, menanti dengan kesia-siaan yang sama.
Begitulah Semalam Anak Kita Pulang terpaparkan ke penontonnya: tanpa pesan tapi penuh kesan. Tak ada ungkapan verbal yang berlebih, tak ada juga ceramah tentang “ingatlah orangtua”, “pulanglah ke kampung halaman”, atau sejenisnya. Yang ada hanyalah rasa. Semua rupa dan suara dalam film diarahkan ke sana—mulai dari kamera yang lekat menyorot wajah para orangtua, detail-detail rumah yang tidak terurus, hingga tembang macapat yang berkumandang syahdu dari sebuah radio tua. Kita sebagai penonton tidak mungkin tidak menangkap apa yang dirasakan para orangtua dalam film ini. Lebih dari itu, kita bahkan bisa berempati terhadap kehilangan mereka.
Yang Diberitakan, Yang Tidak Diceritakan
Gambaran akan kehilangan ini menarik untuk ditilik lebih lanjut. Kepergian sang putri bisa kita artikan macam-macam, mulai dari urbanisasi hingga pergi ke luar negeri jadi TKI. Karena latar waktunya yang sumir, Semalam Anak Kita Pulang bisa mewakili berbagai bentuk perpindahan penduduk yang (terpaksa) dilakoni warga Indonesia karena alasan ekonomi. Menariknya, atau ironisnya, detail-detail film terkait motif ekonomi itu yang nyaris tak terjamah sepanjang film.
Kita tidak pernah tahu apakah keluarga ini butuh uang atau tidak. Kalaupun iya, seberapa butuh? “Ibu lebih butuh kabarmu daripada uangmu.” Beberapa detik sebelumnya sang putri memang sempat menyinggung soal “bangun rumah”, tapi, sekali lagi, “ibu lebih butuh kabarmu daripada uangmu”. Penekanannya ada pada romantisme keutuhan keluarga dalam satu atap, bukan pada kondisi atap yang menaungi mereka.
Kita juga tidak tahu bagaimana ketiadaan kabar atau tidak kembalinya sang putri berdampak bagi keberlangsungan ekonomi keluarganya. Memang, ada sejumlah ungkapan samar-samar. Gambar kandang reyot pada akhir film, misalnya. Meski begitu, tidak terjelaskan apakah kemerosotan kondisi bagian rumah itu terjadi karena kesulitan ekonomi atau karena sang putri, yang biasa mengurusi, kini absen. Perhatikan juga adegan sang bapak beranjak dari meja makan, mengambil caping dan cangkul, lalu pergi. Asumsi yang terbentuk: ia masih pergi berladang, walau umur sudah kepalang uzur. Tapi, lagi-lagi, tidak jelas kenapa. Apakah sang bapak berladang karena kebiasaan atau karena kebutuhan?
Semalam Anak Kita Pulang kembali pada rasa dan hanya rasa. Adi Marsono dan kawan-kawan bahkan secara tegas membatasi lingkup bahasan filmnya. Alih-alih meluas, pembuat film mengarahkan ceritanya ke wilayah yang teramat personal. Sepanjang film, kita hanya melihat pasutri ini menanti—sang ibu berharap, sang bapak pasrah. Tak ada gambaran maupun rujukan akan keluarga lain yang mengalami hal serupa. Dunia dalam film hanyalah seluas rumah sang pasutri. Lebih dari itu, offscreen.
Saya percaya sebuah cerita tidak menjadi penting hanya karena apa yang ia ceritakan, tapi juga karena apa yang ia tidak ceritakan. Dan apa yang Adi Marsono dan kawan-kawan tidak ceritakan inilah yang perlu kita tinjau lebih lanjut, karena tidak ada film yang lahir dari ruang hampa. Sebuah film selalu terhubung dengan fakta dan peristiwa di sekitarnya maupun pada zamannya.
Nyatanya, di luar sana, tidak terhitung berapa banyak berita buruk terkait para pekerja perantauan—mulai dari keterasingan, gegar budaya, pungli, kekerasan di lingkungan kerja, hingga kematian. Belum lagi kita bicara akibat-akibat yang harus ditanggung oleh mereka yang ditinggalkan: desa makin sepi generasi penerus, kekurangan warga usia kerja, minim tenaga terdidik, terhambat pembangunannya, dan sebagainya. Berbagai peristiwa dan fenomena ini bisa jadi adalah dasar bagi cerita yang dituturkan oleh Adi Marsono dan kawan-kawan, tapi justru kenyataan di luar film itulah yang nyaris tidak tersentuh dalam Semalam Anak Kita Pulang.
Pertanyaannya: di hadapan sebuah fenomena yang kian hari kian serius konsekuensinya, masihkah relevan apabila kita menerjemahkannya sebagai perkara rasa semata? Bagaimana pula kita sebaiknya bersikap terhadap film yang hanya menawarkan rasa?
Di sini, kita bicara tentang salah satu pandangan dalam menilai film, bahwasanya sebuah film hanya akan bernilai apabila ia punya relevansi sosial atau menanggapi suatu kondisi zaman. Dalam pandangan itu, yang diimani oleh sejumlah kalangan, film seperti Semalam Anak Kita Pulang jadi sangat tak bernilai.
Di sini, kita juga perlu realistis. Tidak adil membebankan satu film, yang berdurasi tiga belas menit saja, sebagai jawaban bagi sebuah masalah yang berbelit-belit selama sekian dekade. Itu tugas satu negara, bukan Adi Marsono seorang. Lagipula, sedalam-dalamnya suatu film, ia paling mentok hanya akan berpengaruh kepada kesadaran penontonnya—yang itupun belum tentu berlanjut menjadi tindakan konkrit. Tapi, bukan berarti suatu film tidak bisa berperan penting dalam perbaikan kehidupan umat. Perubahan, dalam skala apapun, selalu bermula dari kesadaran. Dan kesadaran bisa bermula dari rasa.
Yang Ditinggalkan, Yang Kerap Dilupakan
Pada titik itulah, Semalam Anak Kita Pulang menemukan nilainya. Karena sifatnya yang personal, ceritanya yang sederhana, juga ambigunya alasan kepergian si anak dan rentang kebutuhan keluarganya, film ini justru menjadi begitu komunikatif. Lubang-lubang dalam cerita memberi ruang bagi penonton untuk mengisinya dengan pengalaman pribadi, baik mereka yang merantau karena kebutuhan ekonomi atau, lebih luas lagi, karena keperluan studi. Bukankah calon sarjana juga calon tenaga kerja? Dan bukankah tidak jarang kita menemukan sarjana yang tidak kembali ke kampung halamannya setelah sekian lama menimba ilmu di luar sana? Atau jangan-jangan kita salah satunya? Semalam Anak Kita Pulang, meski lingkup bahasannya teramat sempit, malah bisa bicara untuk khayalak luas.
Lebih penting lagi, Semalam Anak Kita Pulang bicara dari sisi mereka yang ditinggalkan, sebuah perspektif yang sedikit sekali terungkap dalam film Indonesia. Kalaupun ada, hal tersebut lebih sering tertuturkan secara tidak kentara—sebagaimana yang kerap ditemukan dalam film-film pendek produksi Purbalingga dan Banyumas Raya, yang kita semua tahu tidak beredar secara masif di bioskop.
Jarang sekali kita melihat ada keluarga yang utuh dalam film-film dari daerah tersebut—pasti ada salah satu orangtua yang absen, kadang malah keduanya. Alasannya tidak selalu diungkapkan, seringnya karena sang bapak atau ibu kerja di kota nun jauh di sana. Menjadi tidak terungkapkan karena gambaran keluarga-tak-utuh tersebut kerap hanya menjadi realita latar—konflik ceritanya sendiri tidak melulu berhubungan dengan perkara domestik. Penonton di Purbalingga bisa mengamininya, karena itu realita yang mereka hadapi sehari-hari. Penonton di luar Purbalingga bisa dengan mudah melewatkannya, karena memang tidak selalu menjadi fokus cerita.
Ada juga film pendek seperti Natalan, yang beredar pada tahun yang sama dengan Semalam Anak Kita Pulang. Bedanya, film garapan Sidharta Tata itu sama sekali tidak menyinggung permasalahan ekonomi. Perkaranya berpusar pada penantian seorang ibu akan kepulangan anaknya pada suatu hari raya—sebuah tradisi atau formalitas yang berlaku di banyak kalangan warga.
Dalam film bioskop, lebih sedikit lagi. Fokusnya lebih besar kepada mereka yang merantau untuk mengadu nasib ke kota, luar Pulau Jawa, hingga negara-negara nun jauh di sana. Contohnya berserakan sepanjang sejarah film Indonesia—mulai dari Bulan di Atas Kuburan (1973), Tanah Harapan (1976), Secangkir Kopi Pahit (1983), Minggu Pagi di Victoria Park (2010), hingga Toba Dreams (2015). Sekalipun ada, bahasannya hanya berada pada tataran “menanti”, “didurhakai”, atau “cari-mencari”. Kehilangan lebih diungkapkan sebagai drama berlarut-larut lagi mengharu-biru, belum sebagai fakta peradaban sebagaimana yang terungkapkan dalam Semalam Anak Kita Pulang.
Kebaruan perspektif ini penting. Karena meninggalkan dan ditinggalkan itu sama peliknya, terutama kehilangan yang lekat dengan keniscayaan-keniscayaan seperti keterpisahan anak, orangtua, dan keluarga—baik karena umur, tuntutan hidup, maupun perkembangan zaman. Semalam Anak Kita Pulang berhasil mengisi kekosongan bahasan tentang mereka yang ditinggalkan. Cara pandang dan cara merasanya yang tidak biasa, jelas merupakan poin plus. Film ini juga tergarap dengan perhatian yang besar terhadap detail. Berkatnya, kehilangan terungkap sebagai sesuatu yang begitu membumi.
Harapannya, Semalam Anak Kita Pulang bisa menjadi pertanda bahwa kita perlu lebih serius mendedah keterpisahan warga yang timbul akibat motif ekonomi—sebuah fakta peradaban yang tidak bisa kita tolak. Untuk sekarang ini, rasa saja sudah cukup. Nantinya, belum tentu. Karena ungkapan akan kehilangan, sebanyak apapun itu, takkan pernah bisa menjadi jawaban untuk kehilangan itu sendiri.
Semalam Anak Kita Pulang | 2015 | Durasi: 13 menit | Sutradara: Adi Marsono | Penulis: Adi Marsono | Produksi: Fourcolours Films | Negara: Indonesia | Pemeran: Suranto, Ngatijah, Licencia Ade Kurnia
Tulisan ini merupakan bagian dari ulasan film-film yang tayang selama FILM, MUSIK, MAKAN yang diselenggarakan oleh Kolektif pada 2-3 April 2016 di GoetheHaus, Jakarta.