
Kenapa lembaga pendidikan membuka program studi film?
Bukan rahasia bahwa program-program sosial atau seni bukan dianggap kebutuhan manusia yang paling mendasar. Karenanya, pada saat lembaga-lembaga pendidikan tinggi membuka program ilmu-ilmu sosial, kebudayaan dan seni, kita bisa menganggap bahwa sekolah itu percaya bidang-bidang yang memasok kebutuhan dasar masyarakat itu sudah terpenuhi, dan kini giliran menyiapkan program yang akan membantu masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Singkatnya, mereka percaya masyarakat sudah membutuhkan program ini, dan peminat akan datang mendaftar.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang mengatur proses perijinan pembukaan program studi pun memberlakukan mekanisme yang ketat untuk mendirikan sebuah program studi baru. Salah satu prinsip penting pembukaan sebuah program studi baru adalah keberlanjutan hidupnya: bagaimana program ini bisa bertahan setelah berjalan. Ketika pihak sekolah sudah memiliki argumen kuat bahwa orang tua murid akan mendukung dan nantinya membiayai anak mereka berkuliah, berarti masyarakat memang sudah membutuhkan bidang ini.
Benarkah peminat bidang film cukup besar? Pengalaman memertemukan saya kepada lebih banyak orang tua di Indonesia yang belum rela anak mereka masuk sekolah seni, apalagi sekolah film. Memang banyak dari orang tua ini berubah menjadi sangat bangga pada saat akhirnya menonton karya anak-anak mereka, namun di Jakarta, sebelum programnya dimulai, saya lebih sering bertemu orang tua yang sangsi daripada yang suportif. Pertanyaan orang tua calon mahasiswa, “Jika dia ambil program film, lalu siapa nanti yang meneruskan usaha saya?” selalu terdengar satir, menunjukkan bahwa bidang seni masih menjadi kebutuhan yang amat-sangat mewah, bahkan bagi masyarakat kelas menengah ke atas di Indonesia.
Sulit berargumen soal keamanan masa depan bidang film—atau seni—karena memang daya serap tenaga kerjanya tidak setinggi “sektor riil”. Lebih merepotkan lagi bila harus menunjukkan cerita sukses, “Anu lho, seperti tetangga saya pembuat film.” Apalagi jika harus bicara dengan para orangtua dari luar Jakarta, mengingat industri film kita yang amat sangat terpusat di ibu kota. Mungkin keadaan ini bukan masalah khas di Indonesia saja. Di negara maju pun, tak peduli seberapa besar devisa yang diperoleh dari industri kreatif, jumlah pekerja yang mampu memasok ide ini memang tidak perlu banyak-banyak.
Bagi orang tua yang paham, logika ini bisa menjadi pisau bermata dua: di satu sisi, bidang yang membutuhkan pekerja sedikit berarti memberi pendapatan yang besar kepada mereka. Di sisi lain, jadi ada pertanyaan-pertanyaan menyangsikan yang baru: bagaimana perbandingan kebutuhan dan pasokan pekerja, apakah semua lulusan akan terserap? Bagaimana dengan faktor non teknis seperti jejaring, bakat, semangat atau modal nekat mempengaruhi kualifikasi kerja, seberapa besar kesempatan tenaga kerja tanpa ijasah film masuk ke dalam industri? Bagaimanakah sertifikasi di bidang film? Jawaban singkat: belum ada; profesi pembuat film bukan—atau belum—menjadi profesi formal seperti dokter, insinyur atau pengacara yang membutuhkan sertifikasi. Secara legal, semua orang boleh membuat film.
Pertanyaan-pertanyaan dan pertimbangan-pertimbangan ini kemudian akan membimbing kita dalam proses identifikasi pengeluaran dan pendapatan dana untuk merancang ketahanan hidup si program: apa saja kebutuhan program dan berapa jumlah investasi yang diperlukan, yang harus seimbang dengan sumber-sumber pendapatan, besaran uang kuliah yang ditentukan, dan lain-lain. Di sini adalah saat penting untuk menentukan karakter dan identitas sekolah film yang sedang dibangun ini.
Di titik ini, sekolah-sekolah yang mendapat subsidi dari pemerintah sepatutnya bisa lebih leluasa mengembangkan arah dan karakter sekolah film yang diinginkan.

Keberadaan Sekolah Film
Ya, jika semua orang boleh membuat film, lalu mengapa ada sekolah film?
Tak sedikit pembuat film jagoan berpengetahuan dan keterampilan tinggi tanpa pernah masuk sekolah film. Semua buku dalam kurikulum sekolah film bisa dibeli di toko buku, semua pengalaman membuat film bisa diperoleh dengan latihan sebanyak-banyaknya. Seperti bidang-bidang media dan kreatif lainnya, kesempatan membuat film tidak pernah tergantung pada ijasah dan transkrip nilai yang mengukur pengetahuan dan keahlian para pelaku industrinya, tetapi akan tergantung pada pemahaman, pengalaman, portfolio, dan jejaring mereka. Banyak yang bilang: “Sekolah film membuang-buang uang, kunci belajar film adalah disiplin.”
Kunci belajar bidang apa pun adalah disiplin, dan kira-kira karena itulah kita menyebut proses pencarian kebenaran di setiap bidang sebagai “disiplin ilmu”. Perguruan tinggi berusaha membentuk disiplin itu dengan menyusun sistem urutan bahan pembelajaran, pertemuan di kelas, tugas bacaan, tugas menonton film, pekerjaan rumah, tugas praktek, evaluasi pekerjaan rumah, evaluasi proses praktek dan persidangan hasil praktek yang telah selesai, lengkap dengan pengaturan sistem penilaian, serta dorongan semangat dan komentar yang menyayat untuk setiap keberhasilan dan kekurangan pada tugas-tugas ini.
Sekolah film harus membimbing mahasiswa memiliki komoditas mereka sendiri—pemahaman, pengalaman, portfolio dan jejaring—sejak semester pertama mereka kuliah hingga lulus. Dari kegiatan perkuliahan, mereka juga mendapatkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan membaca situasi dan membuat keputusan, serta—sukur-sukur—selera. Semua ini akan membantu mereka mendapatkan hasil akhir yang sedekat mungkin dengan yang mereka inginkan.
Fakta bahwa tidak semua mahasiswa film bisa bertahan dengan disiplin ini menegaskan bahwa sutradara bagus tanpa ijasah dan pengalaman sekolah film adalah orang yang sungguh berdisiplin pada tujuan hidupnya. Jika seseorang sudah memiliki keteguhan hati seperti itu ditambah dengan akses kepada bahan-bahan pembelajaran serta jaringan pendukung lainnya, tidak ada keraguan lagi, baginya masuk sekolah film hanya membuang-buang waktu dan uang.
Masalahnya, untuk kebanyakan orang, memiliki tugas bacaan pun belum tentu membuatnya membaca.

Identitas Program Studi Film
Jika sekolah film adalah sebuah sistem disiplin, ke mana tujuannya?
Ada calon mahasiswa yang ingin menjadi sutradara, sinematografer atau penulis naskah. Ada yang datang bercita-cita bikin film laga, dokumenter, fiksi ilmiah. Ada yang terinspirasi Laskar Pelangi, ada juga drama Korea. Ada yang ingin punya uang membuat film iklan, ada juga yang baru masuk tapi sudah tahu Akira Kurosawa. Semua keinginan dan cita-cita remaja ini akan berkembang segera, dan sekolah film yang lengkap seharusnya mampu melayani semua minat yang ada. Tapi kapasitas manusia dan ukuran sekolah membatasi cakupan semua hal dengan lengkap, dan pada akhirnya semangat pendirian dan perbedaan akses setiap sekolah terhadap sumber daya membuat kekuatan, arah dan tujuan disiplin setiap sekolah pun berbeda-beda.
Di negara dengan industri film maju pun kita sering mendengar mitos-mitos perbedaan kekuatan ini, dan semua mitos ini tentu bisa dikonfirmasi dengan memeriksa secara detail penjelasan dalam situs internet mereka. Di Amerika, misalnya, sekolah film di New York University (NYU) konon bersemangat melahirkan pembuat film yang personal dan diskursif, sedang University of Southern California (USC) semangatnya lebih menghasilkan sutradara blockbuster. Di Inggris, London Film School dikenal keras dalam mendidik prosedur dalam industri, sedangkan Raindance Film School menarik bagi pembuat film gerilya karena semangatnya mendidik pembuat film dengan modal dengkul.
Beberapa negara mensubsidi sekolah film terbaik: Belanda punya Nederlandse Filmacademie, dan di Korea memiliki Korean Academy of Film Arts (KAFA): Sekolah terakhir tidak memberi gelar akademis, tapi mendidik setiap mahasiswanya habis-habisan untuk menghasilkan portfolio masterpiece, dengan mitos mahasiswa akan langsung dikeluarkan jika absen dalam satu sesi kuliah.
Untuk pencari sekolah film di Indonesia, situs internet pun bisa menjadi jalan membandingan arah dan tujuan masing-masing sekolah film. Hal yang memudahkan bagi pencari informasi sekolah film adalah kewajiban bagi seluruh pengelola program studi untuk mencantumkan arah dan tujuan atau visi dan misi mereka di situs program studi masing-masing. Di sekolah-sekolah luar negeri, situs-situs ini biasanya lebih informatif karena mencantumkan susunan kurikulum, fasilitas serta profil latar belakang akademis dan penghargaan pengalaman kerja dan daftar penghargaan yang telah diperoleh para pengajar mereka.
Akses mendapatkan dosen yang memiliki kualifikasi akademis sekaligus pengalaman bekerja dalam industri pasti lebih memberatkan bagi sekolah film di daerah, dan kesenjangan akses seperti ini tentu terjadi kurang lebih di seluruh sekolah film di dunia. Kondisi ini diperparah lagi dengan akses produksi karena produksi film sebagian besar diakukan oleh orang Jakarta. Relasi pusat-daerah kita juga punya kesenjangan akses konsumsi: 52% bioskop kita berada di Jakarta dan sekitarnya. Di titik ini, pendirian sekolah film baru di daerah menjadi menarik. Jika kebutuhan dari daerah itu sendiri saat ini belum ada, saya berharap motivasi di belakang keputusan mendirikan sekolah-sekolah ini adalah usaha mendorong terciptanya infrastruktur “industri” film di daerah.
Pada bulan Maret 2014, jika kita memasukkan kata kunci “film” di laman milik Direktorat Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, maka akan muncul tujuh perguruan tinggi yang memiliki ijin program sarjana yang terkait dengan film: Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, ISI Surakarta, Universitas Bina Nusantara (Binus), ISI Padangpanjang, Insititut Kesenian Makassar, dan Universitas Jember. Dua perguruan tinggi menawarkan program diploma 4, yaitu ISI Denpasar dan STSI Bandung. Selain itu ada tiga institusi yang memiliki program diploma 3: yaitu IKJ, Akademi Komunikasi the Next Academy, dan Universitas 45 Surabaya. Kebanyakan sekolah ini memperoleh ijin dari Kemendikbud sebagai pengelola program “Film dan Televisi” atau “Televisi dan Film”, hanya Binus yang ijinnya tertera sebagai “Film”.
Keputusan memandang terkait atau independennya bidang studi televisi dan film memang merupakan masalah pelik, bukan hanya di Indonesia. Jika program film cerita atau dokumenter televisi dan bioskop tidak terlalu jauh berbeda, program-program musik hidup, talk show, variety show, news, quiz, dan lain-lain membutuhkan keterampilan produksi, perencanaan dan penjualan yang berbeda dari keterampilan film. Saya sepakat bahwa program studi film dan televisi bisa bersama-sama di bawah satu fakultas, karena pendidikan kedua media itu banyak menggunakan infrastruktur yang sama, namun mereka sebaiknya menjadi program studi yang berbeda karena pemahaman dan keterampilan yang diharapkan dari kedua bidang ini sangat berbeda. Di beberapa kampus seni, keluarga film dan televisi juga mencakup prodi fotografi. Beberapa sekolah menyebut keluarga ini sebagai fakultas atau jurusan “media rekam”.
Di titik ini kita sampai pada masalah tradisi keilmuan, menyadari betapa film adalah sebuah ilmu interdisipliner. Dalam kecenderungan pertumbuhan ilmu pengetahuan saat ini, interdisipliner adalah suatu yang baik. Latar belakang ilmu yang berbeda-beda memang selayaknya semakin saling memperkaya dan memperdalam kajian-kajian yang ada. Masalah film versus televisi yang muncul menjadi pintu masuk perhatian kita terhadap sejarah perkembangan ilmu film ini. Pengkajian naskah dan penyutradaraan film biasanya tumbuh sebagai minat di program sastra, sedangkan kajian film sebagai propaganda, bersama dengan kajian televisi awalnya dilakukan di prodi komunikasi massa. Penamaan bidang media rekam dan kenyataan mereka dibuka di institut kesenian seperti disebutkan di atas menunjukkan sisi teknis film diharapkan dipelajari dalam sekolah seni. Kajian visual film dan tradisi penciptaan juga merupakan tradisi sekolah seni.
Dari sudut pandang ijin, kelihatannya pihak Dirjen Dikti Kemendikbud tidak begitu mempermasalahkan ingin diletakkan di mana prodi film yang dibangun, selama bisa menyesuaikan dengan pengelolaan infrastruktur yang dimiliki oleh universitas yang bersangkutan dan yang dibutuhkan oleh program itu. Masalahnya sekarang adalah kemana meletakkan arah sekolah film ini. Permintaan dan tantangan apa yang ingin ia pecahkan? Kebutuhan memperbanyak ahli terampil dalam teknik-teknik film yang banyak spesialisasinya, atau jagoan dalam crafting bercerita dengan gambar? Kebutuhan menghasilkan pembuat film yang melahirkan karya-karya penting bagi masyarakatnya? Kebutuhan menghasilkan pembuat karya film besar seperti di KAFA? Atau ingin menghasilkan lulusan pengkaji film?
Di banyak sekolah film di dunia, kita bisa melihat dua ekstrim dan negosiasi di antara keduanya: Ekstrim pertama menekankan hanya keterampilan membuat film dengan sedikit kelas yang mengajarkan pengkajian dan usaha pemahaman. Ekstrim kedua hanya memberikan pemahaman mengenai keputusan-keputusan estetika dan pernyataan yang ingin disampaikan oleh pembuat film, namun tidak menyediakan kelas-kelas yang melatih keterampilan membuat film itu sendiri.
Pada saat kita sudah memutuskan untuk kuat di salah satu arah ini, misalnya, terdapat tantangan baru. Jika ingin kuat di keterampilan atau crafting, bidang apa yang harus paling kuat? Menyutradarai, menulis naskah, atau memproduksi film? Kekuatan teknis apa yang paling harus dimiliki seorang pembuat film?
Banyak mahasiswa datang membawa semangat visual, artinya dia cocok menjadi ahli kamera dan sinematografer. Mahasiswa lain memiliki kekuatan audio atau musik, sangat cocok menjadi ahli tata suara. Mahasiswa yang lain datang dengan kematangan temporal dan ritmik, terlihat cocok menjadi editor film. Jika memang seorang mahasiswa ingin menjadi pembuat film secara general, biasanya terdapat apa yang disebut segi tiga produksi, yang semuanya membutuhkan kematangan konseptual: antara sutradara, penulis naskah dan produser. Masalah ketika sudah ada di titik ini adalah menambah kekuatan terhadap bentuk film yang dicita-citakan si mahasiswa: apakah dia lebih ingin membuat film fiksi, dokumenter, atau animasi?
Jika ingin kuat di teori, estetika dan pengkajian, kekuatan konseptual apa yang ingin dikuatkan? Jika itu tradisi estetika dari sekolah seni, maka perlu menentukan pemahaman konsep visual atau tata suara. Jika ingin menguatkan pemahaman akan narasi, mungkin lebih cocok menguatkan ilmu-ilmu kesusastraan. Jika ingin lulusan kuat dalam pernyataan dalam film mereka, mungkin sekolah perlu memperkuat ilmu sosial dan kebudayaan.
Jika sekolah ini besar, memiliki kekuatan finansial dan menarik banyak mahasiswa dengan minatan yang sama kuat ke semua arah, jalan terbaik adalah membuka spesialisasi penjurusan atau peminatan ke arah-arah yang ada. Seorang mahasiswa bisa memutuskan kekuatan dan spesialisasinya sebelum dia lulus nanti. Jika tidak memiliki kelebihan ini, jalan tengah yang banyak diambil sekolah film adalah memilih salah satu ekstrim atau menempatkan program mereka di tengah-tengah, menyeimbangkan kebutuhan keterampilan dengan kebutuhan memahami bentuk, isi pesan, dan estetika film itu sendiri. Pada akhirnya, di mana letak persis titik tengah yang diambil akan tergantung lagi kepada infrastruktur, sumber daya dan minat para pengelolanya.
Pilihan yang diambil akan mempengaruhi pula cara pengajaran dan kultur sekolah itu, dan pilihan mana pun yang diambil adalah salah satu tantangan bagi pengelola sekolah dalam menemukan pengajar yang cocok. Jika lulusan diharapkan memiliki keterampilan yang kuat, maka pelatihan pembentukan skill ini harus dilakukan dengan disiplin saklek dalam pelaksanaan prosedur kerja yang rinci. Hal ini bisa dimulai dari hal terkecil seperti larangan masuk kelas ketika terlambat masuk satu menit, atau pengurangan nilai ketika ada kesalahan penulisan laporan kegiatan pengambilan gambar. Sebaliknya, jika lulusan diharapkan memiliki konsep yang kuat dan ide yang mengalir deras, cara pengajaran di kelas harus merangsang kebebasan, selalu menempatkan mahasiswa dalam tantangan dan membiarkan mereka sok tahu, menghargai ketidak-biasaan dan gagasan baru, serta siap belajar dari kesalahan.

Ketersediaan dan Karir Tenaga Pendidik
Masalah bidang film yang tradisinya interdisipliner ini akan menjadi sumber sakit kepala ketika mencari tenaga pengajar, seperti terlihat dari paragraf terakhir di atas: harus mencari dosen yang disiplin atau yang merangsang? Terlepas dari pilihan masing-masing sekolah dalam menentukan tujuan, kita harus menemui kenyataan bahwa Kemendikbud ternyata belum terlalu siap menghadapi kecenderungan ilmu modern yang semakin interdisipliner ini. Aturan Kemendikbud mengharapkan dosen pengajar kelas-kelas dalam program sarjana memiliki gelar master, di sisi lain, mahasiswa mengharapkan dosen mereka memiliki pengalaman bekerja di bidang film. Masalah terbesar adalah tidak banyaknya pekerja dalam industri film yang ingin mengambil gelar lebih tinggi: menemukan calon pengajar film yang memiliki gelar master sangat langka. Jika ternyata ada, apakah dia tertarik membagi ilmunya di kelas?
Idealnya, jika kita memiliki banyak pilihan dari para pelaku industri film, mencari pengajar untuk mata kuliah penyutradaraan, kelas sinematografi dan kelas editing mungkin membutuhkan kriteria yang paling spesifik: salah satu gelar akademis yang dimiliki adalah bidang film. Diajarkan oleh sarjana atau master dalam bidang lain, kelas ini akan membuat keseluruhan program tampak tidak ideal, karena kelas yang mengajarkan bidang-bidang ini secara umum hanya diajarkan di program studi film.
Persyaratan kelas-kelas penulisan naskah seharusnya bisa lebih longgar. Seseorang yang pernah bekerja membuat naskah film dan memiliki salah satu gelar pendidikannya di bidang yang mengajarkan cara menulis, seperti program sastra atau komunikasi, mungkin sudah bisa memenuhi kebutuhan ini. Menjadi dosen kelas produksi atau bagaimana menjadi produser juga seperti ini. Ada banyak produser berpengalaman di Indonesia yang latar belakang ilmunya bukan film, tapi telah memiliki kemampuan mengelola sebuah produksi film. Tentu akan ideal jika calon pengajar memiliki pengalaman menjalani kelas produksi film, namun pengalaman dari kelas-kelas di program manajemen, bisnis, atau ilmu sosial dan pengalaman menjalani produksi film seharusnya telah membuat mereka mampu mengaplikasikan ilmunya ke dalam bidang film.
Demikian pula kelas-kelas lain: pengajar dengan latar belakang bidang disiplin lain dimungkinkan, selama pengelola selalu memperhatikan pengalaman dan latar belakang minat dari para pengajar dan calon pengajar ini. Kelak, ketika program pendidikan ini sudah berjalan panjang dan para pengajar telah bisa mengatur pembagian karir membuat film dan karir akademis mereka, kita bisa berharap Kemendikbud memperhatikan karir pengajar yang latar belakangnya multidisipliner.
Tingkat tertinggi dalam karir pendidikan adalah menjadi profesor, dan pemerintah telah mendapatkan banyak pujian terkait gagasan keuntungan bagi dosen yang menjalani proses meniti karir di bidang pendidikan ini. Bagaimana pun, ada banyak ketentuan yang akan menghambat tercapainya gelar professor jika gelar-gelar yang diambil dari bidang yang tidak saling terkait. Dalam situasi bidang-bidang yang membutuhkan latar belakang interdisipliner seperti film, saya menyemangati pemerintah untuk memperhatikan tema tugas akhir, tesis atau disertasi setiap pengajar. Seorang dosen film dengan latar belakang manajemen, tapi dengan konsisten menulis tesis tentang produksi film, atau berlatar belakang ilmu komputer tapi selalu menulis tesis mengenai film animasi, menurut saya pantas dihargai sebagai profesor film pada satu titik dalam hidupnya.

Penutup
Bidang film dalam dunia akademis bukan hanya baru bagi negara berkembang seperti Indonesia, disiplin ini juga relatif muda di dunia akademis secara umum. Perbedaan antara satu sekolah dengan yang lain, pencarian identitas, perbedaan pandangan mengenai kompetensi lulusan, adalah hal yang wajar, dan selalu akan menjadi bahan diskusi yang menarik. Tantangan utama membangun sekolah film di Indonesia adalah belum berkembangnya industri film lokal menjadi sebuah entitas yang membutuhkan dukungan sekolah film. Setiap industri berkembang karena kebutuhan untuk membuat proses kerja mereka menjadi efektif dan efisien, dan setiap industri berusaha menemukan logika “ban berjalan” mereka masing-masing. Apakah industri kita sudah menemukan logika ini? Jika kita bertanya kepada pengamat dan pelaku industri yang berbeda, maka kita akan mendapatkan jawaban yang berbeda. Beberapa pengamat dan pelaku masih percaya bahwa hingga saat ini Indonesia belum bisa dikatakan telah memiliki industri film. Banyak pelaku lain yang optimis percaya bahwa industri kita telah memiliki logika produksi yang khas, dan mereka cukup bangga ketika pembuat atau pengamat atau juri film yang memuji karya film Indonesia selalu menebak biaya produksi film kita tidak jauh berbeda dengan biaya produksi di negara Barat.
Dunia film kita masih punya banyak pertanyaan: keterampilan apa saja yang dibutuhkan oleh industri ini? Apakah jika industri film seri televisi memang menganggap striping sebagai sistem yang efisien, lulusan sekolah film harus terlatih melakukan striping yang benar? Semapan apa logika produksi kita? Sudah adakah gaya pengarahan sutradara lokal yang khas? Atau apakah penyutradaraan film kita memiliki semangat yang sama dengan gaya film tertentu di dalam sejarah film dunia? Bagaimana hubungan biaya produksi tertentu dan penghasilan yang diperolehnya ketika dilakukan dalam genre film tertentu? Apakah sutradara masih harus memiliki pengalaman lima tahun sebagai asisten sutradara dan asisten sutradara harus memiliki pengalaman lima tahun sebagai pencatat adegan, seperti persyaratan membuat film yang kita jalani selama orde baru dulu? Bagaimana cara terbaik membangkitkan industri film di daerah? Ini semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan oleh industri yang sehat, dan sekolah film harus bisa membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan macam itu.