Prison and Paradise: Teroris dan Korbannya di Layar Tak Arbitrer

 

prison-and-paradise_highlight

Barusan saja dirilis sebuah dokumenter tentang insiden bom Bali. Bila ia dibuat secara mekanis, mungkin belum ditonton saja film ini akan sangat menjenuhkan karena khalayak Indonesia sudah kenyang oleh segala wacana tentang Bom Bali dalam kurun delapan tahun terakhir. Tapi dokumenter ini dibuat seafektif mungkin dengan melibatkan beberapa aspek yang merupakan produk mendasar dari insiden terorisme tersebut. Prison and Paradise, begitu judulnya. Ia mempertanyakan apakah itu Islam, yang bukannya membawa solusi namun justru menciptakan anak-anak yatim baru. Baik itu anak para korban yang ditinggal mati orang tua mereka, sampai anak-anak para teroris yang harus terpisah dengan ayah karena sang ayah harus menjalani hukuman.

Butuh waktu tujuh tahun bagi si pembuat untuk merampungkan karya ini. Kabarnya, proses yang lama tersebut habis untuk bernegosiasi dengan para subjek: keluarga teroris, keluarga korban, dan tentu saja seorang analis yang mengerti bidang ini. Prison and Paradise tampil mengesankan karena berani menghela benang radikal terorisme jauh ke dalam lembut lingkung keluarga. Bahwa para pelaku bom Bali, dengan dasar teoretis sekuat apapun untuk menggelar aksinya, tetaplah meninggalkan keluarga di belakang, yang tak pelak juga adalah hasil dari kelakuannya sendiri. Memilih syahid berarti membiarkan anak-anak mereka tumbuh tanpa ayah.

Selama ini, diskursus terorisme yang dihembuskan media selalu menghitam-putihkan Islam dan non-Islam, teroris, dan para korban. Untuk menghidari cap hitam-putih itu, Rudi (sutradara) mempersempit persepktif menjadi Islam saja. Ia memamerkan banyak sekali dialektika internal agar wacana film tidak melebar ke sana sini. Dengan cergas, ia memilih untuk mempertentangkan teroris yang menganut islam dengan non-pelaku yang juga memeluk islam. Karena dengan kesamaan dasar berfikir, diskusi bisa dilangsungkan. Bayangkan bila yang berdebat adalah pihak Islam versus pihak non islam, sampai lima kali kiamat pun tak akan selesai.

Para teroris diwawancarai dan dengan gesit mengemukakan ayat ini dan itu untuk membenarkan aksinya. Sementara di lain waktu dan tempat, Rudi selalu kembali meminta pendapat Noor Huda Ismail, seorang pakar terorisme yang juga pernah berkawan sekolah dengan para teroris. Saya tidak bisa menyebut bahwa dialektika teroris-Noor Huda ini adil, sebab jelas ia tidak adil. Sepanjang film, hanya Noor Huda yang bebas mengomentari pernyataan-pernyataan para teroris sementara para teroris tidak diberi kesempatan untuk menganalisa balik pernyataan Huda. Sadar atau tidak sadar, Rudi telah menempatkan Noor Huda Ismail sebagai sosok adiduniawi dalam filmnya; yang mengerti segalanya dan kebal terhadap kritikan. Secara naratif, Prison and Paradise mengajak kita untuk arbitrer dengan diantar berjalan-jalan ke tempat mukim keluarga teroris dan keluarga korban, lalu ke bui tahanan dan rumah Noor Huda. Tapi pada dasarnya, pijak pandang film ini sendiri tidak arbitrer. Itu seperti mengajak orang melakukan sesuatu yang kamu sendiri tak sudi melakukannya.

Noor Huda Ismail juga mengkhawatirkan perkembangan psikologis anak yang akan terganggu seiring proses tumbuh mereka yang berlangsung tanpa sosok ayah. Waktu bom Bali meletus, anak-anak itu pasti masih berumur sekitar dua tahun. “Bagi anak-anak itu, kita sebagai orang tua adalah dunianya”, ujar Noor Huda untuk membuktikan bahwa tumbuh tanpa ayah yang berlatar pada tindak kriminalitas akan menjadi pengalaman traumatis tersendiri bagi sang anak. Tetapi teori hanya tinggal teori, prediksi jua prediksi, delapan tahun anak-anak ini tumbuh tanpa ayah, namun tak ada satupun kelainan psikologis yang mampu ditampilkan oleh film. Gambar yang terekam adalah mereka yang gembira, mereka yang berangkat sekolah, mereka yang bercita-cita menjadi angkasawan seperti juga teman-teman “normal” lainnya. Kekhawatiran akan abnormalitas psikologis justru terkesan hanya menjadi bualan orang-orang tua semata. Ketika ditanya mengenai kekhawatiran terbesarnya, seorang janda korban Bom Bali menjawab, “kesulitan terbesarnya adalah masalah ekonomi.” Tep! Bukan psikologis! Lebih parah lagi, jangan-jangan prediksi psikologis ini hanya menjadi cakap besar para pakar saja. Sebab itulah yang berhasil terekam dalam Prison and Paradise.

Di lain sisi, Prison and Paradise harus diakui sebagai film yang sangat signifikan. Ia adalah satu dari sangat sedikit dokumentasi mengenai para teroris dengan pemikiran mereka yang subtil dan diaplikasikan secara teguh ke dalam tindak nyata. Meskipun Rudi mengakui bahwa gaya dokumenternya sangat terinspirasi dari cara bertutur cinéma vérité, tapi tidak berlebihan bila saya katakan bahwa Prison and Paradise adalah dokumentasi yang puitis, dengan pendekatan yang tentu tidak semua orang bisa meraih previlese itu. Ia penting sebagai sebuah dokumentasi. Meskipun meloncat dari satu keluarga ke keluarga lain, Prison and Paradise tak pernah menguak kedekatan dramatis apapun dengan subjeknya. Sebab memang bukan itu yang dicari. Bukan sebagai dokumenter puitis, Prison and Paradise berhasil tampil sebagai dokumentasi yang puitis.

Prison and Paradise | 2010 | Sutradara: Daniel Rudi Haryanto | Negara: Indonesia | Pemain: Imam Samudera, Amrozy, Noor Huda Ismail, Ukhti Titin, Mukhlas