Pendidikan Mulai dari Rumah: Mengenal Film-film Antikorupsi Lasja Susatyo

film-korupsi-lasja-susatyo_hlgh

Dalam keriuhan upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi yang seakan tak kunjung surut, kita sebagai anak bangsa tak pantas mengabaikan bahaya laten korupsi. Melalui rumah produksi Cangkir Kopi, Lasja Fauzia Susatyo mencoba menyibakkan gejala korupsi yang mewabah di negeri ini. Ada dua film bertema antikorupsi yang disutradarai perempuan kelahiran 10 Oktober 1970 ini: Aku Padamu (dalam omnibus Kita Versus Korupsi, September 2012) dan Sebelum Pagi Terulang Kembali (Mei 2014).

Kekhasan kedua film yang produksinya disokong oleh Transparency International Indonesia serta KPK ini adalah berkisah dengan pendekatan realis. Cerita dibangun dan diketengahkan dalam gambaran relasi interpersonal, antara dua atau lebih karakter yang hangat bahkan intim. Melalui pengadeganan yang menumpukan kekuatan dialog dan akting natural, silang-sengkarut korupsi yang menggerogoti kekokohan keluarga diungkap secara utuh.

Mari kita kupas satu per satu.

gambar_film-anti-korupsi-lasja_01

Jalan Sunyi Perjuangan Melawan Korupsi

Dalam durasi 16 menit, Aku Padamu mengantarkan kita pada keceriaan sepasang kekasih yang mendobrak kekakuan lingkungan sosial terdekatnya. Tokoh Laras (Revalina S Temat) yang membangkang dari ayahnya bersepakat dengan Vano (Nicholas Saputra) untuk menikah secara diam-diam.

Laras yang sejak kecil dekat dengan ayahnya, mengenal kebiasaan buruk sang papa yang identik dengan pola hidup koruptif. Laras akhirnya merahasiakan hubungan pribadinya dari ayahnya hingga menjelang ia dan pacarnya bersiap mengurus administrasi pernikahan ke KUA, Kantor Urusan Akadnikah, eh, maksud saya Kantor Urusan Agama. Ketika mereka menemui masalah berkas persyaratan, Laras dengan ringan menjawab pertanyaan Vano soal kelengkapan Kartu Keluarga. Sambil menggeleng, dia menanggapi, “Kan di Papa…”

Berayah seorang kepala sekolah dasar tempatnya dulu belajar, Laras ingat betul ‘kebijakan wajib’ uang tambahan bagi calon guru tetap. Guru favorit Laras, Pak Markun, enggan memenuhi ketentuan itu. Akibatnya, Pak Markun tak berhak mengajar di sekolah. Tugas mengajarnya di kelas Laras dialihkan kepada seorang guru yang berstatus pengajar tetap.

Akhirnya Pak Markun (diperankan Ringgo Agus Rahman secara lugu, lucu, tapi mengharukan) hanya bertahan sebagai guru honorer. Namun ia memiliki semangat mendidik yang besar. Dengan membadut, ia menarik minat Laras kecil dan siswa lainnya untuk belajar di ruang terbuka, di bawah pohon nan rindang yang “beratapkan awan dan berlampu cahaya matahari”. Dengan keunikan tokoh Pak Markun seperti ini, tercerap sebentuk jalan sunyi yang dititi oleh sosok-sosok berperilaku jujur. Sebagai seorang guru, kehadiran Pak Markun menegur kita: bila keluarga dan sekolah gagal menyuburkan keutamaan nilai-nilai hidup kepada anak, kepada siapa lagi kita berharap?

Memainkan plot maju-mundur, perdebatan Laras dan Vano di halaman depan KUA bergantian tampil dengan narasi kisah masa kecil Laras. Untaian cerita Aku Padamu seakan menegaskan bahwa seiring waktu, ketika anak bertumbuh dewasa, lingkungan sosial (kantor pelayanan publik, lingkungan kerja, dan sebagainya) kian menjadi-jadi sebagai tempat berjamurnya korupsi. Baik mental korupsi berupa sikap menyalahgunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi, bahkan korupsi yang tercakup sebagai sikap amoral dan tindak pidana.

Hal itu terpantul dari tokoh Vano sebagai replika anak muda yang dengan enteng mangkir dari pekerjaan kantor demi mengurus pendaftaran pernikahannya. Tak urung, perilaku Vano yang juga berkeinginan memakai jasa calo di KUA (Vano menyebut “Pakai orang dalam aja biar cepet”) mengacaukan kemantapan hati Laras. Petilan kisah ini mewakili kebiasaan yang masih hidup di berbagai lembaga pelayanan publik: pengurusan Kartu Tanda Penduduk sampai Surat Izin Mengemudi, tak pelak juga pencatatan sipil di KUA.

Laras, berpijak teladan Pak Markun, bersikukuh menolak memakai jasa calo. Sementara Vano menganggap itu hal sepele dan biasa, Laras setengah nyolot, “Kalau semua orang kayak kamu nih, calo kayak gitu bakalan hidup terus. Semua masalah yang besar itu dari yang kecil!”

gambar_film-anti-korupsi-lasja_02

Korupsi Bertapal Kolusi

Dalam Aku Padamu, Lasja F Susatyo sempat beretorika bahwa “Kamu adalah cerminan dari rumahmu”, Sebelum Pagi tak hanya melukiskan rumah sebagai wadah berkumpulnya perwakilan ciri manusia Indonesia. Didukung oleh M Abduh Aziz pada ide cerita dan penulis skenario Sinar Ayu Massie, keluarga dideskripsikan pula sebagai prasyarat—kondisi yang sangat penting dan genting dalam menentukan kualitas masyarakat kita yang dilingkupi penyakit korupsi.

Di satu pagi nan cerah, seraya menyibakkan jendela Yan menyapa sopir pribadinya yang tengah mencuci mobil. “Selamat pagi. Sudah sarapan, kan?” Diperankan oleh Alex Komang, Yan adalah tokoh kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai Dinas Perhubungan. Dia beristrikan Ratna (Nungki Kusumastuti), pendidik filsafat di sebuah universitas terkemuka di Jakarta. Kehidupan suami-istri ini digambarkan cukup berada dengan tiga anak yang telah dewasa. Eyang Susi Soendari (Maria Oentoe), ibu Ratna, juga tinggal di rumah itu.

Sementara Yan, Ratna, dan anak bungsu mereka, Dian (Adinia Wirasti) bercengkerama di meja makan, Firman (Teuku Rifnu Wikana) melangkah pelan hendak memasuki rumah. Seperti lelah dan meragu, direbahkannya dua kopor yang terasa begitu berat. Baru satu langkah kaki, tapaknya terhenti di muka pintu masuk. Berpakaian sederhana dengan celana jins belel, anak tertua di keluarga ini terlihat kikuk, sungkan.

Adegan pembuka film Sebelum Pagi itu menggambarkan sebuah keluarga Indonesia, khususnya di kota besar, di tengah geliat modernitas yang melatarinya. Yan adalah figur seorang pejabat publik yang lurus. Ratna, ialah dosen yang pandai berceramah guna mengajarkan paham-paham etika dan norma sosial di hadapan mahasiswa. Namun demikian, mereka tak mampu menjauhkan anak-anaknya dari jaring korupsi yang berselubung keramahan, tapi sesungguhnya bertapal kolusi.

Firman, si anak pertama yang baru berpisah dari istrinya, bermaksud kembali ke pangkuan keluarga, bertemu ayah-ibunya. Lepas dari istrinya, Firman masih tunakarya. Berlatar belakang itu, gerak-laku tubuh Firman yang dilakonkan dengan baik oleh Teuku Rifnu Wikana menyiratkan rasa malu dan rendah diri. Firman tak sesukses Satria, adiknya, yang dalam penuturannya, “bisa bantu-bantu keluarga”. Tak pelak, ayahnya lebih membanggakan Satria ketimbang dirinya.

Dalam obrolan hangat di ruang makan, Yan dengan terbuka meminta bantuan Satria untuk memperbaiki proposal pembangunan pelabuhan Muara Tanjung. Bahkan Satria diminta oleh ayahnya mencarikan aktivitas untuk Firman. Berkebalikan dengan citra karakter Firman, laku dramatis Fauzi Baadila yang berkesan pede, cukup wajar melukiskan tokoh Satria sebagai politisi yang tengah naik daun, energik, giat,dan dinamis.

Namun, taktik dan rayuan Hasan akhirnya berhasil meloloskan Satria—si anak kedua, seorang pemuka aktivis partai—menjadi kepala subkontraktor pembangunan pelabuhan Muara Tanjung. Secara perlahan tapi meyakinkan, kita baru dibuat mengerti, itu dicapai lewat kolusi Hasan dengan dua rekannya di DPR, Sigit dan Sasmita, demi meraup keuntungan pribadi.

Firman akhirnya terseret pusaran korupsi yang berpusat di Satria. Saat melakoni tugas yang ditawarkan Satria untuk menyetorkan satu-dua gepok bungkusan uang, Firman sesekali tampak cemas dan bimbang. Saat neneknya mempertanyakan mengenai pekerjaannya, Firman kesulitan dan sekadar mengelak, “Ya, yang penting kan aku kerja. Dapat uang. Bukannya itu yang semua orang mau di sini…” Di tengah rasa malu dalam keluarga dan tuntutan untuk menghidupi kedua anaknya yang bersekolah, ia tetap meneruskan pekerjaannya yang ia sebut sebagai “undercover” itu.

gambar_film-anti-korupsi-lasja_03

Ciri Manusia Indonesia dalam Dua Film Antikorupsi

Dalam sebuah pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 16 April 1977, Mochtar Lubis menguraikan sedikitnya enam ciri utama manusia Indonesia.[i] Pokok ceramah yang mengundang beragam tanggapan ini penting disimak bertalian dengan kerentanan sikap hidup bangsa kita dari jerat budaya korupsi. Dari keenam ciri, empat sangat relevan diungkapkan untuk mengupas gambaran sejumlah tokoh dan pergulatannya dalam kedua film tersebut.

Pertama, munafik atau hipokrit. Kecenderungan ini berakar pada sistem kolonial dan feodal masa lalu yang menebas inisiatif rakyat. Apa yang menjadi kegelisahan, keinginan, hingga ide atau uneg-uneg perasaan dan kehendak menjadi cenderung disembunyikan ketimbang diutarakan. Dampak buruk yang merugikan diri sendiri bila berpendapat secara jujur membuat masyarakat kerap berpura-pura: lain di muka, lain pula di belakang.

Kedua, segan dan enggan bertanggung jawab. Manusia Indonesia acap berkilah dengan ucapan “Bukan saya”. Hierarki dalam tatanan organisasional ialah lingkungan produktif yang melahirkan sikap ini. Jika seorang kepala lembaga mengetahui usahanya kolaps, ia tidak merasa bertanggung jawab, alih-alih berkata “Bukan saya” dan melimpahkan kesalahannya pada pihak lain di bawahnya.

Ketiga, sikap dan perilaku feodal. Masa penjajahan boleh jadi sudah berakhir di bumi nusantara beberapa dekade lalu. Tetapi bibit yang tersebar dan disisakan berkecambah dalam rupa tindak-tanduk feodal baru, yang kala itu dicatat Lubis sebagai slogan “Asal Bapak Senang” (ABS). Sudah penguasa tak mudah menerima kritik, pihak lain juga kelu dan kaku untuk melontarkan sanggahan.

Keempat, berwatak lemah. Karakteristik ini sulit dibantah; ia melekat erat pada manusia Indonesia. Di samping ketiga ciri sebelumnya, masyarakat kita mudah menyurutkan keyakinan ketimbang mempertahankannya, dan melepas sebuah prinsip pandangan/nilai hidup supaya dapat bertahan. Selain pelacuran intelektual, sikap ABS ialah contohnya.

Menonton film-film antikorupsi Lasja Susatyo pada masa sekarang mengingatkan kembali akan catatan-catatan Mochtar Lubis pada masa silam. Kedua karya ini terpisah empat dekade lebih. Selama itu, manusia Indonesia ternyata tidak banyak berubah.

Karakter Vano dalam Aku Padamu memantulkan ciri manusia Indonesia yang melalaikan tanggung jawab pribadi. Ketika dihubungi atasannya via telepon untuk suatu keperluan, Vano beralasan sedang mengambil masa cuti. Tak mau ambil pusing, ia melempar tanggung jawabnya kepada seorang rekannya yang bernama Darul. Perilaku Vano seperti ini mengungkapkan mental korupsi yang berbungkus kata-kata “Bukan saya” sebagai cara melimpahkan kesalahan dan tanggung jawab kepada orang lain.

Dalam Sebelum Pagi, budaya kantor tempat Yan bekerja menampakkan nuansa feodalisme. Himawan selaku ketua tebal telinga terhadap tanggapan Yan menyoal keterlambatan pelaksanaan proyek pelabuhan di Muara Tanjung. Sementara Yan hendak mengungkapkan secara jujur prosedur profesional dalam tahapan pengerjaan proyek, Himawan melengos dan lalu meninggalkan ruangan rapat.

Satria, Firman, dan Hasan adalah tipikal manusia Indonesia yang berwatak lemah. Demi bertahan hidup, mereka lumpuh oleh tujuan pemenuhan kebutuhan praktis. Sungguhpun mereka berlatar belakang pemuda yang cerdas dan berwibawa. Sebuah dialog Satria menyatakan, “Saya orang yang tepat. Kita keluarga yang bermartabat.” Ironisnya, nilai-nilai dasar hidup menyangkut etika, kejujuran, dan moral yang baik malah tersisihkan oleh impian menggenggam prestise tinggi.

Hasan, yang dahulu adalah aktivis mahasiswa, nyatanya juga tergelincir dalam tindak-tanduk selaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang culas dan rakus. Karakter Sigit lalu mencerminkan sikap anggota DPR yang mudah menyangkal kesalahan diri, sekalipun telah tertangkap oleh tim penyelidik KPK setelah kedoknya terbongkar. Merasa tak bersangkut-paut langsung, di depan puluhan wartawan, Sigit hanya beralasan yang menyarankan sebuah sikap munafik.

gambar_film-anti-korupsi-lasja_04

Memahami untuk Membasmi Korupsi

Dibandingkan Aku Padamu yang berformat film pendek, Sebelum Pagi lebih lugas dan runtut mengungkap masalah korupsi. Sebelum Pagi juga lebih komprehensif mengupas geliat tindak pidana korupsi dan ancamannya bagi keluarga. Struktur tiga babak yang biasa diterapkan sebagai pola berkisah film-film cerita keluarga tepat dipakai dalam film ini untuk membumikan isu korupsi kepada publik. Dapat dicermati beberapa bentuk tindak pidana korupsi yang terungkap sepanjang film.

Merujuk ketentuan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pemberantasan Pidana Korupsi, tindakan itu setidaknya mencakup suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.[ii]

Tokoh Dian, anak bungsu perempuan di keluarga tersebut, mengilustrasikan bahwa gratifikasi dapat menjerat siapa saja, dalam rupa apapun bahkan menjadikan siapapun sebagai objek gratifikasi.[iii] Sebelum Pagi memperkenalkan kita bahwa hubungan Dian dengan Hasan, anggota DPR yang mengurusi proyek bersama Dinas Perhubungan, adalah wujud gratifikasi yang membuatnya jadi ‘korban sirkus politik’ Satria, kakaknya. Inilah hilir yang mengguncang kedamaian keluarga itu. Dan korupsi adalah biang kerok perusaknya.

Walhasil, terlepas dari kekuatan pengadeganan yang renyah dan memudahkan pemahaman tentang tindak pidana korupsi, Sebelum Pagi memiliki beberapa kelemahan teknis. Terutama penataan gambar yang kurang halus dalam merangkai perpindahan dan kelanjutan segelintir adegan. Namun sebagai film edukasi, jejak dan corak budaya korupsi yang telah diangkat di Aku Padamu berhasil dikembangkan dan digambarkan secara lebih terang dalam Sebelum Pagi.

Meminjam perspektif Budi Darma soal moralitas dalam sastra, karya sastra yang baik adalah yang menggambarkan kenyataan yang kerap berlaku tak sejalan dengan ketentuan moral.[iv] Begitu pula dua film arahan Lasja Susatyo ini. Keduanya justru mengungkapkan realitas yang nyata adanya, bahkan kenyataan yang buruk, tentang kebobrokan representasi manusia Indonesia yang berkubang di lumpur korupsi.

Alih-alih frontal mengajak penonton melangkah pada rel kejujuran dengan menyunggi etika, keberadaan tokoh-tokoh protagonis diposisikan sebagai mereka yang tersisih, pasif, bahkan hampir keok di hadapan wajah-wajah korupsi. Kedua film ini secara meyakinkan menyadarkan kita dari bahaya bibit korupsi yang harus segera dibasmi. Perjuangan itu perlu diawali dari lingkungan terdekat. Sebelum semuanya terlambat.

Kedua film antikorupsi karya Lasja Susatyo, Sebelum Pagi Terulang Kembali dan Aku Padamu (dalam omnibus Kita Versus Korupsi), dapat ditonton di kanal Youtube milik KPK.

[i] Lihat Mochtar Lubis. 2001. Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

[ii] Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami untuk Membasmi: Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. Hal. 4–5. Bisa diunduh di sini.

[iii] Lihat Muhardiansyah, Doni, dkk. 2010. Buku Saku Memahami Gratifikasi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. Bisa diunduh di sini.

[iv] Budi Darma. “Moral dalam Sastra” dalam Andy Zoeltom (ed.). 1984. Budaya Sastra. Jakarta: CV. Rajawali. Hal. 79–80.