Dasawarsa ini, isu lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, dan queer (LGBTIQ) menjadi isu yang tidak terhindarkan di kota-kota besar dunia, termasuk Jakarta. Q! Film Festival (Q!FF), festival film yang bermula dari kegiatan nonton bareng ini, dideklarasikan pertama kali oleh tujuh orang jurnalis pada 2002. Pada masa itu, kegiatan yang diselenggarakan meliputi penayangan film dengan tema besar LGBTIQ untuk kalangan sendiri. Pada perkembangan selanjutnya, Q!FF menawarkan ruang alternatif untuk ‘pembahasan’ mengenai LGBTIQ, gender, Hak Asasi Manusia (HAM), dan HIV/AIDS di kota-kota besar Indonesia, salah satunya Jakarta.
Pertama kali diselenggarakan pada 2002, Q!FF tak bisa dibilang tumbuh dan besar tanpa konflik—lagipula, siapa di dunia ini yang tidak hidup dengan konflik? Konflik terbesar Q!FF terjadi pada 2010, pada hari ketiga festival, ketika Front Pembela Islam (FPI) datang berunjuk rasa depan Goethe-Institut, salah satu titik pemutaran Q!FF di Jakarta. Peristiwa ini lantas mengubah rencana perjalanan Q!FF. Menurut Direktur Festival Q!FF saat ini, Hally Ahmad, Q!FF 2010 dirancang sebagai festival terbesar pertama yang pernah mereka langsungkan. Sayangnya, tamu-tamu tak diundang tersebut menyebabkan segala akibat yang nyaris menggagalkan keberlangsungan hidup festival.
Esai singkat ini membahas ruang alternatif yang Q!FF tawarkan selama sejarah penyelenggaraannya. Pertanyaan kuncinya: bagaimana Q!FF, dalam konteks 2010 sampai tiga tahun setelahnya, yang menawarkan ruang alternatif untuk mengarusutamakan isu LGBTIQ justru tidak mendapat ruang di Jakarta? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya membagi esai ini dalam dua pengembangan gagasan. Bagian pertama membahas pelabelan diri yang mengakibatkan persinggungan dengan pihak yang berseberangan. Bagian selanjutnya membahas ruang gerak yang tersegmentasi dalam kaitannya dengan pelabelan diri, serta akibat-akibat yang timbul setelah persinggungan.

(Kon)Front(asi) Pembela Islam
Barangkali, berita mengenai Q!FF diserbu FPI pada 2010 pernah singgah di telinga Anda. Peristiwa ini masih membekas dalam ingatan saya. Dari layar kaca, saya melihat demonstrasi kalangan Jubah Putih tersebut di depan sebuah lembaga kebudayaan asing. Saat itu, saya tidak tahu pasti duduk persoalan yang menyebabkan kalangan Jubah Putih itu beraksi menuntut (atau lebih tepat ‘memaksa’?) kebenaran versi mereka. Belakangan saya baru sadar bahwa demonstrasi FPI lima tahun silam terkait dengan isu seksualitas.
Saya menyaksikan kembali peristiwa penyerbuan Jubah Putih empat tahun kemudian, melalui dokumentasi video yang ditayangkan pada pembukaan Q!FF 2014. Kali ini, saya menangkap ada indikasi trauma dalam pelaksanaan Q!FF pada tahun-tahun setelah persinggungan dengan FPI. Menariknya, persinggungan tersebut bukan lagi persoalan FPI yang datang—mereka memang lebih sering kurang kerjaan—tetapi justru persoalan identitas Q!FF yang terbilang nyentrik dan unik. Saking nyentrik dan uniknya festival film satu ini, kalangan semacam FPI jadi tergerak untuk ‘menyidang’ dan ‘memberi ultimatum’ berupa petisi.
Ada dua hal dari identitas Q!FF yang paling kentara: pelabelan diri dan isu besar LGBTIQ. Kedua hal ini berjalin kelindan dan membentuk citra publik Q!FF. Istilah queer pada nama festival merujuk pada identitas kelompok yang menjadi fokus (sekaligus keberpihakan) festival ini, yang kemudian diolah panitia menjadi isu-isu turunan yang dibahas melalui program-program festival setiap tahunnya. Perkara identitas inilah, sebagaimana yang dibenarkan Hally Ahmad, yang menjadi motif penyerbuan FPI pada 2010.
Berbicara mengenai identitas, saya jadi teringat dengan Stuart Hall, seorang tokoh Kajian Budaya, yang menyebutkan bahwa, “[i]dentity is not as transparent or unproblematic as we think. […] Identity as a ‘production’, which is never complete, always in process and always constituted within, not outside, representation.”
Penggunaan istilah queer sebagai representasi diri Q!FF ini menjadi menarik mengingat medan makna dari kata queer itu sendiri. Dalam bahasa Inggris, queer dapat dipaparkan sebagai odd atau strange. Dalam bahasa Indonesia, queer diterjemahkan sebagai ‘homoseksual’ atau ‘orang yang aneh’. Salah seorang pemapar teori queer, Pauline Palmer (1993), mengemukakan bahwa, “istilah queer [dapat dimaknai sebagai] ‘orang menyimpang’ yang memiliki asal-usul yang bersifat homofobis.”
Melihat spektrum pemaknaan terhadap queer, tidaklah keliru menggunakan istilah tersebut untuk menjelaskan identitas atau bahkan merepresentasikan kelompok tertentu. Sebaliknya, istilah queer kerap dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menegaskan adanya jurang pemisah antara kedua kategori identitas gender. Pada titik ini, mengutip Judith Butler (1991, 14—15), “[k]ategori identitas [gender] seperti ‘gay’ dan ‘normal’ justru cenderung menjadi instrumen rezim pemerintahan, baik untuk dipakai oleh sistem-sistem penindas dengan tujuan ‘menormalkan’ masyarakat, maupun sebagai tujuan yang diusung demonstrasi oposisi yang berniat membebaskan masyarakat dari penekanan itu sendiri.”
Konfrontasi FPI di depan lembaga-lembaga kebudayaan asing membawa serta tuntutan mengenai moral, yang berlandaskan kitab suci sebagai perangkat keagamaan. Dalam kasus ini, perangkat agama menjadi dalil dan dalih dari tindak-tindak yang dianggap di luar logika sistem. Perangkat agama ini kemudian menjadi institusi yang memegang andil paling besar dalam menciptakan wacana mengenai tabu-tabu, bahwa persoalan moralitas dan kemanusiaan tetap wajib berlandaskan pada nilai-nilai agama.
Sayangnya, negara (yang beragama) ini mengamini bahwa tindakan dan keputusan individual setiap warga negaranya harus sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang telah dibekukan menjadi konvensi. Dengan kata lain, negara membenarkan setiap tindak yang berupaya meluruskan warga negaranya untuk sesuai dengan norma dan nilai tertentu saja, meskipun tindak meluruskan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak-hak privat dan meliputi kekerasan verbal yang tidak jarang diikuti dengan hinaan, kecaman, dan ancaman. Misalnya saja, negara hanya melegalkan perkawinan heteroseksual, tanpa mempertimbangkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang mungkin timbul sebagai akibat pelarangan perkawinan homoseksual.

Hidup Merunduk
Lantas, apakah persoalan besar yang mengemuka setelah FPI memporakporandakan Q!FF 2010? Akibat terbesar pasca persinggungan dengan FPI adalah selama tiga tahun adalah segmentasi ruang yang diciptakan oleh Q!FF. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, demonstrasi dan ultimatum yang terjadi pada 2010 menyisakan trauma. Menurut Sammy Simandjuntak, salah satu anggota Komite Q!FF, penyelenggaraan Q!FF 2010 berlangsung hanya sekitar 20% dari rencana awal. Pada tahun-tahun selanjutnya, dari 2011 sampai 2013, Q!FF mengalami regresi dalam segi publikasi penyelenggaraan. Karena alasan keamanan, jadwal acara dan lokasi festival tidak lagi disebarkan secara bebas dan meluas.
Kemunduran Q!FF dalam segi penyelenggaraan menghadirkan konsekuensi-konsekuensi lanjutan yang pelik. Tujuan awal Q!FF adalah menjadi ruang alternatif bagi isu yang ‘jarang’—bahkan mungkin ‘tidak’—terbahas di festival film atau ruang publik lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, isu LGBTIQ yang diharapkan bisa terkomunikasikan ke publikmalah jadi kian terpinggirkan, seiring dengan menurunnya upaya-upaya Q!FF untuk ‘mengarusutamakan’ isu LGBTIQ beserta isu-isu turunannya.
Bukan hanya permasalahan eksternal yang mengemuka. Setelah Q!FF 2010 selesai terselenggara, internal Q!FF mengalami guncangan hebat pasca persinggungan dengan FPI. Disintegrasi ini sempat menyebabkan melemahnya tubuh Q!FF. Meski demikian, peristiwa ini memantik kesadaran baru Q!FF mengenai diri dan tubuh sendiri. Bahwasanya upaya Q!FF mempertahankan keberlangsungan festival, sejak kali pertama sampai saat ini, merupakan bagian dari pergerakan yang secara umum memperjuangkan HAM, dan secara khusus memperjuangkan ‘diri’.
Sejumlah terobosan terjadi. Ketika mempersiapkan festival tahun 2011, Q!FF mulai membuka relasi terhadap organisasi LGBTIQ lain, serta organisasi atau lembaga yang berkaitan dengan kemanusiaan dan hak asasi manusia. Panitia Q!FF juga mulai menyiapkan pertahanan berupa perlindungan dari aparat keamanan—yang merupakan bagian dari hak warga negara.

Catatan Penutup
Persinggungan antara Q!FF dan FPI mengingatkan kita, bahwa tarik-menarik kepentingan pada 2010 itu bukan lagi mempersoalkan dengan siapa kita berkonflik, tetapi apa yang perlu dipertahankan pasca konflik. Pada hari ini, kita tidak lagi perlu membenci FPI atau kolektif lain dengan fanatisme sejenis, karena mereka hanya memainkan peran sebagai agen pemisah antara ‘diri’ dan ‘liyan’.
Kericuhan Q!FF 2010 menjadi persinggungan kepentingan antara ‘kebenaran’ (yang didukung oleh hukum negara dan agama) yang dibawa oleh FPI, dengan persoalan ‘kemanusiaan’ yang tidak diberikan ruang toleransi, apalagi solusi, yang diusung oleh Q!FF. Pelabelan diri sebagai queer, dalam konteks persinggungan Q!FF dengan FPI, menjadi “situs yang diperebutkan dan direvisi” (Butler, 1991: 19). Pelabelan diri sebagai queer pun sempat mengonstruksi segmentasi ruang (segmented space) yang kian terkotak-kotak, serta menegaskan adanya jarak dan keliyanan—bahwa label ‘queer’ turut pula melanggengkan posisi dua gender lainnya, terutama di Jakarta.
Referensi
Peter Barry. 2002. Lesbian/Gay Criticism dalam Beginning Theory: An Introduction to Literary and Cultural Theory. Manchester: Manchester University Press.
Judith Butler. 1991. Imitation and Gender Insubordination dalam Inside/Out: Lesbian Theories, Gay Theories Diana Fuss, ed.). New York: Routledge.
Diana Fuss. 1991. Inside out dalam Inside/Out: Lesbian Theories, Gay Theories. New York: Routledge.
Pauline Palmer. 1993. Contemporary Lesbian Writing: Dreams, Desire, Differen Berkshire: Open University Press.
Narasumber
Hally Ahmad, Sammy Simandjuntak, Rainda Cuaca, dan rekan-rekan Komite dan Relawan Q! Film Festival
Tulisan ini aslinya dibuat untuk diskusi Self Labelling: Retrospective Q! Film Festival pada Q! Film Festival 2015, diterbitkan ulang dengan sejumlah penyuntingan atas izin penulis.