Pegang Tangan: Hari Raya Lebaran, Budaya Gratisan, dan Senjata Makan Tuan

pegang-tangan_highlight

“Pemanfaatan fasilitas” adalah istilah yang sangat lumrah ditemukan di kalangan masyarakat sekitar penulis (baca: Tangerang). Membawa pulang segenap toiletries dan sandal dari hotel, misalnya. Atau, mengambil tester dengan kuantitas yang melebihi kewajaran. Atau, menggunakan uang negara untuk… ah, itu terlalu jauh. Intinya, istilah “pemanfaatan fasilitas” menjadi pengungsian bagi pelaku yang ogah dipanggil pencuri. Pada kasus pencurian, tidak ada istilah pihak pemberi, melainkan pihak pengambil. Ada hak yang terlanggar secara nyata. Sementara pada kasus “pemanfaatan fasilitas”, berlaku prinsip sukarela dari pihak pemberi. Fasilitas. Gratisan kok. Keduanya distingtif, meskipun sama-sama tak wawas diri.

Alangkah menariknya untuk mengetahui bahwa fenomena “pemanfaatan fasilitas” alias budaya gratisan tidak terbatas pada domisili, melainkan sampai ke pelosok negeri. Film Pegang Tangan mengeksplorasi budaya gratisan dengan menempatkannya pada konteks yang sangat lokal: tradisi salam tempel atau pegang tangan saat Lebaran (diidentifikasi oleh tokoh sebagai Hari Raya) di Kaimana, Papua Barat.

Lupakan pembahasan mengenai tradisi pegang tangan atau salam tempel yang menjadi tajuk film, maupun Lebaran. Keduanya hanyalah hidangan samping di film ini. Adapun hidangan utamanya berupa budaya gratisan yang ditinjau dari dua segi: yang melakukan dan yang berkeberatan. Pemburu gratisan terwujud dalam rupa sepasang sahabat, Debora dan Ratna, yang berkeliaran sepanjang hari untuk jajan dan makan besar. Sementara itu, pihak berkeberatan diwakili oleh nyonya rumah dan ibu dari Debora. Hal yang lantas membuat Pegang Tangan spesial adalah ketidakberpihakannya pada kedua pihak ini. Cerita terasa seperti paparan semata; beginilah anak muda dan begitulah orang tua. Ah, beginilah pihak pelaku dan begitulah pihak berkeberatan terasa lebih pas. Kedua pihak dijabarkan, dan penonton dibiarkan mengidentifikasi diri dalam salah satu peran secara swadaya.

Mari mendalami pihak pelaku. Melalui percakapan Debora dan Ratna, terkuak niat untuk mengunjungi rumah-rumah tetangga demi jajanan gratis. Apabila dirunut, alasan mereka cukup logis. Untuk apa jajan saat ada hari yang menggratiskan semuanya? Toh, kalau tidak ada yang datang, jamuan tetangga terbuang percuma. Mereka pun memutuskan bersama sembari berjalan; rumah mana yang akan didatangi. Sepanjang progresi film, keduanya semakin nekat dan rakus, tetapi semakin tidak logis. Dengan perut yang kian lapar, bukan lagi jajanan yang menjadi tujuan, tetapi jamuan besar. Setelah menjabani sekitar tiga kali salam tempel dan hanya disuguhi cemilan, mereka menemukan satu rumah yang mempersiapkannya. Kepalang rakus, logika yang awalnya kuat kini mereka pertaruhkan. “Kalau kita berganti baju, pasti tidak dikenali, begitu rasionalisasi mereka.

Namun, pihak berkeberatan pun tidak memiliki logika yang lebih baik. Tokoh nyonya rumah merasa risih dengan kelakuan anak muda yang menurutnya tidak tahu malu: salam tempel demi makanan. Kerisihan ini ia bagi dengan ibu Debora yang ternyata berpendapat idem. Hal ini, sebagaimana ide-ide lain dalam Pegang Tangan, dikemukakan secara verbal ketimbang secara visual. Keduanya pun sepakat bahwa wajah-wajah tidak tahu malu ini tidak boleh lagi dijamu di teritori mereka. Namun, mengapa? Apakah ketidaktahumaluan pihak yang dijamu bisa menjadi pertimbangan yang sahih untuk melarang mereka masuk, saat semangat Lebaran yang sesungguhnya adalah berbagi? Toh, makanan yang disediakan orang-orang yang buka rumah cenderung berlebih. Tanpa kerugian ekonomis maupun pahala, hanyalah sentimen yang bisa menjelaskan alasan kepamrihan mereka.

Hal ini menyiratkan bahwa pihak yang berkeberatan dengan budaya gratisan adalah pihak yang mengutamakan etika, bahkan saat etika tidak perlu dipermasalahkan. Tentu saja hal ini menjadi tepat apabila posisi mereka adalah penerima. Namun, sebagai pemberi, penegakan etika malah berakhir sebagai pamrih. Di satu sisi kita mengamini bahwa kelakuan Debora dan Ratna memalukan, tetapi di sisi lain, so what? Pihak pelaku kan sebenarnya hanya memanfaatkan jendela yang terbuka, meski dengan tebal muka.

Setelah mengetahui bahwa si tebal muka adalah putrinya sendiri, ibu Debora langsung menjewer dan berujar, “Memalukan!” Lagi-lagi, alasan kritis absen dan unsur gengsi mendominasi. Ingat, bukankah ibu Debora bersalam tempel dan sedang berjamu di tempat yang sama? Apalah perbedaan sang ibu dengan anak kecuali frekuensi kedatangan? Etis, tidak etis, standar siapa? Setiap generasi berpikiran beda.

Dalam Pegang Tangan, orang tua tidak luput dari kekurangan. Ketimbang menjadi pijakan moral yang luhur, orang tua digambarkan sebagai pihak yang pamrih dan gengsi dengan mengatasnamakan etika moral. Persis seperti bagaimana kebanyakan anak melihat orang tuanya (ayo, akuilah). Adapun adegan menjewer tidak terlihat seperti kekalahan bagi Debora, tetapi semata-mata kesialan karena kurang taktis. Malah, adegan itu terasa seperti senjata makan tuan bagi ibu Debora yang kepalang mengambil sikap.

Pada akhirnya, adegan penjeweran lebih memancing tawa dibanding kerut dahi. Pembuat film tidak mencoba membuat adegan itu terasa miris, tetapi gamblang saja. Penonton pun bisa dengan mudah tertawa melihat ibu yang malu dan anak yang sial, bukannya memihak pada salah satunya. Alasannya jelas, penonton sudah diberikan pengetahuan bahwa ibu dan anak sama-sama salah. Maka, kalaupun ada usaha dari Pegang Tangan untuk menjadi moralis, pastilah caranya terlalu subtil untuk dideteksi penulis.

Sikap inilah yang menjadi kekuatan Pegang Tangan. Ia tidak terjebak dalam metode ceramah yang terlampau idealis. Kebanyakan film bermuatan etika memberikan tokoh pahlawan. Penonton disuapi contoh baik untuk dipanut. Padahal, mengutip Paulo Coelho, “I learn more by not following bad examples, not following good ones.” Film-film pahlawan-sentris tidak memberi ruang untuk interaksi penonton, karena film-film ini keburu menentukan langkah yang diharapkan. Berbeda halnya dengan Pegang Tangan. Menggunakan perspektif orang muda, kedua pihak digambarkan salah sekaligus benar, dan penonton dibiarkan mengambil sikap sendiri. Perkara etis-tidak etis disederhanakan menjadi sentilan, sehingga penonton berkesempatan untuk bersama-sama meninjau dan bersikap. Cara yang justru menyenangkan, karena mengajak penonton untuk menertawakan diri mereka sepanjang perjalanan.

Yang sangat disayangkan adalah logic gap dalam cerita yang membuat pelajaran ini terasa dipaksakan. Fakta bahwa nyonya rumah besar tidak mengenali Debora sebagai anak temannya dan sebaliknya terasa cukup aneh. Mungkin di Kaimana, budaya membanggakan anak (dengan foto) saat arisan memang absen…okelah. Keinginan Debora dan Ratna untuk mencari jamuan makan juga terasa ganjil. Jajanan gratis, bolehlah. Namun, bukankah makan malam lebih umum dilakukan dalam keluarga? Sekali lagi, mungkin saja ini adalah bagian kecil budaya Kaimana yang lalai ditemukan penulis…entahlah. Belum lagi, Debora sangat terang-terangan membawa kantung plastik berisi jarahan makanan saat pamit kepada tuan-tuan rumah. Lantas, apa poin mereka bermanis-manis di depan dan rakus di belakang?

Secara teknis pengambilan gambar pun, Pegang Tangan jauh dari sempurna. Memang, teknologi yang dipakai memiliki jangkauan dinamika gambar yang terbatas. Maka meninjau Pegang Tangan dari segi teknis akan sangat timpang. Maka, biarkanlah Pegang Tangan berdiri tegak bersama sikapnya. Betapa menariknya, penggambaran budaya yang dilatari daerah Kaimana ternyata meneguhkan wujud identitas nasional yang selama ini diperdebatkan: Tangerang, Kaimana, sama saja. Indonesia berbudaya gratisan. Bhinneka Tunggal Ika.

Pegang Tangan | 2013 Durasi: 12 menit | Sutradara: Yakobus Latulola & Pamela Kastanya | Kota: Kaimana, Papua Barat Negara: Indonesia | Pemain: Eka Mury, Djulike Surbay

Tulisan ini merupakan hasil dari lokakarya Mari Menulis! edisi Festival Film Solo 2014