Ode untuk Seluloid

ode-untuk-seluloid_hlgh

Sinema awalnya hadir sebagai ilmu pengetahuan, sebagai bagian dari ambisi para ilmuwan untuk mencatat gerak. Waktu itu, jelang akhir abad 19, peradaban manusia telah menemukan cara untuk merekam tulisan dan citraan visual. Tulisan lewat penemuan mesin cetak, citraan visual lewat teknologi fotografi. Kedua terobosan teknologi itu berujung pada kelahiran industri percetakan dan fotografi—dua hal yang menyokong peradaban kita hingga saat ini. Tapi belum untuk gerak. Mata dan ingatan manusia masih jadi andalan kala itu.

Dicobalah berbagai materi dan kombinasi zat kimiawi. Pasca sejumlah eksperimen beberapa ilmuwan dengan berbagai materi, ditemukanlah satu materi yang dirasa paling stabil untuk merekam gerak, yakni pita gelatin yang berlapiskan emulsi perak halida (AgBr)—yang kita kenal dengan nama seluloid. Mekanisme kerja seluloid menyerupai cara kita melihat. Mata kita menangkap gambar berdasarkan cahaya yang terpantul dari objek yang kita lihat. Seluloid merekam gambar berdasarkan cahaya-cahaya yang terekspos pada permukaannya. Emulsi kimia pada seluloid lantas bereaksi, menyesuaikan dengan beragam nuansa cahaya yang ia terima: gelap, terang, dan di antaranya. Sesaat kemudian, emulsi itu membeku—itulah imaji yang nantinya kita proyeksikan pada layar.

Layaknya terobosan dalam bidang percetakan dan fotografi, penemuan seluloid berujung pada kelahiran industri film. Apa yang tadinya perkara ilmuwan perlahan-lahan bergeser menjadi perkara hajat hidup khalayak umum. Lebih dari itu, seluloid menjadi standar tertinggi bagi kegiatan perekaman audiovisual selama seratus tahun lebih. Berbagai kalangan menggunakannya—dari studio film, sanggar seniman, sampai arsip negara. Seluloid menjadi komoditas ekonomi, budaya, dan politik.

Sepanjang kiprahnya sebagai komoditas, seluloid turut mengalami sejumlah pembaharuan untuk menyesuaikan kebutuhan zaman. Pada akhir dekade 1920, pita seluloid dileburkan dengan teknologi perekaman suara. Hadirlah film suara. Pada akhir dekade 1950, pita seluloid dikembangkan dengan emulsi yang dapat memproses warna. Hadirlah film berwarna. Belum lagi kalau kita perhitungkan ragam ukuran seluloid yang diproduski sepanjang kiprahnya: 8mm, 16mm, 35mm, 70mm. Meski begitu mekanisme kerja seluloid tetaplah sama jua: eksposur cahaya, reaksi kimiawi, pembentukan imaji.

Satu dekade memasuki abad 21, perjalanan seluloid tetiba berhenti. Teknologi digital hadir dan menjadi standar baru dalam waktu cepat. Di Indonesia sendiri, transformasi dari seluloid ke digital terjadi pada 2011. Sepanjang tahun itu bioskop-bioskop jaringan besar berganti ke sistem proyeksi digital. Pada tahun berikutnya, barulah bioskop-bioskop daerah mengikuti. Konsekuensinya bercabang. Produksi film bergeser, dari tadinya dominan seluloid menjadi total digital. Laboratorium film lantas satu per satu tutup, tak kuat menanggung biaya operasional pasca lenyapnya pendapatan terbesar mereka.

Lantas, ketika seluloid tak lagi menjadi standar industri, apakah nilainya sebagai medium lantas memudar? Dengan usangnya seluloid sebagai medium rekam sehari-hari, ditambah dengan segala kemudahan yang ditawarkan teknologi digital, apakah praktik penggunaan seluloid di zaman sekarang tak lebih dari upaya nostalgia belaka?

Kita perlu berpikir ulang masak-masak. Pasalnya, berkat karakteristik mediumnya dan sejarah panjang penggunaannya di muka bumi ini, seluloid setidaknya masih punya dua kegunaan praktis. Pertama, seluloid masihlah medium ekspresi yang paling intim dengan penggunanya. Di permukaan teknologi digital nampak praktis dan memudahkan, tapi yang sering tidak disadari adalah birokrasi yang memisahkan pengguna dengan karyanya. Teknologi digital yang lazim dipakai dalam produksi film sekarang berlandaskan pada standar-standar yang sudah ditetapkan oleh suatu konsorsium yang terdiri dari korporat-korporat besar.

Contoh paling sehari-hari adalah codec, komponen perangkat lunak yang memproses data audiovisual kita. Setiap hari kita memutar film dengan format avi, mpg, mkv, atau mov. Praktis memang, tapi kita hanya bisa terima jadi format-format itu, tanpa punya hak setitik pun untuk memodifikasinya sesuai kebutuhan. Apabila kita mengubahnya, maka data audiovisual yang kita miliki takkan bisa tampil. Sebaliknya, apabila konsorsium pemilik format-format tersebut berubah pikiran dan menetapkan suatu codec baru sebagai standar audiovisual teranyar, kita hanya bisa mengikuti. Data-data yang tersimpan dalam codec lawas harus kita terjemahkan ulang ke codec teranyar—atau terpaksa kita relakan terkunci dalam piranti-piranti penyimpan data.

ode-untuk-seluloid_gambar

Segala varian seluloid berpijak pada mekanisme kerja yang sama: eksposur cahaya, reaksi kimiawi, pembentukan imaji. Titik. Apabila kita coba mainkan eksposur cahaya atau kandungan kimia pada emulsi pada pita seluloid, rekaman audiovisual kita tetap bisa diproyeksikan, karena seluloid pada dasarnya hanya butuh terpaan cahaya untuk bisa tampil. Semua tahapan kerjanya fisik, bisa dilakukan dengan tangan.

Memproses seluloid juga tak melulu harus bergantung pada laboratorium film profesional. Nyatanya, pasca tutupnya banyak laboratorium film di seluruh dunia, pegiat dan pecinta film mengupayakan laboratorium-laboratorium independen; salah satunya Lab Laba Laba di Jakarta. Tidak semuanya berkegiatan sehari-hari sebagai pembuat film, tidak juga semua anggotanya berlatarbelakang pendidikan teknik kimia. Kebanyakan belajar sendiri perihal tentang penanganan seluloid lewat buku dan Google. Terkadang Yahoo.

Sebagai sebuah medium, seluloid seterbuka itu untuk disiasati. Artinya juga, seluas itu pula potensi artistik yang seluloid tawarkan, potensi-potensi yang bisa jadi belum terlalu dijelajahi oleh kawan-kawan di Indonesia. Faktanya, penggunaan seluloid di Indonesia tidak terlalu banyak beranjak dari produksi film; salah satunya karena mahalnya stok seluloid di masa lampau. Sekarang, ketika seluloid tak lagi dihargai tinggi secara ekonomis, bisa jadi adalah waktu yang tepat untuk bermain-main dengan seluloid.

Kedua, seluloid terikat erat dengan kekayaan sejarah bangsa dan dunia. Pasalnya, sejarah sinema tumbuh beriringan dengan sejarah manusia modern. Medium ini telah dipakai selama seratus tahun lebih sebagai standar perekaman audiovisual—dan tidak untuk perkara industri film saja. Arsip-arsip negara macam ANRI dan Perpustakaan Nasional tidak sedikit dari koleksinya yang berwujud seluloid.

Belum lagi penggunaan-penggunaan pribadi atau rumahan. Masih banyak individu dan keluarga yang menyimpan rekaman atau dokumentasi dalam format seluloid. Setiap tahun ada yang namanya International Home Movie Day, yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok pegiat dan penikmat film seluloid di berbagai negara. Sederhananya kegiatan ini mengajak orang-orang untuk membawa film amatir atau rekaman produksi rumahan dan memutarnya untuk publik. Indonesia tidak terkecuali. Tahun lalu pada 14 Oktober, Lab Laba-Laba menyelenggarakan Home Movie Day di Paviliun 28, Jakarta. Mereka secara terbuka mengundang siapapun untuk membawa film-film dokumentasi keluarga dalam format Super 8mm, 16mm, dan Betamax.

Bicara soal dokumentasi keluarga, saya jadi teringat dengan almarhum Misbach Yusa Biran. Beliau masih menyimpan rekaman hari pernikahannya dengan Nani Wijaya—dalam format 8mm. Sayangnya, karena proyektor yang kompatibel untuk memutar 8mm hampir tak tersedia, beliau tidak bisa melihat lagi dokumentasi dari salah satu hari terpenting dalam hidupnya. Kawan-kawan Forum Lenteng berhasil mengusahakan agar rekaman dalam seluloid tersebut tayang kembali—yang mereka abadikan dalam dokumenter panjang berjudul Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan. Gambarnya kecoklat-coklatan, agak kabur, ternodai banyak goresan—akibat seluloid sudah termakan usia dan kurang perawatan. Sayangnya Misbach keburu tutup usia ketika film tersebut beredar.

Sinema mengabadikan sejarah-sejarah, tidak terkecuali sejarah kita. Nyatanya, peradaban manusia semakin visual berkat perkembangan teknologi fotografi dan sinema. Tadinya manusia hanya bisa diabadikan sebagai nama dan statisik dalam catatan polisi dan sensus penduduk. Kini siapapun bisa mengabadikan dunia, termasuk dirinya sendiri, dalam gambar diam maupun bergerak. Sayangnya sinema sebagai medium penyimpan, apapun formatnya, tidaklah kekal. Rekaman visual bisa saja lenyap, dan bersamanya memori-memori peradaban yang terkandung di dalamnya. Misbach tidaklah sendiri. Suatu hari nanti bisa saja kita yang kesulitan mengakses kembali rekaman momen-momen hidup kita.

Kita perlu memberi perhatian kembali pada seluloid, terutama ketika penyimpanan seluloid di arsip-arsip negeri ini belumlah ideal. Di salah satu gudang Perum Produksi Film Negara, Lab Laba-Laba mencatat 853 judul film; sebagian besar adalah film-film nonfiksi produksi PFN. Diperkirakan masih ada sekitar seribu film lagi yang perlu didata ulang, tersimpan dalam gudang film lainnya. Tentunya film-film ini tidak akan sebaik kondisi film yang sudah didata, mengingat kondisi gudangnya sendiri sudah kurang memadai. Film-film yang sudah didata sendiri banyak yang kondisinya mengkhawatirkan—penuh goresan, jamuran, bahkan ada yang sudah meleleh emulsinya.

Kondisi Sinematek juga tidak lebih baik. Sampai dengan tahun 2013 terdapat 414 judul yang terdiri dari 84 negative copy, 17 judul film hitam-putih dalam format 16mm, 58 judul film berwarna dalam format 16mm, 53 judul film hitam-putih dalam format 35mm, dan 235 judul berwarna dalam format 35mm. Selain itu masih ada koleksi dokumentasi dengan format seluloid sejumlah 313 judul. Kira-kira tinggal sepertiga dari total koleksi Sinematek yang masih layak putar. Kebanyakan antara tidak lengkap, mengalami kerusakan ringan, atau sudah ‘merah’ seluloidnya.

Apabila dalam waktu dekat tidak ada tindakan preservasi yang serius, serta pengadaan ruang-ruang penyimpanan film yang memadai, maka sejarah-sejarah kita yang tersimpan pada ribuan seluloid ini perlahan tapi pasti akan menghilang. Pertanyaannya: mau sampai sejauh mana kita kehilangan sejarah sampai akhirnya kita hanya bisa meratapi sejarah kehilangan? Kini, ketika seluloid kembali hadir sebagai ilmu pengetahuan seperti saat ia dilahirkan dulu, kita bisa turut berkontribusi dengan berkenalan lagi dengannya, menjelajahi kembali dunia-dunia kecil yang telah seluloid ciptakan. Melupakan seluloid hanya karena tidak lagi dipakai sama saja melupakan sebagian besar dari diri kita.

Tulisan ini merupakan pengembangan dari salah satu pengantar untuk PAMERAN LAB LABA-LABA, yang diselenggarakan setiap Sabtu dan Minggu selama 4-26 April 2015, di Perum Produksi Film Negara, Jalan Otista Raya 125-127, Jakarta.