Novel sebagai Daya Jual: Iklan Film Adaptasi di Indonesia

Foto dipindai oleh Chris Woodrich.

Perfilman di Indonesia sudah hampir seratus tahun mengenal praktik ekranisasi, yaitu pembuatan film berdasarkan cerita dalam media non-film. Populernya, film-film semacam ini disebut “film adaptasi”. Istilah “ekranisasi” diperkenalkan oleh Pamusuk Eneste dalam skripsinya di Universitas Indonesia pada 1978 dan pertama kali digunakan dalam media massa dalam artikel Ekranisasi: Kasus Anak Perawan di Sarang Penyamun, Salah Asuhan, dan Atheis. Beberapa istilah lain yang sering digunakan termasuk “alih wahana” (Damono, 2005: 96), “pelayarputihan”, dan “filmisasi” (Rokhmansyah, 2014: 177).

Dalam Katalog Film Indonesia (2007) karya JB Kristanto, dicatat pelbagai contoh film yang diangkat dari karya puisi (a.l. Siti Akbari [1940], Kerikil-kerikil Tajam [1984]), novel (a.l. Boenga Roos dari Tjikembang [1931], Ayat-ayat Cinta [2008]), cerita rakyat (a.l. Loetoeng Kasaroeng [1926], Sangkuriang [1982]), komik (a.l. Sri Asih [1954], Si Buta Dari Gua Hantu [1970– 1990]), cerita pendek (a.l. Pegawai Tinggi [1955], Mereka Bilang, Saya Monyet! [2008]), cerita panggung (a.l. Tjitra [1949], Dr Samsi [1954]), lagu (a.l. Bengawan Solo [1949], Aku Cinta Kamu [2014]), blog (a.l. Kambing Jantan [2009]), drama radio (a.l. Misteri dari Gunung Merapi [1989–1990]), dan “kisah nyata” (a.l. Perawan Desa [1978], Habibie dan Ainun [2012]). Istilah “kisah nyata” ditulis dalam tanda kutip karena kisah-kisah tersebut mengalami penyederhanaan dan/atau fiksionalisasi ketika dilibatkan media (berita, buku, dan sebagainya) dan dalam proses perfilman.

Jenis film hasil ekranisasi yang paling banyak diproduksi adalah film adaptasi novel—tercatat lebih dari 240 contoh dalam sejarah perfilman Indonesia (Woodrich, 2014). Itulah kenapa film hasil ekranisasi novel menjadi perhatian tulisan sederhana ini. Secara khusus, saya ingin berfokus pada bagaimana novel dimanfaatkan dalam iklan-iklan film hasil ekranisasi di Indonesia.

Praktik ekranisasi dianggap memiliki beberapa keunggulan, seperti sudah tersedianya cerita untuk difilmkan. Menurut Saputra (2009), film hasil ekranisasi juga diandalkan oleh produser dan sutradara karena novel sudah memiliki audiens (pembaca) yang diharapkan akan menonton film yang dihasilkan. Mengadaptasi novel yang dibaca oleh ribuan pembaca, seperti misalnya Badai Pasti Berlalu (40,000 pembaca) dan Ayat-ayat Cinta (750,000 pembaca), diharapkan mampu meningkatkan pendapatan film. Karena itu, dalam pengiklanan film hasil ekranisasi, novel sering—tapi tidak selalu!—ditonjolkan supaya pembaca terpikat dan hendak menonton filmnya.

Foto dipindai oleh Chris Woodrich.

Pengiklanan Film Hasil Ekranisasi pada Masa Awal Perfilman Indonesia

Dunia perfilman Indonesia sudah mengenal praktik ekranisasi sejak film-film hasil ekranisasi pertama kali diimpor dari Amerika Serikat dan Eropa. Film domestik pertama yang diangkat dari novel di Nusantara adalah Eulis Atjih (1927) garapan George Krugers, yang dibuat berdasarkan novel Joehana (Woodrich, 2014). Beredarnya Eulis Atjih diikuti oleh serangkaian film lain yang diproduksi berdasarkan novel, termasuk Setangan Berloemoer Darah (Tan Boen Soan, 1928), Njai Dasima I dan II (Lie Tek Swie, 1929), dan Melati van Agam I dan II (Lie Tek Swie, 1931). Dalam penelusuran saya, belum ditemukan poster atau selebaran dari era 1920an.

Namun, beberapa iklan film kontemporer dalam majalah dan koran menunjukkan bahwa novel belum terlalu ditonjolkan. Tidak ada, misalnya, iklan film yang dengan bangga menyatakan “Saksikanlah! Film yang diangkat dari karya fenomenal Kwee Tek Hoay” (yaitu Boenga Roos dari Tjikembang, The Teng Chun, 1931) atau memaparkan sampul buku. Yang ditemukan dalam iklan film pada zaman tersebut adalah penekanan pada keterkenalan cerita—kalaupun sumber cerita disebut. Perhatikan, misalnya, kutipan berikut dari Tan Khoen Yauw:

Kita poenja maksoed boekan boeat terbitken film jang memoeaskan bangsa Tionghoa atawa Eropa, hanja teroetama soepaja bisa tarik penonton-penonton Boemipoetra jang dari klas moera; maka kita perloe pilih tjerita-tjerita jang dirasa bisa disoekai oleh Boemipoetra dan diatoer begitoe roepa hingga djadi tjotjok dengan kasoekaannja penonton dari itoe golongan (Kwee, 1929: 1199)

Dalam kutipan ini, Tan—produser dan pemilik perusahaan Tan’s Film—menekankan bahwa yang dilihat bukan media cerita (baca: novel), tetapi terkenal-tidaknya ceritanya. Memang, pada tahun-tahun ini, film diangkat tidak langsung dari novel, melainkan dari versi panggung. Cerita Nyai Dasima, misalnya, lebih dikenal sebagai cerita lenong daripada novel

G Francis (Tjerita Njai Dasima, 1896) atau syair OS Tjiang (Sair Tjerita Njaie Dasima, 1897). Karena itu, yang diincar dalam kasus ini bukanlah pembaca. Yang diincar adalah orang yang sudah tahu garis besar ceritanya, baik itu dari versi novel maupun dari versi lain. Fenomena ini dapat dilihat sampai akhir 1940an, dengan film Melati van Agam (Tan Tjoei Hock, 1940), Dasima, dan Siti Noerbaja (Lie Tek Swie, 1941).

Setelah pendudukan Jepang, produksi film di Indonesia mati suri. Produksi film hasil ekranisasi hanya dimulai lagi pada 1950an, dengan film seperti Pulang (Basuki Effendi, 1952) dan Arni (D Djajakusuma, 1955). Pada tahun-tahun ini, selebaran film masih belum menekankan novel yang menjadi sumber cerita. Selebaran untuk film hasil ekranisasi pada masa ini cenderung mengikuti pola yang sama dengan selebaran untuk film-film biasa. Yang ditekankan adalah pemain, jumlah lagu, dan pelbagai latar yang muncul dalam film. Sinopsis film tentu tidak terlupakan, dan justru merupakan salah satu bagian selebaran yang mendapat porsi besar, sebagaimana dapat dilihat dalam selebaran Ditepi Bengawan Solo (Fred Young, 1952) dan Solo di Waktu Malam (Nawi Ismail, 1952)

Pada 1962, Usmar Ismail menyebut filmnya Anak Perawan di Sarang Penjamun (1963) sebagai film pertama yang merupakan hasil kerja sama antara sastrawan dan orang film (Anwar, 1962). Tampaknya setelah itu pengiklanan film mulai lebih menekankan fakta bahwa suatu film diangkat dari novel, apalagi pada dekade 1970an. Ketika film Tanah Gersang (B Supardi, 1971) dibuat dari novel Mochtar Lubis, misalnya, novelnya disebut dan nama Mochtar Lubis dipaparkan di bagian recto dan verso. Namun, penekanan praktik ekranisasi dalam selebaran paling menonjol mulai pada pertengahan 1970an.

Foto dipindai oleh Chris Woodrich.

Masa Keemasan Pengiklanan Film Hasil Ekranisasi

Menurut Katalog Film Indonesia karya JB Kristanto, praktik ekranisasi baru mulai merajalela pada 1974, setelah film Karmila garapan Ami Prijono menembus bioskop kelas atas di Jakarta dan meraih 213.036 penonton di ibukota. Selebaran untuk film ini sudah menyebut bahwa Karmila “diangkat dari novel popular karya Marga T” untuk memanfaatkan kelarisan novel tersebut—lebih dari 55.000 eksemplar terjual—sebagai bahan publisitas. Pada tahun-tahun berikutnya, sampai produksi perfilman mulai lesu pada awal 1990an, ada lebih dari 100 film diangkat dari novel di Indonesia (Woodrich, 2015).

Selama periode ini, masih ada iklan yang sama sekali tidak menyatakan bahwa film diangkat dari novel, seperti selebaran untuk Roro Mendut (Ami Prijono, 1982)—produksi film tersebut diwarnai percekcokan antara penulis novel (YB Mangunwijaya) dan produser karena ketidaksepakatan atas perubahan cerita. Namun, sebagian besar selebaran dan poster film menggunakan salah satu dari tiga pendekatan untuk menyatakan bahwa suatu film merupakan hasil ekranisasi: penyebutan sumber secara tertulis, penyebutan sumber dengan memuat sampul novel asli, dan penyebutan sumber dengan memuat sampul novel “jadi-jadian”.

Pendekatan pertama digunakan, misalnya, oleh Karmila (yang sudah disebutkan di atas), Badai Pasti Berlalu (Teguh Karya, 1977), dan Kampus Biru (Ami Prijono, 1976). Dalam selebaran-selebaran seperti ini, frasa seperti “diangkat dari novel popular” kerap digunakan dan dicetak dengan huruf besar, supaya pembaca dapat mengetahui dengan sekilas mata bahwa ada novel yang dijadikan film. Namun, ada juga beberapa kasus di mana hal tersebut hanya disampaikan melalui tulisan kecil, seperti pada selebaran Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi (Wim Umboh, 1980) dan Perisai Kasih yang Terkoyak (Hadi Poernomo, 1986). Nama pengarang pun tidak dilupakan, dan karya-karyanya yang pernah difilmkan turut disebutkan sebagai bahan perbandingan.

Perhatikan, misalnya, kutipan berikut dari selebaran Perisai Kasih yang Terkoyak:

“MAHA KARYA dr. MIRA W. YG MENJAMIN KEHARUAN ANDA JAUH DIATAS ‘Tak Seindah Kasih Mama’

Dalam jenis pengiklanan film hasil ekranisasi yang kedua, sumber cerita film disebut dengan memuat sampul novel asli. Dalam selebaran untuk film seperti Mencari Cinta (Bobby Sandy, 1979) dan Permainan Bulan Desember (1980), sampul kontemporer digunakan untuk langsung menarik mata para calon penonton, yang mungkin pernah melihat sampulnya di toko buku atau bahkan di rak buku sendiri. Dengan demikian, pembaca diharapkan dapat tertarik untuk menonton film yang dibuat berdasarkan novel yang mereka sudah membaca dan sudah menikmati.

Sampul mungkin menunjukkan suatu novel yang masih baru dan rapi, dengan kertasnya tidak diperlihatkan—seperti, misalnya, Semau Gue (Arizal, 1977)—atau dapat memperlihatkan novel yang sudah sering dibaca—seperti, misalnya, Bunga-bunga SMA (Matnoor Tindaon, 1980). Dalam selebaran dan poster, ukuran sampul novel cenderung tidak besar, mungkin hanya lima atau sepuluh persen dari ukuran iklan. Karena itu, dapat diketahui bahwa, meskipun novel yang diangkat menjadi film menjadi bagian dari proses pengiklanan film hasil ekranisasi, ia tidak lebih penting daripada cuplikan adegan film atau ilustrasi.

Jenis pengiklanan film hasil ekranisasi yang ketiga adalah pemuatan sampul novel “jadi-jadian”, yaitu menggambarkan suatu buku tanpa memuat sampul novel asli. Dalam selebaran Terminal Cinta (Abrar Siregar, 1977), misalnya, fakta bahwa film diangkat dari novel dinyatakan dengan dilukiskannya buku bersampul kuning dengan judul tertulis di atas dan nama pengarang (Ashadi Siregar) tertulis di bawah. Sementara itu, dalam selebaran Darah Daging (Indra Wijaya, 1977) sampul buku asli tidak ada; yang ada hanyalah gambar buku tebal yang dihiasi dengan Doris Fadli yang berbikini serta nama pengarang (Asmaraman S./Kho Ping Hoo).

Seperti halnya sampul buku asli, penggunaan sampul “jadi-jadian” ini digunakan untuk langsung menarik mata calon penonton. Yang penting di sini bukanlah sampul asli, atau bahkan judul novel. Yang ditekankan di sini hanyalah kenyataan bahwa novel diangkat dari novel. Novel, sebagai bentuk sastra, dinilai memiliki daya tariknya sendiri, terlepas dari identitas novel tersebut. Dia merupakan jaminan mutu—mengingat bahwa film yang diangkat dari novel sering dianggap berkualitas, seperti Badai Pasti Berlalu—sekaligus pelaris, sebab film yang diangkat dari novel diharapkan memiliki pasar tersendiri.

Pengiklanan Film Hasil Ekranisasi Sekarang

Pada akhir 2000an, setelah hampir dua puluh tahun mengalami kelesuan, praktik ekranisasi mulai umum lagi. Pada tahun 2008, film Ayat-ayat Cinta (Hanung Bramantyo, diangkat dari novel karya Habiburrahman El Shirazy) dan Laskar Pelangi (Riri Riza, diangkat dari novel Andrea Hirata) masing-masing mampu menarik 3.581.947 dan 4.719.453 penonton (“15 Film Indonesia peringkat teratas…”). Setelah itu, produksi film hasil ekranisasi meningkat drastis. Sejak 2012, jumlahnya mencapai lebih dari sepuluh judul per tahun. Beberapa di antaranya: Ketika Cinta Bertasbih (Chaerul Umam, 2009), Sang Penari (Ifa Isfansyah, 2011), dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Sunil Soraya, 2013).

Kini pengiklanan film hasil ekranisasi, kalaupun menyebut sumber cerita, hanya menggunakan satu dari dua pendekatan, yaitu penyebutan sumber secara tertulis dan penyebutan sumber dengan memuat sampul novel asli; faktor-faktor di balik pendekatan ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diuraikan di atas. Penyebutan sumber secara tertulis digunakan, misalnya, oleh Sang Penari yang dikatakan “terinspirasi dari novel trilogy/Ronggeng Dukuh Paruk/karya Ahmad Tohari”, dan Assalamualaikum Beijing (Guntur Soeharjanto, 2014) yang dikatakan “Diangkat dari novel fenomenal Asma Nadia”. Sementara itu, metode penyebutan sumber dengan memuat sampul novel digunakan oleh Test Pack: You’re My Baby (Monty Tiwa, 2012).

DAFTAR PUSTAKA

“15 Film Indonesia Peringkat Teratas dalam Perolehan Jumlah Penonton pada Tahun 2008 Berdasarkan Tahun Edar Film”. filmindonesia.or.id. Diunduh pada 23 Mei 2017.

Anwar, Rosihan. 1962. “Kerjasama Sastrawan dan Sinemawan Dirintis: ‘Anak Perawan di Sarang Penjamun'”. Madjalah Purnama. 1:17.

Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.

Eneste, Pamusuk. 1978. “Ekranisasi: Kasus Anak Perawan di Sarang Penyamun, Salah Asuhan, dan Atheis“. Tifa Sastra. VII:38–39. hal. 17–20.

Kristanto, J.B. (ed). 2007. Katalog Film Indonesia 1926–2007. Jakarta: Nalar.

Kwee, Tek Hoay (1929, 16 November). “Film Njaie Dasima, productie dari Tan’s Film Company”. Panorama. 3:153, hal. 1199–1201. Kliping diakses di Sinematek Indonesia.

Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Saputra, Heru S.P. 2009. “Transformasi Lintas Genre: Dari Novel ke Film, dari Film ke Novel”. Humaniora. 21.1: 41–55.

Woodrich, Christopher. 2014. “Ekranisasi Awal: Adapting Novels to the Silver Screen in the Dutch East Indies.” Tesis, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Woodrich, Christopher. 2015. “Ekranisasi: Adapting Novels to the Silver Screen in Indonesia.” Makalah disampaikan pada Weekly Forum, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 9 April.