Mengalami 1998 melalui Langit Masih Gemuruh

Bagi sejumlah orang, Reformasi 1998 adalah peristiwa yang mengubah hidup, traumatis, dan kadang sulit dibicarakan. Namun, bagi saya, Reformasi 1998 atau bahkan cerita keseharian rezim Suharto adalah teka-teki. Saya lahir 2001. Kalau tak salah ingat, saya baru kenal istilah “Orde Baru” dan “Reformasi” saat kelas 2 SMP dari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bab soal Reformasi entah kenapa hanya dijelaskan secara ringkas, tidak sedetail kejadian bersejarah lainnya seperti Proklamasi Kemerdekaan 1945 atau Sumpah Pemuda. Penasaran, saya mulai cari sumber-sumber alternatif seperti film, musik, buku, dan cerita dari orang tua atau kerabat.

Seiring saya beranjak dewasa, teka-teki itu perlahan mulai terjawab. Salah satu jawabannya saya temukan dalam Langit Masih Gemuruh (2015) karya Jason Iskandar. Film pendeknya mengisahkan bagian perihal Reformasi 1998 yang tak masuk buku pelajaran semasa saya sekolah: kerusuhan, penjarahan, amuk massa, serta teror yang dialami warga peranakan Tionghoa.

Langit Masih Gemuruh menceritakan sepasang ibu dan anak saat pulang sekolah di tengah gemuruh kerusuhan 1998. Saat menonton film ini, saya merasa sedang nonton film horor. Tanpa menggunakan dialog, pembuat film begitu lihai mengelola tatanan audiovisual dalam cara tutur film sehingga penonton turut merasakan kengerian di layar. Ada tiga aspek yang dimanfaatkan: warna, suara, dan ruang.

Gelap dan Terang

Aspek paling kentara yang membangun rasa dan suasana Langit Masih Gemuruh adalah warna hitam dan putih. Dalam film ini, pilihan warna itu memfokuskan penonton pada subjek dan objek. Dalam film berwarna, kamera tak hanya merekam subjek atau objek, tapi juga menajamkan detail pada subjek atau objek. Filter hitam-putih cenderung bekerja sebaliknya. Detail pada subjek dan objek relatif disamarkan. Tekanannya lebih pada gerak, gestur, komposisi, juga emosi.

Lihat bagaimana film dibuka. Kamera menyorot sajadah yang ditimpa teks informasi soal latar film, lalu kamera bergerak pelan dan memperlihatkan bahwa sajadah yang sama kini digantung di atas pagar rumah. Di balik pagar, seorang gadis keturunan Tionghoa tampak sedang berdiri. Pada wajahnya, rasa cemas, takut, dan khawatir bercampur baur. Dengan mata nanar, ia mendongak melihat lajur roket di langit.

Sekuens pembuka ini memuat begitu banyak informasi. Tanpa filter hitam-putih, akan begitu banyak detail warna yang bersaing berebut perhatian penonton—warna sajadah, pagar, baju si anak, latar ruang di belakangnya. Dengan filter hitam-putih, perhatian penonton tertuju langsung pada kegentingan emosi adegan ini.

Pilihan warna hitam-putih juga meningkatkan suasana seram dan kerancuan sejak detik pertama film. Kendati terbatas pada dua warna, pembuat film dapat bermain dengan kontras warna dalam membangun suasana dalam film. Umumnya, apabila pembuat film ingin membangun kesan ceria, ia akan menurunkan kontrasnya sehingga warna putih atau bagian yang cerah mendominasi gambar. Jason memilih untuk menajamkan kontras hitam atau warna gelap, sehingga menciptakan keseraman tersendiri.

Penajaman kontras hitam atau warna gelap begitu vital pada sekuens ibu dan anak tersesat di lorong gang. Suasana di lorong jadi begitu gelap seolah malam, padahal latar waktu aslinya siang menjelang sore, yang tercermin dari kontras sinar matahari pada adegan sebelumnya—saat si anak bermain dengan temannya. Transisi yang begitu tiba-tiba lantas menempatkan si ibu dan anak dalam situasi serba tidak pasti dan oleh karenanya menyeramkan. Belum lagi si ibu mengenakan baju berwarna gelap, yang seolah menyatu dengan gelapnya lorong.

Ibarat film horor, penggunaan warna hitam tak ubahnya pintu kamar yang tiba-tiba terbuka sendiri atau lampu yang tiba-tiba nyala lalu mati. Kau tidak tahu apa yang menunggu di sana. Apapun itu, pastinya bukan sesuatu yang menyenangkan.

Gemuruh dan Lorong

Aspek lain yang juga signifikan adalah suara. Dalam Langit Masih Gemuruh, Jason cerdik memilih unsur-unsur suara dalam adegan untuk ditekankan. Saat ibu dan anak coba cari jalan keluar dari lorong gang, suara putaran rantai sepeda dan derit rem begitu menonjol, diulang-ulang hingga tak nyaman di telinga. Suara-suara lain sengaja disunyikan.

Lalu hadir suara gemuruh, seolah badai akan segera datang. Awalnya terdengar samar-samar. Lalu pelan-pelan naik ketika si ibu dan anak melihat kerusuhan dari jauh. Tampak gedung terbakar bersama kepulan asap dan kobaran api. Suara gemuruh terus naik, yang lantas menjadi suara latar selama si ibu dan anak mencari jalan lain yang lebih aman untuk keluar dari gang. Sungguh tidak nyaman terdengarnya.

Motif suara ini Jason padukan dengan apik dengan pengarahan aspek ruang. Ia jeli memanfaatkan ruang sempit. Hal ini bisa dilihat sepanjang sekuens ibu dan anak boncengan naik sepeda. Kamera mengikuti dari depan dan menggunakan teknik handheld, sehingga menciptakan kesan natural kepada penonton. Kesan ini berguna untuk meyakinkan penonton bahwa apa yang sedang ditonton ‘asli’ dari perspektif si ibu dan anak. Suasana gang sepi, hanya ada ibu dan anak di dalam gambar. Semakin ibu mengayuh sepeda, gangnya terasa semakin sempit. Klaustrofobik. Sempitnya lorong juga membuka sekian kemungkinan. Tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

Sekuens di gang sempit memuncak ketika ibu dan anak tersebut berhenti dan melihat langsung gedung terbakar—dampak dari kerusuhan. Kamera beralih ke long shot dan menempatkan ibu dan anak tersebut dalam pojok tengah gambar, menempatkan keduanya dalam posisi tak nyaman dan tak berdaya. Setelahnya, kamera beralih ke wide shot menyorot skala dampak kerusuhan yang terjadi. Objek gedung terbakar ditempatkan di tengah gambar dengan asap yang mengitari. Transisi kedua adegan secara efektif mencerminkan teror yang dialami si ibu dan anak.

Seram di Luar Layar

Potret dampak kerusuhan dalam Langit Masih Gemuruh hanyalah secuil dari yang terjadi pada 1998. Saat saya meriset soal film ini, saya kaget betapa parahnya dampak kerusuhan 1998 pada warga peranakan Tionghoa, khususnya perempuan dan anak-anak yang tak sedikit menjadi korban kekerasan.

Chandra L Hikmawati, dalam tulisannya di Jurnal Politik (Vol. 2, No. 2, 2017), memaparkan setidaknya ada dua kumpulan data yang menyoal tentang jumlah korban kekerasan seksual. Tim Gabungan Pencari Fakta menyatakan ada setidaknya 85 korban kekerasan seksual, sementara menurut Tim Relawan Untuk Kemanusiaan ada 152 korban. Selanjutnya, Chandra menegaskan bahwa data ini menunjukan bahwa kekerasan seksual berupa pelecehan dan pemerkosaan beneran ada dan terjadi saat kerusuhan Mei 1998. Adapun perbedaan angka keduanya dimungkinkan oleh perbedaan definisi atas pemerkosaan saat pengumpulan data korban.

Fakta tentang pemerkosaan dan pelecehan perempuan etnis Tionghoa pada kerusuhan 1998 adalah sebuah catatan hitam di sejarah Indonesia. Pahitnya, catatan hitam ini sepertinya seolah dilupakan oleh negara. Sampai sekarang, belum ada pengadilan secara langsung untuk mengadili para pelaku pemerkosaan tersebut. Jangankan mengadili, negara sepertinya enggan untuk memulai dialog mengenai kerusuhan ini. Minim sekali ruang diskusi dan dialog yang dilakukan oleh negara mengenai topik ini.

Seramnya lagi, fakta-fakta ini seringkali luput diketahui generasi kelahiran pasca-1998. Saya rasa informasi soal kerusuhan 1998 atau cerita lain soal pelanggaran HAM saat Orde Baru perlu diajarkan sejak pendidikan dasar. Pasalnya, mereka yang kini duduk di bangku sekolah adalah hasil dari generasi setelah Reformasi 1998. Rasanya cukup janggal apabila mereka tidak mengetahui situasi sejarah yang melahirkan mereka. Kalau mereka saja tidak tahu, bagaimana generasi penerusnya? Bisa-bisa pahitnya informasi soal kerusuhan 1998 ditelan oleh zaman dalam penyensoran kurikulum pendidikan sejarah oleh negara.

Pengungkapan sejarah sudah diupayakan oleh sejumlah komunitas kampus atau inisiatif publik. Aksi Kamisan adalah salah satu aksi publik yang konsisten mengingatkan kasus pelanggaran HAM masa lampau. Meski begitu, saya rasa agenda pengungkapan sejarah perlu dipadukan dengan reformasi kurikulum pendidikan di Indonesia. Saya secara sporadis mencari informasi soal 1998, Orde Baru, dan diskriminasi etnis Tionghoa dan tak jarang saya tersesat selama pencarian. Saya tidak sendiri mengalami ini. Kawan-kawan sepantaran saya juga sama tersesatnya. Mereka menggali cerita secara sporadis dari orang tua, dari internet, dari film dan budaya populer. Kurikulum pendidikan masih menutup pintu bagi kami.

Melalui Langit Masih Gemuruh, Jason tak hanya berhasil membuat karya sinematik yang apik, tapi juga membuka setidaknya satu jalan bagi generasi terkini untuk memahami musabab hari ini. Jalan yang dimaksud boleh jadi masih sebatas jalan setapak nan berliku. Tapi, lebih baik ada daripada tidak sama sekali. Sudah saatnya kita memperbanyak jalan-jalan lain.