
Pada setiap penghujung tahun, berulang semacam teror yang menempel di ubun-ubun untuk menuliskan apa-apa saja yang berlangsung di tahun yang bersangkutan. Ia menjadi teror sebab bila tidak ditulis, si tahun yang bersangkutan akan lewat begitu saja ke dalam gelap. Pada waktu mendatang, bisa jadi si tahun tinggal tersisa dalam bentuk angka, tanpa ingatan, taruhlah lagi faedah.
Oleh karenanya, beginilah 2015 tercatat dalam sinema sebagai bagian dari khazanah kebudayaan dunia. 2015 telah menyaksikan banyak peristiwa, mulai dari yang penting-penting seperti migrasi besar-besaran dari Afrika dan Timur Tengah menuju Eropa, penembakan di Paris, mangkatnya salah satu ikon kiri-kosmopolitan Benedict Anderson sampai pada yang kurang penting macam Steve Harvey salah menyebutkan nama pemenang Miss Universe, Ayu Tingting dinobatkan sebagai the most googled person di Indonesia atau lahirnya Pangeran Nicolas, Duke of Angermanland—di mana pula Angermanland dan nama macam apa pula itu?
Sinema, sebagaimana seni pada layaknya, adalah sebuah pencatatan mengenai peristiwa dengan menggunakan rasa. Ia menggunakan empati dan imajinasi sebagai tinta dan kamera sebagai pena. Begawan jadul Alexandre Astruc sudah mengingatkan kita hampir seabad yang lalu bahwa kamera sudah sepatutnya menjadi pena dan pengarangnya, sebagaimana dilanjutkan oleh Begawan lain yakni Andre Bazin, adalah sineas itu sendiri. Dimana ada sutradara yang berperan sebagai pengarang dan kamera yang berperan sebagai pena, maka di situlah sinema.
Dari penjelasan ini, maka akan cukuplah bila kita katakan bahwa selain daripada itu, maka ia bisa jadi hanyalah tetek-bengek relasi produksi yang terlahir dari rahim kapitalisme. Set yang megah tapi tak bicara apa-apa, pemeran yang cantik rupawan tapi kemampuannya tak lebih dari sekedar berwajah cantik saja, produser plin-plan yang mendaku diri sebagai pahlawan kebudayaan, ekshibitor bermental bromocorah dan sebagainya: semuanya hanya sel kanker bagi hubungan suci bermahligai antara sang pengarang dan pena-kamera (camera-stylo)-nya.
Bila sang pengarang dan pena sudah ada, maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah bahasa. Sebagaimana yang sudah ditegaskan oleh Ustad Christian Metz, bahwa sinema adalah bahasa tanpa tata bahasa, language without grammar, parole tanpa langue. Di sinilah kemudian perdebatan mengenai bahasa sinema dimulai dengan pembatasan diri Metz atas karyanya sendiri (Film Language: A Semiotics to Cinema) dengan mengisyaratkan bahwa di luar bahasa sinema pada tingkatan parole (shot, pergerakan kamera, durasi, dan sebagainya) tidak akan menjadi bahasannya.
Berbagai-bagai perdebatan menyusul temuan Metz. Untuk mencatat perkembangan sinema dunia pada tahun 2015, akan saya gunakan salah satu konsep yang terinspirasi dari penemuan Metz yakni konsep bahasa sinema menurut Paul Willemen. Menurut Willemen, bahasa sinema adalah sesuatu yang menyerupai indeks. Di bawah tataran bahasa film tingkat parole, terdapat satu mekanisme indeksikal yang ia sebut sebagai indexicality. Willemen di sini tentu saja tengah mewarisi pemikiran CS Peirce tentang trikotomi tanda yang kurang lebih beranggapan bahwa sebuah sebuah tanda senantiasa merujuk pada informasi yang lebih besar dalam konteks tertentu. Sebuah telunjuk bisa saja mengingatkan kita pada kediktatoran, sebuah lagu bisa saja mengingatkan kita pada seseorang, sebuah meme bisa saja membuat kita terhubung dengan masa lalu bersama mantan, dan sebagainya. Indeksikalitas adalah mekanisme yang mempekerjakan tanda sebagai sebuah kode yang mengandung informasi yang lebih besar, memiliki historisitas, dan bisa ditafsir-tafsirkan seturut konteks. Dengan demikian, bahasa film akan menjadi sesuatu yang sangat kontekstual dan tidak pernah universal karena ia selalu dipengaruhi oleh konteks yang melingkupinya. Dari gagasan Willemen inilah kemudian dapat ditarik gagasan mengenai sinema dunia (world cinema). Sinema dunia adalah sinema yang menggunakan bahasa yang kontekstual.
Dalam tulisan ini, kontekstualisasi bahasa sinema kemudian menjadi asas cara pandang saya terhadap film-film yang saya tonton pada 2015. Kontekstualisasi ini bekerja berdasarkan fenomena geopolitik dan hubungannya dengan estetika sinema yang direfleksikan oleh para pembuat film. Mengapa geopolotik? Sebab geopolitik adalah satu-satunya “merk minyak angin” yang mempan agar saya tidak terjebak pada Hollywoodisasi bahasa film dan pada akhirnya menjadikan saya penjajah intelektual atas bangsa saya sendiri. Amboi, heroik sekali bukan?
Tentang migrasi
Beberapa tahun terakhir, migrasi terjadi seringkali karena perang. Tahun ini, ratusan ribu orang berlomba-lomba lari dari negara mereka di Timur Tengah dan Afrika untuk mencapai Eropa dengan harapan dapat memperoleh keamanan. Dari sudut pandang yang lain, orang Eropa juga kelabakan karena negara mereka yang kecil sehingga tidak sanggup menampung para pendatang. Belum lagi hantu rasisme warisan abad-abad yang lampau serta kebijakan publik yang belum siap menghadapi fenomena ini.
Dari sudut pandang para migran, datanglah film berjudul Mediterrania karya sutradara Jonas Carpignano. Film ini adalah kolase perasaan-perasaan para migran Burkina Faso yang mencoba datang ke Italia melintasi berbagai negara seperti Aljazair dan Libya. Ketimbang bercerita secara runtut, Carpignano meloncat ke sana ke mari dalam penceritaannya sebagai usaha untuk memasuki relung psikologis para migran yang paling personal. Ketika tiba di Eropa, para migran diberi waktu tiga bulan untuk mendapatkan pekerjaan berstatus kontrak. Bila tidak, mereka akan dideportasi. Carpignano dalam film debutnya ini menambah panjang daftar sutradara Eropa yang berpegang teguh pada sudut pandang tunggal mengandalkan angle-angle ketat yang sangat setia pada karakter utama. Kita bisa merasakan gestur para pemain ibarat kata sampai pada gerak ototnya. Dari aspek penekanannya pada tubuh, Carpignano mengingatkan kita pada karya-karya sineas Perancis terdahulu, terutama Philippe Grandrieux dan Claire Denis. Dalam konteks Mediterrania, Carpignano menekankan perhatian pada tubuh yang hanya bisa dikenali sebagai manusia bila ia mampu mendapat status sebagai pekerja atawa sarana produksi demi kemaslahatan kapitalisme. Bila tidak, maka mereka hanya akan dinilai sebagai seonggok daging tak ubahnya bangkai, bare life, tidak berhak atas penghidupan dan sebaiknya dienyahkan.

Pada film yang lain, sutradara Hongaria Kornél Mundruczó memotret kompleksitas ini dari sudut pandang orang Eropa dalam White God. White God dibintangi oleh seekor anjing bernama Hagen yang kesulitan mencari rumah sebab Hongaria telah memberlakukan undang-undang anti binatang ras campuran. Dalam undang-undang itu, warga diwajibkan melapor pada petugas berwajib bilamana melihat atau memiliki binatang ras campuran untuk kemudian “diamankan.” Hagen, yang awalnya memiliki pemilik bernama Lili, harus rela dikeluarkan dari rumah. Usaha Lili untuk menyelamatkan Hagen pun tak berlangsung mulus oleh sebab musuhnya kini adalah negara. Bila ia nekat, maka tak peduli meski ia warga asli, ia pun akan menjadi musuh negara.
White God adalah metafora yang lengkap mengenai pandangan rasis orang-orang Eropa yang dilembagakan lewat peraturan-peraturan. Dengan sentuhan distopia yang halus, Mundruczó mengumpamakan anjing ras campuran sebagai migran yang belum dapat dipandang sebagai manusia seutuhnya di Hongaria. Tentu kita semua masih segera mengingat ini dikarenakan pernah santer pula berita tentang jurnalis Hongaria yang menendangi migran secara brutal.

Tak berhenti pada usaha mewakili pandangan migran dan orang Eropa terkait migrasi global, para sineas Eropa membawa perbincangan mengenai hal ini ke tingkat yang lebih reflektif. Dalam film esai Evaporating Borders, sutradara Iva Radivojevic dengan cerdas menggunakan Siprus sebagai studi kasus mengenai ringkihnya konsepsi Eropa tentang “ke-kita-an” mereka. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, Radivojevic menceritakan dirinya sebagai perempuan berdarah Serbo-Kroasia yang lahir di Yugoslavia, negara yang sekarang sudah tidak ada. Sewaktu kecil, keluarganya pindah ke Siprus untuk menyelamatkan diri dari perang tiada usai di semenanjung Balkan. Radivojevic kemudian menjadi saksi bergabungnya Siprus ke Uni Eropa.
Sebelum bergabung ke Uni Eropa, Radivojevic mengisyaratkan, Siprus adalah negara kecil yang haus pengakuan. Mereka mendambakan pengesahan sebagai warga Eropa yang setara dengan negara-negara yang sudah bergabung terlebih dahulu. Akhirnya hal itu kesampaian. Nah, opsi menerima migran adalah salah satu konsekuensi dari status keanggotan Uni Eropa yang dimiliki Siprus. Anehnya, kebijakan tersebut menuai penolakan dari warga Siprus sendiri. Warga Siprus berpendapat bahwa migran hanya bikin susah tuan rumah. Mereka tak bekerja, tak tahu terima kasih, beranak banyak, membuat sesak. Jadilah Siprus,dalam Evaporating Borders, tampak seperti sebuah komunitas yang lupa diri. Haus pengakuan tapi malas mengakui keberadaan orang lain. Padahal, menurut Radivojevic, para migran yang datang sebagian besar berasal-usul sama seperti dirinya: sama-sama berasal dari negara yang (terancam) menguap, Palestina.
Radivojevic tidak sendirian menempatkan Eropa di pusaran dilema, sutradara Jakob Brossmann dalam film dokumenter Lampedusa in Winter pun melakukan usaha yang sama. Sebagaimana tercermin dalam judulnya, Brossman memotret Pulau Lampedusa, pulau di ujung selatan Italia yang paling sering dijadikan tujuan pertama bagi para imigran yang nekat menyeberang dengan kapal dari Afrika. Cerita dimulai ketika sebuah feri yang menghubungkan Pulau Lampedusa dengan daratan Italia karam. Kapal karam itu membuat pusing penduduk kota sebab ekonomi pulau tiba-tiba menurun, ikan tak bisa dijual, turis tak datang sementara para migran terus menumpuk tak terurus. Di sisi lain, para migran mulai mempertanyakan komitmen Uni Eropa dalam menangani para pencari suaka. Evaporating Borders dan Lampedusa in Winter adalah dua dokumenter penting sebab ia menginterogasi konsep Eropa dari dalam. Sebagai orang Eropa, mereka mempertanyakan, siapa kita dan siapa saja yang bukan kita? Apakah Eropa? Bagaimana hubungan Eropa dan kemanusiaan?

Persoalan migrasi global bukan hanya persoalan Eropa saja melainkan persoalan dunia secara keseluruhan. Pada era Perang Dunia, orang-orang Eropa ramai-ramai kabur dari benua mereka. Ada orang Jerman di Sumedang, ada orang Amerika di Kasablanka (Halo, Humphrey Bogart!) dan semacamnya. Pada era kini, orang-orang dari pusaran konflik dan kemiskinan ramai-ramai berpindah ke tempat yang diimajinasikan bisa jadi lebih baik meskipun seringkali tidak lebih baik. Selain Eropa, sineas Malaysia Liew Seng Tat membawa komunitas melayu berefleksi atas mental-mental mereka sendiri ketika berhadapan dengan Yang Liyan. Kebudayaan Melayu yang katanya adiluhung dan sudah biasa dengan keberagaman, terguncang-guncang mendapati diri kebingungan sebab tak bisa menamai sosok tinggi hitam besar yang sering nampak di sebuah rumah panggung yang kosong. Film Liew Seng Tat, berjudul The Man Who Saved the World (Lelaki Harapan Dunia), adalah sebuah refleksi mendalam mengenai ujian kebudayaan yang menimpa orang-orang melayu udik ketika bergesekan dengan praktik demokrasi yang korup dan migrasi yang tak terdengar begitu familiar: migrasi dari Afrika.
Lelaki Harapan Dunia menyasar pada mental komunitas dengan tidak menggantungkan diri pada satu karakter utama saja melainkan nyaris sekampung! Sosok tinggi legam yang tak bisa mereka namai tersebut akhirnya mereka mafhumi saja sebagai hantu lalu mereka percayai lekat-lekat. Bagi yang suka ketawa, bagian ini dalam Lelaki Harapan Dunia adalah salah satu yang paling lucu. Namun pada lapisan lain, bagian ini juga merupakan bagian yang sangat kaya sebab ia mengupas anotomi horor lewat genre yang terang-terangan komedi! Bahwasanya, hantu adalah konstruksi manusia (baca: kita, self) sebagai sebuah usaha penghabisan untuk membuat diri merasa lebih baik dari yang lainnya dengan cara menyebut mereka hantu lalu melabeli mereka dengan hal-hal yang menyeramkan. Di sisi lain, bagian ini membongkar rasisme yang sudah berlangsung dalam peta politik Malaysia sejak dahulu kala sebagai respon atas migrasi-migrasi yang berlangsung dari Tiongkok dan Hindustan. Malaysia secara harfiah mengemblemkan kemelayuan, tapi apakah kemelayuan selalu merujuk pada ras sebagaimana yang selama ini terisyaratkan dalam banyak poin perundangan negara? Untuk mengujinya, Sutradara Liew Seng Tat memasukkan variabel migrasi lain: orang Afrika. Hasilnya: sebuah racikan maut yang terdiri atas kemelayuan dan kepandiran, humor dan horror, serta lokalitas dan globalitas.
Dalam lebih dari satu dekade terakhir, migrasi telah menjadi satu kata kunci dalam perkembangan sinema Eropa dan telah dicatat oleh banyak sekali sineas dengan gaya masing-masing. Dardenne Bersaudara dengan gaya naturalis dalam Lorna’s Silence (2008), Lukas Moodysson dengan gayanya yang rinci dalam Lilya 4-Ever (2002), Aki Kaurismaki dengan gayanya yang jayus dalam Le Havre (2010), Jacques Audiard dan pendekatannya yang dingin dalam Dheepan (2015) adalah beberapa dari sekian banyak contoh dan pendekatan. Boleh dibilang, migrasi adalah salah satu penyebab utama bangkitnya gaya naturalis yang merajai tangga-tangga estetika sinema Eropa selama lebih dari satu dekade terakhir.

Gaya naturalis menjadi krusial sebab mendokumentasikan kehidupan migran seringkali memaksa sutradara untuk mengabaikan shot-shot indah dan harus membawa kamera menjadi cerewet dalam berpindah seturut blocking para aktor, belum lagi karakteristik naratif naturalisme yang mencakup elemen inner decay yang sangat cocok dalam menceritakan berbagai problem migrasi. Tak terhitung sudah sutradara yang menggunakan gaya ini sampai-sampai pada beberapa kesempatan, gaya ini berulang-ulang dan tak pelak memuakkan. Ternyata pengkaji film Amerika Serikat David Bordwell-pun kurang lebih sepakat dengan saya.
Tentang demokrasi
Terorisme yang menyebar seperti sampar pasca berakhirnya Perang Dingin membuat manusia mempertanyakan kembali demokrasi. Apakah demokrasi adalah benar sistem yang terbaik? Apabila ia yang terbaik, lantas bagaimana cara mengujinya? Di era Perang Dunia, demokrasi diuji oleh fasisme. Di era Perang Dingin, demokrasi diuji oleh komunisme Soviet. Setelahnya, demokrasi kemudian mau tak mau diuji lewat musuh-musuh yang ia ciptakan sendiri: oposisi satu negara, terorisme, dan tentu saja hantu-hantu totaliterisme yang berasal dari masa lalu—yang masih gentayangan karena belum rela dihabisi.
Film As I Open My Eyes karya sutradara Leyla Bouzid dari Tunisia menjadi film paling gamblang tentang demokrasi kiwari. Apa jadinya bila perjuangan menuju demokrasi harus memakan korban, dan korbannya justru adalah orang yang tak tahu politik? Film ini menceritakan kisah seorang gadis muda bernama Farah yang terjebak di antara ibu dan grup musiknya. Farah dilarang oleh Ibunya untuk keluar larut malam dan bernyanyi di bar. Bukan konservatisme Islam yang menjadi alasan ibunya melainkan keamanan anaknya. Bukan buatan, sebab kerusuhan untuk menumbangkan rezim Zine El Abidine Ben Ali memang tengah marak dimana-mana. Di sisi lain, Farah tidak menyadari bahwa Borhene, penulis lagu di grup musiknya diam-diam menulis lagu bertemakan aktivisime dan politik radikal yang membangkangi rezim Ben Ali. Farah yang punya hubungan romantis dengan Borhene, salah mengenali lirik-lirik lagu tersebut. Farah si gadis hijau mengira lirik-lirik itu adalah ungkapan kasmaran Borhene pada dirinya. Walhasil, ketika Farah melakukan resital lirik tersebut, band mereka diincar polisi.

As I Open My Eyes mungkin adalah salah satu film terbaik tentang Arab Spring sejauh ini. Dibuat dengan gaya penceritaan yang standar, film ini tampak tidak punya ambisi lain selain menangkap gejolak politik di dunia Arab dari sudut pandang orang yang paling tidak menyadari adanya gejolak tersebut, seorang gadis ranum belia yang hanya ingin lepas dari kekangan ibunya dan mencicipi bir serta shisha. Lewat film ini, kita disentakkan pada fakta bahwa jangan-jangan korban paling banyak dalam usaha mencapai idealisme politik justru adalah orang-orang yang paling tidak paham dan tidak peduli politik.
Di sisi yang lebih mirip dengan aktivis seperti Borhene, film Taxi Tehran karya Jafar Panahi tampil sebagai salah satu film perlawanan politik paling subtil dan menyentuh sepanjang tahun. Masih terkena larangan membuat film, sineas Iran Jafar Panahi nekat menyamar menjadi supir taksi dan membawa taksinya berkeliling kota. Ia berjumpa dengan orang-orang yang pada gilirannya menjadi aktor dalam film ini. Gaya realisme jalanan (street realism) kembali digunakan Panahi setelah di dua karya terakhirnya (This is Not a Film, Closed Curtain) tak bisa dipergunakan karena statusnya waktu itu sebagai tahanan rumah.

Dalam Taxi Teheran, Panahi bermain dengan beberapa hal. Pertama, ruang publik yang ditinjau dari penjara bergerak yakni sebuah mobil. Panahi menggunakan mobil untuk menegaskan pergerakannya sebagai pergerakan semu yang meskipun tampak bergerak, tapi subjek utamanya tak bisa kemana-mana alias terkurung statis. Kedua, alih-alih Panahi yang keluar ke ruang publik, publik lah yang masuk ke dalam mobil dan beberapa di antaranya langsung mengenali Panahi sebagai seorang sutradara kondang. Di sini, elemen realisme jalanan khas Panahi diadonnya dengan elemen metasinema yang pernah digunakan dalam This is Not a Film dan Closed Curtain. Kita lalu dibuat bertanya-tanya, apakah ini kenyataan ataukah sinema? Bagi Panahi, film-filmnya selalu merupakan refleksi dari kenyataan-kenyataan yang menimpanya dan cerdasnya, ia tak pernah menjadikan kenyataannya itu sebagai hak milik pribadi, melainkan potensial digunakan sebagai simbol perlawanan rakyat.
Dalam Taxi Teheran, yang juga merupakan poin ketiga permainan Panahi dalam film ini, adalah anonimitas sebagai simbol perlawanan bersama. Rakyat adalah sesuatu yang jamak. Ia tak sama satu sama lain namun memiliki status politik yang sama, yakni sebagai pemilik suara tertinggi dalam tatanan politik modern. Dengan demikian, rakyat akan selalu tampak lewat wujud individu-individu namun juga akan selalu anonim alias tidak dapat dikenali sebagai individu. Rakyat hanya bisa dikenali sebagai rakyat dan itu hanya bisa terjadi bila mereka dilihat secara kolektif dan anonim. Inilah karakteristik rakyat yang bisa dianggap kelemahan (sebab senantiasa dijadikan komoditas politik dan bukannya subjek politik) namun juga bila digarap dengan baik, bisa dijadikan kekuatan (kepercayaan klasik Marxisme terhadap kekuatan kaum proletar). Panahi dengan cerdas menampilkan wajah-wajah manusia yang bisa diidentifikasi secara visual namun tidak secara nama, tak juga di ending credits. Orang-orang itu tidak dihadirkan seturut identitas personal melainkan sebagai entitas politik.
Yang paling sarkas dalam mengkritik demokrasi adalah sineas Jean-Gabriel Periot dalam dokumenter kolase-arsipnya, A German Youth. Film ini merasionalisasi pandangan-pandangan politik Ulrike Meinhoff dan kawan-kawan yang tergabung dalam kelompok RAF (Red Army Faction), sebuah kelompok anarkis yang dicap sebagai teroris oleh pemerintah Jerman Barat di tahun 1960an. Ulrike Meinhoff dan kawan-kawan menyayangkan perkembangan Jerman Barat yang mengorbankan sendi-sendi kerakyatan dan berpihak pada orang-orang maruk yang mengeksploitasi manusia demi kepentingan segelintir orang. Karena tak digubris pemerintah, kelompok Baader-Meinhoff memilih untuk melakukan tindakan kekerasan dan akhirnya dicap sebagai kelompok teroris.

Bagi A German Youth, teroris adalah label yang relatif. Bila menoleh pada data-data yang dijadikan pegangan oleh penguasa, maka Meinhoff dkk adalah subjek politik yang tidak sehat. Namun dalam A German Youth, Periot mengumpulkan wawancara dan arsip-arsip mengenai Meinhoff lalu menempatkannya dalam konstelasi konflik ideologi di era Perang Dingin untuk menunjukkan bahwa Ulrike Meinhoff adalah subjek politik yang sangat rasional.
Dari sini, Periot potensial untuk jatuh pada pendewaan Meinhoff dan menasbihkan empatinya pada politik ekstrim-kiri. Namun, engan teknik penyuntingan yang canggih, ia berhasil dihindarinya. Alih-alih, Periot justru menggunakan filmnya untuk memeriksa kembali RAF secara dingin dan berjarak: apa pencapaian mereka yang bisa dinikmati saat ini?
Di akhir film, lewat sebuah klip yang secara nakal ia comot dari film Rainer Werner Fassbinder yang berjudul Germany in Autumn, Periot menjebak penonton pada situasi yang paling tidak enak. Lewat filmnya ia mengisyaratkan: kekerasan negara masih terjadi, kapitalisme makin binal, politik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri sama-sama tak kasih apa-apa selain masalah baru, sementara usaha-usaha paling ekstrem semacam RAF telah terbukti tidak membuahkan hasil. Lantas, apa sebaiknya yang kita lakukan? Ia berhenti di sana, membiarkan kita merenungkannya.
Tentang tubuh dan kekuasaan
Selain migrasi dan demokrasi, 2015 juga menjadi tahun yang spesial karena banyaknya film yang membahas bagaimana kekuasaan mengontrol tubuh manusia. Beberapa film yang menjadi catatan di sini antara lain The Lobster, Chevalier, It Follows dan Goodnight Mommy.

The Lobster mengandaikan sebuah dunia dimana orang tak lagi mempertanyakan makna, bergerak tanpa pertimbangan akal dan terjebak dalam semacam pengulangan (Sissyphean repetition). Alkisah sebuah hotel memiliki logika tak terbantahkan: semua tamu terdiri dari orang-orang jomblo yang ditugaskan mencari pasangan dalam waktu 45 hari. Bila gagal, tamu tersebut akan berubah menjadi binatang yang dipilihnya! – sebuah alegori cerdas tentang ilusi kebebasan. The Lobster kurang lebih mengemukakan bahwa hukum senantiasa berkaitan dengan kondisi biologis subjek. Bahasa kerennya: biopower. Menurut dedengkot pemikiran njelimet Michel Foucault, biopower merujuk pada sebuah mekanisme njelimet yang askdfaldkfasdkf… intinya mengatakan bahwa hukum tidak saja mengatur tingkah laku dan pemikiran subjeknya, melainkan sampai pada aspek ketubuhan.
The Lobster adalah eksaminasi atas hukum pada tingkatannya yang paling ekstrim. Bayangkan, bila tak patuh hukum, setuju atau tidak setuju pada hukum tersebut, kamu tak lagi bisa jadi manusia – literally! Memang bukan hal yang sama sekali baru, kompleksitas serupa sudah pernah didengungkan oleh Kafka hampir seratus tahun lalu dalam novella Metamorfosis. Pun sebenarnya kritik yang sama terhadap hukum dan peraturan sudah pernah didengungkan oleh Lanthimos dalam filmnya Dogtooth (2009) yang notabene jauh lebih mantap ketimbang The Lobster. Namun, pendekatan seperti yang digunakan Lanthimos adalah pendekatan yang sangat khas meskipun selalu diarahkan pada isu yang sama. Kesegaran adalah prinsip utamanya.
Sementara itu, Athina Rachel Tsangari, rekanan kental Lanthimos sesama Yunani mengurung aktor-aktornya dalam sebuah kapal dalam Chevalier untuk memeriksa kembali hubungan antara maskulinitas dan distribusi kekuasaan lewat tanda-tanda yang terbawa lewat bahasa. Tanpa ambisi universal seperti Lanthimos yang tega mengurangi kekhasan karyanya dengan bintang-bintang asing dan bahasa Inggris, Tsangari justru memperkecil lokasi untuk memperjelas pesan filmnya lewat lingkup yang sangat lokal. Ia menegaskan bahwa maskulinitas bukan saja terus-menerus diuji oleh relasi antara perempuan dan laki-laki, melainkan juga oleh relasi antara sesama laki-laki.
Di atas kapal, terdapat berbagai jenis laki-laki. Ada lelaki tua veteran yang dihormati, ada lelaki kemayu, ada lelaki “standar” dan banyak lagi. Para lelaki ini berlomba-lomba untuk membuktikan siapa yang paling maskulin dengan melakukan ritual-ritual absurd seturut dengan karakter mereka masing-masing. Si lelaki kemayu tak habis pikir mengapa bulu janggutnya tak mau tumbuh, seorang lelaki gendut terobsesi dengan sit-up sebab bila berperut gentong, ia tak bisa mencapai maskulinitas yang hakiki. Tsangari dengan cerdik mengurung mereka di sebuah kapal untuk member kesan bahwa tak ada jalan keluar bagi semua itu selain lautan luas yang otomatis berarti kematian.

Lepas dari pendekatan absurdis ala Lanthimos dan Tsangari, sineas David Robert Mitchell serta duo Veronika Franz dan Severin Fiala mewarisi tradisi body horror ala David Cronenberg dalam film-film mereka, It Follows dan Goodnight Mommy. It Follows berangkat dari premis yang tampaknya sederhana: sebuah penyakit aneh bisa menular lewat hubungan seksual. Bila tertular, maka penderitanya akan diikuti oleh sosok yang ingin membunuhnya. Sosok ini bisa datang dalam bentuk apa saja. Yang jelas, ia ingin membunuh penderitanya. Di bawah lapisan premis ini tersimpan kompleksitas yang menggamangkan pikiran. Apa arti It Follows sesungguhnya? Apakah ia premis moralis yang kurang lebih berbunyi “jangan ngewek sembarangan, nanti mati?” ataukah ia sedang mengkritisi seksualitas kasual sebagai pengacauan ranah publik dan privat? Premis pertama terlalu dungu kedengarannya sementara yang kedua terlalu rumit. Tapi dua-duanya masuk akal untuk diindeks oleh It Follows.
Goodnight Mommy lebih lancang dalam menggunakan elemen-elemen body horror. Sepasang anak kembar pelan-pelan tak mengenali ibunya setelah sang ibu menjalani operasi plastik yang mengubah wajahnya. Di awal film, kita diperlihatkan pada sosok ibu yang tukang atur. Bisa saja memang sifat suka mengaturnya sudah dari dulu, namun yang menjadi alasan si anak kembar dalam mempermasalahkan perlakuan ibunya bukanlah perlakuan itu sendiri, melainkan perubahan tubuh ibunya. Si anak kembar merasa bahwa aturan tersebut tidak lagi dijatuhkan oleh ibu mereka melainkan oleh orang lain yang tak mereka kenal.
Untuk memastikan bahwa wanita tersebut adalah benar ibunya, Si Anak Kembar menanyainya tentang makanan favorit Lukas, salah satu dari anak kembar tersebut. Sang ibu tak bisa menjawab. Kecurigaan bercabang dua: apakah sang ibu tak menjawab karena memang ia tak mengenal betul anak-anaknya ataukah perempuan teresbut memang bukan ibunya? Di sini diperlihatkan bahwa kuasa teknologi atas rekayasa tubuh ternyata juga berdampak pada diskursus tentang identitas, kekuasaan, pengetahuan dan kepercayaan manusia satu sama lain.

Tentang nativitas
Seorang Timur yang pergi ke Barat disebut migran. Seorang Barat yang pergi ke timur dibersebut Ekspatriat. Sepertinya rumus yang menyimbolkan ketimpangan perspektif antara timur dan barat ini tidak hanya berlaku pada perpindahan manusia, melainkan juga pada pertukaran wacana-wacana yang menyertainya. Film-film yang saya catat dalam bagian ini menerangkan persoalan nativitas dan wacana-wacana yang mengklaim diri sebagai yang modern atau yang universal yang senantiasa membuntutinya. Nativitas di sini bisa jadi diartikan sebagai manusia yang menjadi minoritas di tempat asalnya sendiri, atau bisa jadi juga sekumpulan ide yang menjadi asing oleh sebab teritorialnya telah diinvasi oleh ide-ide yang mengaku lebih relevan dari dirinya.
Dalam film koboi Slow West, sutradara John Maclean dengan berani menempatkan white guilt di tengah pusaran cerita dalam penjelajahan tokoh utama Jay Cavendish beserta seorang pemburu hadiah Silas Selleck mengarungi dataran Barat yang gersang, jorok dan jahiliyah. Alkisah Jay Cavendish adalah seorang kutu buku yang harus melewati dataran Barat tersebut untuk bertemu dengan kekasihnya Rose Ross. Jay datang jauh-jauh dari Skotlandia hanya untuk bertemu si kekasihnya itu (apakah benar hanya untuk itu? Di sinilah Slow West mulai memasukkan klaim-klaim yang memang sudah terbukti pernah dikhianati oleh orang-orang kulit putih dengan mendirikan koloni-koloni).
Ketimbang sebagai sebuah perjalanan fisik untuk bertemu kekasih dan pada akhirnya merayakan kesendirian sembari berkuda menuju matahari terbenam seperti halnya rumus-rumus klasik film koboi, saya lebih gemar membaca Slow West sebagai sebuah eksperimen yang mempertemukan arketip khas tokoh-tokoh dalam film koboi dan lanskap Amerika sebelum digambarnya batas antara Amerika Serikat dan Meksiko. Hasilnya ternyata tidak terlalu menyenangkan: orang-orang Amerindian yang selama ini selalu dianggap buas dalam film-film koboi, bahkan dalam Slow West disebut terang-terangan sebagai “savage,” ternyata berperan penting dalam resistensi mereka melawan pendudukan tanah oleh orang-orang kulit putih. Lewat beberapa adegan fantasmagoria, sutradara John Maclean dengan cerdas menempatkan posisi tokoh Jay sebagai semacam Oedipus yang khawatir bahwa Rose-nya akan direbut oleh Silas – sebuah adegan ruang makan memotret hal ini. Jay adalah personifikasi orang-orang yang terjebak di antara humanisnya rasa cintanya pada Rose, how harmless he is to the land, dan seorang bounty hunter di sampingnya yang ternyata sudah tahu bahwa kepala Rose teah dihargai sebesar dua ribu dolar. Slow West menasbihkan diri sebagai semacam pengakuan dosa nan mengharukan yang mengingatkan pada film-film Western hebat macam Dances with Wolves (Kevin Costner, 1990) atau The New World (Terrence Mallick, 2005).

Berpindah ke Kolombia, film Embrace of the Serpent karya sutradara Ciro Guerra secara ambisius membalik relasi antara “yang mencerahkan” dan “yang tercerahkan” dalam hubungan kolonial. Di akhir abad 19, tersebutlah seorang sarjana Jerman yang nekat memasuki belantara Amazon untuk mencari sebuah tumbuhan langka yang disebut-sebut bisa mengobati penyakitnya. Tumbuhan tersebut bernama Yakruna. Hal yang menarik sudah terendus dari sini. Bagaimana mungkin seorang sarjana Jerman percaya pada perbatasan antara yang herbal dan yang mistis karya kearifan lokal sebuah suku pedalaman sementara industri pengobatan Eropa telah kian majunya?
Setibanya di Amazon, sang sarjana harus merelakan semua atribut modernitas Eropa yang ia bawa dari muasalnya untuk diserahkan pada kebijakan seorang shaman bernama Karamakate. Begitu memasuki Amazon, khazanah pengetahuan yang ia miliki menjadi tak ada gunanya: tak ada peta dan kompas, tak ada bahasa-bahasa Eropa, yang ada hanya pencarian nan syahdu terhadap salah satu tumbuhan terjarang di dunia. Dalam pencarian mereka inilah mereka bertemu dengan konflik-konflik yang menjatuhkan manusia baik dari pihak penjajah Spanyol maupun pihak yang dijajah. Melihat persahabatan sang sarjana dan sang dukun, film Embrace of the Serpent seolah ingin berkata bahwa bilalah ilmu tahu dimana ia harus bertindak, maka kolonialisme tidak akan pernah mengaku universal. Kolonialisme lahir dari klaim Eropa bahwa ilmu pengetahuan mereka berlaku di mana saja sehingga yang tidak sepaham harus di buat sepaham. Tidak demikian dengan tokoh Karamakate, ia selalu bisa membuat sang sarjana paham bahwa di Amazon, ilmu pengetahuan Karamakate-lah yang paling relevan. Di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung – ternyata juga berlaku dalam ilmu-ilmu kemanusiaan secara khusus dan modernitas secara umum.

Dalam My Bicycle (Sutradara Aung Rakhine, Bangladesh), pertemuan antara sang native dan modernitas tidak berlangsung dalam level manusia dan manusia, melainkan manusia dengan benda: tentang seorang lelaki bernama Komol yang suatu hari pulang ke kampungnya membawa sepeda. Sekilas mungkin terdengar mirip dengan satir-satir tentang modernitas seperti Gods Must be Crazy, akan tetapi My Bicycle bukanlah satir, ia lebih mirip dengan tragedi bergaya The Bicycle Thief (Vittorio De Sica, 1948).
Sutradara Aung Rakhine, dalam hemat saya, berpeluang untuk menjadikan My Bicycle sebagai salah satu film ikonik dalam sejarah sinema Bangladesh. Film ini adalah film berbahasa Chakma pertama di negeri itu. Chakma adalah salah satu suku bangsa minoritas yang bahasanya tidak diakomodir sebagai bahasa resmi negara. Bahkan sempat beredar kabar bahwa badan sensor di Bangladesh tidak akan memperbolehkan My Bicycle untuk tampil ke publik oleh sebab tidak resminya bahasa yang digunakan.
Polemik antara tokoh utama Komol dan sepedanya persis sama dengan polemik antara My Bicycle dan Pemerintah Bangladesh. Ada pertemuan yang tidak mulus antara manusia dan simbol-simbol modernitas (sepeda & negara) yang mengakibatkan tertatih-tatihnya jalan menuju kemajuan. Di dalam film diceritakan bahwa meskipun Komol adalah satu-satunya orang yang memiliki sepeda di kampungnya, ia tidak tahu bagaimana cara menggunakannya untuk mencari uang. Artinya, Komol harus bisa mengubah sepeda itu menjadi alat produksi agar supaya ia bisa berfaedah. Ketika pada akhirnya Komol mengerti cara menggunakan sepedanya untuk jasa ojek, sepeda itu dihancurkan oleh kelompok teror yang sepertinya disponsori oleh negara: sebuah ending yang menusuk hati. Nasib sepeda dalam My Bicycle sama seperti nasib My Bicycle ketika berhadapan dengan sensor: sama-sama ditindas.

Dalam tata tutur yang lebih halus dari My Bicycle, sutradara Guatemala Jayro Bustamante dalam filmnya Ixcanul memotret psikologi seorang gadis yang terpesona dengan seorang lelaki sebangsanya yang kini telah memperoleh pekerjaan modern sebagai opsir perkebunan kopi. Bagi si gadis, namanya Maria, menikahi Si Opsir Perkebunan akan membawa keluarganya pada tingkatan ekonomi yang lebih tinggi. Walhasil, mereka rela menyembelih babi peliharaan mereka demi memeriahkan pesta pertunangan agar pihak Si Opsir merasa dihargai. Anggaplah babi itu sebagai investasi.
Malang merundung ketika Maria ditemukan hamil sebelum menikah. Ibunya yang tak mau mengundang kasak-kusuk tak bisa berbuat apa-apa selain memaksa Maria untuk melakukan terapi-terapi tradisional dengan bantuan dewa-dewa di gunung berapi di dekat rumah mereka. Mimpi Maria untuk menikah dengan Opsir Perkebunan Kopi, lelaki sebangsanya yang telah mendapat atribut kemajuan sebab telah bekerja untuk kapitalisme modern, terancam punah bila tak segera meluruhkan janin dalam rahimnya. Yang menarik adalah bahwa sebenarnya yang menginginkan pernikahan tersebut bukanlah Maria, melainkan ayah dan ibunya. Maria tentu saja lebih cinta pada seseorang, siapapun dia, yang telah berkongsi dengannya pada level selangkangan dan perasaan.
Dengan mengambil latar pegunungan tinggi nun di Guatemala, Ixcanul memotret sekelompok masyarakat yang di atas kertas mengaku percaya pada kekuatan gunung-gunung dan dewa-dewa sementara pada realitanya, dewa-dewa tak lagi bisa menyelamatkan mereka dari kemiskinan akibat eksploitasi wilayah mereka oleh industri kopi. Lama-kelamaan, dewa-dewa itu kemudian berubah menjadi semacam objek denial sementara kepercayaan mereka lamat-lamat berpindah ke arah siapa-siapa saja yang bisa mendekatkan mereka dengan industri kopi. Perjodohan Maria dan Si Opsir adalah salah satu di antara usaha-usaha itu.
Yang paling distopik adalah peradaban apa yang mungkin terjadi akibat konflik-konflik besar antara kearifan lokal manusia mengenai dirinya sendiri dan konsep mengenai kecepatan yang dibawa oleh kapitalisme dan modernitas. Pertanyaan ini dengan baik digambarkan dalam Mad Max: Fury Road, yang penceritaannya mengambil bentuk orkestrasi kejar-kejaran tanpa henti antara aparatur rezim Immortan Joe dan Max Rockatansky yang bekerja sama dengan Imperator Furiosa. Orkestrasi ini berlangsung di sebuah padang gersang yang maha luas untuk memperebutkan satu sumber daya yang paling krusial: air. Asas kelangkaan berlaku di sini: di gurun, yang mahal adalah air. Di ruang angkasa, yang mahal adalah udara. Di Indonesia, yang mahal adalah Louis Vuitton sementara di Eropa, bisa jadi yang mahal adalah nasi padang. Logika ini membuat Mad Max: Fury Road menjelma menjadi sebuah model yang universal bahwa kehancuran dunia akan terjadi karena semakin cepatnya kita berlari menuju kelangkaan. Ada dua kata kunci: kecepatan dan kelangkaan.

Kecepatan (speed) dalam Mad Max: Fury Road dapat dimengerti dengan menggunakan logika pemikir Prancis Paul Virilio mengenai kecepatan dan modernitas. Bagi Virilio, modernitas adalah sebuah projek yang memiliterisasi masyarakat dengan cara membuat mereka tergila-gila pada kecepatan. Modernitas membuat manusia senantiasa berpikir bahwa kehidupan adalah waktu yang bergerak ketimbang sebagai sebuah ruang yang penuh relasi dan ini dengan sempurna, menurut Virilio, digambarkan oleh sinema. Dalam sinema, waktu direduksi menjadi gambar yang berpindah dari satu poin ke poin lain dan meletakkan dunia sebagai sesuatu yang senantiasa in motion, bukan sebagai relasi antar ruang yang merdeka dari waktu yang terkesan bergerak. Seperti halnya sinema yang terkurung dalam bahasa durasi, kehidupan manusia juga telah terkurung dalam bahasa jarum jam yang berputar dan kalender yang tak pernah mengulang hari.
Dengan menggunakan kata “memiliterisasi,” ingin saya tegaskan bahwa Virilio tidak secara langsung menghubungkan modernitas dengan konflik/perang, melainkan dengan hal-hal yang memungkinkan konflik/perang itu untuk terjadi: misalnya sumber daya.
Hal ini membantu kita memahami orkestrasi kejar-kejaran dalam Mad Max: Fury Road sebagai representasi atas sebuah obsesi untuk mendapatkan sebuah sumber daya dalam waktu yang sangat cepat, bahkan lebih cepat dari waktu itu sendiri. Tak jarang kita dibuat pusing sebab kecepatan kendaraan yang mereka gunakan terlalu kacau oleh editing yang terkesan tidak sabar. Ketika semua hal ini berkelindan, maka perang adalah jawaban yang paling mungkin. Sutradara George Miller paham benar bagaimana memvisualisasikan militerisasi masyarakat kiwari dengan mengeksplorasi onderdil kendaraan sebagai elemen utama desain set dan properti filmnya serta kecepatan yang dibahasakan lewat kendaraan modern dan tentu saja: distorsi gitar dengan tapping-tapping laju yang memuja kecepatan melodi.
Dalam film ini, nativitas manusia menjadi sangat bisa dipertanyakan ketika obsesi mengenai kecepatan telah menguasai segala kehendaknya untuk segera meloncat keluar dari tubuhnya. Layaknya seperti orang kampung yang tidak sabar ingin keluar dari tubuh kampungnya dan meloncat menjadi orang kota. Layaknya pemilik modem lambat yang memaki-maki dan tak sabar untuk segera membuang modem lambatnya dan beralih pada modem secepat Korea. Dua kubu dalam Mad Max: Fury Road hidup dalam dunia dimana komunikasi telah terbiasa di sampaikan lewat bahasa kecepatan. Di sanalah penting bagi Imperator Furiosa untuk kembali bertemu dengan orang-orang dari masa lalunya, yang kembali bertanam sebagai upaya melepaskan diri dari kungkungan waktu, untuk menyadarkannya bahwa waktu dan kecepatan bukanlah satu-satunya ukuran. Ada ruang yang harus kita hidupi dan untuk itu, sumber daya air harus kembali kita rebut dari Immortan Joe dan kawan-kawan.
Tentang waktu
Di akhir tahun 2014, Interstellar (Sutradara: Christopher Nolan, 2014) mempopulerkan satu gagasan yang menarik mengenai waktu. Dalam film itu, waktu dipandang sebagai produk ruang sehingga menjadi masuk akallah bila waktu dibaca sebagai sesuatu yang relatif terhadap ruang maupun pergerakan-pergerakan di dalam ruang tersebut. Adegan yang paling menjelaskan konsep ini adalah adegan reuni tokoh Murph yang sudah tua dan sakit-sakitan dengan ayahnya yang masih tampak muda. Waktu yang terekspresikan lewat kecepatan penuaan mereka yang berbeda secara radikal telah menandakan waktu itu sendiri sebagai sesuatu yang tidak mutlak, melainkan sangat relatif dengan ruang tempatnya berada. Tidak semutlak detak-detak jarum jam dan kalender yang kita catat dan coret dari hari ke hari di dalam jurnal kita.

Salah satu eksperimen menarik mengenai konsep waktu dalam sinema (cinematic time) adalah No Home Movies, karya legenda hidup sinema Belgia, almarhumah Chantal Akerman. Sesaat sebelum meninggal, Akerman merilis No Home Movies sebagai sebuah surat cinta pada almarhumah ibunya. Dalam No Home Movies, Akerman mengkombinasikan teknik pengambilan gambar dengan menggunakan video conference (Skype) dengan kamera yang secara realtime berada di lokasi pengambilan gambar sehingga tercipta keringkihan jarak dan ruang. Secara tepat, keringkihan tersebut dipadankan dengan kondisi Ibunda Akerman yang juga semakin ringkih. Walhasil, ruang dan tokoh tak bisa kita andalkan sebagai sumber informasi cerita. Yang bisa kita andalkan hanyalah waktu.
Sebagaimana yang sudah menjadi ciri khas film-film Akerman dimana pergerakan waktu tidak ditampilkan lewat elipsis via editing melainkan lewat waktu yang menyingkap (unfolding time) dalam satu shot tunggal, No Home Movies juga masih menggunakan teknik yang sama. Film dibuka dengan shot sebuah pohon tinggi yang tengah digasak angin kencang. Kamera tidak bergerak, tapi kita tahu bahwa waktu tengah berenang-renang di sana lewat daun-daun yang sedang kedinginan itu.
Selanjutnya, durasi shot kemudian dijadikan simplifikasi paling maksimal untuk memberikan periodisasi terhadap waktu. Ada shot yang lama, ada shot yang sebentar, tidak seperti detik yang senantiasa berdurasi sama. Dalam variasi durasi shotlah bisa kita rasakan waktu menyingkapkan dirinya lewat pergerakan dalam ruang. Hanya ketika ruang ada, waktu bisa dipersepsi. Bila ruang dipotong lewat banyak editing demi keabsahan naratif sebagaimana dalam teknik klasik Hollywood, maka ketersingkapan waktu akan menjadi korban sebab ia hanya bisa dipahami secara fragmentatif lewat subjektivitas sudut pandang narasi cerita. Dalam No Home Movies, Akerman memberikan kesempatan pada waktu untuk menjadi tokoh utama. Ibunya meninggal, Chantal Akerman-pun sudah meninggal. Namun waktu? Sementara ini, ia abadi.
Relativitas waktu dalam hubungannya dengan ruang bisa pula kita amati dalam film Happy Hour karya sutradara Jepang, Ryusuke Hamaguchi. Film berdurasi 317 menit ini bercerita tentang empat orang sahabat, semuanya perempuan, dalam pergulatan mereka sehari-sehari terhadap hidup mereka. Ada satu adegan saja yang ingin saya bahas dalam tulisan ini, yakni sebuah adegan dimana para tokoh mengikuti kursus “menyeimbangkan diri.” Adegan ini terjadi selama hampir satu jam yang dimulai dengan pembukaan kelas oleh sang tutor sampai berakhirnya kelas yang juga diakhiri oleh sang tutor. Kita mengikuti menit per menit, kegiatan per kegiatan dalam kelas tersebut sehingga bagi penonton dan tokoh utama, waktu menjadi tidak terasa. Adegan yang terbilang sangat lama ini tidak terasa bedanya dengan adegan-adegan berdurasi sebentar dalam film yang sama.
Lewat durasi yang sangat lama (lebih dari lima jam), film ini menampilkan perubahan karakter, munculnya memori masa lalu dan tertanamnya ingatan masa kini sebagai memori di masa depan, serta pembentukan masa kini sebagai sebentuk interpenetrasi tadi dan nanti lewat satuan-satuan shot dengan varian durasi yang sangat beragam. Ada yang kurang dari tiga puluh detik, ada pula yang hampir satu jam.

Percobaan menarik lainnya dilakukan oleh sutradara muda asal Tiongkok Bi Gan dalam filmnya Kaili Blues. Bila Akerman jarang menggerakkan kamera, bila Hamaguchi memainkan variasi durasi shot, maka Bi Gan bermain dengan pergerakan kamera dengan sedemikian nakalnya sehingga waktu menjadi sangat radikal: kadang-kadang terasa maju namun di saat yang lain bisa juga terasa mundur. Kaili Blues bercerita tentang perjalanan tokoh utamanya hingga suatu hari ia memasuki sebuah wilayah bernama Kaili. Lewat sebuah shot yang berdurasi sekitar 40 menit tanpa putus, kamera berkelana di Kaili menjumpai orang-orang biasa sembari menemani sang tokoh utama. Di sela-selanya, sering kita dapati voice over berupa puisi klasik Tiongkok yang kadang-kadang terdengar menuding (tentu saja lewat cara yang sangat tak langsung) posisi waktu bagi ruang yang sedang divisualkan di layar. Walhasil, lewat perkawinan antara gerakan kamera, tokoh utama dan puisi lirih Tiongkok tersebut, waktu di Kaili terasa tidak linear. Kadang-kadang maju, kadang-kadang mundur, kadang ke samping atau ke atas atau bawah seturut ruang yang diproduksi oleh pergerakan kamera. Waktu terasa seperti air.
Percobaan lain yang bermain dengan waktu adalah karya maestro asal Taiwan, Hou Hsiao-Hsien dalam film terbarunya, The Assassin. Dalam film bela diri itu, bela diri justru sama sekali tidak dihadirkan sebagai gerakan. Akan berbuah kecewa bila kita menonton film ini untuk menanti adegan berkelahi yang ganas secara rasa dan mahal secara harga. Alih-alih, Hou menjebak kita pada dilema moral yang berhubungan dengan profesi yang tertera di judul filmnya, Assassin, pembunuh.
Berlatarkan dinasti Tang yang tengah kisruh, Yinniang Sang Pembunuh ditugaskan untuk membunuh seorang pembesar agar situasi politik bisa kembali direstorasi. Yinniang saat itu tengah belajar di sebuah padepokan Taois di mana ia belajar untuk membersihkan diri dari empati dan rasa agar bisa menjadi pembunuh yang sempurna. Salah satu ujiannya adalah membunuh sang pembesar yang pada akhirnya ia ketahui ternyata punya hubungan berbasis masa lalu dengannya. Semakin dalamlah ia terjerumus ke dalam problema. Dari sini menjadi jelas bahwasanya yang menjadi persoalan terbesar bagi Yinniang bukanlah si pembesar, melainkan dirinya sendiri.
Dalam memotret dilema Yinniang dengan dirinya sendiri, Hou menggunakan senjata estetik andalannya: kamera yang selalu bergerak lebih lambat dari pergerakan aktornya. Hou selalu membiarkan aktor untuk keluar masuk frame dengan bebas agar penonton bisa menyadari bahwa aktor hanyalah medium dan kamera hanyalah alat. Di baliknya terdapat sebuah kekuatan absolut yang menghuni frame yang sedang kita amati tersebut: waktu. Mengapa waktu? Sebab waktu adalah jalan masuk bagi penonton untuk merasakan gambar film Hou sebagai, meminjam istilah kritikus kum sutradara Tiongkok Fei Mu, sebuah wilayah ide (ideational environment). Itu jualah kesan dan rasa yang diinginkan oleh para pelukis-pelukis Tiongkok zaman dulu sehingga teknik perspektif satu titik hilang tidak digunakan dalam lukisan mereka. Ruang harus tampak berbeda dari realitas materiil sehingga pengamat bisa memandang lukisan bukan dari penampakan materialnya melainkan lewat penampakan gagasannya. Dalam film, bukan saja ruang melainkan durasipun sudah termasuk sebagai komponen inherennya, Hou kemudian membawa konsepsi tersebut selangkah lebih jauh.

Film-film Hou selalu menempatkan penontonnya sebagai pengamat kejadian secara langsung dan bukan pengamat yang direpresentasikan oleh tokoh cerita. Subjektifitas penonton tidak direbut oleh sudut pandang tokoh utama atau tokoh tertentu, melainkan tetap digenapkan sebagai subjektifitas yang berdiri di luar film, diberi jarak untuk kemudian berdialog dengan sudut pandang yang ada di dalam film. Salah satu contohnya dalam film The Assassin ada pada adegan ketika tokoh Ji’an, yakni seorang pembesar, tengah mengunjungi selirnya. Dalam adegan tersebut, kamera ditempatkan di belakang sebuah tirai sehingga penonton bisa bertindak sebagai pengamat, pengintip bahkan. Di akhir adegan tersebut, kamera berpindah dan kita melihat Yinniang juga berdiri di balik tirai di satu sudut yang lain untuk menguping percakapan yang sama. Adegan tersebut dilihat dari dua sudut pandang, sudut pandang Yinniang dan sudut pandang kita sebagai penonton.
Penutup
Saya tidak sempat menonton semua film yang dirilis pada 2015, sehingga akan sangat wajar bila ada respon “Kok film ini nggak ada?” atau “Kok yang itu nggak masuk?” Catatan ini hanya ditulis sebagai wakil dari pemahaman saya mengenai 2015 lewat film-film yang sempat saya tonton dan kebetulan dalam hemat saya, baik.
Dalam mencatat film-film ini, saya selalu berpatokan pada keyakinan bahwa materi sinema yang paling mendasar adalah realitas material itu sendiri. Bahasa sinema tidak bisa berdiri sendiri sebagai sesuatu yang universal dan berdiri di atas semua bahasa dan realitas. Ia akan senantiasa “diganggu” oleh pemahaman yang berbeda mengenai apa yang tejadi dalam realitas material, apa yang terjadi pada industri, apa yang terjadi pada peta geopolitik, teknologi, ekonomi, pemerintahan dan faktor-faktor lainnya.
Mengetahui mana film yang baik dan yang tidak baik bukanlah berarti mencari mana yang paling mirip dengan para pemenang Oscar. Mengetahui mana pembuat film yang baik atau tidak baik bukan pula berarti mencari mana pembuat film yang bisa menembus Hollywood (apalagi hanya mengaku-ngaku!). Mengetahui film dan pembuat film yang baik berarti senantiasa menuntut diri sendiri untuk peka terhadap hubungan-hubungan bahasa sinema dengan faktor-faktor lainnya seperti yang kurang lebih sudah disebutkan tadi.