
Wacana sosio-ideologis: Cultural Studies dan Representasi ‘liyan’
Para pendukung wacana film-sebagai-seni berpendapat bahwa film, secara intrinsik memang penting dan mungkin untuk dipelajari meskipun terkadang harus dianalisis lewat wacana seni dan estetika yang lebih luas. Hal ini justru untuk menempatkan film sebagai objek kesenian lengkap dengan karakteristik formalnya sendiri. Model pendekatan ini dipancing oleh adanya upaya untuk melihat film secara sosial dan ideologis. Ciri yang paling menonjol dari model pendekatan ini adalah peneliti berupaya menganalisa hal-hal yang terepresentasi lewat film, baik dari segi gaya maupun naratifnya, lalu mencari pola hubungannya dengan konsep-konsep sosial-politis yang dianut oleh si peneliti sendiri. Lahirnya modus pendekatan ini juga tak pelak dipengaruhi oleh kuatnya pengaruh cutural studies pada dekade 1980-an. Dimana segala macam isu representasi akan ditinjau secara politis berdasarkan latar belakang kelompok sosial atau budaya tertentu, serta selalu mencari tahu siapa yang berada dibalik semua produksi kultural. Menurut perspektif ini, film sebagai produk kultural pastilah digunakan oleh satu atau beberapa pihak dalam masyarakat untuk meraih atau mempertahankan kepentingan politis-ekonomis tertentu.[1] Pandangan semacam ini sangat dipengaruhi oleh paham Gramscian dan Althusserian yang dipadukan dengan konsepsi Adorno mengenai ‘industri kultural’, dimana film dinilai sebagai salah satu produknya. Semua perspektif ini adalah varian generik dari paham Marxisme.
Sekali film dilihat sebagai produk kultural, maka ia akan selalu tampak sebagai gejala modernitas, yang tak pernah bisa lepas dari kapitalisme, industrialisme, budaya urban, dan massa yang tersentralisasi.[2]
Sebelum kita lanjutkan, ada baiknya berhenti sejenak dan merenung, kenapa bisa wacana film-sebagai-seni bisa meloncat begitu jauh menjadi wacana film-sebagai-produk-kultural-ideologis? Identifikasi unsur politik representasi dalam film sebenarnya didasari oleh keeratan hubungan dengan ilmu semiotika, varian ilmu linguistik yang mempelajari tanda yang muncul pada tahun 1970-an. Para peneliti berpendapat bahwa film lebih dari sekedar seni, film adalah sebuah fenomena linguistik. Para peneliti ini mendasarkan diri pada ajaran-ajaran linguistik Ferdinand de Saussure dan konsepsi semiotika Charles Sanders Pierce. Salah satu pakar semiotika film yang paling berpengaruh adalah Christian Metz. Semiotika film memandang film sebagai bahasa atau setidaknya fenomena menyerupai bahasa yang memungkinkan manusia untuk menggali partikel-partikel di dalamnya. Akibatnya, terbuka kemungkinan baru untuk menjawab pertanyaan ‘Apa sebenarnya film itu?’ (dalam terminologi semiotika) dan bagaimana ia bekerja dalam sistem secara keseluruhan.
Meskipun begitu, seorang teoritisi film bernama Joseph D. Anderson berpendapat bahwa optimisme semiotika film ini tidak bertahan lama karena segera tergantikan oleh teori ‘aneh’ psikoanalisa Freudian (dan turunannya) yang digabungkan dengan paham Marxisme.[3] Penggabungan ini dipelopori oleh ilmuwan Jacques Lacan yang mencolek setakaran ilmu psikoanalisa, meramunya dengan sejumput paham Marxis, lalu mengaplikasikannya ke dalam proses analisa sinematik. Kejadian inilah yang disebut oleh teoritisi film Nöel Carroll sebagai ‘mistifikasi film’.[4] Carroll menilai bahwa penggabungan teori tersebut hanya akan menghambakan film pada ‘kekuatan sosial-ideologis yang tak kelihatan’ (unwitting instructor of political ideology).[5] Contohnya, film-film Hollywood akan dinilai mengusung nilai-nilai kapitalistik yang tentunya negatif berdasarkan ukuran Marxisme. Belum lagi psikoanalisa yang akan segara mendiagnosa bahwa film-film tersebut mencerminkan kondisi masyarakat yang sedang sakit.

Salah satu contoh dari hasil analisis berbasis psikoanalisis/Marxian ini dapat diindera pada teori aparatus yang salah salah satunya diprakarsai oleh Jean-Louis Baudry. Baudry bukan hanya melihat cinematic apparatus (teknik seperti editing, camerawork dan proyeksi ke layar) semata sebagai perangkat ideologis, meskipun pernah dalam salah satu tulisannya ia menganalogikan film dengan mimpi (seperti halnya Freudian psikoanalisis yang memberikan perhatian pada mimpi sebagai dobrakan dari represifitas alam bawah sadar kita [unconciousness]). Ia menambahkan bahwa kesamaan antara film dengan mimpi ini bisa dilihat dalam proyeksi layar ketika sebuah film dipertunjukkan. Baudry menambahkan bahwa proyeksi layar putih film merupakan representasi dari layar dalam mimpi kita yang analoginya persis seperti buah dada seorang ibu (berkaitan dengan konsep Oedipus complex) yang menurut dia juga berwarna putih. Analogi ini berdasar pada konsep psikoanalisis Bertram Lewin yang ia adopsi dalam menganalisa interpretasi film.[6] Carroll dalam salah satu bantahannya terhadap asumsi dan analogi semacam ini mempertanyakan basis dari kesimpulan Baudry mengenai layar film sama dengan buah dada ibu:
One must at least question the purported screen/breast association. What is its basis? And how extensive is it? Maybe some white people envision breasts as white and then go on to associate the latter with white screens. But not everyone is white. And I wonder if many whites associate breasts and screens. Certainly it is not an intuitively straightforward association like that between guns and penises. For example, screens are flat, and lactating breasts are not. A screen is , ideally, uniform in color and texture; but a breast has a nipple.[7]
Kesimpulannya, asosiasi yang Baudry cantolkan terhadap layar putih sinema dengan buah dada bukan hanya irasional, tetapi juga asosiasi objek yang tidak intuitif. Setidaknya asosiasi pistol dengan penis misalnya lebih mendekati karena tekstur phallic-nya, namun buah dada dengan layar putih yang datar sama sekali tidak kongruen.
Ilustrasi di atas adalah salah satu contoh bentuk teori interpretasi sinema yang melihat film sebagai gejala dari kompleksitas kehidupan manusia, dan kebanyakan dari gejala tersebut dilihat dari teropong psikoanalis/Marxis yang bersifat patologis dan negatif. Film akan terbaca sebagai bentuk hasrat yang direpresi oleh kelas berkuasa sehingga memunculkan penyakit dalam bentuk sinema. Meminjam istilah Anderson, ‘film hanya akan dianggap sebagai pasien, lalu para teoritisi film bertindak sebagai psikiater’.[8] Para teoritisi juga akan cenderung mencari tahu agenda politik apa yang tersembunyi di balik sebuah medium film. Teoritisi model ini banyak berasal dari para feminis, poskolonialis, dan teoritisi queer cinema yang menganggap bahwa kajian film harus bisa mementahkan kekuatan opresif yang sangat mungkin dikandung oleh sinema.
Gelombang teori berikutnya datang dari paradigma posmodernisme seiring merebaknya paradigma ini dalam kajian humaniora. Posmodernisme sering didefinisikan sebagai “apa saja yang bukan bagian dari modernitas.” Meskipun posmodernisme tidak punya kerangka teoritis yang baku, bahkan mungkin saja ia tak punya teori, hanya segumpalan tingkah polah dan cara pandang, mereka tetap punya sikap yang kurang lebih sama terhadap film, yakni semata sebagai centang perenang arus penanda (signifier). Para posmodernis selalu berusaha mencari apa yang tersembunyi, melihat film dengan seksama lalu membicarakan isinya. Lagi-lagi, umumnya para posmodernis hanya tertarik untuk membicarakan film secara ideologis, seperti juga yang dilakukan oleh para teoritisi yang karakternya sudah dijelaskan di depan, seperti psikoanalisa, Marxisme, feminisme, queer movement, dan tradisi berpikir lain yang serupa. Gelombang wacana ini kemudian akan dikritik keras oleh generasi berikutnya yang menamakan diri ‘Neoformalis’, lengkap dengan pendekatan yang mereka sebut ‘pendekatan film kognitif’ (cognitive film approaches).
Tulisan ini aslinya dalam bahasa Inggris, dengan judul Film Studies and Film Theory: Mapping Out the Complex Terrain From Russian Formalism to the Cognitive Approaches. Diterjemahkan oleh Makbul Mubarak, bagian ini adalah yang kedua dari keseluruhan empat bagian yang akan disyiarkan. Bagian pertama dapat diakses di sini. Daftar pustaka akan disertakan dalam bagian yang terakhir.
[1] Richard Dryer, The Oxford Guide to Film Studies, hal. 8.
[2] Ibid, hal. 6.
[3] Joseph D. Anderson, The Reality of Illusion: An Ecological Approach to Cognitive Film Theory (Carbondale: Southern Illinois University Press, 1996), hal. 6.
[4] Nöel Carroll, Mystififying Movies: Fads and Fallacies in Contemporary Film Theory (New York: Columbia University Press, 1988).
[5] Joseph D. Anderson, The Reality of Illusion, hal. 6.
[6] Jean-Louis Baudry, “The Apparatus,” di Jurnal Camera Obscura 1976 1(1 1), hal. 104-126. Terjemahan dari artikel aslinya dalam Bahasa Perancis: “Le Dispositif’, di jurnal Communications,
No. 23,1975, hal. 56-72.
[7] Nöel Carroll, Mystififying Movies: Fads and Fallacies in Contemporary Film Theory (New York: Columbia University Press, 1988): 29.
[8] Ibid.