Melihat Bintang: Sebuah Titik Mula

wacana-melihat-bintang_hlgh

Salah satu film bioskop yang baru-baru ini ramai ditonton dan dibicarakan orang adalah Maleficent. Film tersebut merupakan sebuah pembaharuan dongeng Putri Tidur yang sebenarnya sudah pernah diangkat oleh Disney sebagai sebuah film animasi di tahun 1959 berjudul Sleeping Beauty. Kali ini, dongeng tersebut muncul kembali sebagai sebuah film live-action dengan kisah yang sedikit berbeda. Dengan mengusung tagline yang berbunyi: “Don’t Believe the Fairytale”, kisah klasik tentang Putri Tidur kini diceritakan melalui sudut pandang sang peri yang mengutuknya, Maleficent.

Meskipun awalnya menerima reaksi yang campur-aduk dari kritik, Maleficent sepertinya tetap efektif dalam menarik penonton. Hal ini dibuktikan melalui dominasi boxoffice dengan meraup sekitar 70 juta dollar pada opening weekend-nya.Lebih dari itu, Maleficent telah dipuji beberapa pihak dalam hal keberaniannya untuk “merevisi” formula dongeng klasik yang selama ini hanya berfokus kepada seorang figur pahlawan. Film ini menjadikan Maleficent, tokoh antagonis dalam film animasi Sleeping Beauty, sebagai tokoh utama yang ternyata mempunyai sisi lain yang tidak pernah terlihat dalam film sebelumnya. Selain itu, film ini pun dapat dikatakan adalah semacam angin segar melalui gambaran positifnya mengenai figur perempuan yang dapat menentukan takdirnya sendiri. Namun, di luar semua itu, bagi kebanyakan penonton mungkin daya tarik utama dari Maleficent sebenarnya adalah figur bintang utamanya, Angelina Jolie. Dalam mengimajinasikan kembali kisah Putri Tidur, film ini memanfaatkan image Jolie sebagai bintang dalam membangun tokoh Maleficent yang lebih multi-dimensional.

Angelina Jolie umumnya dikenal sebagai dua hal: pertama, sebagai seorang action hero, terutama ketika ia masih lebih muda dan membintangi beberapa film laga, misalnya sebagai Lara Croft dalam seri film Tomb Raider; dan kedua, sebagai seorang celebrity mom dengan banyak anak (tiga diantaranya diadopsi dari negara-negara berkembang). Sebelum Jolie menjadi seorang ibu, image-nya sebagai seorang bintang action memang sangat mendominasi dirinya. Ia lebih banyak memerankan wanita-wanita tangguh yang tentunya mampu mengurus dan melindungi dirinya sendiri. Ketika ia mulai masuk ke dalam fase keibuannya, image tangguhnya pun mulai diperhalus. Faktor keibuan tersebut menjadikannya terlihat lebih dewasa dan dikagumi.

Jika sebelumnya Maleficent adalah tokoh antagonis utama dalam Sleeping Beauty, maka dalam film Maleficent, ia adalah tokoh protagonis yang menjadi perwujudan dari dikotomi pahlawan/penjahat. Dualitas dalam tokoh Maleficent ini, selain ditunjukkan secara naratif dalam film, sebenarnya juga memanfaatkan kedua image yang melekat pada Angelina Jolie di atas. Maleficent diperlihatkan sebagai seorang perempuan tangguh (melalui adegan-adegan action, misalnya ketika Maleficent harus mempertahankan Moors—kerajaan di mana ia tinggal—dari serangan seorang raja dan pasukannya), tetapi juga halus dan keibuan (melalui interaksinya dengan Aurora).

Image keibuan Jolie terutama mempengaruhi keseluruhan film Maleficent dan bagaimana penonton, apalagi yang tahu jelas latar belakang Jolie, membaca film tersebut. Hubungan antara tokoh Maleficent dengan sang Putri Tidur, Aurora, digambarkan semacam hubungan ibu-anak. Bahkan, Aurora menyangka bahwa Maleficent adalah ibu peri pelindungnya. Aurora yang tidak sempat mengenal orang tuanya sendiri pun menemukan figur maternal yang ia dambakan dalam diri Maleficent. Bisa dibilang, film ini sebenarnya menceritakan tentang sebuah proses adopsi. Jika kita sering mengikuti berita selebritis, maka kita ingat bahwa Jolie pun sudah sering melakukan proses adopsi anak. Kemudian, sebuah adegan kecil, di mana Aurora cilik meminta gendong kepada Maleficent, juga menggunakan informasi yang ada pada diri Angelina Jolie sebagai seorang ibu untuk menciptakan sebuah momen ironis. Dalam adegan tersebut, Aurora (diperankan oleh putri Jolie sendiri, Vivienne) menghampiri Maleficent yang sebenarnya berusaha mengusirnya dengan berkata, “I don’t like children.” (Pernyataan ironis ketika kita mengingat Jolie sebenarnya punya enam anak!)

Pembacaan sederhana di atas terhadap film Maleficent mengundang sebuah pertanyaan: akankah film tersebut bekerja dengan baik jika Maleficent tidak dimainkan oleh Angelina Jolie? Tentunya jawaban dari pertanyaan tersebut dapat diperdebatkan, namun dalam kasus ini, kita dapat melihat bagaimana figur seorang bintang film dapat sangat mempengaruhi film yang dibintanginya dan cara kita menikmati film tersebut.

Jika dalam Maleficent kehidupan pribadi sosok Angelina Jolie dapat mempengaruhi bagaimana film tersebut dibaca, maka di Indonesia baru-baru ini juga ada contoh lain yang sama menarik, meskipun sedikit berbeda. Tahun 2013 lalu, muncul film Cahaya Kecil yang dibintangi oleh Andi /rif dan Petra Sihombing, dua figur yang lebih dikenal sebagai musisi. Dalam film ini, keduanya bermain sebagai sepasang ayah-anak, Arya dan Gilang Krisna, yang memiliki hubungan buruk, namun keduanya sama-sama menggeluti bidang musik. Andi /rif sebagai Arya berperan sebagai seorang penyanyi lead dari sebuah band beraliran rock—pekerjaan yang benar-benar ia geluti dalam kariernya sendiri sebagai seorang musisi.

melihat-bintang_gambar_02

Dalam sebuah wawancara pada behind-the-scene filmnya, sutradara Cahaya Kecil, Benni Setiawan, menyatakan bahwa ia ingin tokoh-tokoh dalam film ini bernyanyi dengan suara mereka sendiri. Ia sadar ketika mengaudisi beberapa pemain untuk kedua peran utamanya, kebanyakan dari mereka tidak bisa bernyanyi. Maka dari itu, ia pun memilih untuk memberikan peran-peran yang ada dalam film ini kepada sosok-sosok yang memang penyanyi dan pemusik, seperti Andi dan Petra. Dari sini, kita bisa melihat sebuah kecenderungan lain dalam memanfaatkan image atau kemampuan khusus sesosok bintang yang dicocokkan dengan peran yang ia mainkan di dalam sebuah film. Andi /rif memang notabene bukan bintang film. Ia terlebih dahulu terkenal sebagai seorang musisi rock, kemudian diajak bermain film untuk memerankan seorang musisi rock pula. Meskipun ia tentu saja tetap harus memerankan seorang karakter yang mungkin cukup berbeda dari dirinya sendiri, pilihan untuk menempatkan Andi /rif dalam peran tersebut tampak masuk akal dan justru membantu membangun ekspektasi penonton terhadap film ini, terutama mereka yang mengenal Andi sebagai seorang rocker.

Bintang ternyata memiliki posisi cukup penting dalam sebuah film. Akan tetapi, pengetahuan kita mengenai konsep bintang film sebenarnya masih sangat minim. Kebanyakan orang hanya mengenal bintang film melalui status mereka sebagai figur publik dan selebritis. Padahal, sebagai wajah-wajah yang kita saksikan di layar perak, posisi mereka dalam film dan budaya populer pada umumnya adalah salah satu hal yang paling menarik untuk dipelajari lebih lanjut.

Awalnya, bintang hanya dibahas dalam konteks biografi, yaitu usaha-usaha untuk mengenalkan mereka kepada publik. Tulisan-tulisan yang demikian memitologikan eksistensi seorang bintang dan digunakan untuk mempromosikan image bintang tersebut. Dalam perkembangannya, mereka pun dianggap sebagai simbol dari sebuah kelompok masyarakat yang lebih besar. Pada dekade 1970-an, Richard Dyer mengajukan pandangan baru mengenai bintang dan menjadikan kajian terhadap bintang sebagai salah satu topik menarik dalam ranah kajian sinema. Bintang, tidak lagi hanya sekedar elemen ekonomis dalam film sebagai tenaga kerja, dipandang juga sebagai sebuah konstruksi image yang merupakan sebuah kumpulan makna. Dyer tidak hanya mempertimbangkan kehadiran seorang bintang dalam film-film yang ia bintangi, tetapi ia juga mempertimbangkan eksistensi bintang tersebut dalam teks-teks media lain, seperti materi publisitas, foto-foto dan artikel dalam majalah, komentar kritis mengenai penampilan si bintang, dan lain-lain. Kumpulan makna yang dimaksud adalah hasil interaksi dari teks-teks media tersebut yang membangun image tertentu dari seorang bintang.

Rekomendasi bacaan pada artikel Wacana kali ini mencakup dua buku yang membicarakan permasalahan bintang film dengan sedikit lebih kompleks dan merupakan titik mula menarik bagi kita jika ingin memahami permasalahan ini secara lebih mendalam.

Buku yang pertama adalah The Star System, Hollywood’s Production of Popular Identities oleh Paul McDonald. Buku ini adalah salah satu edisi dari serial Short Cuts yang memang menyediakan bacaan-bacaan singkat namun cukup komprehensif mengenai topik-topik tertentu dalam kajian sinema. Dengan tebal sekitar 100 halaman, buku ini pada dasarnya membahas posisi bintang dalam industri perfilman, yaitu dengan fokus terhadap perkembangan industri sinema Hollywood. Dengan menggunakan pendekatan historis, buku ini membahas bagaimana sistem bintang di Hollywood dapat muncul, yaitu dengan membahas pengaruh dari tradisi panggung hingga transformasi industri sinema itu sendiri menjadi lebih entertainment-oriented.

Buku ini juga membahas mengenai hubungan antara seorang pribadi bintang dengan industri yang mengontrol image-nya. McDonald melengkapi argumen-argumennya dengan contoh-contoh konkrit, misalnya bagaimana Mary Pickford, sebagai salah satu model bintang paling awal, memanfaatkan popularitasnya untuk menuntut gaji lebih, atau bagaimana studio Hollywood mengontrol bintangnya lewat implementasi sistem kontrak yang berlangsung selama 7 tahun. Ia pun menyorot bagaimana bintang bisa menempati posisi yang lebih krusial ketika sistem studio runtuh, yaitu ketika posisi studio sebagai pihak yang menaungi bintang tergantikan oleh talent agency. Sebenarnya buku ini mengambil perspektif yang sedikit berbeda dari kajian bintang pendahulunya. Menurut McDonald, kebanyakan studi tentang bintang film berkonsentrasi untuk membaca dan menganalisis image bintang, sementara buku ini lebih memedulikan posisi bintang dalam industri sinema yang terus berubah. Dalam buku ini, bintang dilihat sebagai sebuah ‘fenomena produksi’, di mana image bintang dihubungkan dengan konteksnya sebagai salah satu faktor ekonomis dalam pembuatan film.

Apa yang dipaparkan di dalam buku ini menjadi menarik bagi kita untuk menganalisis arah perkembangan posisi bintang dalam produksi film selanjutnya. Kini, tidak hanya mereka digunakan untuk menjual sebuah produk film, bintang pun sudah mulai mampu memanfaatkan posisi mereka sendiri untuk mengambil kendali atas produksi yang lebih besar. Hal ini dapat dilihat dalam tren di mana aktor dan aktris mulai merambah ke dunia penyutradaraan, penulisan, atau produksi film. Tahun lalu misalnya, di Indonesia sendiri muncul sebuah omnibus berjudul Rectoverso yang memuat lima film yang disutradarai oleh lima perempuan yang lebih dikenal sebagai aktris. Memang, mereka tidak menyutradarai diri mereka sendiri, maupun hanya bergantung kepada ketenaran masing-masing dalam melibatkan diri dalam proyek ini. Akan tetapi, kita dapat bertanya-tanya, apakah sebenarnya profesi mereka sebelumnya sebagai bintang film mempengaruhi keterlibatan mereka sebagai sutradara dalam film yang satu ini? Bagaimana implikasi selanjutnya ketika pemain film lain juga mulai mengikuti jejak kelima actresses-turned-directors ini?

Sementara itu, buku kedua adalah sebuah antologi esai berjudul Stardom, Industry of Desire yang disunting oleh Christine Gledhill. Buku ini mengambil pendekatan yang lebih dekat dengan perkembangan ketertarikan akademis terhadap bintang di dekade 70-an yang dirintis oleh Richard Dyer (Dyer sendiri menyumbang beberapa esai yang dapat ditemukan dalam buku ini), yaitu fenonema kebintangan dalam konteks kultural dan teoretis. Stardom dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu: The system, Stars and Society, Performers and signs, dan Desire, meaning, and politics.

Keempat bagian ini memayungi sejumlah esai mengenai isu bintang dari berbagai sudut pandang. Misalnya saja, bagian pertama, The system, cenderung membahas sejarah dari sistem bintang itu sendiri. Dua esai pembukanya, “Seeing stars” oleh Janet Steiger dan “The emergence of the star system in America” oleh Richard de Cordova, menawarkan penelusuran sejarah tersebut. Sementara itu, bagian kedua membahas hubungan antara figur bintang dengan masyarakat dalam konteks budaya. “‘Puffed sleeves before tea-time’: Joan Crawford, Adrian and women audiences” adalah salah satu esai yang menarik untuk disimak sebagai contoh studi terhadap hubungan bintang dengan masyarakat. Esai ini membahas pengaruh signifikan yang disebabkan oleh gaya pakaian Joan Crawford, aktris Hollywood populer di zaman sistem studio, yang kerap kali ditiru oleh para penonton wanita pada masa itu. Kasus mengenai Crawford ini, yang notabene gaya berpakaiannya ditentukan oleh keinginan studio yang mengontraknya, dapat dibandingkan dengan bintang-bintang kontemporer yang mendapatkan kebebasan untuk memilih gayanya sendiri. Di Indonesia sendiri, kerap kali kita lihat program infotainment mendatangi rumah pribadi para selebritis untuk “mengintip” ke koleksi pakaian, perhiasan, atau aksesoris lainnya yang mereka miliki. Terlepas dari apakah publik meniru gaya tersebut atau tidak, fakta bahwa pengetahuan tentang koleksi jam tangan seorang bintang sinetron muda yang sedang nge-top bisa dianggap “news-worthy” sudah menunjukkan bahwa adanya kesadaran bahwa ada hubungan antara gaya hidup seorang bintang dengan cara bagaimana publik memandang mereka.

Kedua buku di atas memang tidak sendirian dalam mengusung diskusi mengenai bintang film. Namun, masing-masing menawarkan sudut pandang menarik sebagai titik awal untuk mempelajari bintang, yaitu McDonald yang memandang bintang sebagai fenomena produksi, sementara Gledhill dan kawan-kawan yang menyadari keragaman pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami bintang. Keduanya pun pada dasarnya ingin berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama: Apa yang membuat seseorang dapat disebut sebagai bintang? Mengapa kita memiliki bintang?

Meskipun baru titik mula yang sederhana, mungkin inilah awal dari pembicaraan lebih lanjut mengenai bintang, tidak hanya secara umum, tetapi juga secara khusus di Indonesia. Selamat membaca dan selamat melihat bintang!

DAFTAR BACAAN

  • The Star System, Hollywood’s Production of Popular Identities (Paul McDonald, 2000) | unduh
  • Stardom, Industry of Desire (Christine Gledhill, 1991) | unduh