Marselli Sumarno: Kritikus Pengendara Waktu

marselli-sumarno-kritikus-film_hlghAda sejumlah kekhawatiran yang muncul saat saya ingin mewawancara Marselli Sumarno. Ini menyangkut kapasitas yang ia miliki sebagai kritikus, sekaligus juga keseharian beliau sebagai dosen. Pertama, saya takut ilmu beliau terlalu tinggi, sehingga diksi yang dipakai tidak terjangkau alam pikir saya. Kedua, entah kenapa saya selalu membayangkan akademisi sebagai orang yang kaku—kemeja yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana, sepatu pantofel mengilap, dan gesturnya, yang mungkin karena terlalu sering membaca dan berkutat di layar komputer, kurang bisa mendukung kalimat-kalimat yang dilontarkan. Ketiga, kesibukan beliau yang memperkecil kesempatan saya untuk lebih banyak punya waktu berbincang.

Bagaimanapun juga, yang akan saya wawancarai adalah seorang kritikus legendaris. Namanya menggema dari dekade 1980 hingga 1990an. Berbagai tulisan mengenai film telah beliau buat—sebagian terkumpul dalam buku bertajuk Perfilman Indonesia: Suatu Sketsa. Ia juga menerbitkan buku Dasar-Dasar Apresiasi Film yang bisa menjadi acuan bagi masyarakat dalam memilah film. Marselli, sampai saat tulisan ini dibuat, masih aktif mengajar kajian film di Institut Kesenian Jakarta.

Kecemasan saya terhadap wawancara ini mulai terasa nyata saat saya mencoba menghubunginya. Butuh dua hari sampai surel saya mendapat balasan. Selain sibuk, ternyata beliau juga sedang tidak enak badan. Tentunya kedua alasan tersebut bukan suatu hal yang pantas saya permasalahkan. Setelah menanti beberapa hari, akhirnya ia meminta saya untuk menemuinya di kampus IKJ. Dalam surel, ia menyatakan punya waktu dua jam untuk berbincang bersama saya—jatah waktu yang bisa jadi terlalu lama atau malah terlalu singkat.

Saya masih juga khawatir bahkan sampai sesaat sebelum menemuinya di IKJ. Namun kekhawatiran itu sirna ketika saya disambut dengan hangat tepat di depan tangga lantai tiga. Tampak dirinya mengenakan tuksedo hitam bercelana bahan yang juga berwarna hitam. Ia berdiri dari kursi dan menjabat erat tangan saya lalu membawa saya ke dalam ruang diskusi—sepetak ruang berisi jejeran kursi dan meja kayu melingkar.

Marselli menawarkan saya segelas air. Kesan ramah tak pernah surut dari wajahnya. Dan saat saya meminta izin untuk merekam wawancara, ia bahkan menawari saya colokan untuk mengisi baterai ponsel. Saya lega—kekhawatiran saya sungguh tak beralasan. Kami pun mulai mengobrol.

Bisa tolong ceritakan, bagaimana awalnya Mas Marselli bisa tertarik masuk ke dunia kritik film?

Jadi sehabis kuliah di D3 IKJ, saya ditawarin masuk Kompas. Di sana ada ruang untuk kritik film setiap minggunya. Begitu saya masuk, saya menyadari banyak wartawan menulis kritik hanya memendekkan cerita film, lalu menambahkannya dengan sedikit komentar. Ini tentu tidak memberikan masukan bagi pembaca.

Begini. Dalam menulis tentang film itu ada tingkatannya. Ada apresiasi, yang kurang lebih artinya memberikan penghargaan. Kalau kritik, kita sudah berikan penilaian, yang menggunakan pendekatan tertentu. Pendekatan itu tergantung si kritikus sendiri. Apakah ia ingin mengamati segi estetika, atau komersialitas.

Dari pendekatan itu lantas ada argumen. Intinya mengkalkulasi bagaimana film itu bisa memenuhi apa yang mau disampaikan atau diekspresikan. Fungsi kritik pada dasarnya memberikan feedback pada pembuat film, menghubungkan penonton dengan karya.

Dari situlah akhirnya saya tertarik untuk terus menjelaskan pada penonton. Sewaktu di DKJ, saya diminta menjelaskan arsip yang buat orang masih sangat asing, yang menunjukkan berbagai ragam, mulai dari bentuk naratif dan non-naratif. Yang agak rumit adalah gaya, menunjukkan sikap sutradara terhadap subjek yang dia garap. Di situ akan kelihatan kalau dia membuat film, ciri-cirinya akan muncul. Nah, dari situ kan kita bisa jelaskan pada peonton bahwa gaya dia seperti itu.

Jadi, dengan bekal D3, katakanlah saya sudah tertarik mengkaji itu. Dan ternyata pada 1990an, ketika saya mendapat gelar S1, saya membuka jurusan kajian film di IKJ. Lalu waktu jadi dekan, saya menerbitkan Jurnal Imaji. Intinya saya ingin terus mendorong—saya merasa ini momentum untuk kajian film. Kita perlu mengisi ruang-ruang kosong, sehingga masyarakat terdidik bisa mempunyai pilihan membaca film dengan cakrawala yang lebih luas. Bukan sekadar laku dan tidak laku

Memangnya, menurut Mas Marselli, kenapa membaca film tidak boleh melihat dari laku dan tidak laku?

Contoh konkret saya lihat dalam film Senyap. Di sini [di Indonesia] ada yang menolak film itu karena mendiskriditkan ini-itu. Tapi, dalam sebuah tulisan, saya membelanya. Senyap mengingatkan bahwa kita punya PR masalah pelanggaran HAM. Kita tidak mempermasalahkan peristiwa G30S dan pembunuhan jenderal, tetapi kekerasan setelahnya yang ternyata banyak sekali. Sampai sekarang.

Ini bukti bahwa film berfungsi. Di balik semua kekurangannya, Senyap dibicarakan, meski film itu tidak komersil. Bahkan katanya mau diunggah ke Youtube. Ini artinya bukan mencari uang, tetapi memberikan kesadaran. Ada sesuatu yang lain, yang jadi menggugah.

Jadi, menurut saya, tontonan-tontonan yang membanjiri masyarakat sekarang perlu didudukkan kembali pada tempatnya. Dan buat saya, kritik itulah tempatnya.

Dalam sebuah wawancara di Jakarta Post, Mas Marselli mengaku bahwa sejak kecil sudah menyukai storytelling. Seberapa besar pengaruh yang Mas Marselli rasakan dari kecintaan itu terhadap tulisan kritik sendiri?

Memang sejak SMA saya sudah mulai menulis. Saya tidak bisa menggambar dan main musik. Waktu itu saya meminta ibu saya untuk membelikan mesin ketik.

Waktu saya menulis, salah satu media yang memuat tulisan saya adalah Detektif & Romantika. Itu majalah 1970an. Kemudian setelah saya kuliah di IKJ, saya mulai menulis di Kompas dan ternyata diterima. Dan itu menambah keyakinan saya untuk menulis cerpen dan skenario film.

Pada dasarnya, semua gagasan berawal dari tulisan dulu. Teks. Bahwa nanti bentuknya seperti apa, biar. ‘Kata’ dulu yang kita kuasai. Seperti kata Rendra, “Pada mulanya adalah sabda.” Sapardi Djoko Damono juga bilang, “Bermula dengan kata.”

Film itu paling dekat dengan sastra. Alur, tokoh, dialog, dan pesan ada dalam novel juga dalam film. Paling dekat sebetulnya. Maka adaptasi film yang paling berhasil atas novel biasanya jadi meledak juga di pasaran. Seperti serial Harry Potter, misalnya.

Artinya, kedekatan dengan pembaca terhadap teks sangat membantu ketika novel itu difilmkan. Jadi memang menurut saya setiap pengalaman yang saya lalui sangat membantu dalam merumuskan suatu tulisan kritik yang padat, berisi, dan bisa dicerna. Tidak harus menggunakan bahasa yang njelimet atau terlalu teknis.

marselli-sumarno-kritikus-film_01
Marselli bersama Sapardi Djoko Damono (kiri) dan Mudji Sutrisno (tengah) jelang seminar film di FFTV IKJ

Terkait dengan storytelling tadi, Mas Marselli juga beberapa kali membuat film. Ada Sri, Tragedi Bintaro, dan yang lainnya. Sementara di sisi lain Mas Marselli juga seorang kritikus film. Saya melihat ada perbedaan antara dua profesi itu. Nah, bagaimana Mas Marselli menempatkan diri di dua bidang itu?

Kalau kita harus mengatakan jujur, ketika kita membuat film, kita juga harus kritis pada diri kita sendiri. Itu kunci utamanya.

Menulis kritik dan membuat film sudah merupakan praktik yang berbeda. Mengkritik adalah mendudukkan lalu memberikan penilaian. Sedangkan berkarya sebetulnya menguji hal yang lain dari diri kita, bahkan yang mungkin sering kita tulis itu. Jadi kita mencoba mempraktekkan. Semacam pertanggungjawaban.

Artinya, ya, jangan ada dorongan di situ bahwa ini soal bagus atau tidak. Ketika kita membuat film, kita harus memposisikan diri sebagai orang yang terbuka untuk dikritik. Silakan kalau dianggap film itu tidak baik.

Pernah ada kritik pedas atas film-film yang Mas pernah buat?

Kalau selama ini kebanyakan memuji, tetapi ada juga yang mempertanyakan komersialitasnya. Di Kompas dikasih dua bintang [dari empat bintang]. Artinya, dari segi kepuasan terhadap karya, saya waktu itu lagi kurang beruntung. Waktu itu pas krisis moneter. Film saya tertahan dua tahun tidak bisa di-edit. Karena dolar melonjak, dan [seluloid] film itu tidak bisa dicuci selama dua tahun.

Pada 1994, Mas Marselli mengumpulkan tulisan yang pernah diterbitkan di Kompas sejak 1980, lalu mencetaknya dalam sebuah buku bunga rampai. Apa yang diimpikan Mas Marselli saat menghimpun catatan itu?

Biasanya, kan, bunga rampai itu kumpulan pilihan, ya. Saya menyadari juga sebagai jurnalis, tidak bisa selalu menulis dalam kapasitas sedang mengkritik. Seringkali juga sekadar memberitakan saja. Pernah saya sama Seno [Gumira Ajidarma] nonton Sjuman Djaja sedang bikin Kartini. Reportase nilainya, tidak ada unsur kritik. Pernah juga menonton Rhoma Irama sedang shooting di Bukit Padalarang, yang banyak ditonton orang. Laporan ini jadi bukti bahwa Rhoma Irama tidak hanya diidolakan di panggung, tapi juga dalam film.

Kebanyakan yang saya tulis seperti reportase sosial, begitu. Maka, saya harus memilih. Kira-kira sama seperti Andre Bazin yang mempunyai dua sampai tiga ribu esai, lalu dipilih hanya sekian puluh saja untuk kompilasi What is Cinema. Buku saya itu juga adalah pilihan esai yang sebelumnya sudah saya tulis.

Dari situ kemudian saya tergerak untuk menulis yang lain. Saat ini saya sedang menulis disertasi untuk S3 saya, dan itu mungkin bisa saya bukukan. Kira-kira bukunya tentang teori dan kritik film. Sedang saya bayangkan betapa, ya, menyerap banyak buku asing itu bagus, tetapi bagaimana kita bisa mensintesakannya lalu memberikan contohnya dari sebagian karya teman-teman kita.

Jadi nantinya referensi kita tidak harus asing. Misalnya, Teguh Karya itu posisinya di mana dalam pengadeganan. Atau Djadoeg Djajakusuma yang mencoba memasukkan unsur-unsur tradisi ke dalam karya-karyanya. Kalau sudah bisa begitu, siapa tahu kita bisa melahirkan teori-teori film Indonesia.

Kalau buku-buku tentang teori apresiasi film itu, adakah motivasi khusus saat membuatnya?

Pada zaman saya dulu, hanya ada satu stasiun televisi, yaitu TVRI. Makin ke sini tumbuh generasi baru—yang harus menyerap banyak sekali tontonan sekaligus. Tetapi bagaimana bisa kita memilih tontonan? Bahkan guru-gurunya pun tidak memiliki pegangan. Makanya hal itu juga saya jelaskan dalam buku saya [Dasar-dasar Apresiasi Film]. Buku itu disediakan bagi para guru untuk menjelaskan pada muridnya apakah suatu iklan atau film pantas ditonton atau tidak.

Satu-satunya tujuan adalah membentengi diri. Tidak mungkin melarang semua tontonan. Nah bagaimana memilih itu, caranya belajar apresiasi, supaya tahu suatu tayangan membohongi atau tidak.

Belakangan pihak Gramedia menghubungi saya melalui editornya untuk meng-update buku itu. Lalu saya bilang bahwa nanti tidak apresiasi lagi, tapi ditambah apresiasi dan kritik. Termasuk tambahan tentang perkembangan dunia digital karena saat buku itu dibuat, era digital belum tumbuh. Bahkan untuk efek-efek film Terminator pun belum sempat saya singgung. Padahal makin ke sini teknologi semakin berkembang.

Alexander Astruc, sutradara Prancis, pada 1948 pernah berkata bahwa suatu hari kamera bisa menjadi pena bagi sutradara. Istilahnya, kalau dia bilang, camera-stylo. Zaman itu sekarang sudah datang. Buktinya anak-anak SMA di Purbalingga bisa punya sudut pandang yang unik dengan bahasa lokal mereka sendiri. Lalu saat saya pergi ke Singkawang, ada bioskop di situ. Film yang diputar soal masyarakat sekitar situ saja.

Artinya, banyak cara berekspresi, banyak cara juga untuk mengedarkan film. Jadi menurut saya sebaiknya film itu membudaya sehingga ada penggarapan kata “Indonesia”.

Di sinilah pentingnya kajian film. Kita bisa membantu menarik teori-teori film Indonesia. Ya, menurut saya hasil pemikiran dari berbagai background, dengan syarat harus banyak membaca film dan literatur tentang film.

Memang diakui kajian film sangat sedikit peminatnya. Tapi saya berpikir untuk mengajak teman-teman wartawan, birokrat film, atau akademisi bidang lain yang sejalan dengan film, untuk menawarkan studi lebih lanjut.

marselli-sumarno-kritikus-film_02
Meditasi sebelum produksi film Borobudur

Mas Marselli bekerja sebagai pengajar di IKJ, di samping juga aktif menulis kritik sejak 1980 sampai menjelang 2000. Namun mulai awal 2000 hingga sekarang, Mas Marselli tidak banyak lagi menulis kritik film. Apakah ada kendala yang menghalangi produktivitas menulis selain aktivitas kampus?

Karena saya lebih banyak berekspresi lewat produksi film dokumenter. Saya pernah ditawari Kompas untuk jadi wartawan tetap, jadi harus berkantor. Nah, tapi saya ingin tetap balik ke kampus kalau sewaktu-waktu ingin berkarya. Ada pikiran kalau menerima tawaran itu akan berbenturan jadwal saja. Jadi saya memutuskan untuk tidak jadi wartawan tetap, tapi menjadi kontributor saja. Itu sampai 1990 hingga akhirnya saya menerbitan kumpulan tulisan Perfilman Indonesia: Suatu Sketsa. Lalu semenjak 2000, setelah membuat Sri, saya membeli kamera. Semenjak itu saya banyak men-shoot subjek yang menurut saya menarik. Di antaranya menghasilkan Borobudur, dan yang baru saja saya luncurkan itu Gesang. Dua-tiga tahun terakhir ini saya diajak WWF untuk masuk-keluar hutan, men-shoot orangutan. Lalu saya juga membuat film tentang Romo Magnis.

Ya, dari kesibukan itu kemudian saya merasa harus fokus. Untuk menulis rutin, saya kira lebih baik saya lakukan di jurnal. Sebab untuk masuk koran tentu akan susah, karena untuk koran levelnya tidak boleh terlalu ilmiah seperti yang biasa saya tulis. Ada dilema di sana. September lalu saya menulis makalah tiga belas halaman, tapi yang terbit dipersingkat jadi tiga halaman karena keterbatasan ruang.

Dari semua kesibukan dan kendala yang dihadapi, masihkah punya keharusan untuk terus menulis ke depannya?

Oh, iya. Tapi tidak semuanya harus saya publish karena mungkin berupa paper atau catatan ilmiah. Kalau bentuknya seperti itu saya lebih baik memasukkannya ke jurnal, bukan di Kompas lagi. Mungkin Cinema Poetica akan menerima, tapi kalau mereka [Kompas] akan bilang, “O, ow….” karena terlalu tinggi dibaca untuk umum. [Tertawa]

Menarik, nih, ketika Mas Marselli bilang begitu, memangnya pembaca seperti apa yang membaca tulisan Mas di koran? 

Mereka bilang kalau pembaca di Kompas itu mulai dari SMA. Mungkin ada juga yang S1 dan lainnya. Pastinya, kalau pakai bahasa yang terlalu tinggi, nantinya anak SMA nggak mau baca. Mungkin penonton film yang kita harapkan juga usia-usia seperti itu. Kalau kita menjelaskan dengan kalimat yang terlalu kompleks, mereka tidak mengerti.

Misalnya katakanlah satu film, Mencari Hilal atau 5 cm, itu pasti harus ada bacaan esai yang cocok untuk orang yang seumuran SMA. Tapi kalau kita menariknya ke tingkat kajian, yang seringkali luas spektrumnya luas dan tinggi maknanya, maka kita akan menghadapi keterbatasan tempat. Kalau jurnal bisa sepuluh sampai lima belas halaman.

Biasanya nulis di jurnal mana, Mas?

Dulu pernah nulis di jurnal India, Cinemaya. Terus kemudian di Cinema & Cie: International Film Studies Journal di London. Tapi kalau untuk orang-orang yang tadi saya katakan, sebetulnya hanya sebatas memberikan informasi dan menggerakkan orang-orang lalu mendudukkan orang di tempatnya itu sudah cukup. Kompas tetap membutuhkan tulisan-tulisan seperti itu. Esainya pun tidak boleh diberi catatan kaki, meski kita ingin bertanggung jawab pada tulisan, karena tidak ada tempat. Tapi mungkin suatu hari nanti akan berkembang. Bisa jadi orang mulai terbiasa membaca jurnal, dan jurnalnya sendiri bisa menjadi sesuatu yang tidak terlalu di awang-awang.

Ketika menulis untuk jurnal internasional, apakah Mas Marselli juga hanya mengincar pembaca luar?

Sebetulnya pergaulan internasional memang dibutuhkan di festival-festival. Jadi untuk mengenalkan film Indonesia, saya pernah menulis lima puluh halaman untuk buku Cinema Italy, yang diterjemahkan ke bahasa mereka. Bahkan sebuah penerbit di London juga minta saya menulis buku. Mereka bilang, “Kami sama sekali tidak tahu kondisi perfilman Indonesia.”

Nah, sebetulnya banyak tempat kosong. Seberapa jauh yang sudah dilakukan perfilman Indonesia masih sangat sedikit sekali pengulasnya. Mereka [orang asing] pasti akan menghargainya dalam bentuk tekstual, sementara kita masih menganut budaya lisan.

Makanya kita harus mencoba menuliskannya secara kontinyu. Entah kenapa kita itu jatuh bangun di urusan penerbitan dan peredaran. Itu-itu terus. Seolah tidak ada jalan keluarnya. [Tertawa] Tapi, semenjak era internet, mudah-mudahan bisa mulai dikumpulkan. Untuk sementara lewat internet. Suatu hari nanti, kita bisa mencetaknya atau mengeditnya kembali untuk kepentingan sejarah.

Soal tawaran orang luar tentang buku film Indonesia itu, Mas Marselli sudah menanggapinya?

Tentu agak kesulitan. Tapi saya akan akali dengan cara sederhana. Saya bisa mengumpulkan mahasiswa saya, lima saja kalau ada. Masing-masing saya kasih topik untuk menulis sekitar dua puluh sampai empat puluh halaman. Bisa jadi buku. Ini jadi mata kuliah Seminar—berangkatnya dari situ. Jadi kalau ada kesempatan di tahun depan, saya akan mencoba memberi dorongan kepada mahasiswa saya.

Memang paling banyak minat mahasiswa terarah pada kekaryaan, karena jelas bisa untuk kerja dan cari duit. Kalau ke kajian mungkin sebagian bertanya tanya, “Apa? Jadi dosen? Kritisi? Sejarawan?” [Tertawa] Mereka tidak bisa membayangkan diri mereka jadi seperti itu. Padahal bukankah setiap sekolah itu butuh guru? Masih ada juga kesempatan untuk training for trainer. Artinya membekali para guru di sekolah soal pemahaman memilih tontonan.

Kalau dalam konteks sinema internasional, seberapa pentingnya orang-orang luar mengerti film Indonesia?

Ada film mainstream yang hidup dari industri, lalu ada juga film sidestream yang hidup dari berbagai cara. Biasanya mereka [orang asing] ingin studi banding supaya tahu apa yang bisa dilakukan di masing-masing negara. Untuk pergaulan internasional sekarang ini, selain seni olahraga, saya kira seni film yang paling bisa merangkum kultur. Ini jauh lebih efektif daripada, misalnya, kita memboyong satu delegasi ke luar. Pernah waktu saya ke Portugal, itu banyak sekali orang yang bertanya, “Indonesia sekarang seperti apa?” Nah, gimana cara menjelaskannya, kan bisa lewat film.

marselli-sumarno-kritikus-film_03
Marselli bersama Seno Gumira Ajidarma (kanan) dan Kemala Atmojo (tengah) selepas rapat film di Kemendikbud

Jika melihat perkembangan media sekarang, kritik bisa jadi lebih mudah diakses. Mulai dari website khusus, blog sendiri, dan bahkan ada yang membuat ulasan film dalam bentuk video di YouTube. Kalau Mas Marselli, yang berangkat dari media cetak, bagaimana menghadapi media-media semacam ini?

Kalau saya, sebagai orang yang mengendarai waktu, sangat terbuka dengan kebaruan. Bagi saya, orang yang sukses, adalah yang mengendarai waktu, yang menyadari bahwa zaman berubah. Tidak mungkin keukeuh pada zaman saya. Media-media online seperti ini sudah diramalkan sebelumnya oleh Walter Benjamin, bahwa pada zaman revolusi nanti ada banyak persoalan yang harus kita hadapi. Salah satunya adalah etika. Kita sadar zaman sudah canggih, tapi kita masih ringkih. Tulisan bisa main catut sana-sini. Teks bisa kita aduk-adukkan. [Tertawa] Ambil dari mana seolah itu milik kita. Jika fungsinya untuk menyiarkan dan menyebarluaskan, ya, bagus-bagus saja.

Peredaran atau distribusi tidak harus dibatasi oleh suatu bentuk lama, yang bisa dibilang usang. Toh, kita juga nonton film tidak mesti di bioskop. Tapi bagaimana caranya kita juga menghargai hak cipta. Seperti ketika kita mencetak e-book, apakah si penulis juga mendapat keuntungan darinya? Kita bisa dengan mudah mengunduh e-book lalu membawanya ke Depok untuk dicetak sendiri. Mungkin tiga ratus ribu dapat lima buku. Bayangkan kalau kita penulisnya, nangis nggak kita? [Tertawa] Itulah bagaimana pentingnya etika.

Saya sebetulnya pilih jalan tengah. Yang saya maksud adalah program kritik di televisi. Jadi bentuknya bincang. Sifatnya, kita ketemu, dan bisa interaktif. Cara menyampaikannya juga bisa lebih luwes. Bisa juga ditambahkan potongan-potongan film yang dibahas. Jadi bisa apresiasi dan kritik. Saya kira semua televisi punya tempat untuk itu. Hanya, saya tidak tahu, kesenian dan kebudayaan sifatnya masih menumpang. Yang paling utama itu politik. [Tertawa] Kalau kita bicara kebudayaan itu biasanya terputus-putus, kadang ada kadang tidak. Kalau politik, rasanya terus-menerus ada.

Kalau dalam waktu dekat ini, adakah keinginan untuk tampil di media-media baru itu?

Kalau sekarang, memang harus saya akui, pembimbing [disertasi] saya berpesan untuk ‘fokus dulu’. Waktu saya terima penghargaan atas film Romo Magnis, dia tanya saya apakah saya masih kerja. Tentu saya menjawab masih mengajar. Tapi yang dia maksud soal kerja ternyata ‘kerja disertasi’. [Tertawa] Rupanya, menurut dia, saya sebaiknya berhenti [dari pekerjaan film], supaya fokus dan bisa menuntaskan disertasi saya. Kalau fokus, dua ratus halaman harusnya bisa kelar dalam enam bulan. Mungkin saya akan memutuskan enam bulan cuti, supaya cepat selesai dan nantinya juga saya bisa menulis lagi.

Kalau melihat kondisi saat ini, sepenting apakah kritik film bagi industri film di Indonesia?

Saya rasa, tidak hanya film saja. Sastra, seni rupa, seni musik, juga membutuhkan kritik untuk bisa keluar dari masalah yang dihadapi. Contohnya, produksi film naik, tapi jumlah penonton turun. Padahal sekarang banyak didukung teknologi digital. Membuat film jadi makin mudah.

Persoalannya sebetulnya bagaimana film yang diniatkan untuk ditonton banyak orang itu betul-betul ditonton banyak orang. Caranya bagaimana, nah itu yang harus bisa kita wacanakan. Coba kita lihat negara-negara lain yang berhasil mengangkat filmnya. Kita perlu melihat cara meereka mengangkat cerita yang berasal dari masyarakat, lalu dikembalikan kepada masyarakat.

Di Cina, mereka menggarap folklore yang hidup di benak masyarakat. Pencerita legendanya anonim. Tapi jika diberi satu style yang menarik, bisa menarik, bisa menembus pasar internasional. India juga berhasil mengangkat sisi sosial-budaya yang betul-betul mereka alami. Mereka sudah betul-betul melepaskan diri dari tarian-tarian, dan akhirnya bisa bertahan dari serbuan film asing. Jadi, di negeri ini, film asing cukup dibatasi.

Kalau melihat di Indonesia, kita perlu bertanya, apakah kita membutuhkan film asing sebanyak ini? Kenapa film Indonesia tidak laku di negerinya sendiri? Nah, bagaimana menjelaskan itu adalah tugas kritik film. Misalnya, menjelaskan bahwa dari segi konten memang bagus, gagasannya juga, tapi cara menyampaikannya yang kurang. Apakah film-film Indonesia betul-betul nyaman diserap penonton di zaman sekarang, mungkin itu yang menjadi persoalan.

Terakhir, Mas, untuk merangkum semuanya. Menurut Mas, kritik film yang baik itu seperti apa sih?

Sebetulnya kritik yang baik itu yang bisa menggugah orang untuk menilai, bahwa apa yang mau dikatakan itu tercapai dengan bagaimana cara mengekspresikan. Jadi kalau misalkan saya mau bikin film puisi, seperti Apocalypse Now, tercapai dengan baik. Lepas dari filmnya laku atau tidak, menang atau tidak di festival, ia tetap bagus dan utuh sebagai film. Demikian juga ketika kita bisa menjelaskan sebuah film seperti Senyap. Kita tidak bisa mengatakan film ini komersial, tapi kita bisa menggugah kesadaran orang-orang terhadap sesuatu yang masih menjadi tugas besar bagi bangsa kita. Dalam sebuah tulisan tentang Senyap, seorang pengacara mengatakan bahwa dia belum pernah mendapatkan pelajaran tentang HAM dari buku, sekolah, atau apapun, kecuali dari film itu. Memang film itu membuatnya terbelalak karena betul-betul terjadi.

Saya tidak membela, saya hanya ingin mengatakan bahwa film itu ada gunanya. Bahwa Senyap berhasil menggugah penontonnya, itu yang menjadi penting. Maka tugas kita sebagai kritisi adalah mendudukkan penonton pada tempatnya. Ibaratnya, sendal itu mestinya ada di depan pintu, tidak mungkin di tempat tidur. Bahwa sendal itu memiliki fungsi, memang benar, tapi ia tidak boleh berada di meja makan. Nah, sebetulnya, mendudukkan sesuatu pada tempatnya merupakan sebuah tugas mulia.