
Suatu hari pada Maret 2019, Davide Cazzaro—teman saya yang mengelola Majalah NANG—menghubungi dan meminta saya untuk menulis tentang Manifesto I Sinema untuk majalahnya. Awalnya ia ragu karena I Sinema tampak ‘terlalu kecil’ untuk ditulis. Di dunia internasional I Sinema hanya dikenal lewat terjemahan empat poin di buku yang disunting oleh Tilman Baumgartel, Southeast Asian Independent Cinema. Davide menyatakan poin-poin di dalamnya tampak terlalu umum dibandingkan manifesto sinema lainnya. Ia lantas meminta saya mencari tahu lebih lanjut tentang I Sinema sebagai “sejarah tersembunyi” (Scott McKenzie, Cinema Manifesto) dan bertanya kepada penandatangannya apakah manifesto 1999 itu masih dianggap relevan.
Saya menghubungi dua orang penandatangan manifesto I Sinema: Mira Lesmana dan Enison Sinaro. Saya mewawancara dan mendapat berbagai data dari mereka. Sebagian hasilnya sudah saya tuliskan dalam bahasa Inggris di Majalah NANG. Yang terbit di bawah ini adalah pengembangan lebih lanjut dari tulisan itu, dengan memasukkan bahan-bahan kliping liputan media saat manifesto dibacakan, ditambah dengan analisis baru yang tidak saya cantumkan di Majalah NANG. Melalui tulisan ini, saya berharap bisa mengungkap sebuah fragmen kecil dalam sejarah sinema Indonesia, yang memperlihatkan bahwa sejarah sinema dan sejarah sosial politik teknologi saling berkelindan.
Pemberontakan Kecil
Manifesto I Sinema ditandatangani oleh tiga belas orang pembuat film Indonesia pada Oktober 1999. Setahun sebelumnya, sebagian dari mereka terlibat dalam sebuah ‘pemberontakan’ kecil-kecilan dalam dunia film Indonesia. Saat itu Soeharto masih berkuasa, dan peraturan perfilman di atas kertas masih ketat dalam membatasi kesempatan pembuat film baru untuk membuat sendiri film mereka. Menjadi sutradara mensyaratkan serangkaian proses magang yang panjang. Sebelum menjadi sutradara, mereka harus dua kali menjadi asisten sutradara satu (atau astrada satu, yang bertugas membantu merinci adegan) dalam produksi film panjang. Sebelum menjadi astrada satu, mereka harus dua kali menjadi pencatat skrip pada produksi film panjang.
Ketetapan ini dibuat oleh asosiasi pekerja film yang bernama KFT (Karyawan Film dan Televisi), yang kala itu merupakan satu-satunya organisasi profesi perfilman. Saat itu negara melarang adanya lebih dari satu organisasi profesi untuk memudahkan pengendalian. Melanggar ketentuan KFT berarti sama sekali tak mungkin bisa masuk ke industri film dan televisi.
Aturan ini merupakan bagian dari rangkaian aturan pengendalian di dunia film dan media di Indonesia, baik dalam hal kelembagaan sekaligus juga tema film. Misalnya: festival film yang dibolehkan hanya Festival Film Indonesia (FFI). Festival Film Bandung—yang dimulai pada 1988—sempat berganti nama menjadi Forum Film Bandung karena teguran dari Departemen Penerangan. Soal-soal lain juga demikian halnya.
Pemberontakan kecil-kecilan tadi adalah pembuatan film Kuldesak yang diedarkan pada 1999. Film itu merupakan kumpulan empat film pendek yang dibuat oleh empat orang sutradara. Inspirasi film itu adalah dari buku karya sutradara independen Amerika, Robert Rodrigues, Rebel Without A Crew: Or How a 23-Year-Old Filmmaker with $7,000 Became a Hollywood Player. Selain itu, film Pulp Fiction (Quentin Tarantino, 1994) dan omnibus karya empat sutradara independen Amerika, Four Rooms (Quentin Tarantino, Robert Allison Anders, dan Alexandre Rockwell, 1995) juga turut menjadi inspirasi.
Kuldesak yang disutradara Mira Lesmana, Riri Riza, Nan T Achnas, dan Rizal Mantovani berhasil diputar di jaringan bioskop 21 karena kedekatan para pembuat film ini dengan pemiliknya. Film ini jadi terobosan penting bagi film Indonesia. Sejak 1992, jumlah produksi film Indonesia menurun drastis, dan mencapai titik terendah pada 1997 ketika krisis finansial menghantam Indonesia dan Thailand. Pada 1997, sebagaimana yang dicatat JB Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2007, hanya lima judul film yang beredar ke publik. Ini jelas merupakan penurunan jauh dibandingkan dekade 1980-an—ada lebih dari seratus film Indonesia diproduksi setiap tahunnya. Lesunya industri film membuat para produser dan pekerja film bermigrasi ke industri televisi yang baru booming saat itu—umumnya, mereka terlibat dalam produksi sinetron.
Reformasi
Krisis 1997 itu berbuah pada perubahan politik pada Mei 1998. Ruang bagi para pembuat film mulai terbuka. Kuldesak tiba pada saat yang tepat. Film itu menjadi preseden bagi orang-orang yang ingin membuat film untuk bisa mewujudkan niat mereka tanpa harus melalui proses magang berkepanjangan itu. Pada seputaran waktu yang sama, terobosan teknologi digital memungkinkan proses pembuatan film dengan biaya yang lebih terjangkau—khususnya bagi kalangan kelas menengah perkotaaan yang mampu membeli kamera yang layak, sekalipun mereka harus syuting dengan production value yang sederhana.
Namun sekalipun Kuldesak sudah membuktikan bahwa tidak ada sanksi hukum untuk pembangkangan terhadap aturan magang pembuatan film, tetap tidak ada lagi produksi yang baru. Hanya Petualangan Sherina (Riri Riza, 1999) dan Jelangkung (Rizal Mantovani & Jose Poernomo, 2001) yang mulai masuk fase produksi. Padahal, menurut Mira Lesmana, seharusnya momentum Kuldesak dimanfaatkan. Para pemain besar di era 1980-an, seperti Chand Parwez Servia (Kharisma Starvision) dan Raam Punjabi (Parkit Film dan Multivision), masih menunggu kepastian yang lebih besar.
Melihat situasi yang terus mandeg, sekelompok pembuat film berhimpun dan bersepakat untuk lebih keras mendorong upaya produksi film . Untuk membangun kekuatan, para pekerja kreatif di luar film yang punya aspirasi untuk membuat film dilibatkan untuk ikut serta. Maka ikutlah orang seperti Srikaton (pembuat film dokumenter), Dimas Djayadiningrat (video musik), Enison Sinaro (sinetron), dan Ipang Wahid (sutradara iklan) untuk bergabung. Ada juga Yato Fionuala yang saat itu baru pulang dari Taiwan sesudah berhasil membuat beberapa serial televisi di sana. Keterlibatan mereka diharapkan mampu membuat manifesto ini lebih bersuara dan mengundang perhatian.
Lalu pada 8 Oktober 1999, tiga belas orang pembuat film berkumpul di Hard Rock Café Jakarta. Mereka mengundang wartawan untuk membacakan dan membagikan manifesto yang mereka tanda tangani bersama. Srikaton, yang paling senior di antara mereka, kemudian didapuk untuk menjadi juru bicara pada saat jumpa pers.
Berikut isi manifesto I Sinema:


Naskah lengkap manifesto I Sinema belum pernah diterbitkan dengan lengkap dalam Bahasa Indonesia. Liputan media saat itu hanya mengutip pendek beberapa poin, terutama pada poin komitmen. Bagian yang diterbitkan dalam buku Tilman Baumgartel juga sebatas bagian ‘Komitmen’, dengan penerjemahan oleh Dimas Djayadiningrat. Mengapa cuma bagian itu yang diterjemahkan dan diterbitkan, tak pernah ada penjelasan.
Pertama kali manifesto I Sinema terbit lengkap adalah ketika saya terjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan dimuat oleh Majalah NANG. Penerbitan naskah ini adalah kali pertama manifesto ini diterbitkan secara utuh, lebih dari dua puluh tahun sesudah ia muncul di dunia!
Independensi
Terlihat bahwa manifesto I Sinema tumbuh dari semangat kolektif yang memungkinkan para pembuat film muda (saat itu) ini untuk membuat Kuldesak. Salah satu penandatangan, Mira Lesmana, mengakui bahwa manifesto ini terinspirasi dari manifesto Dogme 95 di Denmark yang dipelopori oleh Lars Von Trier dan Thomas Vinterberg. Manifesto ini membuat para penandatangan I Sinema mampu membayangkan filmmaking sebagai upaya ‘personal’.
Ini bisa dijelaskan dalam konteks budaya film Indonesia ketika itu khususnya dalam produksi dan eksebisi. Pada masa Soeharto, pemerintah terus campur tangan dalam pembuatan film di berbagai tingkatan. Dalam tahap praproduksi, Departemen Penerangan meminta pembuat film untuk mendapatkan izin produksi, membaca naskah, dan seterusnya. Ketika produksi, terkadang Deppen meminta rush atau hasil syuting harian untuk memeriksa adegan atau shot yang dianggap berbahaya bagi ketertiban masyarakat. Sebelum tayang, masih ada sensor dan pemotongan di Badan Sensor Film tanpa mekanisme banding bagi pembuat film. Semua ini dilakukan dengan alasan demi menjaga ketertiban masyarakat, dan hal itu ditekankan menjadi bagian dari upaya pembuatan film. Pada masa itu, pembuatan film diperlakukan pemerintah sebagai bagian dari pembangunan sosial-politik Indonesia.
Manifesto I Sinema merupakan upaya kolektif untuk melepas film kerangka lama itu dan mendorong medium ini ke arah baru, yaitu filmmaking dimulai dari dan mewakili ekspresi artistik individual—terlepas dari kesulitan finansial dan ketiadaan infrastruktur. Bahkan ketiadaan infrastruktur bisa jadi merupakan hal yang memungkinkan para sineas ini untuk membayangkan diri mereka membuat film (dan membangun industri) sambil tetap menjaga posisi independensi dari pemerintah. Hal ini terjadi—terutama dengan mempertimbangkan bahwa Kuldesak sudah sukses membuat mereka bisa membuat film dengan anggaran nyaris nol rupiah.
Advokasi bagi filmmaking personal ini tercermin dalam pilihan “I” dalam manifesto. Dalam draft awal manifesto yang saya dapatkan dari Enison Sinaro (dan dikonfirmasi oleh Mira Lesmana), kata “I” awalnya tertulis “Saya” sehingga manifesto awalnya adalah “Saya Sinema Manifesto”. Namun kata “Saya” dicoret dan diganti dengan “I”, yang lebih multitafsir: bisa berarti independen, tetapi juga berarti Indonesia. Sekiranya kata “Saya” tetap dipertahankan, maka manifesto “Saya Sinema” ini akan menjadi gambaran sempurna deklarasi individualisme dalam filmmaking, yang sedikit banyak tercermin dalam Kuldesak (kredo “gue harus bikin film atau gue bisa mati” yang diucapkan oleh salah satu tokoh dalam Kuldesak yang mengubah filmmaking menjadi persoalan eksistensial pembuat film).
Sekalipun ini hipotesis, tetapi saya membayangkan “Saya Sinema” akan memicu perdebatan lebih besar tema individu versus masyarakat. Tema serupa masih senafas dengan tema kekacauan versus tatanan (unruly individuals against order) seperti dinyatakan oleh Krishna Sen dalam buku Indonesian Cinema: Framing the New Order (1994). Dengan mengganti “Saya Sinema” menjadi I Sinema, manifesto ini menjadi tidak kelewat tegas dalam soal itu.
Pembelaan terhadap yang personal ini juga dinyatakan oleh Riri Riza dalam konferensi pers pembacaan Manifesto Oktober 1999 soal pentingnya estetika pribadi yang khas. “Kita bukan lagi generasi yang membuat film karena ada sesuatu yang harus dibikin,” katanya dikutip Panji Masyarakat No. 28, 27 Oktober 1999. Pada 2019, ketika saya wawancara, Mira Lesmana juga menyatakan bahwa manifesto I Sinema memang dibuat untuk mendukung ide-ide nyentrik, seperti dinyatakan dalam “Sketsa” yang mendampingi rilis manifesto ini.

Independen sebagai tema manifesto jelas dalam kata ‘mandiri’ dan ‘pembebasan berekspresi’ yang dipertentangkan dengan sokongan dana terhadap film-film yang akan mereka hasilkan. Hal ini bisa dibaca sebagai pernyataan penting dalam situasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika ruang pembuatan film baru terbuka dan kesempatan menjadi nyata. Namun, Katinka van Heeren dalam thesis doktoralnya yang berjudul Contemporary Indonesian Film: Spirit of Reform and Ghosts from the Past (2012) menyatakan bahwa melekatkan kata ‘independen’ kepada para eksponen I Sinema membuat istilah ini menjadi kompleks. Para penandatangan manifesto umumnya memiliki akses untuk peralatan, jaringan, sumber daya, dan jalur distribusi bioskop.
Situasinya berbeda sekali dengan sineas di tingkat “akar rumput” yang membuat film dengan handycam dengan cara patungan. Dalam pengertian ini, kata ‘independen’ atau ‘indie’ menjadi istilah yang canggung. Terlebih lagi, beberapa penandatangan kemudian berhasil mendapat kontrak dari studio besar dan membuat film-film sukses tak lama sesudah manifesto ditandatangani.
Teknologi Kine Transfer
Selain soal independensi, I Sinema menurut saya merupakan bentuk tanggapan kolektif untuk mengatasi persoalan hambatan teknologi, seiring perkembangan teknologi digital yang memudahkan pembuat film Indonesia pada era 1990-an. Sekalipun demikian, upaya untuk menayangkannya di bioskop bukan perkara mudah, terutama karena besarnya biaya untuk melakukan proses kine transfer atau pemindahan hasil syuting digital ke pita seluloid. Saat itu, bioskop hanya mau menerima materi penayangan film dalam bentuk seluloid, dan biaya transfer ini harus ditanggung oleh produser (yang juga merangkap sebagai distributor) film.
Biaya untuk kine transfer ini mahal. Para sineas muda ini membutuhkan adanya dukungan dana dari pihak luar, terutama untuk keperluan pencetakan seluloid—sekalipun dukungan untuk keperluan produksi tidak ditolak, sepanjang para pembuat film ini bisa independen secara artistik.
Persoalan kine transfer ini disebut-sebut dalam jumpa pers yang diselenggarakan pada 9 Oktober 1999. Baik Dimas Djayadiningrat dan Mira Lesmana sama-sama menyebutkan bahwa teknologi digital memudahkan proses produksi film dan yang dibutuhkan cukup imajinasi. Mira Lesmana menyebutkan bahwa masing-masing (calon) sutradara ini sudah punya ide untuk membuat film dengan berbagai genre, dengan biaya yang diperkirakan antara Rp 15 juta hingga Rp 70 juta (Warta Kota, 9 Oktober 1999). Namun baik Mira maupun Dimas menyebutkan bahwa biaya untuk melakukan kine transfer bisa mencapai Rp 150 hingga 400 juta per judul.
Persoalan produksi dan transfer cukup mencolok dalam naskah manifesto I Sinema, terutama pada poin 6, 10, dan 11 dalam bagian “Memorandum of Understanding”. Poin 10 pada dasarnya merupakan kesepakatan standar minimum produksi, yaitu penggunaan teknologi video betacam yang ketika itu merupakan standar syuting untuk media televisi. Poin 6 merinci proses kine transfer dan kemungkinan intervensi pendanaan dari luar, dengan tujuan puncak adalah pencetakan release copy (salinan yang siap untuk ditayangkan di bioskop). Sedangkan poin 11 adalah komitmen yang sifatnya lebih prinsipil agar para pembuat film ini tetap menjaga kualitas kine transfer itu agar tetap layak ditayangkan di bioskop.
Namun rincian tahap ini berguna juga untuk memotong proses kine transfer apabila tidak tersedia dana secara keseluruhan. Apabila satu tahap tidak terpenuhi, maka pembuat film bisa langsung mengedarkan film mereka ke pemutaran-pemutaran di komunitas dan tidak menayangkannya di bioskop. Cara ini bahkan dianggap sebagai sebuah langkah darurat apabila pihak investor memaksa pembuat film untuk mengorbankan ‘independensi’ dan kreativitas mereka.
Dari 1999 hingga awal 2000-an, proses kine transfer masih menghasilkan gambar yang agak buram. Pada satu sisi, ada keunikan visual tersendiri. Contohnya: gambar grainy dan agak gelap dalam Eliana, Eliana (Riri Riza, 2002) yang menambah aura misterius film itu, terutama ketika dibandingkan dengan DVD keluaran Facets Video Amerika yang terang dan terasa flat. Pada sisi lain, ada keterbatasan teknis sendiri yang bisa jadi merepotkan proses penayangan. Bisa dibilang kualitas gambar hasil kine transfer akan dianggap tidak layak tayang di jaringan bioskop saat ini. Saat itu, jalur suara dalam cetakan seluloid hasil kine transfer kerap tidak sesuai dengan spesifikasi yang sudah ditetapkan oleh pihak bioskop sehingga amat merepotkan pihak bioskop.
Pada akhirnya, para sutradara yang berada di bawah I Sinema membuat lima film mereka masing-masing: Eliana, Eliana; Titik Hitam (Sentot Sahid, 2000); Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (Enison Sinaro, 2000), Lima Sehat Empat Sempurna (Richard Buntario, 2002), dan Bendera (Nan T Achnas, 2002). Kecuali Eliana, Eliana yang sempat masuk dalam 25 film terbaik Indonesia sepanjang masa dalam pemungutan suara kritikus yang diselenggarakan oleh Tabloid Bintang Indonesia, film-film lainnya tidak membuat kesan berarti, baik bagi penonton maupun kritikus.
Sesudah lima film ini, I Sinema kemudian tidak aktif. Mereka tidak pernah beraktivitas lagi, sekalipun tidak pernah juga dibubarkan. Gerakan ini menjadi semacam bagian dari sejarah terlupakan dalam sinema Indonesia, ketika para pembuat film muda merasa perlu menegaskan posisi mereka secara politik dan estetik, sekaligus menanggapi perkembangan teknologi saat itu.
Relevansi
Menilik ulang dua puluh tahun kemudian, dua orang penandatangannya beranggapan manifesto I Sinema sudah tidak relevan. Mira Lesmana menyatakan bahwa pelaku industri film kini cara berpikirnya sudah sama sekali berbeda. Menurut Mira, filmmaking saat ini adalah tentang investasi, karena masing-masing film sudah dibuat berdasarkan pasarnya. Kata Mira, para produser sejak awal memilih satu dari tiga macam film, yaitu film yang ramah penonton, film untuk festival-festival internasional dengan sedikit penonton di dalam negeri, atau membuat film internasional macam The Raid atau The Night Comes for Us.
“Ini semua perkara investasi dan funding”, kata Mira. “Kalau buat yang internasional dan penontonnya kecil berarti kita harus berpatok pada funding luar negeri atau co-production supaya bisa dijual secara internasional sekalipun di Indonesia tidak diterima. Atau ya mencari investasi yang kira-kira bisa balik di Indonesia tergantung berapa harganya.”
Cara pandang ini membuat filmmaking bukan lagi perkara aspirasi individual seperti yang dinyatakan I Sinema dulu. Sekalipun masih ada film-film personal seperti Atambua 39 Derajat (Riri Riza, 2012) atau Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya, 2017) atau Sekala Niskala (Kamila Andini, 2017), Mira melihat semua itu sebagai hasil hitung-hitungan yang terukur sejak awal, antara lain dengan upaya mencari dana produksi di luar negeri dan promosi di festival-festival.
“Jadi tidak ada lagi ‘yang penting bikin film dulu’,” kata Mira sedikit memparafrase dialog seorang tokoh dalam segmen film Kuldesak yang ia sutradarai.
Enison Sinaro juga merasa I Sinema sudah tidak relevan, terutama dari aspek teknologi. Kredo untuk ‘bikin film dulu kualitas belakangan’ menurut dia sudah tak lagi berlaku. Penonton Indonesia kini mengharapkan kualitas gambar yang sempurna, dan teknologi proyeksi digital sudah membuang kebutuhan kine transfer yang mahal.
Mira menyetujui hal ini. Beda halnya dengan masa I Sinema, kini tersedia banyak kemungkinan lain untuk distribusi film selain bioskop. Ia mencontohkan sutradara sebesar Alfonso Cuaron saja tak enggan mendistribusikan filmnya di Netflix dan tidak sepenuhnya mengandalkan pada bioskop. Layanan streaming macam Netflix lantas menjadi sebuah alternatif serius—bioskop tidak melulu menjadi etalase utama bagi pembuat film.
Keadaan memang sudah berubah. Para penandatangan I Sinema sudah menjadi pelaku utama industri film, diikuti oleh pembuat film generasi baru. Manifesto I Sinema menandai satu periode penting ketika industri film Indonesia berada pada titik terendahnya. Ia juga menandai upaya para pembuat film untuk mengajukan independensi sebagai motor utama untuk mendatangkan perubahan. Gerakan ini mungkin “gagal”. Namun manifesto ini telah berhasil membuat para pembuat film ini membayangkan pembuatan film sebagai upaya individual dan keluar dari patronisasi negara, bahkan ketika saat itu tidak ada infrastruktur industri yang mendukung.