Kemenangan Siti pada Festival Film Indonesia 2015 terasa unik. Siti, sebuah film yang tidak pernah dan tidak diniatkan beredar di bioskop, menang di tengah perlakuan tak adil FFI terhadap film-film non-bioskop.
Para pemangku kepentingan perfilman Indonesia perlu lebih giat melakukan riset-riset lanjutan terkait kepenontonan film di Indonesia. Sudah saatnya perfilman kita tidak lagi dibaca dengan mitos dan asumsi, tapi dengan data dan metode yang terukur. Riset yang kredibel tidak hanya akan mengisi kekosongan wacana dan ilmu pengetahuan dalam perfilman Indonesia, tapi juga untuk landasan bagi kebijakan pemerintah maupun strategi bisnis para pelaku film.
Layar-layar alternatif membuka kesempatan untuk masyarakat agar bisa menikmati beragam film yang tidak melulu hanya standar bioskop. Tulisan ini mencoba menggali peluang dan tantangan apa saja yang diberikan dan dihadapi layar-layar alternatif dari kacamata sineas film alternatif. Sembilan sineas dengan latar belakang berbeda-beda—profesional, sekolah film, komunitas—berbagi soal apa-apa saja yang mereka lihat dari keberadaan layar-layar alternatif.
Program Indonesia Raja 2015 yang diselenggarakan Minikino adalah gerilya sinema paling ambisius tahun ini. Idenya sungguh menarik: sebuah program yang mendistribusikan berbagai program. Tulisan ini membahas proses penyelenggaraan Indonesia Raja 2015—dari pemilihan kota dan kurator, program yang tiap kota hasilkan, sampai strategi program secara keseluruhan.
Pada 30 September 2015, Front Pembela Islam mengadakan pemutaran film Pengkhiantan G30 S di Cawang, yang didukung penuh oleh Kopassus dan Pangdam Jaya.
Pasca serbuan Front Pembela Islam pada 2010, Q! Film Festival mengalami kemunduran. Esai singkat ini membahas ruang alternatif yang Q!FF tawarkan selama sejarah penyelenggaraannya. Pertanyaan kuncinya: bagaimana Q!FF, dalam konteks 2010 sampai tiga tahun setelahnya, yang menawarkan ruang alternatif untuk mengarusutamakan isu LGBTIQ justru tidak mendapat ruang di Jakarta?
Secara umum ada tiga sumber dana untuk memproduksi film dokumenter: 1) stasiun televisi atau broadcaster, 2) lembaga donor, dan 3) lokakarya. Masing-masing menuntut komitmen dari pembuat film, masing-masing punya peluang dan tantangannya sendiri. Seorang pembuat film bisa cocok dengan satu model pendanaan, tapi tidak dengan model lainnya.
Kineforum berusaha mendidik penonton untuk 'bereksperimen' menyaksikan film-film lain di luar yang ditampilkan oleh bioskop-bioskop komersial. Selain pilihan tontonan, ini juga menyoal bagaimana cara menonton yang baik. Namun, tak semudah itu mewujudkannya.