Life Keeps On Turning: Karena Mocca Bukan Slank

mocca-life-keeps-on-turning_highlight

Kalau anak-anak muda perkotaan di Indonesia (khususnya Pulau Jawa) diberi pilihan menentukan tipikal grup musik ideal menurut mereka, mungkin Mocca adalah salah satunya. Mocca tidak memainkan musik digital, lirik mereka berbahasa Inggris, dengan reputasi luar Indonesia. Maka tidak heran, Mocca menjelma menjadi grup musik dengan penggemar yang cukup besar, terutama di kalangan anak muda kelas menengah perkotaan.  Bila tampil di televisi, maka Mocca akan terdengar lebih pintar dibanding band-band Pop Melayu Indonesia yang sedu-sedan, rambut berminyak, menembangkan lagu tentang selingkuh, tapi mengenakan kaos Lamb of God.

Malang tak tertampik, beberapa waktu lalu, Mocca mengumumkan konser terakhir sebab mereka akan vakum untuk sementara. Arina, sang vokalis, akan pindah ke Amerika. Konser terakhir ini menjadi titik konsentrasi duo pembuat film Ari Rusyadi dan Nicholas Yudifar dalam dokumenter (mereka sebut “rockumenter”) Mocca: Life Keeps on Turning (selanjutnya disebut MLKOT). Mereka mengikuti personel grup ke beberapa kegiatan menjelang keberakhiran mereka (yang sementara). Serpihan kegiatan itu dirangkai menjadi sebuah dokumenter panjang.

Film MLKOT memulai pusaran cerita dari persiapan gig terakhir Mocca di Bandung dan Jakarta. Bagi saya, MLKOT memperkenalkan diri lewat narasi konvergen yang diawali dari band lalu kemudian menyebar kepada para fans. Tentu bukan hal baru, Metamorfoblus melakukannya terhadap grup musik Slank. Di sinilah masalahnya, Mocca bukan Slank. Penggemar Mocca adalah anak-anak kelas menengah dengan ideologi musik moderat. Penggemar Mocca melihat Mocca semata-mata sebagai grup musik (Setidaknya itu yang tersirat lewat MLKOT), sementara Slank adalah legenda hidup para penggemar musik, khususnya dari kelas bawah. Slank tidak lagi semata-mata mengenai cara mengapresiasi musik, tapi cara menjalani hidup. Maka ketika Metamorfoblus turun ke lapangan, memperkenalkan Slank lalu mengambil gambar para fansnya, tensi cerita menanjak dan melankolia antara fans dan Slank menjadi begitu jujur dan tak terhindarkan.

MLKOT memakai metode yang sama dengan yang digunakan Metamorfoblus padahal relasi artis-fans yang mereka hadapi sangatlah berbeda. MLKOT Pertama-tama memperkenalkan Mocca dan segala turbulensi yang menyebabkan mereka harus vakum. Secara konvensi, inilah set-up cerita: penyebab dibuatnya MLKOT. Pembuat film selanjutnya menyerahkan tampuk kamera ke para penggemar, dimana respon yang didapatkan sangat lemah. “Wah, Mocca vakum ya? Sedih banget ya,” dan berbagai respon lainnya yang tidak menambahkan elemen dramatik apa-apa ke dalam cerita. MLKOT tentu saja bukan film drama, tapi sangat jelas bahwa film ini diperuntukkan bagi para fans dan penikmat Mocca. Lalu ketika penonton datang disertai harapan untuk menonton secara langsung “cerita” yang dihadapi oleh band kesayangan mereka, “cerita” itu tak cukup kuat dalam film. Ekspektasi penonton, pada satu tempat penting, menjadi tidak terpenuhi.

Bagaimana para pembuat film mensiasati kemoderatan para fans Mocca? Yang terlihat dalam film, pembuat film cenderung memilih abai pada respon fans. Satu hal yang paling jelas, kedua pembuat film adalah penggemar Mocca dan pendapat mereka adalah yang paling primer. Sehingga apapun pendapat para fans yang diwawancarai sedikitpun tak akan mempengaruhi jalan cerita film. Sehingga alih-alih terdapat loncatan tensi yang menghubungkan satu pertemuan dengan pertemuan lain, berbagai perjumpaan dalam MLKOT terasa berjalan sendiri-sendiri. Tak peduli apa isi wawancara pertama, hasilnya tak akan mempengaruhi kejadian kedua, dan seterusnya. Sehingga sebagai film, MLKOT adalah murni jukstaposisi montase berdasarkan footage-footage teknis, dan bukan berdasarkan progresi-progresi sarat gagasan.

Meskipun demikian, ada hal penting yang bisa dibaca akibat kehadiran MLKOT. Bahwa secara kartografis, penggemar musik di Indonesia terkotak-kotak ke dalam berbagai kelompok, dan fenomena Mocca menjadi menarik karena ia menghadirkan penggemar musik dengan kluster yang cenderung baru. Sebelum Mocca, kelompok penggemar musik di Indonesia didominasi oleh fans pop melayu yang terdiri dari para penduduk non-kota dan suburban. Jarak yang lebih renggang dengan teknologi serta kedekatan mereka dengan pekerjaan-pekerjaan fisik membuat lirik-lirik melayu menjadi begitu konkret untuk dinikmati. Kluster lain dijejali semangat politik dan perlawanan khas anak muda yang diwakili secara sempurna oleh kelompok musik macam Slank dan Iwan Fals.

Brand Mocca sebagai band berbahasa Inggris melahirkan fenomena apresiasi musik yang cenderung baru, fans Mocca sangatlah tersegmentasi: tinggal di kota, melek teknologi, haus informasi, dan tentu saja mengerti bahasa Inggris. Lihatlah scene ketika Mocca menyanyikan tembang Hyperballad karya Bjork, ada fans yang hafal lirik lagu itu di luar kepala. Itulah tipikal fans Mocca beserta kriteria-kriteria tersampir di atas. Untuk orang-orang semacam itulah film dokumenter MLKOT diperuntukkan.

Akhirnya, MLKOT mengisi barisan dokumenter musik yang belum begitu banyak dilakukan di Indonesia. Generasi Biru karya Garin Nugroho belum bisa dikategorikan sebagai dokumenter sebab ia memang adalah film fiksi. Metamorfoblus, di sisi lain, adalah salah satu dokumenter musik yang bisa bertutur dengan mulus, jauh lebih mulus dari MLKOT.

Mocca: Life Keeps on Turning | 2011 | Sutradara: Ari Rusyadi & Nicholas Yudifar | Negara: Indonesia | Subjek: Arina, Toma, Riko, Indra, Endah, Rhesa.