Liew Seng Tat: Dari Sinema Kecil Malaysia, Jadi Lelaki Harapan Dunia

wawancara-liew-seng-tat_hlgh

Sekitar sepuluh tahun lalu, dunia film mengenal Sinema Kecil Malaysia. Terdiri dari beberapa sutradara yang saling bahu membahu, beberapa karya mereka pada saat itu hadir di festival-festival film penting dari Asia hingga Eropa. Nama-nama seperti Amir Muhammad (Big Durian, The Last Communist, Village People Radio Show), Yasmin Ahmad (Sepet, Mukhsin, Muallaf), James Lee (The Beautiful Washing Machine, Things We Do When We Fall in Love, Call if You Need Me), Ho Yuhang (Rain Dogs, At the End of Daybreak), dan Tan Chui Mui (Love Conquers All) ramai dibicarakan di banyak negara, termasuk Indonesia.

Nama penting lainnya dari Sinema Kecil Malaysia adalah Liew Seng Tat. Flower in the Pocket, film panjang pertamanya pada 2007, menyabet penghargaan di beberapa festival, termasuk penghargaan tertinggi di Busan International Film, International Film Festival Rotterdam, dan Fribourg International Film Festival.

Selang tujuh tahun, tepatnya pada 2014, Liew Seng Tat merilis film panjang keduanya, Lelaki Harapan Dunia (Men Who Save the World). Film drama komedi ini bercerita tentang kekacauan di sebuah kampung karena kesalahpahaman penduduk. Penduduk mengira rumah kosong yang sedang dipindahkan dari tengah hutan dengan mengangkat bersama-sama sesuai tradisi itu berhantu. Seorang warga melihat adanya sosok hitam di rumah tersebut yang sebenarnya adalah sosok imigran gelap Afrika yang sedang bersembunyi.

Lelaki Harapan Dunia diproduksi secara kolaboratif oleh Everything Films (Malaysia), Volya Films (Belanda), Flying Moon Filmproduktion (Jerman), dan Mandra Films (Prancis) ini mendapatkan beberapa dukungan antara lain: Hubert Bals Fund, World Cinema Fund, dan Torino Film Lab. Setelah tayang perdana di Locarno International Film Festival, Lelaki Harapan Dunia keliling beberapa festival penting lainnya, seperti Toronto Internatonal Film Festival, Nara International Film Festival, International Film Festival Rotterdam, hingga meraih Special Jury Prize di Fajr International Film Festival di Iran bulan Mei 2015 lalu.

Saya beruntung dapat berbincang bersama Liew Seng Tat yang baru saja tiba dari Iran. Ia mencoba menyepi dari hingar bingar Kuala Lumpur untuk menulis skenario film panjang ketiganya di Yogyakarta. Sutradara kelahiran 1979 ini bercerita tentang film terbarunya, sensor di Malaysia, dan rencana proyek selanjutnya.

Saya sudah mendengar tentang Lelaki Harapan Dunia sejak film itu dapat dana bantuan dari International Film Festival Rotterdam. Waktu judulnya In What City does It Live?. Setelah itu kamu juga membuat sebuah proyek live performance memindahkan rumah bersama-sama di tengah kota Kuala Lumpur bernama Projek Angkat Rumah. Jadi bagaimana pengembangan proses film ini dari titik awal hingga diproduksi?

Judul film ini akhirnya Lelaki Harapan Dunia. In What City does It Live? pernah menjadi judul karya dalam proses dulu. Sebenarnya film ini seharusnya jadi film pertama saya, sebelum Flower in the Pocket. Tapi ketika saya sedang menulis, saya kesulitan untuk melanjutkannya. Saya pikir mungkin ini terlalu ambisius untuk menjadi film panjang pertama saya. Itu pada tahun 2006.

Sebelumnya saya banyak membuat film pendek. Waktu itu banyak pembuat film independen Malaysia bukan berasal dari sekolah film, termasuk saya yang lulus sebagai animator 3D. Dulu saya memiliki kelompok dengan beberapa pembuat film. Waktu itu kami belum meyebut diri kami sebagai pembuat film, hanya pecinta film. Cukup mudah waktu itu untuk membuat fim pendek. Kami coba cari tahu bagaimana sebenarnya membuat film. Sebagian berjalan sambil belajar. Saya membuat banyak film hingga tahun itu, hingga saya berpikir sudah saatnya untuk melanjutkan ke film panjang, tapi saat itu saya masih belum tahu cara membuat skenario yang panjang. Karena skenario film panjang memang bisa beda sekali dengan skenario film pendek. Film pendek yang saya buat saat itu bisa sangat pendek, bisa hanya beberapa detik. [Tertawa]

Dan kemudian saya punya ide tentang film Lelaki Harapan Dunia ini. Saya memang sangat tertarik dengan tradisi angkat rumah. Ada beberapa yang harus dieksplor. Dan saya mulai menulis tapi masih belum paham cara menulis skenario film panjang. Dan saya akhirnya memutuskan untuk berhenti dulu. Kemudian saya mencoba menulis cerita yang sangat sederhana dan bisa diproduksi dengan biaya rendah. Dari situlah Flower in the Pocket muncul. Film itu hanya berfokus pada beberapa karakter. Cerita tentang anak dan ayahnya.

Ketika Flower in the Pocket keliling ke beberapa festival, saya banyak mendapat pengalaman dan mulai dikenal. Juga membuka banyak pikiran saya tentang membuat film. Saya juga menjadi lebih percaya diri untuk kembali ke cerita pertama saya. Itu membutuhkan waktu, saya melakukan banyak hal sejak itu, termasuk memproduseri film Tan Chui Mui (Year Without a Summer). Saya bilang pada diri sendiri untuk tidak terlalu terburu-buru. Karena memang cerita Lelaki Harapan Dunia bagi saya adalah cerita besar, cerita tentang banyak karakter, dan melibatkan satu desa.

Saya selalu menantang diri sendiri ketika membuat film. Bahkan ketika membuat film pertama, saya menantang diri sendiri. Waktu itu kalau saya membuat Lelaki Harapan Dunia langsung, saya mungkin menantang diri sendiri terlalu jauh, terlalu besar untuk kemampuan saya yang belum seberapa waktu itu. Jadi waktu itu saya menantang diri untuk membuat film dengan dua anak kecil sebagai tokoh utamanya. Ceritanya boleh jadi sederhana, tapi tidak halnya dengan menyutradarai dua anak kecil.

Ketika membuat Lelaki Harapan Dunia, saya ingin tantangan untuk membuat sesuatu yang berbeda. Mudah untuk membuat film dengan pola seperti Flower in the Pocket: DIY (do it yourself) dan low budget. Saya sudah melalui itu semua yang memang bagus untuk debut pembuat film. Juga karena dalam membuat Lelaki Harapan Dunia ini, saya tidak mau mengorbankan skenario. Karena apabila saya produksi Lelaki Harapan Dunia dengan biaya kecil, bukannya menggunakan banyak orang, saya akan menggunakan hanya sepuluh orang. Bukannya menggunakan rumah sungguhan, saya mungkin menggunakan rumah kecil. Bagi saya, itu harus rumah yang bagus dan mudah diangkat. Rumah itu juga harus dibakar, itu bagian penting dalam film.

Jadi saya memutuskan untuk menunggu sampai masalah keuangan selesai. Bagian dari tantangan lain adalah membuatnya dengan skala yang besar. Saya ingin membuat dengan kru profesional. Sudah lama saya bekerja dengan teman, dengan siapapun yang bisa membantu, memegang kamera, memegang boom. Untuk Lelaki Harapan Dunia, saya pun kemudian memutuskan untuk bekerja dengan penata fotografi Teoh Gay Hian. Dan juga semua artis, sebagian besar adalah veteran artis di Malaysia. Wan Hanafi Su, Harun Salim Bachik, bahkan Soffi Jikan. Semua adalah aktor populer di Malaysia. Jadi menyutradarai aktor non-profesional ke profesional adalah sebuah tantangan juga.

Antara 2008 hingga ketika film pertama diambil gambarnya tahun 2013, saya melakukan hal lain, menyiapkan skenario, serta mencari finansial. Produser dan saya menghabiskan waktu hampir dua tahun untuk mencari grant ke mana-mana. Bagi pembuat film, terkadang ide membuat film itu terus berganti-ganti. Ketika kita menulis skenario, kadang kita membacanya lagi dan tidak menyukainya. Tapi ide tentang Lelaki Harapan Dunia terus tertanam di benak saya. Karena itu, saya memutuskan untuk menilik kembali lagi cerita itu.

Tradisi angkat rumah dalam film Lelaki Harapan Dunia (2014)
Tradisi angkat rumah dalam film Lelaki Harapan Dunia (2014)

Bagi saya, film Lelaki Harapan Dunia mencoba untuk menunjukkan bagaimana pemikiran atau kepercayaan yang tidak rasional dapat mengacaukan relasi antar manusia. Ada satu kutipan asyik dalam film ini, “Antara takut dan kebodohan, cuma garis halus saja yang memisahkannya.” Apakah ini pandanganmu terhadap masyarakat saat ini?

Itu sangat cocok dalam konteks menjadi Asia, khususnya Asia Tenggara. Kita adalah kumpulan orang-orang yang percaya pada takhayul, termasuk saya. Kita terlahir dalam kondisi ini bahkan ketika kita memiliki agama, yang memberitahu kita tentang apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.

Misalnya ketika sangat panas, bukannya melihat matahari, kita malah percaya pada hal lain yang tak nampak. Ini menarik karena inilah kita. Tapi terlalu banyak seperti itu juga berbahaya, karena membuat kita jadi tidak bertanya-tanya. Tanpa bertanya-tanya kita jadi hanya percaya, seperti apa yang saya bilang sebagai kebodohan. Jadi harus ada keseimbangan di sana.

Saya pikir dalam film ini saya menggunakan konteks takhayul di komunitas kita. Tapi ada tema universal di cerita ini. Dalam konteks kita adalah takhayul, dalam konteks lain mungkin bentuk lain yang juga berefek pada komunitas dalam cara yang sama. Di barat pasti berbeda.

Berbeda dengan Flower in the Pocket, film Lelaki Harapan Dunia ini bertempo cepat dan penuh dengan musik latar. Apakah ini karena kamu ingin membuat film yang lebih populer, untuk lebih diakses oleh masyarakat Malaysia pada umumnya?

Dari awal saya memang ingin membuat film yang berbeda. Jadi tempo dan pilihan musik dari awal memang saya pilih seperti ini. Juga benar karena saya ingin membuat film yang lebih mudah diakses daripada Flower in the Pocket. Saya ingin membuat film yang berada di antara mainstream dan arthouse. Saya tidak bisa bilang Flower in the Pocket sebagai contoh film yang baik, karena Flower in the Pocket dibuat seketika saja, tanpa memikirkan sisi pemasarannya. Saat itu kami terlalu naif, kami punya skenario lalu buat film. Ketika film jadi, kami tidak punya banyak pilihan, selain kirim ke festival. Tapi penting juga karena dari situlah saya mendapat banyak pengalaman dan pelajaran.

Jadi penting sejak awal, sejak menulis skenario, untuk tahu kepada siapa saya membuat film. Karena terlalu telat untuk baru memikirkan ketika film telah jadi. Flower in the Pocket telah mencapai banyak hal yang tidak diduga. Tapi ada hal yang saya sesalkan, kita tidak memikirkan jalur distribusinya. Flower in the Pocket hanya diputar di beberapa ruang di malaysia dan didistribusikan dalam bentuk DVD yang dijual di tempat-tempat tertentu.

Satu-satunya hal yang tidak dicapai Flower in the Pocket adalah ditonton oleh banyak audiens Malaysia. Jadi untuk saat ini saya ingin mendorong film ke area ini. Sejak awal, saya dan produser duduk bersama membicarakan ini. Saya ingin memutar di bioskop-bioskop Malaysia dan juga menjadi di tengah mainstream dan arthouse. Tak banyak yang membuat film ini seperti ini, jadi saya ingin mencoba. Di Malaysia kamu bisa nonton film komersial dan beberapa film arthouse yang hanya diputar di festival. Itu masalah. Saya percaya ada jembatan di sana. Saya pikir sinema Korea malakukannya dengan baik. Menarik dan berkualitas. Mungkin kita bisa melihat mereka sebagai model untuk mulai memikirkanya.

Film ini juga berbeda dari film-film Sinema Kecil Malaysia lain yang lebih banyak menggunakan orang Cina-Malaysia sebagai karakter utamanya. Dalam film ini, satu-satunya karakter “Cina” bahkan sebenarnya adalah orang Melayu yang diberi julukan tersebut karena matanya sipit. Mengapa tidak memasukkan orang Cina-Malaysia dalam film ini?

Saya pikir karena kami (Sinema Kecil Malaysia) cukup independen. Bukan hanya dari sisi finansial, tapi juga independen dari apa yang ingin kami ceritakan. Kami sangat bebas di sana. Kami tidak dibantu oleh produser atau studio yang menyarankan cerita apa yang harus dibuat. Jadi sebagian besar berangkat dari cerita yang sangat dekat dengan kami.

Jika kamu terlahir sebagai orang Cina-Malaysia, cerita yang paling dekat tentu saja tentang orang Cina-Malaysia. Mungkin film-film yang lebih banyak dilihat di luar Malaysia, film-film yang diputar di beberapa festival, dibuat oleh sutradara Cina-Malaysia. Dan saya tahu cerita-cerita tersebut memang dekat dengan mereka. Setidaknya untuk saya, tidak ada misi untuk menyuarakan perspektif komunitas Cina-Malaysia.

Dalam film ini, alasan utama kenapa menggunakan karakter dan bahasa Melayu tentu saja karena tradisi angkat rumah. Ini tidak bisa diceritakan dengan tokoh ras lain. Ini harus dibuat di Kampung Melayu. Juga saya tidak pernah membuat film Melayu sebelumnya, jadi itu bagian yang menantang. Dalam penulisan skenario, saya menulis dulu dalam bahasa Inggris. Bahkan Flower in the Pocket juga saya tulis dalam bahasa Inggris lalu diterjemahkan ke bahasa Mandarin. Di film ini juga sama, dari bahasa Inggris diterjemahkan ke bahasa Melayu. Cara berbicara, temponya, cara melawaknya, semua sangat berbeda. Dan saya ingin tahu perbedaannya.

wawancara-liew-seng-tat-02_hlgh
Suasana produksi film Lelaki Harapan Dunia (2014)

Apakah ada kesulitan dalam menyutradarai orang Melayu dengan bahasa Melayu?

Ada beberapa kesulitan, tapi saya mencoba lebih fleksibel. Saya bukan tipe sutradara yang sangat kaku pada dialog. Ada beberapa sutradara yang saya tahu sangat kaku dengan dialog. Tidak boleh ada dialog yang diubah, bahkan intonasi, bahkan cara menyampaikan “lah”. Saya bukan sutradara tipe itu. Bagi saya sangat mudah untuk beradaptasi. Selama pesan benar, intensi benar, emosi benar, ucapkan saja dengan caramu. Yang penting pesan sutradara tersampaikan.

Apalagi ketika Flower in the Pocket saya menyutradarai anak-anak. Saya menulis skenario, dialog, saya membuat mereka berbicara tapi tidak dengan cara langsung, tidak menuntun kata demi kata. Kalau saya menyuruh dia berbicara sesuai dialog saya, akan aneh, karena saya bukan anak-anak lagi. Semacam itu juga metode yang saya pakai di Lelaki Harapan Dunia. Sehingga proses jadi lebih natural.

Dalam film ini, saya juga melihat semuanya adalah perspektif laki-laki. Hampir semua tokoh laki-laki dan sangat sedikit sekali dialog dari tokoh perempuan. Apa alasan di balik ini?

Karena tradisi angkat rumah adalah milik lelaki. Tradisi ini hanya dilakukan oleh lelaki karena dari sisi fisiknya. Kamu tidak benar-benar butuh perpempuan untuk menceritakan ini. Tapi saya juga menggarisbawahi suara perempuan di cerita. Kadang kita menggarisbawahi sesuatu tanpa benar-benar mneggarisbawahinya. Kadang kita bercerita tentang lelaki, tapi kita juga merefleksikan tentang perempuan dalam cara yang lain.

Lelaki Harapan Dunia telah diputar di berbagai festival penting di seluruh dunia. Bagaimana kamu melihat penerimaan dunia pada film ini?

Pengalaman saya di berbagai festival dan budaya sangat positif. Saya mendapat pengalaman yang sangat baik dengan audiens tempat film ini diputar. Di Locarno, film diputar di hall besar dengan 800 kursi penuh, full house. Saya telah mengerjakan film ini sangat lama, saya juga mengedit film ini. Sebelum premier, saya telah menonton film ini ribuan kali. Saya sangat membenci editing karena itu adalah proses yang sangat teknis dan dingin. Saya harus menonton setiap hari, sampai-sampai saya tidak merasakan apa yang saya tonton. Jadinya berpikir teknis saja, frame ke frame.

Saat premier di Locarno, semua perasaan perlahan mulai kembali. Rasanya sangat luar biasa. Kami duduk dengan delapan ratus orang. Saat mereka tertawa, rasanya menjadi sangat emosional. Dan saat itu saya menyadari inilah kekuatan sinema. Kamu duduk bersama sejumlah audiens tak dikenal dan bisa merasakan emosi yang sama. Saat itu juga saya bilang ke produser saya, “Kita harus bikin film lagi.” Film ini terasa lebih nikmat ketika ditonton bersama banyak orang.

Juga di beberapa festival kita temukan pengalaman yang sama. Saya pikir ada juga beberapa review yang tidak positif tentang film ini. Tapi bagi saya penting untuk belajar dari pengalaman ketika membuat Flower in the Pocket. Bagian dari tugas sebagai pembuat film adalah mendapat review negatif. Kamu mau terima atau tidak, itu masalah lain lagi. Karena karya apapun yang kamu hasilkan pasti akan dihakimi. Tapi pengalamannya saya sangat baik, karena film ini adalah komedi, dia menjadi lebih baik ketika ditonton oleh banyak orang.

Dari pemberitaan film ini, saya membaca adanya kontroversi penerimaan film ini di Malaysia. Ada pihak yang membangun isu sehingga badan sensor Malaysia mencoba mengevaluasi ulang film ini. Bagaimana kamu menyikapi kontroversi ini?

Sebenarnya film ini didukung oleh FINAS (Perbadanan Kemajuan Filem Nasional Malaysia). Kami mendapat bantuan dana dari pemerintah. Kami memperlihatkan film ke mereka, tidak pernah ada masalah. Juga bahkan tidak ada masalah dengan badan sensor. Sampai filmnya beredar, beberapa orang sensitif berkomentar tentang sesuatu di film ini. Mereka berkomentar tentang adegan penyembelihan unta, adanya darah, juga ada anggapan saya ingin membuat lelucon tentang agama Islam. Tapi karena orang yang berkomentar adalah juga pembuat film dan aktor, beberapa pers ada yang setuju dan menyanggah.

Bagi saya menarik, karena saya hanya duduk di tengah dan melihat media, pebuat film, dan audiens yang saling berargumentasi. Karena banyak juga pihak yang tidak merasa bermasalah, bahkan menyukai film ini. Dan argumentsi ini penting karena menciptakan dialog. Lelaki Harapan Dunia dibicarakan di media sosial, resensi forum, dan sebagainya. Ini membuat orang mulai mendiskusikan tidak hanya film tapi juga agama dan budaya. Bagi saya ini penting karena juga mempublikasikan film dan membuat orang menjadi penasaran. Saya harus terimakasih pada yang membuat kontroversi karena kita juga mendapatkan keuntungan dari sana.

Tapi karena itu badan sensor jadi berpikir apakah ada yang terlewatkan. Dan ketika dilihat lagi tetap tidak ada masalah. Di Malaysia banyak terdapat orang-orang yang sensitif terhadap segala sesuatu hal. Kami tidak tahu seberapa sensitif sebenarnya mereka. Hal minor sekalipun bisa mereka komplain. Saya sendiri dari awal bahkan tidak ada niatan negatif, tapi kami juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau orang melihatnya negatif. Tentunya ini tidak akan menghentikan saya untuk bercerita, selama saya yakin bahwa niatan saya memang baik.

wawancara-liew-seng-tat-03_hlgh
Salah satu adegan film Flower in the Pocket (2007)

Sebenarnya, bagaimana sutradara Sinema Kecil Malaysia lain menghadapi sensor? Apakah dulu kamu juga memeriksakan Flower in the Pocket ke badan sensor?

Ya, jika kamu ingin rilis film di bioskop atau jual DVD, film harus masuk sensor. Harus dapat persetujuan. Flower in the Pocket juga. Kamu punya pilihan untuk tidak masuk sensor jika tidak ingin memutar film di publik, hanya di festival luar dan private screening. Jadi kamu sebenarnya punya pilihan. Karena kita ingin rilis, jadi kita harus ikuti proses.

Tapi, bicara soal sensor di Malaysia, kamu seolah tidak tahu apa yang tidak diperbolehkan. Lebih berdasar kepada selera personal, pengalaman personal, dan perspektif personal. Pastilah ada guideline akan hal-hal terlarang, seperti seks, kekerasan, dan apapun yang dapat memancing kontroversi terkait agama. Tapi banyak juga area abu-abu. Ketika kamu pikir adegan ini oke, tahu-tahu malah dipotong.

Bagi saya, jangan sensor dirimu dulu. Lakukan saja semaumu, biarkan badan sensor memeriksanya. Karena itulah alasan mereka ada. Mereka butuh memotong sesuatu supaya tidak kehilangan pekerjaan, mereka juga harus memberi makan keluarga. [Tertawa]

Apakah ada bagian yang disensor dalam film ini?

Untuk versi yang beredar di Malaysia, ada beberapa yang dipotong. Ada adegan ketika gangster meletakkan kaki di muka imigran. Adegan itu dipotong karena dianggap terlalu keras. Dan ada shot memperlihatkan orang pipis dari samping. Shot dari samping dipotong karena gambar urin dianggap terlalu mengganggu. Hanya dua shot ini yang dipotong dan tidak mengganggu seluruh cerita. Secara umum mereka melihat film ini aman-aman saja. Ada beberapa suara yang di-mute ketika ada ucapan kata “babi”. Karena babi dianggap kata yang tidak baik diucapkan di muka umum. Ini hanya hal minor, kita tidak mengalami masalah dengan sensor.

Kamu telah mengambil bagian dalam banyak produksi film. Dari menjadi kameo di film Yasmin Ahmad hingga menjadi produser untuk film panjang kedua Tan Chui Mui. Sejauh ini, apakah menjadi sutradara adalah peran yang paling kamu sukai?

Saya pribadi paling suka menyutradarai. Menulis nomor dua, hanya karena saya punya banyak cerita tapi saya tidak menemukan penulis yang memiiliki frekuensi yang sama. Saya bukan penulis yang baik. Saya tidak terlalu cermat dengan dialog, hanya untuk bagian yang penting-penting saja saya ketat dengan dialog. Secara umum, saya lebih senang jadi pencerita, pengkonsep, pembuat tema, juga lebih ke elemen-elemen audiovisual dalam bercerita, juga hal-hal yang bersifat physical. Dalam Lelaki Harapan Dunia, ada adegan lelaki dan perempuan bertukar baju, sosok orang hitam, adegan kejar-kejaran di akhir. Sangat physical. Jadi saya bisa bilang saya paling suka menjadi sutradara.

Akting hanya untuk bersenang-senang. Karena Yasmin Ahmad memang suka bekerja dengan banyak orang, baik sebagai kru maupun aktor. Orang di balik layar ia anggap sebagai keluarga. Saya juga akting untuk film Woo Ming Jin. Waktu itu juga sama, hanya karena dia butuh orang untuk kameo dan menanyakan apakah saya bisa datang. Jadi untuk bagian lain dari membuat film, saya hanya mendukung. Film adalah pekerjaan besar, jadi sangat butuh bantuan banyak orang, butuh banyak energi. Selama masih ada hubungannya dengan membuat film, saya semangat, saya pasti akan bantu.

Kamu merupakan lulusan sekolah animasi 3D. Saat ini karya-karya animasi Malaysia, seperti Upin dan Ipin, dikenal luas di dunia. Apakah kamu ada rencana untuk membuat film animasi?

Tidak untuk sekarang, dengan beberapa alasan. Karena animasi bukanlah ekspresi langsung dan butuh waktu lama. Belum lagi biaya besar di luar yang kita bayangkan. Sumber daya sekarang masih sangat terbatas. Karena juga hanya sedikit cerita yang bisa diceritakan dengan animasi. Tak ada sense of realism di sana.

Ketika kamu lihat shot orang-orang mengangkat rumah, kamu tahu kalau kamu tidak bisa mengulang adegan itu. Adegan itu terasa sangat real. Bahkan ketika kamu bisa buat efek CGI yang sangat canggih, tetap susah untuk bisa lebih baik dari pengadeganan sungguhan. Dan saya belum berpikiran ke sana sekarang. Jika saya harus menggunakan special effect, hanya kalau film saya butuh. Film berikut saya membutuhkan efek CGI. Dan adalah keuntungan bagi saya yang mempunyai latar belakang animasi. Saya tahu cara mendesain adegan, dan membaca kemungkinan CGI dalam beberapa adegan. Saya tahu teknis yang dibutuhkan, dan itu membantu ketika saya menulis.

Bisakah kamu bocorkan sedikit rencana film berikutmu yang sedang kamu tulis saat ini?

Ini akan menjadi lebih mainstream. Saya ingin membuat roman, roman remaja lelaki dan perempuan. Harapannya akan banyak aksi, adegan berkelahi, karena karakter di sini memiliki latar belakang martial art. Dan sekali lagi, akan menjadi drama komedi, akan ada zombie dalam film ini. [Tertawa] Jadi saya mengambil arah yang lain, sesuatu yang baru lagi bagi saya. Akan ada CGI di sini. Kembali kepada tantangan, ini adalah hal yang baru untuk dijelajahi.