Lelaki Harapan Dunia: Maskulinitas adalah Mitos

lelaki-harapan-dunia_hlgh

Masalah sosial dan politik, khususnya yang lekat dengan budaya masyarakat, merupakan perkara yang perlu dibahas dengan hati-hati. Mengkritik kedua hal tersebut kadang tidak bisa dengan gamblang, dan oleh karenanya membutuhkan kecakapan bernarasi.

Liew Seng Tat, sutradara muda Malaysia, mengakalinya dengan bercerita secara satir melalui film terbarunya Lelaki Harapan Dunia. Dia menggunakan unsur-unsur tradisional untuk mendukung gagasan ceritanya. Mulai dari mengambil latar kampung Melayu, tradisi ‘angkat rumah’, sampai mitos-mitos, dan budaya patriarki yang berkembang di sana. Dikemas dalam bungkus komedi ringan, penonton dibiarkan untuk tertawa dan introspeksi diri dalam waktu yang sama.

“Biarpun langit jatuh menimpa lutut, kita akan pikul ia seperti selimut, karena kita lelaki harapan dunia,” teriak sekelompok laki-laki saat prosesi ‘angkat rumah’. Tak hanya menjadi jargon, kata-kata tersebut juga mengarahkan penonton perihal isi film. Selama 94 menit durasi film, terurai rapi kisah tentang karakter dan dinamika mereka selaku ‘lelaki harapan dunia’.

Mulanya adalah tawaran Pak Awang yang mengajak pria sekampung untuk memindahkan rumah demi persiapan pernikahan putrinya. Para pria tersebut awalnya begitu bersemangat, hormat, dan senang membantu Pak Awang. Akan tetapi kebersamaan tersebut tidak berjalan mulus hingga akhir. Muncul beberapa kendala, yang mengerucut menjadi sebuah ketakutan tunggal dalam kelompok tersebut: Hantu ‘Orang Minyak’. Adalah kehadiran Solomon, kesaksian Wan, serta sejumlah kejadian di kampung, yang membuat geger masyarakat kampung. Mereka termakan rasa takut dan enggan melanjutkan prosesi pemindahan rumah.

Berhentinya proyek pemindahan rumah memunculkan perkara yang lain: konflik kepentingan antara masyarakat dan Pak Awang. Pak Awang butuh pemindahan rumahnya segera tuntas. Sedangkan ketakutan masyarakat menghambat hal tersebut. Mereka jadi beralih fokus untuk menyambut pejabat, yang notabene lebih dipandang tinggi dan memberi keuntungan, ketimbang Pak Awang yang bukan siapa-siapa. Alhasil, Pak Awang yang memiliki kepentingan pribadi, seakan melawan masyarakat yang termakan mitos dan memiliki kepentingan bersama—melayani Cik Juta Seri.

Perang Melawan Mitos

Pak Awang adalah benang merah yang menghubungkan keseluruhan Lelaki Harapan Dunia. Setiap perubahan yang ia alami—dari tokoh protagonis, menjadi tokoh antagonis—menguak setiap lapis makna dalam film. Dimulai dari Pak Awang dan rumahnya, berlanjut ke Pak Awang dan penolakannya perihal isu orang minyak, perlawanan Pak Awang terhadap masyarakat, dan berakhir pada Pak Awang sebagai “bukti” benarnya mitos hantu Orang Minyak. Dari sana ada satu garis yang bisa kita simpulkan: satu-satunya orang yang punya pandangan berbeda terhadap masalah kampung tersebut adalah Pak Awang.

Penolakan Pak Awang terhadap keberadaan orang minyak di rumahnya tentu saja beralasan. Dari penolakan tersebut, penonton bisa membaca Pak Awang sebagai seorang tokoh, yang meski sudah tua, tidak serta-merta membunuh akal sehatnya dengan memasrahkan semua masalah kampung kepada mitos. Meski demikian, film juga tidak terlampau mengglorifikasi sosok Pak Awang sebagai sosok yang rasional. Pasalnya, Pak Awang sendiri tidak saja ditokohkan sebagai orang tercerahkan, tapi juga sebagai orang berkepentingan. Menjadi wajar bila kemudian Pak Awang menendang jauh-jauh mitos yang menghalangi kepentingannya—yang mana karenanya, menjadi wajar bila ia menjadi musuh warga.

Mitos, oleh Liew Seng Tat, ditempatkan sebagai cerita-cerita warisan yang kerap jauh dari nalar. Di sisi lain ia dipahami sebagai realitas mengenai kehidupan yang umumnya terwujud dalam takhayul dan pedoman. Fungsi mitos yang demikian tercermin dari penerimaan orang-orang kampung terhadap keberadaan orang minyak. Awalnya mereka menolak dan menganggapnya sebagai kepercayaan yang tidak rasional. Sampai kemudian muncul ketakutan-ketakutan lain; yang menyebabkan mereka butuh ‘sesuatu’ yang bisa dipertanyakan dan dipersalahkan. Mulailah mereka menganggap mitos—yang dirasionalkan—sebagai penyeimbang realitas.

Respon para ‘lelaki harapan dunia’ terhadap kehadiran hantu orang minyak kemudian dituangkan ke dalam pedoman yang lekat dengan budaya patriarki. Sasarannya tentu saja adalah kelompok perempuan, “Kalau tidak ingin diperkosa hantu, anak gadis sebaiknya tidak pulang malam.” Jika dilihat lebih dekat lagi, mitos tersebut menempatkan perempuan pada posisi bermasalah. Tubuhnya diatur dan perannya dibatasi. Hingga nantinya, andai seorang perempuan diperkosa, ia tidak menjadi korban. Perempuan justru dianggap sebagai pihak bersalah karena perilakunya yang melanggar norma.

Peran perempuan dalam masyarakat begitu minim dalam Lelaki Harapan Dunia. Ini nampak dari tradisi angkat rumah yang prosesnya hanya dilakukan oleh laki-laki. Segala macam figur yang dihormati, mulai dari Pak Awang, kepala kampung, hingga Cik Juta Seri, juga laki-laki semua. Dan bila kedua hal itu tidak cukup, lebih lanjut lagi, Lelaki Harapan Dunia juga menampilkan proses pemecahan masalah yang tidak melibatkan peran perempuan sama sekali. Perkara kejantanan juga kerap digembar-gemborkan sebagai suatu hal yang penting, sementara di sisi lain, perempuan hanya sebatas pesuruh yang harus patuh dan diam di rumah.

Dari elemen-elemen yang dieksplorasi, penonton diajak bersama-sama melihat bagaimana tradisi dan kehidupan sosial (masyarakat Melayu) menempatkan perempuan di kelas sosial yang lebih rendah. Perempuan diposisikan tidak setara dengan laki-laki, serta diharuskan tunduk pada nilai-nilai maskulinitas. Kondisi yang demikian pun cenderung menetap di masyarakat. Ada berbagai hal yang secara turun-temurun menjadi legitimasi ketidaksetaraan di masyarakat: nilai sosial, agama, hukum, dan, seperti yang Lelaki Harapan Dunia tuturkan, mitos.

Menertawai Masyarakat

Singkat kata, bahan baku film Lelaki Harapan Dunia adalah laki-laki dan mitos. Hasil akhirnya berupa karya besar yang menyerempet ke isu gender di kehidupan Melayu. Pembuat film terhitung cermat dalam mengemas wacana besar—dan sensitif—tersebut menjadi sebuah kisah yang ringan, namun mendalam. Dan untuk membuat karyanya tetap bisa dikonsumsi dengan utuh oleh penontonnya, Liew Seng Tat mengemas filmnya sebagai komedi satir.

Komedi satir yang juga sering diistilahkan black comedy biasanya dipakai sebagai media untuk menyampaikan kritik sosial dan mengangkat hal-hal tabu di masyarakat. Hal-tersebut diikat dengan menggunakan humor yang dibangun sepanjang cerita. Dengan humor, hal-hal yang tadinya kaku bisa dibuat lebih lentur, dan pembacaan dalam setiap muatan adegan bisa dilonggarkan. Penonton dibuat tertawa, terhibur, dan tersindir dalam waktu yang sama.

Dalam Lelaki Harapan Dunia, Liew Seng Tat meleburkan kritik, drama, dan komedi menjadi sebuah narasi yang saling bertautan—sebuah paket yang lengkap. Lelaki Harapan Dunia menampilkan betapa mudahnya masyarakat memilih mitos sebagai jalan pintas dalam menjelaskan kejanggalan di sekitarnya, serta bagaimana mereka mewujudkan tafsirnya menjadi sekat-sekat budaya patriarki.

Cerai berainya fakta serta abainya warga dari penjelasan logis, merupakan kritik tajam Lelaki Harapan Dunia terhadap pola pikir kolot yang masih beredar di masyarakat Melayu dan masyarakat-masyarakat lainnya. Para pria merasa lebih superior dan harus melindungi wanita, padahal pola pikir mereka sebetulnya masih dangkal. Namun alih-alih menggurui ataupun memojokkan masyarakat, Liew Seng Tat justru merangkainya sebagai guyonan satir. Pria-pria penakut itu ia posisikan sebagai sesuatu yang mulia dalam judul: “Lelaki Harapan Dunia.”

Lelaki Harapan Dunia (Men Who Save the World) | 2014 | Durasi: 94 menit | Sutradara: Liew Seng Tat | Produksi: Everything Films, Volya Films, Flying Moon Filmproduktion, Mandra Films | Negara: Malaysia, Belanda, Jerman, Prancis | Pemeran: Wan Hanafi Su, Soffi Jikan, Harun Salim Bachik, Jalil Hamid, Azhan Rani, Jjamal Ahmed, Muhammad Farhan Mohammad Nizam, Hazeehan Husain, Othman Hafsham, Azman Hassan, Khalid Mboyelwa Hussein, Bob Idris