Lebih dari Sekadar Angka: Film Indonesia sebagai Lanskap Budaya

Tak berlebihan rasanya jika ada yang berpendapat film Indonesia sedang memasuki masa keemasan baru. Untuk kali pertama sepanjang sejarah sinema nasional pasca-Reformasi, dalam dua tahun berturut-turut, sepuluh besar box office film Indonesia sepenuhnya dikuasai oleh film-film dengan lebih dari satu juta penonton.

Pada 2016 Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 arahan Anggy Umbara memuncaki klasmen dengan 6,85 juta penonton, dengan London Love Story di peringkat sepuluh dengan 1,12 juta penonton. Di antaranya bercokol Ada Apa dengan Cinta? 2, My Stupid Boss, Cek Toko Sebelah, Hangout, Rudy Habibie, Koala Kumal, Comic 8: Casino Kings Part 2, dan ILY from 38.000 Ft. Tahun berikutnya giliran Pengabdi Setan arahan Joko Anwar yang berjaya dengan 4,2 juta penonton. Di belakangnya ada Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2, Ayat-ayat Cinta 2, Danur: I Can See Ghosts, Jailangkung, Susah Sinyal, Surga yang Tak Dirindukan 2, Mata Batin, The Doll 2, dan Surat Cinta untuk Starla The Movie.

Selama ini angka satu juta penonton kerap dimitoskan sebagai tonggak pencapaian bagi film Indonesia. Terlepas dari fakta ekonomi bahwa keuntungan sebuah film perlu ditakar secara kontekstual dengan skala biaya produksinya, yang artinya tidak semua film harus menghimpun jutaan penonton untuk setidaknya balik modal, angka satu juta penonton memang sebuah capaian yang langka. Dari 1200an film Indonesia yang tayang di bioskop pasca-Reformasi, hanya 55 film yang berhasil mengumpulkan lebih dari satu juta penonton—25 di antaranya merupakan film yang beredar pada tiga tahun terakhir.

Pada periode yang sama, total jumlah penonton untuk film Indonesia turut meningkat. Pada 2016 terhimpun 34,5 juta penonton untuk 127 film, yang pada tahun berikutnya naik ke 38,6 juta penonton untuk 117 film. Capaian-capaian tersebut melampaui jumlah penonton film Indonesia pada 2008 dan 2009, masa keemasan sebelumnya, yang berpuncak pada 32,4 juta penonton.

Perkembangan film Indonesia beberapa tahun ini tentunya kabar menggembirakan. Di sisi lain, kita juga perlu memperluas pandangan kita dan membaca perkembangan ini lebih dari sekadar angka. Faktanya, film Indonesia sedang berjaya ketika negeri ini sedang riuh dengan krisis koeksistensi. Semenjak pemilihan presiden pada 2014 yang memecah-belah banyak persahabatan dan keluarga, kasus-kasus persekusi menjadi cerita yang terus berulang dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Mulai dari persekusi kaum LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Questioning), kelompok condong kiri, dan penghayat kepercayaan tertentu, hingga diskriminasi terhadap perempuan, penduduk Papua, dan warga keturunan Tionghoa.

Dalam setiap kasus persekusi terbaca suatu pola yang berulang. Beberapa kelompok merasa lebih berhak untuk mengatur bagaimana kehidupan bersama di negeri ini seharusnya berjalan. Mereka memilah para penghuni nusantara dalam derajat-derajat tertentu, dan menegaskannya melalui kekuatan fisik dalam wujud intimidasi dan perisakan, juga melalui persebaran gagasan di rimba media dan perebutan makna di ruang publik. Kebhinekaan—komponen penting dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini—dipertanyakan, diabaikan, dan terancam ditiadakan.

Identitas etnis, agama, gender, dan orientasi seksual seharusnya tidak menjadi prasyarat bagi pergaulan, terlebih lagi di tengah masyarakat yang beragam seperti Indonesia. Setiap orang berhak berinteraksi dengan sesamanya, senyamannya, sehormat-hormatnya. Lebih dari itu, setiap orang berhak mengekspresikan identitasnya tanpa rasa cemas dan takut. Saat ini sejumlah identitas tertentu jadi terus diperkarakan karena adanya ketidakadilan struktural di masyarakat.

Di tengah semua ini, tepatnya pada 27 April 2017, pemerintah kita mengesahkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Undang-undang ini menerjemahkan kebudayaan nasional Indonesia sebagai “keseluruhan proses dan hasil interaksi antar-Kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia”. Penggunaan istilah proses dan berkembang menekankan pada gerak budaya yang dinamis, yang dibentuk melalui “interaksi antar-kebudayaan baik di dalam negeri maupun dengan budaya lain dari luar Indonesia dalam proses dinamika perubahan dunia”. Undang-undang ini memperluas pengartian kebudayaan di Undang-undang Dasar 1945, yang terbatas pada “buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya” dan “puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di Indonesia”. Kebudayaan yang tadinya dipahami secara insuler, sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dari lingkungan sekitar, kini dimaknai ulang sebagai bagian dari sebuah ekosistem besar yang lintas batas.

Film disebut dalam Undang-undang Pemajuan Kebudayaan sebagai salah satu objek pemajuan kebudayaan. Dalam Pasal 32, disebutkan bahwa pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan dilakukan melalui “internalisasi nilai budaya; inovasi; peningkatan adaptasi menghadapi perubahan; komunikasi lintasbudaya; dan kolaborasi antarbudaya”, yang bertujuan untuk mencapai “membangun karakter bangsa; meningkatkan ketahanan budaya; meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan meningkatkan peran aktif dan pengaruh Indonesia dalam hubungan internasional”.

Di tengah krisis koeksistensi yang melanda Indonesia, prinsip-prinsip dalam Undang-undang Pemajuan Kebudayaan memantik sejumlah pertanyaan penting tentang peran film dalam kehidupan bermasyarakat.

Film sebagai ekspresi kultural

Kita perlu menakar film Indonesia lebih dari capaian ekonomi semata. Kita perlu memperluas tolok ukur kita, mengingat film tidak saja berfungsi sebagai komoditas komersial, tapi juga sebagai perangkat strategis dalam interaksi kultural. Kedua fungsi ini tidak terpisahkan dan saling berkelindan dalam setiap karya film. Untuk mewujudkan capaian-capaian komersial, sineas tidak bisa lepas dari pemanfaatan unsur dan pengelolaan strategi kultural—pemahaman akan subjek, pakem budaya, kebiasaan warga, psikologi penonton, dan sebagainya. Untuk mewujudkan capaian-capaian kultural, sineas tidak bisa lepas dari pemanfaatan unsur dan pengelolaan strategi komersial—perencanaan alur kas, pengedaran, promosi, akses permodalan, dan sebagainya.

Oleh karena itu konsekuensi suatu produk film tidak saja tecermin dari posisinya di tangga box office atau statistik penjualan tiket, tapi juga dari dampaknya bagi kelompok-kelompok warga yang menonton dan yang ditonton dalam film. Publik tidak saja berperan sebagai penonton maupun pembeli tiket, tapi juga sebagai sumber citraan dan gagasan yang membentuk isi film, dan sebagai kalangan yang terpapar pada ungkapan-ungkapan citraan dan gagasan tersebut.

Masalahnya, dari sekian banyak proses dan karya yang membentuk perfilman nasional, film Indonesia masih diartikan sebatas film yang beredar di bioskop—atau, lebih tepatnya, film yang lulus sensor. Dalam konteks legal, hanya film-film dengan surat tanda lulus sensor yang memiliki hak ekonomi dan oleh karenanya sah untuk disebarkan melalui kanal-kanal komersial. Dan, bioskop sampai saat ini masihlah kanal distribusi yang paling stabil juga yang paling diakrabi oleh publik. Kombinasi hal-hal ini menciptakan anggapan bahwa film yang beredar melalui bioskop komersial sebagai “karya sesungguhnya”, dan film yang beredar melalui kanal-kanal lain sebagai “karya latihan” atau “batu loncatan menuju industri film”.

Anggapan tersebut pada prosesnya berujung pada pandangan yang menempatkan hasil penjualan tiket bioskop sebagai satu-satunya tonggak pencapaian film, yang pada praktiknya mengasingkan film Indonesia dari masyarakatnya sendiri. Sebagai perkara komersial, film Indonesia hanya tersedia dan bisa diakses oleh warga kelompok ekonomi tertentu. Bioskop hanya tersedia di kota-kota besar. Meski jumlahnya terus bertambah setiap tahunnya, bioskop yang tersedia hanyalah bioskop kelas menengah-atas yang hampir semuanya berada dalam mal dan pusat perbelanjaan elit. Sebagai perkara kultural, film Indonesia hanya relevan bagi sejumlah kelompok warga. Kebijakan sensor mensterilkan film dari berbagai representasi sosial dan ekspresi politik, seolah hendak mencitrakan masyarakat Indonesia sebagai suatu komunitas yang generik, apolitis, dan “sudah baik dari sananya”. Ungkapan tentang ras, agama, kelas sosial, selera politik, dan orientasi seksual hanya diizinkan apabila selaras dengan kebutuhan rezim yang berkuasa.

Film-film yang mengekspresikan identitas LGBTIQ, misalnya, bisa dipastikan sulit mendapat tempat dalam jaringan bioskop komersial. Kalaupun ada, kaum LGBTIQ umumnya ditempatkan sebagai korban stigma atau bahan olok-olokan. Dari seribuan film Indonesia yang beredar di bioskop sejak Reformasi, mungkin hanya Arisan! (2003) karya Nia Dinata, Madame X (2010) karya Lucky Kuswandi, Lovely Man (2011) karya Teddy Soeriaatmadja, dan omnibus Sanubari Jakarta (2012) yang sanggup menghadirkan narasi yang memberdayakan identitas LGBTIQ. Meski begitu, perlu dipahami bahwa keempat film itu menerapkan cara tutur yang teramat berlapis supaya bisa lulus sensor. Film-film yang lebih gamblang macam Parts of the Heart (2012) karya Paul Agusta dan The Sun, the Moon, and the Hurricane (2014) karya Andri Cung. Keduanya menuturkan kaum LGBTIQ sebagai manusia yang berdaya dan punya perasaan, melampaui penokohan karikatural pada umumnya.

Singkat kata, ketidakadilan struktural dalam perfilman nasional mencegah ekspresi yang beragam akan keragaman Indonesia, yang pada praktiknya membatasi keterlibatan masyarakat sebagai pembuat maupun penonton film. Konten film Indonesia berputar di situ-situ saja karena yang menonton hanya itu-itu saja, sementara pasar film Indonesia tidak bisa berkembang karena yang sanggup mengakses hanya itu-itu saja. Kondisi pelik ini diperburuk dengan berbagai keruwetan regulasi: mulai dari aturan sensor yang membatasi hak edar film, minimnya data perfilman nasional sebagai acuan bagi kebijakan pemerintah, belum adanya insentif fiskal maupun nonfiskal bagi pengutamaan sumber daya perfilman nasional, dan sebagainya.

Film sebagai gagasan tentang orang lain

Masyarakat yang beragam membutuhkan ekspresi yang beragam pula. Di tengah berbagai krisis koeksistensi yang melanda negeri ini, kita perlu meningkatkan peran film sebagai perantara sosial, berdampingan dengan perannya sebagai komoditas komersial. Bagaimanapun juga belum ada medium lain yang bisa menyamai kemampuan film dalam mengekspresikan realitas, termasuk realitas terkait identitas-identitas yang jauh atau bahkan tidak ada dalam lingkar sosial kita. Film menjadi medium yang strategis untuk mengenali wajah orang lain serta berempati terhadap kondisi hidup orang lain. Berdasarkan garis pemikiran ini, kita perlu mengapresiasi sejumlah pertanda positif dari film Indonesia.

Dari jajaran film laris beberapa tahun terakhir ini, Cek Toko Sebelah (2016) menonjol sebagai potret yang intim tentang warga peranakan Tionghoa. Film arahan Ernest Prakasa itu menuturkan kerutinan keluarga Indonesia-Tionghoa, mulai dari menata dagangan, tawar-tawaran dengan pelanggan, hingga adu etalase dengan toko saingan. Sebagai produk yang berdiri sendiri, Cek Toko Sebelah adalah sebuah film komedi yang tertata dan terarah dengan baik. Sebagai bagian dari film nasional secara umum, Cek Toko Sebelah memperkaya bahasan tentang identitas warga peranakan Tionghoa di Indonesia. Sebelumnya film-film yang berkisah seputar peranakan Tionghoa lebih banyak menempatkan mereka sebagai korban dari sebuah peristiwa nasional—kerusuhan 1998, misalnya, dalam May dan 9808. Nyatanya warga peranakan Tionghoa juga punya dinamika tersendiri di antara sesamanya. Identitas peranakan Tionghoa di Indonesia yang tadinya baru terwujud pada tataran realitas politis, kini terbahasakan hingga realitas psikologis. Warga peranakan Tionghoa yang sebelumnya ditempatkan sebatas fakta politik, kini tertuturkan sebagai manusia yang multidimensional.

Capaian Cek Toko Sebelah juga menegaskan kembali pandangan Krishna Sen tentang kehadiran sinematik dari etnis minoritas Tionghoa yang tumbuh cepat pasca jatuhnya Orde Baru. Selain itu, narasi film ini pun memperkuat analisa Ariel Heryanto tentang adanya kesadaran dari kelas menengah muda Indonesia di layar maupun di luar layar untuk menerima perbedaan etnis serta lebih nyaman berbaur dengan orang dari beragam latar belakang etnis, bahasa, dan kebangsaan.

Film laris lainnya yang patut mendapat perhatian adalah Uang Panai (2016) arahan Asril Sani dan Halim Gani Safia. Film produksi Makassar ini mengisahkan tentang rencana persuntingan seorang pemuda Bugis-Makassar yang terhalangi oleh tuntutan uang mahar, sebagaimana yang disyaratkan adat setempat. Perkara mahar ini menjadi kekhawatiran banyak warga Bugis-Makassar. Menariknya, kelokalan Uang Panai terwujud hingga unsur-unsur produksinya. Seluruh pemeran berasal dari wilayah setempat, dan seluruh dialog dalam film dituturkan dengan dialek khas suku Bugis-Makassar.

Uang Panai tayang di lima belas kota: Ambon, Bandung, Banjarmasin, Bekasi, Bogor, Gorontalo, Jakarta, Manado, Makassar, Medan, Palu, Samarinda, Surabaya, Tangerang, dan Yogyakarta. Di masing-masing kota, Uang Panai menempati setidaknya satu layar, kecuali di Jakarta (dua layar) dan Makassar (empat layar). Selama hampir dua bulan beredar di bioskop, film garapan Asril Sani dan Halim Gani Safia itu sukses mengumpulkan 521 ribu penonton—kebanyakan dari wilayah Sulawesi.

Menurut cerita dari sejumlah rekan di Palu dan Makassar, banyak orang dari kota-kota sekitar pelesir ke Palu dan Makassar hanya untuk menonton Uang Panai. Menanggapi keramaian tersebut, bioskop-bioskop setempat menambah layar untuk Uang Panai. Akibatnya dua film impor yang beredar waktu itu, The BFG dan Sully, tidak terlalu mendapat perhatian di sana. Peristiwa ini membuktikan bahwa konten lokal di pasar lokal juga bisa berdaya, secara komersial maupun kultural, karena masyarakat yang beragam membutuhkan produk budaya yang beragam pula.

Di luar film-film yang tayang di bioskop, pada tahun lalu juga ada Nokas produksi Komunitas Film Kupang. Dokumenter arahan Manuel Alberto Maia menuturkan isu soal tradisi mahar yang ada di Nusa Tenggara Timur—tempat tinggalnya. Isu itu pun merembet ke berbagai hal, seperti peran perempuan di keluarga, kondisi budaya setempat, hingga soal tanah. Ada juga Turah produksi Fourcolours Films. Film arahan Wicaksono Wisnu Legowo itu bertempat di Kampung Tirang, sebuah perkampungan yang berdiri di atas tanah timbul di pesisir utara Kota Tegal. Sepanjang film kita melihat bagaimana relasi kuasa dan ketergantungan ekonomi dengan pemilik tanah setempat menindas warga Kampung Tirang yang semuanya adalah golongan ekonomi bawah—kelompok warga yang hampir tidak tersorot dalam film Indonesia.

Film sebagai praktik sosial

Sejumlah pertanda positif juga bisa ditemukan dari ekosistem informal yang tercipta melalui jaringan komunitas film di luar industri film yang lebih mapan. Sekarang ini kegiatan perfilman lazim ditemukan di kampus-kampus, komunitas-komunitas, desa-desa, hingga kecamatan-kecamatan—yang sayangnya belum terlalu diperhitungkan dalam pewacanaan film Indonesia secara umum. Berkat jaringan kolaboratif ini, warga di daerah-daerah yang jauh dari bioskop dan industri film macam Purbalingga, Banda Aceh, Palu, Lombok, Kupang, Solok, Bengkulu, Sumbawa, dan Wamena bisa turut berpartisipasi dalam pengembangan perfilman lokal dan nasional. Masing-masing komunitas hidup dan bernapas dengan caranya sendiri, baik lewat produksi film, pemutaran untuk publik, penyelenggaraan festival, pembukaan ruang diskusi, lokakarya, laboratorium film independen, hingga kritik dan kajian. Masing-masing komunitas juga mewakili keragaman praktik dan modus ekonomi dalam masyarakat.

Cakupan kerja-kerja komunitas film memang masih teramat lokal dan seringkali bubar tiba-tiba, karena perkara dana, minimnya ruang berkegiatan, keterbatasan sumber daya manusia, dan hal-hal lainnya. Meski begitu, kontribusi mereka dalam memperluas keterlibatan warga dalam perfilman nasional tidak bisa diabaikan. Kehadiran mereka memungkinkan adanya jalur distribusi dan ekshibisi bagi pelaku produksi film yang tidak bisa mengedarkan atau tidak meniatkan filmnya beredar di jaringan bioskop komersial. Kehadiran mereka juga mewadahi warga yang tidak masuk dalam skema industri film, baik sebagai subjek maupun sebagai penonton film.

Dalam relasinya dengan pasar yang lebih mapan, alias bioskop, komunitas film di beberapa wilayah berperan sebagai penyedia “kehidupan kedua” bagi film-film yang turun dari bioskop atau tidak lama beredar di bioskop. Relasi kerjasama ini seringnya masih terjadi pada level personal—komunitas film mengontak pembuat atau pemilik film, lalu, apabila dibutuhkan, membuat kesepakatan terkait pembagian hasil penjualan tiket. Menariknya, beberapa tahun belakangan hadir sejumlah lembaga atau kelompok yang menyelenggarkan peredaran nonbioskop secara profesional—beberapa di antaranya adalah Kolektif, Buttonijo, Ekshibid, dan Pintoo. Film-film bioskop yang cukup tertolong dengan model peredaran nonbioskop ini adalah Lovely Man karya Teddy Soeriaatmadja dan Nay (2015) karya Djenar Maesa Ayu.

Saat ini kita belum punya rencana induk pengembangan perfilman nasional, yang nantinya menjadi panduan jangka panjang bagi pemerintah serta pelaku usaha dan kegiatan perfilman. Apabila kita ingin menanggapi ketidakadilan struktural dalam perfilman secara seksama, penyusunan rencana tersebut perlu memperhitungkan setiap jenis keragaman yang ada dalam perfilman Indonesia—mulai dari konten film, pelaku, praktik, modus ekonomi, hingga keterlibatan warga. Hanya dengan begitu film Indonesia bisa berdaya secara komersial dan berfaedah secara kultural.

Artikel ini merupakan versi yang diperbaharui dari artikel Wajah-wajah Film Indonesia yang terbit di Jurnal Ruang pada 30 Juni 2017.